bab 7
warning: this story mentioned self harm, suicide, and depression.
aku lupa ingetin. buat selanjutnya aku harap kalian bisa hati-hati memberikan komentar, ya. seperti peringatan di atas, cerita ini ada kasus self harm, suicide, sama depresi. jangan kasih komentar yg bisa menyinggung perasaan pembaca lain.
aku juga minta tolong kalau nggak sanggup baca mending nggak perlu diteruskan atau loncat aja ke lain part.
fyi, buat yg bgg Ms. Grace itu sebenernya gmn...
jadi, EIS biasa nyewa satu pembimbing atau guru buat Kelas Bintang. nah, tahunnya Jo dkk mereka nyewa Ms. Grace.
Ms. Grace ya pasti kewalahan kalo harus ngurus 15 anak seluruh jurusan sekaligus, kan? nah, EIS emang nyewa satu tutor, tapi tutor ini punya banyak bawahan yg bisa atur segala macam kebutuhan siswa.
Ms. Grace ibaratnya yg atur-atur gitu. dia bosnya.
nanti kalian sendiri bisa paham kalo udah baca, kok..
di bayangan aku, Ms. Grace ini orangnya tegas bgt, pemikirannya kuat, dan bisa buat orang merasa terintimidasi sama dia. dia punya satu orang bodyguard atau istilahnya kek sekretaris pribadi gitu. namanya Zico, cowok, masih muda tapi lebih tua dr Gibran.
sooo, lanjut??
.
Jiya tersenyum masam. "Lo bercanda, Rey?"
Gelengan Rey membuat rahangnya nyaris jatuh. "Gue serius, Ji."
Tangan Jiya terangkat untuk mengusap wajah. Dia benar-benar tak habis pikir dengan Rey. Oke, semisal Rey memang frustasi karena Ujian Kelas Bintang besok. Dia bisa memanipulasi jawaban teman dengan menawarkan sejumlah uang.
Tapi, kenapa Jiya?
Secara Jiya sendiri masih ragu dengan nilainya.
"Kalaupun serius, gue bakal nolak." Gadis itu menggeleng tegas. "Gue nggak semiskin yang lo kira sampai harus terima uang suap. Gue anggap nggak dengar omongan lo tadi."
Baru saja berniat pergi, tangan Rey menahannya. Jiya memutar bola mata kesal. "Apa lagi?"
"Gue tau lo pelakunya."
Jiya mengerutkan kening. "Pelaku?"
"Mobil Bu Laras."
Mata Jiya terbelalak lebar, langsung menoleh kanan kiri dan memastikan tidak ada orang selain mereka berdua.
"Lo seniat ini bikin gue gagal, ya?"
Rey tersenyum miring. "Setidaknya gue usaha."
"Usaha, Rey?" Jiya tertawa datar. "Lo nggak punya bukti kalo gue pelakunya."
"Fine, gue emang nggak punya." Rey mendekat hingga jarak mereka kian menipis. "Tapi gue dapat jackpot."
Jiya menatapnya tak mengerti. Rey menjauhkan diri, memberi kode kepada Jiya untuk memeriksa ponsel. Gadis itu menurut, melihat notifikasi dari Rey.
Wajah Jiya berubah pucat. Tangannya gemetar sampai tak mampu menggenggam ponsel, menjatuhkan benda pipih itu di lantai tribun. Pikirannya buntu melihat video yang dikirim oleh Rey. Matanya memanas.
"Gimana kalo gue sebar ke grup angkatan?" Rey berbisik dengan suara beratnya. "Bukannya seru kalo lo bahkan nggak punya kesempatan ikut ujian lainnya?"
Berengsek!
Air mata Jiya turun. Dia menatap Rey tajam.
Mela benar. Harusnya Jiya tak pernah berurusan dengan Rey. Dia sungguh tak menyangka.
Jiya tak tahu selama ini Rey bersembunyi di balik topeng liciknya.
•
bab 7
[ ujian ]
•
"Sekarang apa lagi?" tanya Jo kepada Surya, sekretaris pribadi kakeknya yang sudah mengabdi selama dua puluh tahun lebih.
Jo baru saja masuk dalam ruangan pribadi Willard, duduk di sofa empuk dengan seragam sekolah yang masih melekat. Jangan lupakan wajah penuh luka bekas pukulan Kevin pagi ini.
Surya berdiri diam di samping cucu majikannya. Seperti biasa, menjawab pertanyaan Jo datar.
