bab 3

.

"Abang sudah ujian kenaikan kelas 12, ya."

Awal topik yang dibahas Rangga malam itu menghentikan gerak sendok Rey yang tengah mengumpulkan sesuap nasi untuk makannya.

"Iya, Ayah. Abang dapet juara satu lagi di sekolah, loh." Katya duduk di samping putranya setelah menempatkan sepiring dessert sebagai makanan penutup. Ia mengelus pucuk kepala Rey dengan penuh rasa bangga. "Anak Bunda pinter, deh."

"Rea juga dapet juara satu!" Bocah perempuan berumur 10 tahun menyeletuk sambil mengangkat sendoknya. "Rea nggak kalah pinter sama Abang kan, Bun?"

Katya terkekeh kecil, menepuk pipi gembul putri terakhirnya. "Nggak, dong. Anak Bunda semuanya pinter."

"Abang udah tau mau ambil jurusan mana?"

Hening.

Rey mengambil air minumnya.

"Kedokteran, Yah."

Rangga tersenyum. "Bagus. Tapi jadi peringkat satu seangkatan nggak menjamin diri bisa masuk kampus bergengsi dengan studi yang berbobot seperti kedokteran. Abang tau maksud Ayah, kan?"

Rey mengangguk. "Abang tau, Yah."

"Minimal kamu harus bisa seperti Kakakmu, peringkat pertama Ujian Nasional se-Indonesia."

Berat.

Ia tahu, bebannya semakin memberat. Membuat Rey sadar bahwa jalan yang dia ambil sejak awal memang bukan jalan beraspal yang lurus.

"Iya, Yah."

"Kamu pasti kuliah di luar negeri, jadi harus banyak prepare. Apalagi sekarang kamu sudah kelas akhir, perbanyak les sama tingkatkan jam belajar biar nilai kamu terus naik. Ayah sama Bunda pengin liat kamu berhasil nanti, Bang."

Rey tahu. Sangat tahu.

Apa yang diinginkan kedua orang tuanya adalah hal mutlak yang harus dia gapai.

"Semuanya demi kebaikan Abang. Apapun yang Abang butuh untuk kegiatan belajar Abang, bilang aja ke Bunda, ya," tambah Katya.

Dan Rey hanya mampu mengangguk seperti biasa. Dia senang keluarganya menaruh harapan yang tinggi kepadanya. Rey akan membuktikan bahwa dia bisa melakukan hal itu.

"Gimana sama peringkat Jo?"

Tapi lagi dan lagi, satu nama yang membuat suasana hati Rey buruk setiap ayahnya membicarakan nilai dan peringkat adalah Jonathan Anderson, temannya sendiri.

"180," jawabnya dengan angka. Memberi penegasan bahwa Jo kembali mencetak rekor sebagai penempat peringkat terakhir.

Rangga menghela napas. "Kamu nggak boleh lengah meski Jo masih peringkat paling bawah, Bang."

Sudut bibirnya sedikit naik.

Rey tidak pernah membayangkan, bahwa ayahnya akan membandingkannya dengan seseorang yang menduduki peringkat paling bawah. Terus mengatakan bahwa Jo bukan orang yang patut Rey remehkan.

"Jo masih peringkat terakhir di sekolah, Yah."

Rey memutuskan untuk buka suara. Memberi sinyal supaya Rangga peka untuk tidak membandingkan mereka lagi atau dia benar-benar akan memutus hubungan dengan Jo karena kesal ayahnya selalu memihak cowok itu.

"Ayah tau. Tapi kamu, bahkan sampai sekarang, belum mampu menyamai kemampuan Jo dalam mengasah dan memanfaatkan otak."

Secara garis besar, Rangga mengistimewakan Jo karena dia memiliki IQ yang lebih tinggi daripada putranya sendiri.

"Bahkan jika Jo mau, dia bisa menjadi peringkat pertama se-Indonesia sejak dulu."

Seperti biasa, Rey hanya ingin makan malam ini berakhir dengan cepat.

