bab 9

kangen ga syg?

aku up semua yg udah pernah dipublish ygy, ini part baruu yuhuu~

huaaa aku lg ga mood nulis, semangatin dong wajib bgt!

.

"Abang peringkat dua, Yah."

Rey menundukkan kepala, menatap ke arah lantai UKS. Wajahnya sudah dibalut plester. Ia menanggalkan kaca mata, memijat bagian pelipis yang masih terasa pening. Diamnya orang di seberang sana sudah Rey duga sejak awal. Respon apa yang akan diberikan Rangga menjadi pertanyaannya.

"Siapa yang pertama?"

Suara dingin dari sound ponsel terdengar seperti Rangga sedang berada tepat di depannya. Rey mengatupkan bibir, enggan menjawab.

"Reynaldi?"

Ia mengepalkan tangan. "Jonathan, Yah."

"Berapa selisih kalian?"

"Selisih 7,5."

Rey bisa mendengar helaan napas panjang Rangga. Jika mereka berhadapan, entah kekerasan fisik apa yang sudah dia dapat dari tangan ayahnya.

"Gimana bisa?" Suara Rangga terdengar merendah, tapi penuh tekanan. "Ayah sudah bilang berkali-kali sama kamu, jangan anggap Jo enteng. Sekarang liat?"

Rey memejamkan matanya.

"Kamu tuh nggak ada apa-apanya sama Jo. Selisih kalian beda jauh. Kamu bilang Jo peringkat terakhir? Iya, dia terakhir. Tapi itu karena dia sengaja."

"Sekali Jo gerak, kamu kalah, Rey."

Rasanya menyakitkan.

Meski sudah terbiasa dengan sikap ayahnya, meski sudah berulangkali Rey dituntut untuk menjadi yang pertama, rasanya tetap menyakitkan. Ia tersenyum miris. Rangga tidak tahu apa pun. Rangga tidak tahu bagaimana prosesnya menyiapkan diri untuk ujian masuk Kelas Bintang sampai drop di hari pengumuman.

"Jo itu nggak bisa ditebak. Kamu jangan lengah, Bang. Gimana bisa mau lanjut kedokteran di luar kalo ngalahin Jo aja nggak pernah berhasil?"

"Abang udah berusaha, Yah."

"Terus mana hasilnya?" Rey terdiam membisu. "Ayah butuh keberhasilan kamu. Ayah butuh bukti dari usahamu, bukan cuma proses yang sia-sia."

Sia-sia.

Batin Rey tertawa keras. Tangannya terkepal. "Abang masuk Kelas Bintang, itu belum cukup?"

"Selama ada Jo, meskipun kamu murid Kelas Bintang, nggak ada kesempatan buat kamu jadi peringkat pertama se-Indonesia," tukas Rangga datar.

"Abang cuma mau diterima di kedokteran luar negeri, Yah."

"Terus mana effort kamu? Kuliah kedokteran di luar nggak gampang, Rey. Minimal kamu bisa kayak kakakmu, jadi peringkat satu se-Indonesia. Tapi apa? Nggak usah mimpi lagi kalau ngalahin Jo aja kamu nggak bisa."

Rey memejamkan mata kembali. Jo, Jo, dan lagi-lagi Jo. Tatapannya terbuka dan langsung menemukan dua sosok manusia di depan UKS. Jiya duduk di samping Jo, mengobati luka pria itu.

"Sore nanti pulang cepet. Harusnya Ayah ngomong langsung ke kamu supaya kamu ngerti, Rey."






bab 9
[ proses yang sia-sia ]

"Argh!"

Jiya melirik, sedikit menjauhkan cutton bud yang sudah diberi betadine dari luka Jo. Terdapat lipatan dalam pada keningnya, memberikan tatapan kesal.

Ia mengalihkan mata ke dalam UKS dan menemukan sosok Rey tengah menelepon seseorang. Raut wajah cowok itu terlihat cukup serius. Jiya jadi teringat tentang ujian Kelas Bintang. Posisi pertama tahun ini berubah.

Rey kehilangan singgasananya.

Atau dia memang tidak pernah memiliki singgasana itu?

