Ours

Dalam gulita aku meraba
Mencari seberkas cahaya yang tersisa
Di antara puing kenangan aku mengais
Bayanganmu hilang tertelan gerimis
Apa benar aku sudah kehilangan?
Kumohon jangan ...

Seorang bocah perempuan dengan kostum Red Riding Hood berdiri di hadapanku. Di tangannya ada sebuah keranjang kecil dari bahan anyaman. "Trick or treat?" Dia menodongku, sesuai tradisi yang diwariskan turun-temurun setiap perayaan malam Halloween tanggal 31 Oktober.

"Maaf, Nak. Aku tidak mempunyai permen," kataku seraya membelai kepalanya yang tertutup hoodie berwarna merah.

Dia mendengus. "Tidak ada seorang pun di penginapan ini yang memiliki permen. Halloween yang buruk!" gerutunya dengan raut sedih memandangi keranjang di tangannya yang masih kosong melompong. Ternyata upayanya menodong permen dari satu kamar ke kamar yang lain tidak membuahkan hasil apa pun.

"Hai, jangan pergi dulu!" panggilku mencegah langkahnya. "Aku punya sebatang cokelat. Jika kamu mau, aku akan mengambilkannya."

Dia mengangguk cepat. "Aku mau!" pekiknya girang.

"Tunggu sebentar." Aku bergegas kembali memasuki kamar dan menyambar sebatang cokelat di atas nakas.

Dia mendongak, menatapku penuh harap saat aku sudah berdiri di hadapannya.

"Ini." Aku menunjukkan cokelat berbungkus merah padanya. "Hmm ... tapi kamu harus memberitahukan dulu siapa namamu," kataku menggoyangkan cokelat itu di depan wajahnya.

"Alexandra," katanya cepat seraya membuka tudung yang menutupi kepalanya. Rambutnya yang keemasan tampak berkilau tertempa cahaya lampu lorong yang berwarna putih terang. "Panggil saja Al." Bola mata hitamnya begitu jernih dan memancarkan keceriaan. Kulitnya yang berwarna kecokelatan sangat kontras dengan warna rambutnya. Namun, menjadikannya gadis mungil yang terlihat eksotis.

"Al?" Aku berjongkok, menyejajarkan tinggi tubuhku dengannya. "Namaku juga Al. Albert," ucapku takjub. Cokelat dalam genggaman, kuberikan padanya dengan seulas senyum.

"Thank you, Uncle Al." Dia menerima pemberianku dengan tangan kanan. Pipi tembamnya terlihat semakin menggemaskan akibat tarikan bibirnya yang begitu lebar.

"Kenapa kamu berkeliaran sendiri? Di mana orang tuamu?"

Wajahnya berubah sendu. "Mommy meninggal saat melahirkanku. Perdarahan hebat akibat terjatuh dari tangga saat bekerja. Kata Grandma, aku lahir prematur. Aku dan Grandma berencana mengunjungi makam Mommy besok pagi. Kami akan memborong bunga matahari untuknya," ungkapnya berusaha terdengar riang.

"Oh?" Aku terhenyak. "I'm sorry to hear that," ucapku tulus mengecup puncak kepalanya. Dia masih terlalu kecil untuk merasakan kehilangan.

"It's okey. Bukan salah Paman. Paman hanya tidak tahu." Dia mengedikkan bahu, seolah kejadian seperti ini sudah sering terjadi padanya.

"Uncle Al mau pergi melihat parade hantu di jalan?" tanyanya seraya memasukkan cokelat itu ke dalam keranjang.

Aku melihat jam yang melingkari pergelangan tangan kiri. "Yup!" jawabku mantap.

"Semoga malammu menyenangkan!"

Aku tersenyum seraya menganggukkan kepala. "Jangan terlalu jauh berburu permen, nanti kamu tersesat di penginapan ini," kataku mencubit gemas pipinya yang kemerahan. "Atau yang lebih buruk ... jika kamu diculik arwah. Karena konon katanya, malam ini gerbang pembatas antara orang mati dan orang hidup terbuka lebar. Mereka yang sudah mati bebas berkeliaran. Arwah baik, mungkin akan mengunjungi keluarga atau orang-orang yang mereka sayangi untuk melepas rindu. Tapi, arwah jahat yang berkeliaran suka sekali melakukan pengrusakan dan kejahatan. Awas saja jika mereka menculikmu. Kamu mungkin akan dibawa ke dunia mereka dan tidak akan bisa kembali ke dunia ini. Nenekmu pasti akan menangis sedih. Atau bisa juga terjadi sebaliknya, mereka mengambil nenekmu untuk membuatmu sedih dan menangis."