"Tuan Willard akan segera datang."
Dia sudah sebelas dua belas dengan robot. Hidupnya mungkin didedikasikan hanya untuk Willard. Jo tak habis pikir ada orang seperti Surya, padahal kakeknya tak pernah berkelakuan baik-dari sudut pandang Jo sendiri.
Sebenarnya Jo malas sekali bertemu dengan pria tua berkuasa itu, tapi ada satu hal yang harus dia pastikan.
"Tumben kamu mau datang tanpa paksaan." Suara berat seorang pria berambut putih membuat kepalanya menoleh.
Willard Anderson.
Dialah pimpinan Anderson Labels yang memiliki dua perusahaan hiburan terkenal di Indonesia, direktur utama EIS, juga investor di berbagai bidang.
"Ada urusan apa?" tanya Jo tak suka basa basi, membuat Willard terkekeh sembari menuntun diri untuk duduk di kursinya.
Mata tajam di balik wajah keriput itu menatap cucu kesayangannya. "Kakek dengar kamu didiskualifikasi dari Ujian Kelas Bintang?"
Jo menunduk, sedikit mengapresiasi Bu Laras yang sudah mengabarkan tindak diskualifikasi itu.
"Kakek juga pasti sudah dengar alasannya, kan?"
Willard tertawa, mengacungkan tangannya. "Ya, Kakek mendengarnya. Kamu berkelahi dengan seseorang saat upacara bendera. Hebat sekali, Jonathan."
Jo tahu, Willard menyindirnya.
"Kakek tidak pernah mempermasalahkan semua yang kamu lakukan di sekolah. Bolos, merokok, tawuran, bullying." Ia menunjuk Jo dan kepalanya mengangguk. "Itu urusanmu. Tapi lain halnya dengan Kelas Bintang."
Senyum miring Jo terbit, menatap kakeknya tanpa rasa takut sama sekali. "Kenapa? Karena Kelas Bintang adalah aset berharga EIS?"
"Kamu sudah tahu." Willard mengangkat tangan, memberikan kode kepada Surya untuk mengambil beberapa dokumen di mejanya. "Permintaan Kakek hanya satu. Kamu harus masuk Kelas Bintang. Bahkan kalau bisa, kembali ke tempatmu."
Tempat Jo yang asli. Ia mengerti maksudnya.
"Peringkat pertama," cetus Willard kemudian.
"Kakek tau aku nggak akan nurut."
"Tentu. Kakek sudah sangat tau pola pikir otakmu." Ia menyuruh Surya untuk memberikan dokumen di tangannya kepada Jo. "Maka dari itu, Kakek punya hadiah. Anggap saja ini hadiah ulang tahunmu bulan depan."
Jo mengerutkan kening, melihat bagaimana Surya meletakkan dokumen bersampul map biru di atas meja. Ia meraihnya, membuka lembar demi lembar dokumen itu hingga menemukan banyak foto cetak seorang gadis.
"Kakek tau selama ini kamu selalu mengawasinya." Willard bertepuk tangan singkat. "So proud of you, Jonathan. Tapi kamu melewatkan sesuatu, bahwa Kakekmu ini tidak akan tinggal diam."
Tangan Jo gemetar saat membaca dokumen yang diberikan Surya. Tanpa sadar ia mulai meremasnya kuat, beralih menatap Willard marah.
"Maksudnya apa?" Suaranya memberat.
"Kakek tau kamu paham. Kamu pasti sudah bertemu dengannya di sekolah, kan?" Willard tersenyum miring, semakin memancing emosi Jo. "Pikirmu dia datang karena kebetulan?"
Jo mengusap rambutnya frustasi.
Ini salah. Dia tidak mungkin membuat semuanya menjadi kacau. Tangan Jo terkepal kuat.
"Aku udah pernah bilang. Jangan pernah bawa-bawa dia!"
"Dia hadiah ulang tahunmu, Jonathan. Kamu suka?"
Jo ingin sekali memukul kakeknya. "Sekali Kakek sentuh dia, aku nggak akan diam aja."
Willard beranjak berdiri. Ia berhenti di hadapan cucunya, mendaratkan tangan untuk menepuk pundak Jo. "Sekarang dia ada di tangan Kakek. Jangan buat lebih banyak masalah lagi. Oke?"
"Berengsek!"
Bola mata Willard melirik tangan Jo gemetar di sisi tubuhnya. Urat-urat itu terlihat menonjol seolah siap untuk melayangkan pukulan.