Lagi, Jiya menatap Jo. Alisnya terangkat kaget saat bertubrukan dengan netra pria berambut pirang di depannya. Ingatannya kembali pada kejadian beberapa menit lalu. Pelukan Jo masih terasa nyata. Pun dengan suara rendahnya.

"Kenapa lo begitu?"

Jo tak mengalihkan tatapan. "Apa?"

"Rey. Kenapa lo mukul dia?"

Bibir Jo terkatup diam, tak menunjukkan tanda pemberian jawaban atas pertanyaan yang diajukan Jiya sehingga membuatnya menghela napas.

"Apa karena peringkatnya?"

Jiya bisa melihat senyum miring terbit di wajah pria itu. "Peringkat sialan itu nggak ada apa-apanya."

"Ya terus apa?"

Jo kembali menatapnya, lama. "Iseng."

Mata Jiya mengerjap, memastikan telinganya tidak salah mendengar. "Hah?"

Jo bangkit berdiri. Bahkan tanpa pamit segera meninggalkan Jiya. "Heh, lo ngibul, kan?!" Sedikit teriak dia keluarkan, tapi justru hanya direspon oleh tangan terangkat.

Jiya memiringkan kepalanya, terheran-heran. Ia sempat melihat Aga datang dari arah berlawanan dan berbicara dengan Jo.

"Kalo Rey kenapa-napa, mampus lo sama gue, Jo." Aga menatapnya tajam, memberikan peringatan.

Jo membalasnya tanpa minat. "Up to you."

Aga tak habis pikir. Dia mengumpati Jo sebelum memutuskan untuk kembali ke UKS. Sempat matanya melirik ke arah Jiya yang masih terduduk di kursi depan. Kakinya berhenti tepat di ambang pintu. Gadis itu berbalik.

"Heh." Jiya menoleh. "Selamat karena lo masuk kelas bintang. Kita bakal lebih sering ketemu di sana."

Kalimat itu mungkin terdengar bersahabat, tapi percayalah yang Jiya rasakan saat ini jauh berbeda dari kata sahabat. Dia bisa melihat bagaimana Aga berkata tanpa senyum di wajahnya, terlihat dingin.

Dan Jiya hanya mampu mengalihkan tatapan setelah Aga masuk UKS, berpikir tentang banyak hal. Menyesal karena seharusnya dia tidak berada di dalam situasi seperti ini.

Sebab pada akhirnya, tanpa sengaja Jiya mulai memasuki kehidupan mereka.

Ting!

Kepala itu menunduk, memusatkan atensi pada notif e-mail dari ponselnya.




From: Earth International School
To: Jihanna Adenium

Kepada Yth.
Jihanna Adenium

Selamat! Anda telah diterima sebagai murid Kelas Bintang. Sehubungan dengan pengenalan dan penjelasan sistem kelas, akan dilaksanakan pertemuan perdana pada hari ini pukul 16.00 WIB di aula EIS-




Jiya tidak sadar, kehidupannya mulai berubah sejak saat itu. Mulai dari Rey yang berhasil membuka masa lalunya, Jo yang menjadi kunci untuk tetap bertahan di EIS, Aga yang menjadikannya target, hingga Kelas Bintang yang menjadi penentu semuanya.

.

Rey tetap memaksakan diri untuk masuk kelas meski belum benar-benar sembuh. Aga sudah menyerah menghadapi pria keras kepala itu dan memilih untuk bodo amat. Saat ini Rey sendiri duduk seperti biasa tanpa menggubris tatapan penasaran dari seluruh penghuni kelas.

Sebab ini pertama kalinya melihat laki-laki berkacamata dengan nama Rey tampil babak belur. Pertama kalinya Rey bertengkar dengan Jo padahal keduanya terkenal berteman sejak masuk EIS, meski sebenarnya tidak bisa disebut bertengkar karena hanya Jo yang melakukan dan Rey hanya diam.

Ada yang berspekulasi bahwa hal ini terjadi karena Jo berhasil merebut posisi pertama milik Rey. Tapi kesannya sangat aneh sebab di sini harusnya Rey yang mengamuk, bukan Jo. Spekulasi lain mengatakan Jo marah tanpa alasan seperti biasanya atau alasan tersebut adalah Jiya yang notabene-nya teman sebangku Rey.

Dan Jiya sendiri tak tahu mana yang benar.