"Ayah mau Abang jangan memikirkan hal selain belajar untuk sekarang supaya lebih fokus mengejar nilai. Oke, Abang sudah dapat peringkat pertama di sekolah. Pertahankan itu, dan coba Abang capai prestasi yang lebih lagi. Naikkan standar pencapaian Abang setinggi mungkin. Cuma peringkat pertama seangkatan nggak cukup buat masuk kedokteran. Abang paham, kan?"

Rey menoleh ke arah Katya yang sedari tadi hanya diam mendengarkan dan mendukung perkataan suaminya. Dia tersenyum, menatap Rangga sembari berujar, "Iya, Ayah."





bab 3
[ they came into my life without my permission ]

"Jiya!"

Gadis itu menoleh saat namanya dipanggil. Ia bergegas mendekat ke arah wanita cantik dengan rambut diikat ke atas dan pakaian rapi di meja kasir.

"Iya, Mbak?"

Rara seumuran dengan kakaknya, bekerja sudah hampir tiga tahun di Amor Cafe. Tangannya terjulur untuk menyerahkan secarik kertas berisi dua judul lagu.

"Udah ada yang request. Lo panggil Keno sama Bisma di belakang, gih," ujarnya tersenyum. Sangat senang karena sebentar lagi ia akan mendengar suara indah Jiya di atas panggung kecil kafe ini.

Jiya menerima kertas tersebut, membacanya dalam hati.

I Like Me Better by Lauv.

Kepalanya mengangguk. Lagu populer ini sudah dia hapal di luar kepala. Keno dan Bisma, dua orang partner yang ikut bermain musik sebagai pengiring juga pastinya paham.

Lagu kedua.

Moments by Christopher.

Mata Jiya mengerjap. Sudut bibirnya turun mendatar, menyelam dalam lirik-lirik yang perlahan seakan diputar di kepalanya. Hingga detik berlalu dan bibirnya menerbitkan senyum tipis.

"Siapa yang request lagu kedua, Mbak?" tanya Jiya seraya memperhatikan seisi kafe yang sudah penuh oleh pelanggan. Sebagian besar Jiya familiar dengan wajah mereka karena sering datang ke Amor Kafe.

"Itu, cowok yang duduk paling pojok."

Jiya menoleh cepat, menyipitkan mata melihat sosok jangkung tengah memainkan ponsel. Di mejanya ada segelas ice americano.

"Iya, yang mukanya keliatan serem, matanya juga agak sipit," jelas Rara lebih detail. "Tapi ganteng," lanjutnya cekikikan.

Jiya hanya balas dengan decakan, tak heran sebab ia juga mengakui pernyataan Rara.

"Lo kenal orangnya, Ji?"

Ia menjawab dengan gelengan. "Nggak sih, Mbak. Cuman penasaran aja, ini lagu gue juga suka soalnya."

Rara membulatkan mulutnya paham. "Ya udah gih, sana. Ganti dulu baju lo."

Jiya mengangguk menurut. Ia bergegas ke belakang, memanggil Keno dan Bisma yang sama-sama seorang mahasiswa tingkat dua. Artinya mereka dua tahun lebih tua darinya. Kalau boleh jujur, Jiya adalah pekerja termuda di kafe ini.

"Bang Keno, Bang Bisma! Ayok manggung!" riangnya setelah mengganti pakaian.

Terlihat dua orang pria datang. Keno memiliki tubuh paling tinggi di antara ketiganya. Ia gitaris yang sudah dikenal banyak orang karena aktif juga dalam dunia sosial media. Sedangkan Bisma lebih sering dikenal karena rambutnya yang asli warna pirang.

"Lagunya apa, Cil?"

Jiya sudah menganggap keduanya seperti kakak sendiri. Tak berbeda dengan Keno dan Bisma yang juga menganggap Jiya sebagai adik perempuan mereka.

"I Like Me Better sama Moments."

Bisma mengerutkan kening. "Moments lagunya Christopher?"

Jiya mengangguk. "Kita udah hapal kan sama lagunya."

"Hapal, lah. Orang tiap bulan pasti ada yang request ini," kekeh Keno. "Siapa sih yang request, Cil? Kepo gue sama orangnya."

Sedikit informasi, Keno ini pacarnya Mela, sahabat Jiya. Katanya, mereka kesemsem waktu Mela sering nungguin Jiya di Amor Kafe.