Dia bergidik dan meringis. "Kalau begitu, aku kembali ke kamar saja. Bukan karena aku takut diculik, tapi aku tidak mau jika mereka mengambil Grandma dariku."

"Good girl!"

Dia tersenyum sebelum kembali berkata, "Segeralah berganti pakaian dan pergilah ke luar! Banyak hantu betina berkeliaran di jalan. Kata Grandma, hantu-hantu itu sedang menunggu seseorang yang mau membuahi rahim mereka. Agar perayaan Halloween tahun depan, bayi-bayi hantu yang mungil memenuhi dunia."

Eh, ajaran macam apa itu? Perkataan anak ini melantur! Apa neneknya mengatakan itu padanya dalam keadaan mabuk?

"Bye, Uncle Al." Dia mengecup pipiku cepat. Bibirnya yang tipis mungil menyunggingkan senyum cerah. Dengan riang dia melambaikan tangan padaku. Dia berlalu diikuti senandung kecil penuh kegembiraan.

Aku menggaruk tengkuk, memandangi kepergian si bocah yang segera menghilang di balik pintu kamar 212. Hanya berselisih tiga kamar dari kamarku.

Bocah Wiro Sableng rupanya. Pantas saja!

Pukul 21.38 di New York City. 31 Oktober 2019. Gagal ke BangOn!NYC : Warehouse of Horrors. Jalanan padat merayap, dipenuhi hantu jadi-jadian. Alien dan para makhluk imajinatif lainnya juga keluyuran. Sepertinya mereka beramai-ramai turun ke jalan untuk unjuk gigi di acara yang cuma diadakan setahun sekali ini.

Aku menulis caption di Instagram story dengan foto yang menggambarkan suasana malam perayaan Halloween di kota New York. Senyum simpul terukir melihat unggahanku selesai. Aku lalu menyimpan kembali ponsel ke dalam saku jaket.

Aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Bendera-bendera hias dan lampu warna-warni digantung menyilang antara bangunan yang satu dengan lainnya. Tidak ketinggalan Jack O'Lantern yang bertebaran di sepanjang sisi kanan-kiri jalan. Labu-labu berbagai ukuran berwarna oranye cerah yang diukir sedemikian rupa dengan tangan itu diberi lampu—atau lilin—agar terkesan hidup dan menyeramkan.

Penduduk lokal dan wisatawan berbaur memenuhi jalan. Mereka menggunakan berbagai macam kostum pilihan. Tidak lupa mereka bersolek dengan riasan paripurna untuk mendukung penampilan. Ada yang menyerupai Chucky, Frankenstein, Ghostbusters, Gamora, Annabelle, Sailormoon, hingga personel Avengers seperti Hulk, Thor dan Iron Man. Andai saja ada yang menggunakan kostum Gatot Kaca, kupastikan dia berasal dari Indonesia.

Entah mengapa musim gugur kali ini terasa lebih dingin bagiku. Hawa dingin malam ini bahkan menembus tiap kali angin berembus, membuatku menarik retsleting jaket tebal hingga menyentuh dagu. Aku menyesal karena tidak menggunakan syal. Namun, mengingat hal itu, bukannya penampilanku akan terkesan aneh? Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja. Sepertinya akibat aku sudah lama kembali ke Indonesia yang beriklim tropis.

Berada di kota ini, membuatku ditampar oleh banyak kenangan. Tentang seorang perempuan yang sudah mencuri segenap hatiku. Dia yang pada akhirnya kutinggalkan enam tahun yang lalu. Namun, dia pula yang membawaku kembali ke kota ini karena luapan rasa rindu.