"Kakek tidak minta banyak. Besok kamu harus ikut Ujian Kelas Bintang. Kembali ke tempatmu yang sebenarnya, Jonathan. Pilihan ada di tanganmu."
Willard pergi, diikuti oleh Surya di belakangnya. Jo beranjak melayangkan kepalan tangan hingga memecahkan vas di ruang itu. Bola matanya menggelap sempurna.
"Sialan!"
Jo tahu, kakeknya tak pernah main-main. Wajahnya kini sudah berantakan, bahkan penampilannya jauh dari kata baik-baik saja. Ia berteriak keras, melampiaskan segala amarah di dalam dirinya yang terkurung sejak tadi. Bunyi benda pecah terdengar saling bersahutan.
Jo mengamuk seperti monster.
Di luar, Willard berhenti. Matanya memperhatikan Jo yang mengamuk di dalam ruangannya, melempar semua benda tanpa ampun. Ia beralih menatap Surya.
"Kunci pintunya."
.
Hari ujian akhirnya tiba. Tak seperti berita cuaca yang mengatakan bahwa hari ini akan cerah, langit berawan mendung terlihat berlomba-lomba menurunkan air tampungannya. Beberapa murid sudah berangkat, memeriksa ruangan ujian yang sudah dibagi oleh panitia pelaksana.
Jiya sampai di sekolah lima belas menit sebelum bel berbunyi. Ia berlari kecil di bawah payung merah muda, menahan air hujan untuk tidak mengenai seragam.
Begitu sampai di koridor, Jiya mengambil ponsel untuk melihat di mana ruang ujiannya berada. Hampir seminggu sekolah di EIS masih belum membuatnya hapal area ini. Maklum saja, EIS itu luas.
"Ruang 03," gumamnya panjang sembari mengangkat wajah dan menunjuk setiap ruangan di sepanjang koridor. "Itu dia!"
Di ruang ujian sudah ada beberapa murid. Setengahnya berasal dari kelas Jiya, sedangkan sisanya dari kelas sebelah. Kaki Jiya membawanya menuju kursi yang sudah disediakan oleh panitia ujian, lekas duduk sembari melihat sekitar.
Jiya mengucap kagum dalam hatinya, sadar seluruh penghuni ruangan ini sedang fokus bersama buku masing-masing. Tidak ada satu orang pun yang menganggur, kecuali dirinya. Beradaptasi dengan keadaan, Jiya ikut mengeluarkan buku Matematika dari dalam tas.
"Jiya?"
Kepala Jiya terangkat untuk melihat sosok gadis berambut pendek berdiri di samping meja. Matanya langsung melebar saat tahu sosok itu adalah Aga.
Sudut bibir Aga terangkat, menciptakan senyum miring yang tampak mengerikan di mata Jiya. Mungkin hanya perasaannya saja, tapi Jiya merasa Aga tidak suka dengan kehadirannya.
Gadis langganan ruang BK tersebut memalingkan wajah, berjalan pergi dan duduk tepat di belakang Jiya. Diam-diam ringisan kecil terbit di bibir Jiya. Dia tidak tahu Aga satu ruangan dengannya. Beruntung dua komplotan Aga yang lain-Rey dan Jo-berada di ruang sebelah.
Tak berselang lama, dua orang pengawas datang. Hebatnya, pengawas itu bukan berasal dari EIS. Rupanya EIS menyewa pengawas ujian dari luar, mungkin untuk mengantisipasi bila ada kecurangan pasca ujian. Kepala Jiya mengangguk, semakin percaya bahwa Kelas Bintang memang sangat penting bagi sekolah ini.
"Melihat kursi ruangan ini penuh, artinya tidak ada yang berhalangan hadir. Kami akan membagikan presensi pada nomor urut ujian 001, kemudian digilir ke urutan selanjutnya. Silakan semua barang termasuk buku dan HP dimasukkan ke dalam tas, lalu letakkan di loker depan. Di atas meja hanya diperbolehkan ada satu pulpen," ujar pengawas satu setelah memperkenalkan diri.
"Kalian pasti tahu bahwa kami tidak akan menolerir kecurangan dalam bentuk apapun. Bagi yang ketahuan akan langsung diusir dari ruang ujian. Kalian tidak diperbolehkan keluar sebelum waktu habis," tambahnya.