Kedua bahu Jiya terangkat tak tahu. "I don't know. Buruan, Bang. Gue abis ini masih ada urusan."

"Nge-date ya, lo?" ledek Bisma.

Jiya mengeluarkan cibiran kesal. "Date dari Hongkong? Kerjain tugas lah, emang kalian?"

Keno terkikik geli. "Iya-iya, yang baru pindah ke EIS, nih. Sombong banget duh Bu Bos!"

"Emang EIS sebagus itu?" Bisma menggaruk belakang kepalanya. Dia baru pindah ke Jakarta setelah lulus dari SMA di Bogor, jadi tak terlalu tahu tentang sekolah-sekolah ternama kota ini.

"Cari aja di internet, bro. Buru naik, yuk. Tuh, Rara udah kode-kode dari tadi." Keno menunjuk Rara yang sibuk melempar lirikan, kadang matanya juga mendelik ke samping menyuruh ketiganya lekas naik.

Jiya akan memperkenalkan sedikit tentang pekerjaan yang disukainya. Ia mulai kerja part time di Amor Kafe dua tahun lalu. Awalnya hanya kerja di belakang, membantu pelayan menyiapkan pesanan lalu mengantarkan ke meja pelanggan.

Amor Kafe dibangun sudah hampir lima tahun. Jiya di sini merangkap menjadi penyanyi kafe bersama Keno dan Bisma saat pemiliknya mengusulkan untuk membuat panggung. Sebab saat itu sedang marak kafe yang menyuguhkan penampilan live band.

Beruntung Jiya cukup percaya diri dengan suaranya dan dia diperkenankan untuk manggung bersama Keno serta Bisma. Jiya sebagai vokalis, sementara kedua partner-nya sebagai gitaris. Seadanya saja, tapi semua itu cukup membuat pelanggan betah karena mendengar merdunya suara Jiya.

Tak jarang juga Jiya mendapat tip dari orang-orang yang terkesan mendengar nyanyiannya. Ia juga senang melakukan pekerjaan ini. Seluruh pekerja Amor Kafe sudah Jiya anggap seperti keluarganya sendiri.

"Abis manggung lo langsung pulang?" tanya Bisma saat selesai mengalungkan tali gitarnya.

Jiya yang sedang memeriksa mikrofon lantas menggeleng. "Ke rumah temen, Bang. Kerja kelompok di sana."

"Bang Gibran emang nggak di rumah, ya?" Giliran Keno yang bertanya.

"Enggak, lah. Masih di kantor dia."

"Lo ke rumah temen naik apaan, Cil? Kan nggak ada motor."

Jiya memutar bola mata. "Ngesot."

Bisma menggeleng-gelengkan kepala, sedangkan Keno berdecak pelan. Jiya mengedarkan pandangannya. Ia selalu tersenyum senang saat sudah berada di depan mikrofon.

"One, two, three!"

Keno mulai memainkan gitarnya, memetik senar itu dengan lihai. Bisma pun mengikuti, menunduk memadukan nada lalu mengangkat kepalanya dan tersenyum kepada pelanggan yang mulai bersorak.

Tangan Jiya terangkat menyentuh gagang mikrofon. Dagunya terantuk mengikuti alunan musik.

"To be young and in love in New York City."

Pelanggan bertepuk tangan begitu nyanyian Jiya terdengar, perlahan menikmati pesanan masing-masing sembari bernyanyi pelan mengikuti suara Jiya yang merdu.

Bahkan ada yang mengangkat tangannya untuk digerakkan ke kanan kiri, melambai dengan wajah cerah. Sepertinya dia yang request lagu ini, kentara sangat bersemangat.

Jiya memejamkan mata saat meresapi lagu yang tengah ia nyanyikan. Terkadang ada suara Bisma yang ikut mengalun menyempurnakan cover lagu populer tersebut.

Bibir Jiya melengkung ke atas, tangannya bergerak melambai sampai beberapa pelanggan mengikutinya. Rara yang ikut menonton di meja kasir juga melambaikan tangan sambil sesekali ikut bernyanyi.