Aku menarik napas dalam, meresapi segenap penyesalan yang menyesakkan. Cinta yang diawali begitu manis, tetapi justru harus berakhir dengan isak tangis. Saat itu aku mengatakan padanya kembali ke tanah kelahiran untuk menjalankan bisnis keluarga. Jika waktunya tepat, aku akan kembali untuk menjemputnya. Akan kuperkenalkan dia sebagai calon istri kepada seluruh keluarga.

Ternyata bukan seperti itu yang terjadi. Sungguh di luar ekspektasi, ayah dan ibu memintaku menikahi anak rekan bisnis mereka. Untuk menutupi aib katanya. Perempuan itu dihamili oleh pacarnya, tetapi lelaki sialan itu tidak mau bertanggung jawab.

Aku melakukan protes. Mengapa harus aku yang mengambil tanggung jawab itu? Jangankan menanamkan benih di rahimnya, aku bahkan tidak pernah tahu bagaimana rupa perempuan itu.

Protesanku ditanggapi dingin. Ayah dan ibu sepakat menudingku, mangatakan bahwa aku anak tidak tahu diri yang tidak mengenal balas budi. Mengadopsiku dari keluarga miskin, membesarkan dan menyekolahkanku hingga S2 di luar negeri ternyata bukan tanpa pamrih.

Demi memenuhi permintaan mereka akhirnya aku dan perempuan itu menikah. Pernikahan yang kami jalani dengan sebuah kesepakatan. Dia dengan kehidupannya, begitu pula sebaliknya. Anaknya adalah miliknya, tanggung jawabnya sepenuhnya. Pernikahan akan kami akhiri setelah dia melahirkan.

Yang tidak kuketahui, ternyata kekasihku tengah berbadan dua saat kutinggalkan. Aku bahkan mengetahui kabar itu dari unggahan terakhirnya di sosial media, tidak lama setelah resepsi pernikahanku digelar di Indonesia. Setelah itu dia menghilang, membuatku kehilangan jejaknya.

Masih pantaskah aku disebut laki-laki? Setelah sekian lama pergi dan baru sekarang aku kembali? Enam tahun aku menerlantarkannya. Itu jelas bukan waktu yang sebentar.

Tadi pagi aku mendatangi rumahnya, tetapi ternyata dia sudah lama tidak tinggal di sana. Tidak ada satu pun yang bisa memberi informasi, lantaran sikap ibunya yang dianggap terlalu menutup diri. Tidak ada yang mengetahui keberadaan mereka saat ini. Mereka menghilang begitu saja, bagai ditelan bumi.

Malam ini, aku harus menelan kekecewaan yang begitu menyakitkan. Aku baru menyadari bahwa mungkin saja tidak akan pernah lagi bertemu dengannya. Mungkin inilah saatnya aku belajar untuk melepaskan dan melupakan.

Lalu bagaimana dengan buah cinta kami? Apa dulu dia mempertahankan kandungannya? Atau justru mengambil jalan pintas dengan melakukan aborsi? Membayangkan hal itu, membuatku semakin ditekan rasa berdosa.

Malam semakin larut, tetapi keramaian seakan tiada surut. Aku termangu untuk sesaat tatkala menyadari lamunan sudah membawa langkah kakiku mendatangi Central Park. Tempat itu adalah tempat pertama kali kami berjumpa. Di sana juga aku mengucapkan salam perpisahan padanya.

Aku mengerjap, meyakinkan diri bahwa sosok yang tertangkap kedua netraku memanglah dia. Di sana, dalam balutan dress putih, dia duduk seorang diri. Aku segera berlari menyeberangi jalan untuk mendatanginya.

"Ellaine?" sapaku dengan napas terengah. 

Dia tersenyum menganggukkan kepala. "Akhirnya kamu datang, Al."

Apa selama ini dia menungguku?

"Ya, aku menunggumu." Dia tersenyum lagi. Perkataannya seakan menjawab pertanyaan yang terlontar di dalam benakku.

"Sejak kapan?"

"Sejak kamu mengakhiri hubungan kita. Sejak hari itu, setiap hari, setiap saat. Karena aku tidak bisa melupakanmu begitu saja."

Aku tercenung. Perkataannya begitu menohok. Menamparku, meyakinkanku bahwa aku adalah laki-laki paling jahat dan egois di dunia ini.

