Klambi Anyar

Bejo menempelkan bokong pada akar kelapa yang mencuat. Di ujung pandangnya terdapat hamparan biru laut. Hatinya masih berkoar; mendengungkan pertanyaan ke mana perginya para Portugis? Mereka datang dengan kapal-kapal layar beberapa bulan lalu dan dibuntuti ikhbar yang kian membesar. Mungkin mereka sudah berlabuh di pulau lain atau mungkin menempuh bulan demi bulan kembali ke tempat asal. Bejo menghela napas, aroma asin laut pun turut terisap. Haruskah dia menyusul mereka dengan sampan? Kepalanya menggeleng. Bisa habis dia digulung ombak.


Bejo menjelangak. Langit masih berwarna serupa laut di atas sana. Seharusnya, dia menghabiskan waktu di rumah setelah lima bulan berkelana menjadi kuli pedagang. Apalagi Dwiangi tengah mengandung. Sampai tengah hari yang terik ini pun, Bejo masih tidak habis pikir. Dia pergi dan rahim Dwiangi sudah dibuahi. Namun, manut pada apa yang dikatakan Panca, Bejo meyakini bahwa anak yang tengah Dwiangi kandung adalah rahmat dari Dewi Gunung. Sudah lama mereka menikah dan baru sekarang perut Dwiangi perlahan boyas. Hajat sudah dipenuhi, jelas Bejo berjanji apa pun yang Dwiangi ingin akan dia beri.


Permintaan Dwiangi memang tidak seaneh Nawang—istri Panca—yang menghendaki tubuh Panca untuk kurus. Kalau sampai Dwiangi menginginkan Bejo untuk berkulit putih, berhidung mancung, dan bertubuh tinggi, sudah pasti Bejo kalang kabut seperti Panca. Namun, meski kata Panca hajat Dwiangi termasuk golongan sederhana, Bejo masih belum bisa pulang dan membawakan apa yang Dwiangi mau.


"Itu seperti cabya, Kangmas. Apa Kangmas belum pernah mendengar soal itu?"


Begitulah titah Dwiangi dimulai. Bejo tentu tahu apa yang dimaksud istrinya. Sudah beberapa pekan kabar mengenai tanaman serupa cabya bergulir dari mulut ke mulut. Bentuk yang digambarkan pun mirip; pendek tanaman itu sejari kelingking, berwarna merah dan hijau, ada banyak biji di dalamnya, rasa yang dihasilkan pun pedas, dan kulitnya tidak berbintik kasar seperti cabya. Seharusnya memang sederhana, seperti yang disampaikan Panca. Namun, untuk saat ini hanya keluarga keraton yang berhak mengolah tanaman itu menjadi pangan. Sementara untuk sekelas Bejo, harus berhembalang demi mendapat peluang.


Memikirkan calon anaknya yang akan terus mengeluarkan iler, Bejo jadi ingin menangis. Kalau sampai dia tidak bisa membawa pulang apa yang calon anaknya inginkan, apa dia bisa membujuk si jabang bayi? Menawarkannya barang yang sudah pasti Bejo miliki. Bejo tentu ingin memberi yang terbaik. Namun, Bejo juga tidak mau kelak anaknya mewarisi nasib fisiknya. Anaknya harus seperti Dwiangi yang bagai bidadari atau jika lelaki seperti salah satu dari Pandawa.


Posisi duduk Bejo semakin merosot. Tatapnya beralih pada hamparan air asin lagi. Hatinya kini menyerukan harap agar para Portugis itu kembali merapat di pantai sini. Dia rela melakukan apa pun asal diberi bibit cabai. Sudah empat malam dia belum pulang. Semangatnya masih membara, tetapi bokongnya belum mau lepas dari akar pohon kelapa. Mungkin ini yang dinamakan batas kekuatan manusia, ketika punggung seolah ditempeli selendang batu dan kaki diikat rantai besi.


Dagu Bejo semakin terangkat. Tangannya dikatup dan ditempelkan tepat di tengah kening. Matanya terpejam. Hatinya kembali menyeru pada Sang Dewi Gunung; memanjatkan hajat. Kali ini lebih merendah diri, seperti yang pernah diajarkan Panca sewaktu Dwiangi belum hamil. Jika anak saja bisa dikabulkan, apalagi tiga batang pohon cabai.


Bejo terus mengulang-ulang harapnya, sampai telinganya pengeng dirasuki angin kencang dan air menerjang kakinya berkali-kali. Mata Bejo perlahan menangkap suasana sekitar. Agak terkinjat, saat menyadari pohon kelapa yang menaunginya lenyap. Dia kini berdiri di bibir laut. Aroma asin pun mulai merangsek hidungnya. Bejo terdiam sambil melihat pasir yang terseret ombak, seolah turut menyeret tubuhnya ke tengah laut.


Dalam khayal selama ini Bejo akan berlari, jika sosok Dewi Gunung menghampirinya. Meski dijadikan tempat mengharap, konon Dewi Gunung memiliki rupa buruk dengan mata gede bertatap bengis, rambut awut-awutan, sepasang taring yang merobek sisi bibir, dan bertubuh tinggi besar. Namun, Bejo terpaku menatap sosok yang melayang beberapa langkah di depannya.