"Damn, I like me better when I'm with you."

Sore ini Amor Kafe ramai, penuh oleh pengunjung yang selalu menyempatkan diri untuk mendengarkan nyanyian Jiya sebelum mereka pulang. Sebagian besar adalah mahasiswa dan remaja SMA, tak jarang juga pekerja kantoran duduk memesan sembari menonton penampilan Jiya, Keno, dan Bisma. Menganggukkan kepala menikmati lagu dengan mulut penuh makanan.

"Better when, I like me better when I'm with you."

Begitu menyelesaikan lagu, sorakan dan tepuk tangan terdengar. Jiya bertanya sebentar kepada para pelanggan tentang penampilan mereka sebelum dia dan kedua partner-nya menyajikan lagu kedua.

Tanpa Jiya sadar, pintu kafe terbuka. Seseorang masuk, mengedarkan pandangan sejenak karena seluruh kursi penuh.

Rey melihat Jiya sedang berada di sebuah panggung kecil bersama dua pria memegang gitar. Gadis itu tampak senang.

Seharusnya Rey menunggu pesan dari Jiya sebelum menjemputnya. Tapi sekalian saja Rey mampir. Lagi pula ini pertama kali bagi Rey ke Amor Kafe.

Ia menganggukkan kepala melihat sekeliling, kafenya bagus.

Rey berdiri saja, pada akhirnya mengerutkan kening heran saat mendapati sosok yang dia kenal tengah duduk di kursi paling pojok. Dalam benaknya muncul banyak pertanyaan. Sebelah alis Rey pun naik, beralih menatap Jiya.

Jiya melempar kode kepada Keno dan Bisma untuk mulai menyanyikan lagu kedua. Mereka mengangguk, mulai memetik senar gitarnya.

Begitu musik terdengar, Jiya memejamkan mata.

"Please don't say a word.
'Cause they all have been said now.
Like a journey coming to an end."

Jiya membuka matanya, langsung bertatapan dengan Rey yang melipat tangan di depan dada. Pria itu berdiri di depan ambang pintu kafe.

Ia terus bernyanyi.

"You say let it run like the river.
Wild and without a care just like.
The days we were young and fumbling."

Pandangan Jiya berubah, beralih pada sosok jangkung dengan hoodie hitam di pojok kafe. Ia terbiasa menatap pelanggan yang request lagu saat sedang bernyanyi. Biasanya orang itu langsung pergi, tidak seperti sekarang yang masih diam duduk menikmati pesanannya. Jadi saat ini, Jiya dapat puas menatapnya.

Namun, entah kenapa, mata tajam itu membuat Jiya terpaku.

"Everything fades away.
Let it go by with the flow.
Really wish I could stay.
But you know me."

Entah kenapa, jantungnya seakan diremas sakit.

"All the moments we shared.
Are not going anywhere.
Never quite understood it.
When you told me."

Entah kenapa, matanya mulai berkaca. Kemudian terpejam.

"Just close your eyes.
And I be right by your side."

Jeda.

Matanya terbuka.

"Cause memories don't say goodbye."


.

"Sorry, lama nunggunya?" Jiya meringis seraya menghampiri Rey yang sedang duduk di kursi depan kafe. "Gue nggak telat, loh. Lo yang dateng duluan."

Rey terkekeh saja mendengar ucapan Jiya. "Santai aja. Gue pengin liat kafenya bentar."

Jiya membulatkan mulut. "Terus gimana?"

"Bagus, sih." Rey menganggukkan kepala dua kali. "Interior dalamnya cocok buat anak muda. Poin tambahnya ada lo."

"Hah?"

Sial.

Jiya langsung merutuki wajahnya yang berubah cengo.

Tawa cowok itu keluar, terdengar renyah di telinganya. "Maksudnya ada lo sama temen-temen lo yang manggung itu, cover lagu. Poin tambahnya di sana."

"Ah, iya." Jiya terkekeh kaku. "Kita berangkat sekarang?" tanyanya mencoba mencairkan suasana. Padahal dia sendiri yang merasa canggung.

"Lo udah izin ke Abang lo?"