Sepuluh menit sebelum ujian dimulai, pengawas dua membagikan tiga lembar kertas buram untuk melakukan perhitungan soal. Dilanjut daftar kehadiran peserta yang diserahkan kepada nomor 001.
"Silakan kalian log in dengan akun sekolah masing-masing. Jika sudah waktunya mengerjakan, kalian bisa langsung klik tombol 'Mulai Mengerjakan'. Hanya ada satu paket ujian dan terdiri dari 60 soal pilihan ganda peminatan. Untuk jurusan IPA, masing-masing peminatan ada 15 soal. Waktunya 120 menit. Durasi pengerjaan bisa lihat di pojok kanan atas. Ada yang ingin ditanyakan?"
Pengawas satu menunjuk ke arah Jiya, padahal dia tak mengacungkan tangan.
"Apa ada soal tambahan, Pak?"
Rupanya Aga.
Tapi, apa maksudnya dengan soal tambahan? Jiya berusaha mengingat, tapi dia tak pernah dengar Ujian Kelas Bintang memiliki soal tambahan selain 60 pilihan ganda materi peminatan.
Pengawas satu hanya menunduk untuk merapikan dokumen tata tertib ujian di tangannya, lalu menjawab, "Kalian akan tau nanti."
Jiya bisa mendengar jelas umpatan lirih dari bibir Aga.
"Jika tidak ada pertanyaan lagi, Bapak anggap kalian semua paham. Kita berdoa terlebih dulu supaya ujian ini berjalan lancar. Berdoa, mulai."
Hening. Semuanya menundukkan kepala.
"Berdoa selesai. Saya akan membacakan tata tertib secara singkat. Kalian tentu tau garis besarnya seperti apa." Lima menit menuju pengerjaan ujian, pengawas satu membacakan tata tertib yang wajib dipatuhi peserta.
Sembari mendengarkan, Jiya masuk web pengerjaan ujian dengan memasukkan akun sekolahnya. Beruntung dia langsung membuat akun sekolah satu hari setelah menjadi murid EIS. Di layar komputer, terdapat tampilan warna emas dengan logo Kelas Bintang.
Jiya menekan tombol 'Ujian'. Ia bisa melihat profil dirinya, kemudian durasi mundur dari waktu dimulainya ujian. Hanya tersisa satu menit, lalu tiga puluh detik, hingga detik-detik sisanya pun menghilang.
"Ujian Kelas Bintang dimulai. Selamat mengerjakan dan good luck!"
.
Waktu terus berjalan dan saat ini menyisakan setengah jam. Jiya sudah selesai dengan ujiannya. Dia bersyukur peminatan Fisika tidak terlalu susah dan masih bisa dijangkau. Materi yang keluar basic dan sudah pernah dipelajari saat kelas sebelas. Kimia dan Biologi sama, hanya saja beberapa soalan Biologi mengangkat isu mengenai kesehatan masa sekarang yang lebih spesifik.
Untuk Matematika, Jiya percaya diri dengan jawabannya.
Namun sekarang pikiran Jiya berkecamuk. Dia teringat permintaan Rey kemarin saat mereka bertemu di indoor.
Ah, sepertinya ia harus menyebut permintaan itu sebagai suatu ancaman.
Bagaimanapun, Jiya tak akan membiarkan rahasianya tersebar ke seluruh penjuru sekolah. Tidak hanya mendapat resiko drop out, tapi mentalitas yang ada di dalam dirinya juga terancam. Jiya bisa terkena bullying.
Ia menghela napas panjang, menekan mouse berkali-kali. Jawabannya sudah diperiksa, mengulang terus dengan hati bimbang. Ancaman Rey masih terngiang jelas di benaknya. Tangan Jiya gemetar begitu mengingat kembali kejadian beberapa tahun lalu.
Bila memori manusia bisa diotak-atik, Jiya akan mengisolasi sebagian ingatannya.
Dasar jahat!
Jauh-jauh deh, dia bisa bunuh orang!
Lo pembunuh!
Jiya memejamkan matanya. Dia ingin sekali membuang semua perkataan itu dari otaknya.
"Waktu tinggal lima belas menit."
Tatapan mata Jiya beralih pada jam dinding. Beberapa anak di ruang ujian bergegas menjawab soal yang masih belum terpecahkan. Sebagian dari mereka memilih untuk menembak jawaban. Ada juga yang sudah selesai, terus mengulang dalam menekan tombol mouse untuk memeriksa jawabannya.
Jiya menggigit bibir.
Besok lo harus gagal Ujian Kelas Bintang.