Ia melirik ke samping, melihat bagaimana mata Rey fokus menatap ke depan. Wajahnya berkutat pada papan tulis penuh rumus, tanpa ada ekspresi. Jiya kembali mengingat bagaimana raut kecewa muncul di wajah itu saat melihat papan pengumuman peringkat Try Out.

Kesannya masih begitu melekat.

Tuk! Tuk!

Rey mengalihkan tatapan pada dua jari Jiya yang mengetuk meja. Matanya merambat naik dan berhenti di bola mata hitam milik gadis itu, memberikan kode tanya lewat tatapan.

"Lo nggak papa?" bisik Jiya menunjuk ke arah luka Rey, padahal guru yang sedang mengajar masih izin keluar.

Rey hanya diam beberapa saat tanpa mengalihkan tatapan. Ia baru menjawab dengan gelengan.

"Boleh gue tanya kenapa kalian berantem?"

Sudut bibirnya terangkat. "Itu lo udah tanya." Ia menunduk mengalihkan pandangan. "Jadi rumor itu nggak salah?"

Jiya mengerutkan kening tak mengerti. "Rumor?"

"Lo pacar Jo."

"Oh, itu." Kepala Jiya mengangguk, memikirkan balasan apa yang bisa dia berikan. Jiya bukan pacar Jo, tapi dia juga tidak bisa memberitahu faktanya kepada Rey. "Lo bisa anggap itu bener."

Rey menatapnya lagi. "Pantes."

"Kenapa emang?"

"Dia tau." Tatapan Rey selalu berhasil mengunci mata Jiya, sukses mengintimidasinya. "Jo tau tentang video lo."

"Video... "

"Tenang aja, gue belum sebar videonya."

Gue belum sebar.

Jiya tak habis pikir dengan Rey. "Gue masih nggak nyangka lo sejahat itu."

"Gue perlu bertahan."

"Cara lo sia-sia, Rey. Gue nggak tau apa yang bikin lo takut banget sama gue, tapi itu nggak akan berhasil karena gue bahkan nggak punya kesempatan buat ngalahin lo."

Rey menunduk. "Lo nggak ngerti."

"Asal lo tau, gue nggak banyak ubah jawaban." Jiya terdiam sejenak, melihat Rey mulai mengangkat kepala. "Iya, gue emang ubah beberapa, tapi cuma soal yang gue anggap punya poin kecil."

"Ji."

"Lo nggak perlu takut, gue nggak ada niat buat ambil posisi siapapun."

Rey hanya diam.

"Perihal Jo peringkat 1 sama sekali nggak ada kaitannya sama gue. Jadi, bisa lo hapus video itu?"

"Setakut itu lo kalo orang tau? Kalo takut, harusnya nggak dari awal lo lakuin."

"Apa?"

"Bullying."

Sudut bibir Jiya terangkat, tak percaya. "Gue nggak pernah."

"Ada buktinya."

"Bukti apa?" Gadis itu terkekeh kecil. "Video itu bahkan nggak ada setengah dari kejadian aslinya."

"Tapi cukup buat dijadikan klimaks kejadian." Rey membalas dengan tenang. "Lo hampir ngiris leher temen sendiri."

Tangan Jiya mengepal kuat di samping tubuh. Matanya terlihat menahan amarah. Ia membenci Rey.

.

"Keras kepala."

Aga menatap Rey sinis. Pria ambisius itu tidak mendengarkan omongannya sama sekali. Sudah jelas-jelas wajah pucat Rey terpampang menandakan bahwa ia harus segera mengistirahatkan diri, tapi Rey adalah Rey.

Manusia yang memprioritaskan peringkat di atas segalanya.

"Congrats, sekarang bisa satu kelas." Rey tak menanggapi umpatan sinis tadi, justru tersenyum tipis memberikan selamat.

Bola mata Aga berputar. "Seneng lo?"

Balasan Rey hanya berupa kekehan ringan. Mereka berdua duduk bersebelahan di aula EIS, bersiap untuk pertemuan pertama bersama Mrs. Grace dan murid Kelas Bintang lain. Seluruh murid terpilih dari jurusan IPA dan Bahasa sudah hadir. Anak-anak IPS memiliki kelas lebih banyak hari ini hingga baru bisa keluar setelah satu jam pelajaran. Mereka sudah menunggu selama 30 menit.