Jiya mengangguk, tanpa ragu menunjukkan room chat dengan kakak laki-lakinya.


Bang Gibby
Sama siapa aja?

Cuma berdua

Tapi di rumahnya kan ada ibu sama adiknya

Sampe jam?

Nggak tau, sampe selesai tapi

Abang pulang jam 9

Nanti Abang jemput langsung

Kalo belom pulang, tunggu sana dulu

Asiap, Bos!


Rey menganggukkan kepalanya. "Abang lo kerja?"

"Iya. Dia lebih tua enam tahun dari gue," jawab Jiya sembari menambahkan informasi. Padahal Rey tidak bertanya.

"Kerja apa?" Rey melangkahkan kaki, lalu membukakan pintu mobil untuk Jiya.

Sedikit saja, Jiya terkejut dengan perlakuan itu. Ia melayangkan senyum terima kasih dan menjawab, "Dia jaksa. Masih baru, sih."

Rey membulatkan mulutnya, menebak-nebak kemungkinan Jiya pintar secara genetik. Kakaknya saja seorang jaksa yang ia tahu tak mudah menempuh pendidikan untuk meraih pekerjaan tersebut. Ia jadi penasaran seperti apa keluarga Jiya.

Cowok itu mulai menjalankan mobilnya. Selama perjalanan hanya ada percakapan kecil, hingga tak lama mereka sampai di kediaman keluarga Anggara.

Jiya turun, langsung menatap takjub bangunan berlantai dua di depannya. Di depan rumah Rey ada kolam ikan lengkap dengan air mancur, bahkan ayunan yang dipasang antara dua kayu kokoh juga membuat atensinya terpusat penuh.

"Ayo, Ji." Ajakan Rey membuyarkan lamunan gadis itu. Jiya meringis, malu.

Begitu Rey membuka pintunya setelah mengucap salam, seorang wanita cantik datang dan menyambut mereka dengan senyum hangat. Meski hanya mengenakan daster dan sandal rumahan, ditambah rambut ikat asal, wanita itu tampak anggun di mata Jiya.

"Sini-sini, masuk. Anggap rumah sendiri ya, Jiya."

Katya mempersilakan Jiya untuk duduk di sofa. Dia terus dibuat terkejut karena meja di depannya sudah penuh camilan dan buah-buahan, sedikit tak menyangka Katya akan menyambutnya sedemikian rupa hanya untuk kerja kelompok dengan Rey.

"Rea mana, Bun?" tanya Rey sembari melepas jaket kulitnya dan diletakkan di pojok sofa.

"Di atas, Bang," jawab Katya seadanya. Ia tersenyum ke arah Jiya, lalu menepuk pundak putranya dua kali. "Bunda ke atas dulu, ya. Kalo butuh sesuatu panggil aja."

Rey hanya balas mengangguk. Sedari tadi Jiya memperhatikan, sesekali melempar senyum kaku saat Katya menatapnya. Mendadak Jiya teringat ibunya sendiri. Jika ibunya masih hidup, mungkin beliau juga akan semanis Katya pada Rey.

"Gue ambil laptop dulu."

Jiya mengangguk membiarkan Rey pergi ke lantai atas. Pandangannya kini beredar. Foto berbingkai besar di dinding bagian tengah paling menarik perhatian, ada lima orang di dalamnya. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Ia bisa menebak dua orang di samping Rey dalam foto itu adalah kakak dan adiknya.

Ucapan Mela saat menceritakan keluarga Rey muncul di pikirannya. Seluruh keluarga Rey bekerja di bidang kesehatan. Ayah Rey, katanya, direktur rumah sakit ternama dan dokter terkenal. Lalu, Katya seorang dokter bedah. Saat perjalanan ke sini tadi, Rey memberitahu bahwa ibunya sudah memutuskan untuk resign sejak adiknya lahir. Ingin lebih dekat dan bisa merawat anak-anak dengan baik di rumah, kata Rey.

Kemudian, kakaknya adalah mahasiswi kedokteran di Berlin. Meski tidak heran karena Rey sendiri juga cukup pintar, tapi tetap saja Jiya terkejut. Bagaimana bisa satu keluarga sesempurna ini, pikirnya.