Dia tidak mendekat atau menghardik Bejo seperti yang diceritakan Panca. Sosok itu hanya menatap Bejo dan beralih ke air laut. Seolah diberi perintah, Bejo melangkah kemudian membungkuk. Kedua tangannya terkatup menangkap air laut.


"Minumlah sebanyak tiga kali tanpa mengeluh. Maka, semua yang kau ucapkan akan menjadi nyata."


Bejo menurut.


Satu teguk. Dia seperti minum air putih.


Dua teguk. Yakinnya semakin membuncah.


Tiga teguk.


Bejo tersentak. Matanya membelalak menatap langit gelap. Tubuhnya bermandi keringat. Dia masih di posisi semula, di bawah pohon kelapa. Namun, dia tahu apa yang barusan dialami merupakan pertanda. Walau waktu berlalu cepat, tapi dia bersyukur Dewi Gunung menjawabnya langsung.


Tidak mengindahkan tubuhnya yang masih berat, jatuh-bangun Bejo mendekati laut. Bibirnya berkecumik melafalkan pujian terhadap Dewi Gunung. Jika ini benar, jika ini benar ....


Bejo terus mengikis jarak dengan laut. Dan ketika sudah sampai di tempat seperti yang dia alami dalam mimpi, Bejo langsung mereguk.


Satu teguk. Lidahnya disengat asin yang sangat. Dia teringat tidak boleh mengeluh. Jadi dia hanya menjulurkan lidah, berharap rasa asin cepat menghilang.


Dua teguk. Kerongkongannya yang lebih tersiksa. Banyak pasir yang turut terminum. Namun, Bejo tidak menyerah. Satu kali lagi.


Tiga teguk. Setelah air tertelan, Bejo langsung menghadapkan wajah ke langit. "Wahai Dewi Gunung, saya minta tiga tangkai cabai. Satu tangkai berwarna merah. Satu tangkai lagi berwarna hijau. Dan satu tangkai lagi berwarna campuran.


"Tiga tangkai itu tidak turun dari langit seperti dalam khayalan singkatnya. Melainkan terselip di celana pendeknya. Bejo senang bukan kepalang. Dia meloncat sambil menggenggam kuat tiga tangkai yang diminta Dwiangi. Idam Dwiangi akhirnya keturutan.


"Terima kasih, Dewi Agung. Sekarang, saya ingin kembali ke rumah."


Bejo mengalami beberapa kali malam sendiri. Jika bisa langsung hanya dengan berucap, itu adalah pilihan yang tepat. Dia hanya memejamkan mata dan begitu melek dinding anyaman yang pertama kali terlihat.


Bejo semringah. Kakinya siap melangkah. Namun, gelak tawa dari balik bilik membuatnya menajamkan telinga. Jika hanya tawa halus Dwiangi, Bejo tidak akan mengendap-endap di dalam rumahnya sendiri. Ini ada tawa yang lebih berat, yang Bejo kenal sedari bujang. Bejo menempelkan kuping di dinding dan menyimak alih-alih langsung menggebrak. Dia takut salah sangka, karena baik istrinya maupun teman dekatnya, tidak mungkin berkhianat.


"Kapan Bejo pulang?"


"Tidak tahu, Kangmas. Kalau Kangmas Bejo pulang, Kangmas kan bisa lewat pintu belakang seperti biasa. Saya akan buat Kangmas Bejo sibuk. Jadi, Kangmas tidak perlu khawatir."


"Saya sangat mencintaimu, Dwiangi."


"Jika anak kita lahir, saya mau kita pergi dari sini, Kangmas."


"Tentu saja. Saya sudah berjanji dan akan tepati. Soal Bejo dan Nawang, biar saya yang urus."


Tawa mereka saling berbisik, tapi telinga Bejo menangkap kemesraan. Tiga batang pohon cabai digenggamnya kuat. Istrinya yang cantik dan bertutur lembut, serta teman dekatnya yang selalu memberi nasihat, ternyata menusuk dari belakang.


Bejo tidak pernah merasa curiga tiap kali Panca bertandang bahkan saat malam. Mereka toh hanya membicarakan seputar hidup. Karena Panca lebih lama memakan asam garam dunia, Bejo selalu manggut dan manut. Disuruh jadi kuli yang tidak pulang berbulan-bulan, dia turut. Dwiangi pun sosok istri yang penurut. Tidak pernah marah-marah dan selalu siap tiap kali Bejo minta jatah.


Ditatapnya tiga batang pohon cabai. Lebih dari tindakan Dwiangi dan Panca di belakangnya, hatinya lebih sakit menyadari bahwa semua usaha dan waktu terbuang sia-sia. Dia berbalik, enggan masuk bilik yang merupakan kamarnya dan Dwiangi.


Dalam setiap langkah menuju pintu, hati Bejo bergemuruh. Bejo memang mencintai Dwiangi, tapi remuk hatinya tidak bisa dikembalikan ke bentuk semula. Tanpa ampun dia bergumam, menyampaikan pada Dewi Gunung inginnya.


Bejo kemudian berbalik, enggan mengobrak-abrik. Di setiap langkah menuju pintu, sumpah Bejo terus mengalun. Sumpah yang merupakan doa sakral untuk mereka yang sekarang bergelut di rumahnya.


"Semoga kelak anak kalian pendek seperti cabai." Bejo juga menambahkan, "Dan semoga aku mendapat penggantimu, Dwiangi."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top