Gimana kalo gue sebar ke grup angkatan?
Bukannya seru kalo lo bahkan nggak punya kesempatan ikut ujian lainnya?
Shit!
Layar komputer Jiya kembali ke halaman awal, menampilkan mata pelajaran Kimia. Tangannya bergerak perlahan mengganti jawaban dari B menjadi A. Beralih ke pertanyaan lain, Jiya kembali mengubah jawaban.
"Nilai dia harusnya lebih bagus dari gue nggak, sih?" gumamnya lirih, sedikit kesal. Rey mungkin menganggapnya sebagai saingan, tapi Jiya sendiri tidak tahu apa dia layak menjadi saingan Rey.
"Bodo, ah. Gue ganti jawaban yang gampang aja, biar skor nggak beda jauh." Jiya mengangguk. Dia tak akan membiarkan nilainya berada di atas Rey, tapi dia juga tidak akan mengorbankan usaha belajarnya.
Jiya harap pemikirannya sudah benar.
"Sepuluh menit tersisa."
"Nomor peserta 078 didiskualifikasi."
Beberapa anak saling menengok kebingungan mendengar informasi tiba-tiba dari pengeras suara sekolah di pojok ruangan ujian. Jiya sendiri tertegun di tempat, tak menyangka pendiskualifikasian peserta akan dibeberkan secara langsung.
"Nomor peserta 025, 049, 156 didiskualifikasi."
Dua orang dari ruangan Jiya bangkit dari duduknya setelah pengawas dua menyuruh mereka untuk keluar.
"Nomor peserta 103 dan 176 didiskualifikasi."
"Nomor peserta 094, 217, 324 didiskualifikasi."
Jiya menundukkan wajahnya dan berkali-kali menggumam, "Gila."
"Fokus! Waktu tinggal lima menit."
Ia meneguk ludahnya susah payah, kembali mengganti jawaban persoalan Fisika. Sudah ada lima soal yang ia ubah. Jiya tak yakin dengan hitungan skor miliknya, sebab tes ini tidak memberikan bocoran skor tiap soal.
"Nomor peserta 136 didiskualifikasi."
Di belakangnya, berulangkali Aga mengumpat lirih. Ia menatap gelisah jawabannya di layar komputer. Giginya menggigit bibir bagian bawah, sampai Aga mengaduh tipis begitu ada darah keluar.
Sial!
"Ini apa?" Aga menatap berkas dokumen di atas meja yang baru saja Juanda berikan. Ia mengerutkan kening saat membukanya. Bola mata Aga melebar. "Pi?"
"Hapalkan semua jawaban itu. Tidak mudah Papi mendapatkannya," perintah Juanda cuek.
Aga menatap ayahnya tak percaya. "Papi nyuruh aku curang?"
"Waktumu tidak banyak, Agatha. Cepat ke kamar! Ujiannya dimulai besok."
"Papi!" teriaknya. Tangan Aga gemetar melihat tatapan tajam Juanda yang begitu menusuk. "Aku nggak mau curang."
"Kenapa nggak mau?" tanya ayahnya datar. "Kamu sudah banyak menciptakan masalah buat Papi, kan. Kenapa nggak sekalian saja?"
Aga menggelengkan kepala. "Aku tetep nggak mau."
"Yakin kamu bisa masuk Kelas Bintang tanpa bantuan Papi?"
"Aku bisa." Ia mengangguk yakin.
Senyum miring terbit di bibir Juanda, meremehkan jawaban yang diberikan putrinya. "Hanya lima orang beruntung, Agatha. Berapa peringkat kamu selama empat semester terakhir? Kamu bahkan nggak bisa masuk lima puluh besar."
"Itu karena aku nggak niat, Pi."
"Terserah kamu. Papi hanya membantu. Kalau kamu tetap keras kepala, pilihan ada di tanganmu. Bertahan di sini atau jadi gelandangan di luar sana."
Aga menunduk. Tanpa sadar kukunya menancap di sudut jari hingga lagi-lagi mengeluarkan darah, membentuk luka bersama dengan bekas luka lain. Ia menggelengkan kepala pelan.
Nggak akan ketahuan.
Lo aman, Aga.
Nggak ada yang tau.
"Waktu habis. Tolong kumpulkan kertas buram yang ada di meja kalian." Pengawas satu berdiri di depan, memberikan pengarahan kepada para peserta.