Atensi Jiya teralihkan dengan kedatangan Rey bersama dua buku besar dan satu laptop berlogo gigitan apel. Awalnya mereka akan ke perpustakaan kota, mencari buku referensi untuk mengerjakan tugas Biologi yang diberikan guru. Akan tetapi, nyatanya Rey sudah memiliki buku yang bisa mereka jadikan referensi. Bahkan katanya lebih lengkap.

"Gue cari materi yang fotosintesis, lo kemosintesis. Gimana?" usul Rey.

Jiya mengangguk saja. "Kemosintesis lebih dikit, kan? Lo butuh bantuan nggak?"

"Coba lo search penggolongan tanaman berdasarkan tipe fotosintesis, nanti bisa jadi tambahan."

Kening Jiya terlipat dalam, memutar otak karena sebelumnya pernah membaca tentang penggolongan tanaman yang dimaksud peringkat satu itu.

"Yang C3, C4, CAM?"

"Iya. Jelasin dikit perbedaan masing-masing."

"Oke. Ada lagi?"

Rey menyerahkan satu buku tebal dengan sampul bergambar struktur DNA kepada Jiya. "Itu aja dulu. Referensi bagian Anabolisme ada di halaman 405. Scan barcode di situ buat tau contoh soalnya."

Jiya terkejut, jujur, tak tahu Rey sampai hapal halaman buku tebal ini. "Mau dikasih contoh soal juga?"

"Tugas makalah gini di EIS biasanya kasih contoh soal, terus analisis bareng satu kelas. Yang penting gue sama lo tau jawaban dan asal-usulnya biar temen-temen lain bisa ngerti."

"Oke, paham-paham." Jiya menganggukkan kepala. Matanya makin sipit membuka buku dengan jumlah halaman nyaris seribu.

Ia sedikit melirik ke arah Rey yang sudah berkutat di depan laptop, mengetik dengan cepat tentang penjelasan umum tipe fotosintesis dan macamnya. Bahkan tanpa melihat ke arah buku, pria itu terlihat percaya diri mencurahkan isi otaknya dalam sebuah makalah.

Sekali lagi, Jiya mengaku. Rey membuatnya kagum.

"Lo udah baca buku ini?" tanyanya memecah keheningan sambil mencatat dalam ponsel materi mana saja yang perlu masuk ke dalam makalah mereka.

Rey mengangguk tanpa mengalihkan pandangan. "Udah dari kelas satu SMP."

Mulut Jiya terbuka, kepalanya mengangguk-angguk. Dalam hati ia menjerit, bahkan dirinya lupa kapan pertama kali diajarkan materi fotosintesis.

Ah, pantas saja Rey hapal halaman buku ini.

Cowok itu menoleh ke arah Jiya sekilas. "Kasih notes atau highlighter aja di bukunya, Ji. Biar nanti bisa langsung diketik."

Jiya menyatukan jari jempol dan telunjuknya, memberi kode setuju. Dia mengeluarkan highlighter biru muda dari dalam tempat pensil Rey, agak kaget karena isinya sangat banyak. Pantas saja tulisan Rey lebih rapi daripada tulisannya sendiri.

Mereka berkutat dengan tugas masing-masing, terkadang diselingi diskusi untuk membahas sub materi yang dimasukkan ke dalam makalah. Bahkan tak jarang Rey memberinya banyak fakta tentang materi yang sedang mereka gali.

Satu jam lebih berlalu, sekarang sudah hampir jam delapan malam. Jiya merentangkan kedua tangannya, selanjutnya menutup mulut karena kantuk. Matanya sengaja melirik Rey. Cowok itu sedang berkutat dengan printer.

"Bunda ngajak makan malem bareng. Lo nggak keberatan ikut, kan?" tanya Rey begitu menghampiri Jiya dengan satu tangan di saku celananya.

Jiya berpikir sejenak. Tugas mereka sudah selesai, masih jam delapan, Gibran pasti belum pulang kerja. Lagi pula Katya sangat baik padanya. Kepala Jiya lantas mengangguk, mereka pergi menuju ruang makan keluarga. Di sana sudah ada Katya yang sedang menyiapkan makan malam dan bocah perempuan duduk sambil bermain ponsel.