"M-maaf." Tenggorokanku mendadak cekat. Ludah yang tertelan terasa begitu getir dan pekat.

Tulang kakiku melemas kehilangan daya. Kedua lututku mencium permukaan tanah berumput hijau. Aku menunduk, terpekur ditelanjangi oleh rasa malu.

"It's okey. Aku tahu, suatu saat kamu pasti kembali." Tawa kecil lolos dari bibirnya yang mungil.

"Aku jahat, El." Air mataku luruh, mangalir membasahi pipi hingga terjatuh dan hilang tertelan rerumputan. "Aku sudah menyakitimu sebegitu dalam," lirihku menahan sesak yang merambat memukuli dada. Terpejam, aku menggigit bibir bawah kuat-kuat untuk meredam sedu sedan.

Ujung sepatu berhiaskan pita tampak begitu aku membuka mata. "Bangunlah!" katanya seraya menyentuh kedua pundakku, membimbingku bangkit dan berdiri di hadapannya.

Mata sebiru laut itu memancarkan kelembutan yang sama persis seperti kali terakhir kami bertatap muka. Rambut sepunggungnya yang berombak dan berwarna keemasan berderai tertiup angin, menguarkan aroma jasmine yang khas. Bibirnya yang mungil menyunggingkan senyum kecil. Tidak ada yang berubah darinya.

"Maafkan aku, El."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Al. Aku ikhlas menjalani semua. Tuhan memberi ujian untuk menempaku menjadi hamba-Nya yang kuat dan tabah."

Kamu memang perempuan istimewa.

Tidak ada seorang pun di sini, menjadikan tempat ini begitu sunyi. Hanya ada aku dan El. Kami duduk berdampingan di kursi panjang, memandangi Jack O'Lantern yang bertebaran di penjuru taman. Untuk waktu yang cukup lama, kami tenggelam dalam keheningan.

"Apa tema penampilanmu malam ini?" tanyaku kembali membuka obrolan. Wajahnya begitu pucat, riasannya malam ini menyerupai mayat. "Biar kutebak!"

Dia menatapku, menungguku menerka. "Seorang peri?" tanyaku dengan kerlingan menggoda.

Dia terkekeh. "Tebakan bodoh! Mana ada peri yang pucat tanpa riasan. Lagipula, aku tidak memiliki sepasang sayap."

"Kalau begitu, kamu adalah malaikat tanpa sayap, El."

Dia menggeleng. "Tebak lagi!"

"Aku tidak tahu." tanyaku mengedikkan bahu, berpura-pura menyerah.

"Aku menjadi diriku sendiri, Al," sungutnya mengerucutkan bibir. Sepasang kaki jenjangnya berayun, kebiasaannya jika sedang gelisah. "Ini aku apa adanya."

Aku mengernyit, menciptakan kerutan halus di sepanjang kening.

"Jangan mengernyit seperti itu. Nanti kamu lekas tua," katanya mengusap keningku seperti kebiasaannya setiap kali melihatku mengerutkan kening.

Aku terjengit kala jemarinya menyentuh kulitku. Dingin yang membekukan. Bagai tak dialiri darah.

"Tanganmu dingin sekali, El." Aku menarik retsleting jaket ke arah bawah, bermaksud memberikan benda itu untuk menghangatkan tubuhnya. "Kamu pasti kedinginan. Aku tidak mau kamu masuk angin," kataku teringat bahwa dia mudah sekali jatuh sakit. Daya tahan tubuhnya memang lemah.

Dia menahan gerakan tanganku. "Kamu lebih memerlukannya, Al. Percayalah, aku sudah terbiasa," kilahnya menolak niat baikku.

"Yakin? Tapi kulitmu begitu dingin."

Oh, Tuhan ... dia persis seperti mayat hidup.

Dia menatapku dalam dan lama. "Aku sudah bukan El yang dulu, Al. Sekarang, aku tidak pernah sakit. Aku adalah perempuan yang kuat dan tangguh," katanya diikuti kekehan. Bibir tipisnya mengukirkan senyum lebar.

"Are you sure?"

Dia berdiri, berputar membuat rok dress-nya yang lebar berkibar. "Aku baik-baik saja. Al."