Suara bel terdengar, tapi bukan bel sekolah biasa, melainkan bel dari pengeras suara tanda pengumuman. Mereka semua terdiam menunggu pembicara mengatakan sesuatu.
"Selamat pagi, Anak-anak peserta Ujian Kelas Bintang. Sebelumnya perkenalkan, saya Grace, pembimbing utama Kelas Bintang yang akan memberikan satu persoalan tambahan sebagai pelengkap skor sempurna."
Aga langsung mengumpat dalam hatinya. Meski sudah menduga, tapi dia tidak yakin mampu menjawabnya. Juanda juga tidak memberikan bocoran terkait dengan soal tambahan ini.
Jiya di depan mengerutkan kening, tak paham dengan maksud dari pengumuman barusan.
Persoalan tambahan?
"Skor untuk satu soal yang akan saya ajukan sebesar 100 poin."
Jiya melotot terkejut. 100 poin bukan skor sedikit. Dia jadi penasaran dengan bobot nilai ujian 60 soal sebelumnya.
"Saya akan memberikan waktu berpikir selama tiga menit dan waktu menjawab selama dua menit. Gunakan lima waktu kalian dengan cerdas. Jika kalian memang pantas menjadi murid Kelas Bintang, maka kalian mampu mengerjakannya."
Lima menit untuk berpikir dan menjawab. Jiya tak yakin dia bisa.
"Pengawas akan memberikan satu kertas buram sebagai lembar jawab dan kalian bisa menjawab soal di kertas tersebut."
Pengawas dua rupanya sudah meletakkan selembar kertas buram di meja setiap peserta sejak mereka sedang fokus mendengarkan pengeras suara.
"Saya bisa melihat kalian semua dari sini. Jika kalian siap, silakan angkat tangan kanan."
Semua siswa mengangkat tangan kanannya, begitu pula Jiya yang sudah menarik napas panjang untuk kembali bertempur dengan soal tambahan dari Ms. Grace.
"Baik, saya akan mulai. Dengarkan baik-baik karena saya hanya akan mengajukan soal satu kali saja."
Seluruh murid di ruang 03 memegang pulpen mereka. Ada yang menundukkan wajah dan fokus pada kertas buram di atas meja.
"Persoalan tambahan Ujian Kelas Bintang terkait dengan pemahaman pola pikir tinggi seseorang."
"Suryabrata (Munandar, 1985) pernah mengutip karakteristik anak-anak berinteligensi tinggi yang dibuat oleh Department of Educational & Science di Inggris, salah satunya adalah mempunyai kemampuan superior dalam penalaran, abstraksi, generalisasi dari kenyataan khusus, pengertian, dan memiliki kemampuan melihat suatu hubungan."
"Saya ingin Anda menjelaskan maksud dari karakteristik tersebut berdasarkan pendapat masing-masing. Lima menit dimulai dari sekarang."
Jiya mengerutkan kening.
Karakteristik apa tadi?
Dia rasa pernah membacanya dari jurnal yang ada di kamar Gibran.
Sedangkan di ruangan lain, Rey meremas pulpennya kuat setelah Ms. Grace memberikan soal melalui pengeras suara. Dia memang pernah membaca kutipan karakteristik anak-anak berinteligensi tinggi dari Suryabrata, tapi belum mampu menerjemahkan maksudnya.
Pulpen Rey bergerak di atas kertas buram, menuliskan semua hal yang dia tahu tentang karakteristik itu. Beruntung Ms. Grace memberikan keringanan dengan menjawab soal berdasarkan gagasan pribadi, jadi di sini tidak ada jawaban salah.
Meski begitu, Rey harus mampu mendapatkan banyak poin dari soal ini. Hanya ada jawaban tepat dan kurang tepat. Mustahil memperoleh 100 poin karena soal yang diajukan Ms. Grace berupa analisa. Rey perlu berpikir kritis. Dia menggunakan tiga menitnya bersamaan untuk memikirkan jawaban dan menuangkannya pada kertas buram.
Sampai dua menit tersisa, Rey menghembuskan napas lega. Dia puas dengan jawabannya sendiri. Tanpa sadar Rey menoleh ke samping, melihat sosok Jo menidurkan kepalanya santai.
Rey menggeleng heran. Jika Jo tak niat mengikuti ujian ini, seharusnya bolos saja sekalian.
"Apa liat-liat?" tanya Jo singkat.
Rey memberi kode untuk diam, lalu menunjuk kertas Jo yang masih kosong melompong. Bola mata Jo membentuk gerakan memutar.