Ah ya, satu orang lagi dari IPA belum datang dan pasti kalian tahu siapa dia.

Jiya menghela napas panjang, duduk di bangku dua baris di belakang Aga dan Rey. Sebisa mungkin dirinya mencoba untuk tidak berinteraksi dengan kedua orang itu. Apalagi kekesalannya pada Rey masih ada.

"Nih!"

Hampir saja Jiya mengumpat kaget saat muncul sebotol air minum dari arah belakangnya. Ia mengusap dada, melihat Dina datang dan langsung menduduki kursi kosong tepat di sampingnya.

Padahal mereka tidak kenal sama sekali.

Jiya hanya tahu Dina berasal dari kelas sebelah dan semester lalu menjadi peringkat kedua seangkatan. Gadis ini juga menjadi peringkat empat saat ujian kemarin dan berada di atas posisinya. Tambahan, cerita tentang cewek yang menembak Rey tapi akhirnya ditolak.

Katanya cewek itu Dina.

"Gue Dina. Lo Jiya, kan?" Senyum di bibir itu merekah ceria.

Kepala Jiya mengangguk satu kali, bingung ingin membalas apa.

"Jo kenapa belom dateng?" tanya Dina dengan tatapan mengarah ke depan, lebih tepatnya memperhatikan interaksi Aga dengan Rey. "Gue tanya karena katanya lo pacar dia."

Baiklah, itu masuk akal. Tapi Jiya tidak tahu apapun. Nomor cowok pembuat masalah itu saja dia tidak punya.

Ia menggeleng. "Bukannya kalian sekelas?"

Dina mengiyakan. "Tapi kayak biasa, dia nggak masuk tadi." Tatapannya beralih pada Jiya. Sembari memangku dagu dia melanjutkan, "Gue penasaran, kalian beneran pacaran?"

Jiya mengerutkan keningnya. "Bukan urusan lo."

"Murid baru di semester lima, sebangku sama Rey, pacar Jo, peringkat lima Kelas Bintang. Apa menurut lo itu nggak aneh?"

"Lo mau apa?" tanya Jiya langsung pada poinnya, memberikan tatapan jengah.

Dina tersenyum. "Cuman pengin tau aja, seberapa penting lo sampe bisa berhubungan sama semua hal itu." Melihat ada yang datang, ia menepuk pundak Jiya satu kali. "Sampe ketemu nanti di Kelas Bintang."

Pandangan Jiya tak bisa teralihkan dari Dina yang kini sudah beranjak dan beralih tempat duduk di samping Rey. Ia termenung, berusaha memahami ucapan gadis peringkat empat itu. Sebab entah apa alasannya, Jiya merasa ada yang tak beres.

Ini bukan sekadar tentang EIS dan tiga murid fenomenalnya.

"Jiya!"

Mela tidak menyangka panggilannya bisa sampai membuat Jiya sangat kaget, kentara dari wajahnya gadis itu. "Sekaget itu lo liat gue di sini?"

"Ih, gue kira siapa!" Tangannya mengusap dada. Ia melihat Mela dengan bingung. "Lagian lo kenapa di sini?"

Cengiran lebar muncul di bibir sahabatnya. Sambil merentangkan tangan, Mela berseru, "Surprise!!"

Jiya masih bingung, sebelum akhirnya ia sadar. "Lo lolos juga?!"

"Gue peringkat dua."

"Aaaaa really???" Dengan mata terbelalak, Jiya bangkit dari duduknya. Mereka berpegangan tangan sambil jingkrak-jingkrak, tak peduli beberapa orang terusik melihatnya. "Gila bangga banget gue, kok bisa sepinter itu sih."

Mela mengibaskan rambutnya, lalu mereka tertawa.

"Udah duduk, jangan norak." Sadar keadaan, Mela langsung narik tangan Jiya. "Ms. Grace belom dateng?"

"Belom." Kepala Jiya menoleh ke samping, melihat seorang wanita bersama pria di belakangnya muncul dari pintu aula. "Itu orangnya bukan, sih?"

Mela mengikuti. Mulutnya terbuka takjub, iming-iming keberhasilan 100% yang diceritakan oleh ayahnya masih seperti mimpi. "Bener. Auranya udah kerasa."