Aku masih sangsi, tetapi tidak lagi membantah. Setengah hati, aku menuruti keinginannya. "Oke," kataku membetulkan retsleting jaket.

"Bagaimana jika kita berjalan-jalan? Menikmati parade? Menyaksikan setan abal-abal turun ke jalan dan berpesta."

Dia mengangguk. "Tapi dengan satu syarat," katanya mengulum senyum.

"Apa?" tanyaku tak sabar. Aneh saja, dia bukan tipe orang yang suka memberi syarat apalagi banyak meminta. Dia perempuan mandiri dan yang paling realistis yang pernah kukenal.

"Jangan bicara denganku! Anggap jika kamu sedang berjalan sendirian." Matanya menatapku penuh harap. Entah mengapa, aku merasa dia sangat serius dengan ucapannya.

"Kenapa?"

"Hanya tidak ingin kamu dikira orang gila."

Aku menyemburkan tawa mendengar alasannya. Aku mengangguk saja, untuk menghindari perdebatan. Aneh! Dia sangat aneh malam ini.

"Ingat, Al! Jangan bicara denganku. Anggap aku tidak ada bersamamu," sambungnya setengah mengecam. Sepertinya malam ini dia memang tidak bisa dibantah.

Aku menarik tangannya, mengajaknya untuk segera meninggalkan taman. Cukup lama berada di sini memandangi Jack O'Lantern, membuatku tiba-tiba merinding. Suasananya berubah mencekam dan menyeramkan. Bagaimana jika labu-labu itu betul-betul hidup di pertengahan malam?

Dia menahan tanganku. "Satu lagi, sebelum waktunya kita berpisah." Tatapannya begitu dalam dan terlalu susah untuk diselami. Bagai labirin yang menyesatkan, sorot matanya membuatku tenggelam oleh keputusasaan. "Hari itu aku sebenarnya ingin mengatakan padamu bahwa ... aku sedang mengandung. Buah cinta kita, saat itu sudah tumbuh di rahimku. Tapi saat kamu lebih dulu mengucapkan salam perpisahan, aku tahu bahwa kamu memang harus meninggalkanku. Kamu memutuskan hal itu karena sudah tidak punya pilihan."

Kebahagiaan yang tadi mengisi hatiku, seketika lenyap. Mati terbunuh oleh rasa bersalah.

"Aku berdosa padamu, El. Pada kalian." Kuraih, kugenggam lalu kutuntun kedua tangannya ke depan wajahku. Kukecupi punggung tangan dan jari-jemarinya satu per satu. Air mataku mengalir saat kulihat dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.

Aku tak lagi dapat menahan diri. Tubuh rampingnya kutarik hingga terangkum dalam sebuah dekapan. Aku akhirnya melakukan hal yang sejak tadi begitu kuinginkan.

Tubuhnya berguncang hebat. Isak tangisnya begitu kuat. Lingkaran kedua tangannya di pinggangku semakin erat. Kami saling berbagi kesakitan yang selama ini kami pendam sendiri. Kami bersama-sama tenggelam dalam lautan emosi.

"Temui dia, kamu pasti akan jatuh cinta padanya. Tapi jika kamu tidak berkenan membawanya untuk hidup bersamamu, tolong jangan pernah lupakan bahwa kamu memiliki keturunan dariku. Dia darah dagingmu, Al."

Kuhapus air matanya dengan telapak tangan. Tidak ingin lagi melihat kesedihan membayang di kulitnya yang seputih pualam. Dia cantik saat tersenyum, membuatku ingin terus melihatnya begitu.

"Pertemukan kami. Aku janji, kita akan jadi keluarga kecil yang bahagia," janjiku penuh kesungguhan. Aku tidak akan melepaskannya lagi. Aku tidak akan pernah meninggalkan mereka, apa pun yang terjadi.

"Kamu pasti akan berjumpa dengannya," katanya dengan tersenyum, "tapi seorang diri." Jemarinya menelusuri wajahku, dari kening hingga dagu.

"Kenapa tidak bersama-sama saja?" Kutangkap tangannya lalu kukecupi buku-buku tangannya.

"Maaf, aku tidak bisa," lirihnya dengan kedua mata menyorot sendu.

"Lalu bagaimana aku akan mengenalinya?"