"Satu menit tersisa."
Pemuda peringkat paling bawah itu bangkit, meregangkan kedua tangannya. Jo meraih pulpen, memberikan jawaban singkat dan kembali menidurkan kepala.
Rey yakin, peringkatnya bisa bertahan. Jo tidak mungkin bisa merebut tempatnya, sedangkan Jiya pasti menggagalkan diri supaya rahasianya aman.
"Waktu habis. Silakan kalian kumpulkan lembar jawab masing-masing kepada pengawas."
Rey yakin, ia menang.
.
"Akhirnya satu beban hidup gue bisa selesai!" Mela merentangkan tangan dengan bahagia. Jiya hanya terkekeh sambil memutar sedotan susu stoberi kesukaannya.
"Gimana soalnya tadi?"
"Lumayan menurut gue, sih. Untungnya gue udah belajar mati-matian, padahal niat awal mau cap cip cup aja," jawab Mela santai. Gadis itu mengambil saus di atas meja.
"Kaget nggak sih, di ruangan gue tadi rame banget." Jiya masih mengingat jelas bagaimana ruang 03 sedikit ribut saat mendengar banyak murid didiskualifikasi.
Mela mengangguk setuju. "Gue kaget banget, asli. Nggak main-main, nih. Tadi di gedung IPS juga banyak yang keluar."
"Mereka ketahuan curang?"
"Jelas, Ji. Nggak habis pikir, deh. Padahal dari kemarin udah dibilang kalo kecurangan dalam bentuk apapun nggak akan ditolerir."
"Dalam bentuk apapun, ya?" Jiya termenung. Ia jadi penasaran. "Menyalahkan jawaban itu termasuk curang nggak, sih?"
"Hah?" Mela menatap ke samping untuk berpikir lama. "Manipulasi jawaban dari benar ke salah maksud lo?"
Jiya mengangguk.
"Emang ada yang begituan?" Mela tertawa. "Yang bener aja, lo. Lagian orang mana yang menyalahkan jawaban sendiri?"
Ada, Mel. Gue orangnya.
Jiya menghela napas panjang. "Mereka yang diusir dapet sanksi apa?"
Kedua bahu Mela terangkat tak tahu. "Mungkin cuma dikasih poin pelanggaran. Nggak sampai dikeluarkan dari sekolah, sih, Ji."
"Gimana caranya bisa ketahuan coba? Apalagi yang didiskualifikasi tadi nggak sedikit."
"Mereka ngawasin ujian. Seluruh ruangan dikasih CCTV." Mela menyuarakan jawabannya. "Bu Laras dan guru lainnya pasti ngawasin kita dari ruang guru, makanya banyak yang ketahuan."
Jiya mengangguk-angguk mengerti. "Lo mau masuk Kelas Bintang, Mel?"
Mela mengangguk. "Siapa sih yang nggak mau masuk kelasnya anak jenius, Ji? Gini, nih. Lo tau kan kalo bokap gue itu tegas banget?"
Jiya membenarkan. Dia pernah main ke rumah Mela satu kali dan bertemu dengan ayahnya. Aura yang dipancarkan ayah Mela bukan main-main, rasanya kaki Jiya mati di tempat. Dia tidak kuat dengan tatapan tajam di wajah paruh baya itu.
"Nah, Papa juga pengin gue masuk Kelas Bintang. Ya gue harus masuk, dong."
"Oh, gitu." Bibir Jiya manyun mendengarnya. "Beruntung ya didukung sama bokap lo. Bang Gibran larang gue masuk malah."
Mela tersedak. "Serius, Ji?"
"Serius, lah."
"Terus kalo lo lolos gimana?"
Jiya menggeleng lesu. Dia juga tak tahu harus bagaimana. "Gue pengin masuk. Ini satu-satunya cara aman biar bertahan di EIS."
"Bertahan di EIS?" Mela mengerutkan kening tak mengerti.
Jiya mengangguk.
Pacaran sama Jo itu cara yang kedua. Nggak aman sama sekali.
"Haduh, turut berdukacita ya, Beb. Bang Gibran mungkin nggak mau pisah jauh sama lo, khawatir gitu. Kalo jadi murid Kelas Bintang kan harus tinggal di asrama."
Jiya mencebik kesal, tak percaya dengan omongan Mela. "Justru di asrama gue aman tau. Dia di rumah aja jarang, kan."