Bak berjalan di atas catwalk, Ms. Grace didampingi Zico melangkah menuju center aula. Wajahnya dipenuhi kewibawaan, berdiri di hadapan murid terpilih dengan dagu terangkat. Rey yang sadar posisi sebagai seorang pemimpin, memberi aba-aba untuk memberi salam dan diikuti oleh murid lain.

"Apa semuanya sudah lengkap?" Pembimbing Kelas Bintang itu bertanya kepada Zico yang setia berdiri di belakang.

"Masih kurang satu, Miss."

Ms. Grace mengangkat tangannya, melihat jam. Ia mendongak begitu pintu aula terbuka dan seorang pemuda masuk dengan santai, lalu duduk di kursi paling belakang.

Melalui tatapan matanya, Ms. Grace memberikan sinyal kepada Zico untuk menyalakan layar LCD. Ia mengambil spidol hitam, mengetuk meja sehingga semua perhatian terkumpul ke arahnya.

"Selamat sore, Semuanya. Saya ucapkan selamat karena kalian adalah murid-murid terpilih di antara mereka yang terbaik di negeri ini. Mengapa saya bilang begitu?" Senyum terbit di bibir merah itu. "Kalian pasti sudah tahu tentang peluang lolos 100% dan jaminan masuk 10 besar se-Indonesia bukan?"

"Sudah, Miss."

"Karena itu saat ini saya berhadapan dengan kalian, para generasi jenius Indonesia." Ms. Grace berhenti memberikan pidatonya, memberikan sinyal kembali kepada Zico untuk membagikan satu berkas dokumen pada masing-masing murid.

Jiya membacanya.

Dokumen Rahasia
Tata Tertib, Modul, dan Perjanjian
Kelas Bintang
Angkatan XXII

"Kalian bisa membacanya lebih dulu. Pada halaman pertama, ada tata tertib yang harus kalian ikuti untuk belajar di Kelas Bintang. Tentu saja, tata tertib yang ada tidak berbeda jauh dengan murid biasa. Namun, kalian memiliki akses lebih daripada mereka. Kalian bisa melihat di halaman berikutnya.

Pertama, fasilitas asrama. Untuk menunjang peluang keberhasilan yang saya janjikan pada kalian, EIS memberikan fasilitas asrama yang akan kalian huni semenjak menjadi murid Kelas Bintang. Kalian bisa mulai menempatinya Senin depan, di mana kita memulai kelas pertama. Waktu untuk pulang ke rumah hanya diberikan di hari libur nasional.

Kedua, fasilitas MacBook dan Wi-Fi. Mengingat saat ini kita berada pada zaman serba digital, sekolah memberikan kepercayaan mereka dan berharap dapat melihat perkembangan pesat kalian nanti.

Ketiga, modul lengkap soal Ujian Nasional dari sepuluh tahun lalu hingga tahun kemarin. Selain bentuk fisiknya, kalian memiliki hak untuk mengakses secara pribadi melalui akun yang sudah disediakan untuk masing-masing murid Kelas Bintang.

Untuk fasilitas lain, kalian bisa membacanya sendiri. Halaman selanjutnya, bisa kalian lihat beberapa daftar modul soal sebagai gambaran bagaimana kalian akan belajar nanti. Yang jelas, modul lengkap akan kami berikan setelah kalian menandatangani surat perjanjian dan resmi sebagai murid kelas ini di halaman paling belakang. Di situ ada lembar perjanjian yang harus kalian tandatangani bersama wali murid dan dikumpulkan dalam dua hari ke depan. Jadi, kalian memiliki dua pilihan untuk lanjut atau berhenti menjadi murid Kelas Bintang."

Ada yang mengangkat tangan.

"Apa ada konsekuensi?"

Ms. Grace tersenyum. "Semua pertanyaan kalian ada jawabannya di dalam dokumen."

"Gila." Mela menyeletuk lirih, membuat Jiya meliriknya penasaran. "Konsekuensi keluar Kelas Bintang."

"Apa?"

Mela menatapnya. "Drop out dari EIS."

Mampus.

Jiya mengumpat dalam hati.

.

to be continued...

Gibran bakal ngizinin Jiya nggak ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top