"Cukup gunakan hati. Nalurimu sebagai seorang ayah akan mengungkap kebenarannya."

Tanpa sadar aku mengernyit lagi. Dengan cepat dia menyentuhkan jemarinya di keningku untuk mengusir lipatan-lipatan yang katanya akan membuatku cepat menua.

"I love you, Al. Sepanjang sisa hidupku. Sampai akhir hayat, bahkan hingga embusan napas terakhirku."

Kusambar bibir tipisnya yang pucat. Melumatnya lembut, melepaskan segala beban kerinduan. Meski terasa begitu dingin, aku tidak peduli.

"I love you more, El."

"Terima kasih karena sudah datang. Percayalah, kini aku sudah terlepas dari segala beban." Kedua tangannya menangkup pipiku. Dia mendekat, melabuhkan sekali lagi ciuman yang membuat perasaanku campur aduk. Rasanya terlalu susah untuk digambarkan. Tidak bisa diuraikan dengan kata-kata.

"Ayo, kita pergi!" ajaknya seraya menarik tanganku.

Kuikuti langkah kakinya yang begitu cepat. Tubuhku menjadi begitu ringan, terbang bagaikan layang-layang.

"Malam ini benar-benar menakjubkan!" serunya riang.

"Lihat!" Aku menunjuk ke sebuah gerai fast food. "Di sana ada cheeseburger dan cola kesukaanmu. Bagaimana jika kita mengisi perut sebelum menghabiskan malam bersama para setan?"

"Aku sudah lama tidak makan itu," sahutnya sambil terkekeh.

"Kalau begitu, kamu harus menikmatinya malam ini."

Tanpa menunggu persetujuan darinya, aku balik menarik tangannya hingga kami tiba di depan gerai makanan tersebut.

"Dua cheeseburger, kentang goreng dan cola porsi jumbo." Aku mengatakan pesananku pada si penjual makanan.

"Selera makanmu besar sekali, Bung!" jawab laki-laki dengan celemek biru itu padaku. Dari wajahnya, tampak dia seorang dengan kepribadian yang hangat dan ramah.

"Satu untukku, satu lagi untuknya." Aku mengedikkan dagu ke arah kanan, di mana Ellaine duduk tenang di sampingku.

"Untuk siapa?" tanyanya bingung.

"Gadis ini. Dia kekasihku."

Lelaki itu melengos. "Dasar gila!" gumamnya pelan, tetapi masih dapat kudengar.

"Apa katamu?" Nada bicaraku naik. Aku tersinggung dia mengataiku seperti itu. Dia berbicara seperti itu seolah Ellaine tidak ada di sampingku.

"Bung, kau datang sendirian."

Tubuhku membeku tatkala bibir dingin El menyentuh lembut pipiku. Aku memejamkan mata ketika bumi yang kupijak serasa berputar cepat. Angin berembus menghantarkan aroma jasmine yang khas.

"Good bye, Al. Terima kasih untuk segala hal indah yang pernah kamu berikan. Bahkan rasa sakit itu, tidak akan pernah sebanding dengan kebahagiaan yang pernah kamu bagi padaku," bisik El tepat di telingaku sebelum kesadaranku menghilang.

***

Denyut menyakitkan menghantam kepalaku tanpa ampun. Pandanganku berputar hebat kala memaksa membuka mata. Cahaya lampu kamar yang menyilaukan membuatku terpaksa memejam kembali. Untuk beberapa saat aku terdiam. Beberapa kali mengerjap, hingga pada akhirnya netraku bisa menyesuaikan diri dengan cahaya terang.

Aku duduk di tengah ranjang dengan napas terengah memburu. Jantungku ribut berpacu. Peluh berjatuhan, membasahi sekujur tubuh.

"Ellaine!" seruku menyebutkan namanya. "El?" Aku mengulangi panggilan sekali lagi.

Tidak ada jawaban. Kamar ini begitu sepi, meyakinkanku bahwa aku hanya seorang diri.

Aku menyisir kasar rambut dengan jemari, mengacak-acak sambil mengerang frustrasi.

Apa tadi aku bermimpi? Namun, mengapa rasanya begitu nyata?

Suara ketukan di pintu menarik atensiku. Dengan langkah terseok, aku berjalan ke arah pintu.