"Iya juga, sih." Mela mengangguk-anggukkan kepala. Melihat sahabatnya semakin murung, ia merangkulkan tangan. "Jangan badmood gitu, dong. Pulang sekolah ke mall, yuk? Gue punya incaran sepatu baru, Ji. Sekalian kita cuci mata di sana, niscaya semua stress bakal menghilang."
Mata Jiya hanya melirik tanpa minat. "Males, ah."
"Ih, lo kebiasaan, deh! Sekali-kali gitu cari wajah bening di mall, siapa tau bisa jadi pacar. Sekali dayung, tiga pulau terlampaui. Sepatu dapet, stress ilang, nemu pacar."
Jiya menggelengkan kepala. "Gue udah ada pacar, Mel."
Ia menghabiskan susu stroberi di atas meja, lalu tersedak saat sadar atas apa yang dikatakannya barusan. Perlahan, Jiya mendongak dan mendapati Mela diam dengan mulut terbuka kaget.
Ups, keceplosan.
.
Brak!
Rey membuka pintu markas kasar. Dia mengedarkan pandangan sampai berhasil menemukan sosok gadis tengah duduk di pojokan.
"Aga!"
Bergegas kakinya menghampiri Aga, melihat seberapa banyak gadis itu mengacaukan dirinya sendiri. Rey berdecak saat melihat luka berdarah di telapak tangan Aga. Pecahan gelas yang berserakan di markas menjadi jawabannya.
Perlahan, Rey meraih lembut tangan Aga yang gemetaran. Ia beralih pada wajah, menangkupnya dan menatap mata itu.
Kosong. Aga tidak fokus.
"Aga? Hei," bisiknya pelan.
Kepala Aga menunduk, membiarkan air matanya turun tanpa isak tangis. "Rey."
"Kenapa? Ada yang sakit?"
"Sakit banget." Aga menyentuh dadanya. "Rasanya sakit banget."
Tangan Rey bergerak ke belakang, membawa gadis itu pada pelukannya. Dia memberikan ketenangan, membuat Aga kembali merasa sakit.
"Gue salah, Rey. Gue harus gimana?" Aga menatap tangannya yang berdarah. "Tangan gue jahat. Gue nggak pantes lolos."
"Jangan buat luka baru lagi, Ga. Gue udah pernah bilang, kan?"
Aga menggeleng. "Rasanya sakit, tapi nggak ada darah yang keluar. Itu lebih menyiksa, Rey. Lo paham."
"Nggak gini caranya. Lebih baik lo marah."
"Nggak guna."
"Aga," panggil Rey. Ia menguraikan peluk dan menatap Aga dalam. "Berhenti kasih luka buat diri lo."
Aga mengusap wajahnya sendiri, membiarkan ada darah di sana. "Nggak bisa, Rey. Susah!"
"Dicoba, Ga."
"Lo kira gue nggak pernah nyoba nahan diri?" Aga mendesis kesal. "Gue kesiksa kalo nggak gini, Rey."
"Masalahnya apa?"
Aga diam. Dia menghembuskan napas frustasi. "Papi kasih gue bocoran soal ujian."
"Apa?"
"Soalnya sama persis."
Rey tertegun.
"Gue nggak bisa tenang, Rey. Nggak ada yang tau dan gue nggak didiskualifikasi. Gue aman, tapi rasanya sakit."
Tatapan Aga berhenti pada Rey, melihat pria itu hanya diam. "Rey?"
"Lo dapet bocoran?"
Kepala Aga mengangguk.
Rey mengusap wajahnya sendiri. Masalah Jo dan Jiya selesai, tapi dia tak tahu bila Aga mendapatkan bocoran soal. Meski ini Aga, gadis yang dia suka. Tetap saja, Rey merasa terancam. Dia bisa kalah.
.
Tbc
haiiiii!!!
Rey dan ambisinya aduhhh wkwkwk.
btw, coba kalian liat part 1, deh. itu termasuk spoiler, loh, hehehehehehh.
secara nggak langsung, aku udah kasih tau kalian kalo kedatangan Jiya sbg murid baru itu emang disengaja, bukan kebetulan. wkwkwkwk, ada yg pernah nebak kalo Jiya dateng ke EIS krn maksud tertentu nihh.
pinter deh kaliannnn....
itu kenapa Jo bisa ikut ujian coba?? padahal kemarin udah didiskualifikasi langsung sama Bu Laras, lohhh....
next?
menurut kalian, siapa 5 murid yg bakal lolos?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top