Seorang bocah perempuan dengan kostum Red Riding Hood berdiri di hadapanku. Di tangannya ada sebuah keranjang kecil dari bahan anyaman. "Trick or treat?"

Dejavu. Aku merasa pernah mengalami kejadian ini. Ya, baru saja terjadi dalam mimpi.

"Trick or treat?" Dia mengulang pertanyaannya padaku. Kali ini lebih pelan, bahkan terkesan takut-takut.

"Maaf, Nak. Aku tidak mempunyai permen," kataku seraya membelai kepalanya yang tertutup hoodie berwarna merah.

Dia mendengus. "Tidak ada seorang pun di penginapan ini yang memiliki permen. Halloween yang buruk!" gerutunya dengan raut sedih memandangi keranjang di tangannya yang masih kosong melompong. Ternyata upayanya menodong permen dari satu kamar ke kamar yang lain tidak membuahkan hasil apa pun.

Perkataan dan ekspresi gadis kecil itu sama persis dengan mimpiku.

Aku berjongkok di hadapannya untuk menyejajarkan tinggi kami. Dengan lembut, kupegang kedua bahunya. "Nak, apa kamu bernama Al?" tanyaku memandang tepat kedua matanya. "Alexandra?" Ada gelenyar aneh menelusup hati saat aku mengucapkan nama itu.

Dia mengangguk ragu setelah pandangan kami cukup lama beradu. "Paman mengenalku?" tanyanya takut-takut.

Perlahan aku menyibak hoodie yang dia kenakan. Rambut bergelombangnya berwarna keemasan. Bibirnya tipis dan mungil. Kedua bola matanya hitam sepekat malam. Kulitnya berwarna kecokelatan. Aku meneguk ludah, ini jelas bukan suatu kebetulan. Alexandra tampak seperti perpaduan antara aku dan Ellaine. Apakah mungkin?

"Apa ada yang salah denganku, Paman?" tanyanya kebingungan.

Aku menggeleng ragu. Mungkin saja kesalahan ini ada padaku. Aku sudah terpengaruh mimpi.

Perhatianku teralihkan pada benda berkilauan yang mengintip malu-malu dari balik jubah Alexandra. Kukeluarkan benda itu dengan jantung berdebar. Sebuah kalung emas putih berhiaskan liontin bunga matahari menggantung manis di lehernya. Aku mengenali benda itu, tetapi masih berharap jika aku salah.

Jemariku gemetar saat meraba liontin sebesar ibu jari itu. Kutarik napas dalam saat membuka bandulnya. Sengatan rasa perih menghantam ulu hati. Duniaku runtuh saat melihat fotoku dan Ellaine ada di dalam sana.

"Apa kamu ke sini bersama Grandma?" tanyaku lirih memandangi wajahnya yang bulat. "Untuk mengunjungi ... makam ibumu?" Nyawaku seakan dicabut paksa melalui tenggorokan. Sengatan rasa perih melecut setiap inci hatiku. Sakit, sedih, ngilu dan kecewa berbaur menjadi satu.

Dia mengangguk. "Kami akan memborong bunga matahari untuknya."

Cairan bening merebak dari kedua pelupuk tanpa bisa kutahan. Aku merengkuh tubuh mungil Alexandra ke dalam pelukan. Menghujaninya dengan kecup penuh kerinduan. Aku tergugu, tak mampu mengucap barang sepatah kata. Lidahku terlalu kelu untuk digunakan bicara.

"Al?"

Aku dan Alexandra menoleh bersamaan ke sumber suara. Ibunda El berdiri berjarak dua meter di depan mata. Perempuan paruh baya itu langsung membekap mulut. Air matanya mengalir deras menyamaiku.

Tubuhku semakin lunglai. Rupanya Ellaine mengucapkan salam perpisahan padaku dengan caranya. Mengunjungiku dalam mimpi dan mempertemukanku dengan Alexandra.

"Akhirnya kalian bertemu."

💔TAMAT💔



Samarinda, 29 Juli 2021
Salam sayang,
BrinaBear88

Dipost pertama kali di akun Grass_Media 03 Nopember 2020
Revisi dan Republish 29 Juli 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top