"Hapenya simpen dulu, Rea. Ada temen Abangmu ini, loh," tegur Katya begitu melihat kehadiran Rey dan Jiya.

Jiya hanya memasang ringisan saat Rea menatap ke arahnya. Dia sedikit tak menyukai tatapan penuh penilaian itu.

"Bang, ranking berapa?" tanyanya saat mengalihkan pandangan kepada Rey.

Sebelah alis Rey naik, melirik Jiya. "Dia?"

Rea mengangguk.

"Murid baru."

Jawaban singkat itu membuat bola mata Rea sedikit melebar, tapi selanjutnya langsung berubah datar. Jiya mengerutkan kening dalam diam, bertanya-tanya apa maksud percakapan mereka. Bingung mengapa gadis cilik di depannya penasaran dengan peringkat orang yang baru dikenal.

Rea berdehem kecil. "Salam kenal, Kak. Aku Rea."

Jiya mengulas senyum tipis. "Jiya. Rea kelas berapa?"

"Lima."

Katya meletakkan dua piring lauk di tengah-tengah meja. Jujur saja, Jiya merasa kagum dengan sosok wanita beranak tiga itu. Meski rumah keluarga Anggara sangat besar, bisa terbilang cukup kaya, tapi sejak tadi ia tak melihat ada pembantu di rumah ini.

"Udah di sini semua, kan?" Katya duduk di kursinya, menatap tiga remaja di depan. "Ayo, makan. Kebetulan banget ada Jiya, Bunda jadi ngerasa Kakak kalian di sini."

"Ah, Rey sama Rea punya kakak perempuan, namanya Raya. Dia baru masuk kuliah semester tujuh di Berlin," lanjut Katya mempertahankan senyumnya.

"Bun," panggil Rey, berhasil menghentikan Katya untuk kembali bercerita tentang kakaknya.

"Iya, nggak kok. Yuk, makan dulu."

Baru saja akan mengambil nasi, terdengar suara deru mobil dari luar. Mereka saling bertatapan, lebih tepatnya satu keluarga di sekitar Jiya saling menatap bingung.

"Ayah udah pulang?" tanya Rey pada ibunya.

"Kayaknya hari ini nggak ada lembur." Katya juga bingung kenapa suaminya pulang lebih awal dari hari biasa. Padahal kemarin saja kerja di rumah sakit sampai larut.

Wanita itu berdiri, bergegas melangkahkan kaki keluar untuk menemui Rangga. Jiya yang sedari tadi terlihat kalem di kursinya mendadak gugup karena jika memang benar ayah Rey sudah pulang, dipastikan mereka akan makan malam bersama.

Tiba-tiba dia kepikiran untuk pulang saja, tapi Gibran masih belum mengirim pesan. Jiya bukan tipe orang yang mudah menciptakan suasana, takutnya nanti kalau dia ikut makan malah canggung.

"Ji, langsung makan aja nggak papa. Nggak usah gugup." Ia menoleh ke arah Rey, meringis kecil karena perkataan itu.

"Keliatan banget, ya?"

Rey terkekeh, menunjuk ke bawah. "Kaki lo gemeteran."

Jiya mengulum bibirnya ke dalam, malu karena ketahuan. Rey sendiri sebenarnya sedang menebak apa yang akan terjadi jika Rangga melihat kehadiran orang asing di meja makan. Terlebih Jiya adalah teman sekolahnya.

Diam-diam ia mengambil napas panjang hingga suara Katya yang tengah bercengkerama dengan Rangga mengalihkan atensinya.

"Ini ada temennya Abang, Yah. Tadi abis kerja kelompok di sini."

Jiya menolehkan kepala, mengangguk sopan dengan senyum di bibirnya. Ia bangkit dan memberi salam. "Jiya, Om."

Rangga melihat Jiya, lalu beralih pada putranya yang terdiam di tempat. "Temen Rey? Sebelumnya Om belum pernah liat kamu di sekolah Rey."

"Jiya murid baru, Om. Baru pindah hari ini."

"Murid baru?" ulang Rangga tertarik. Pria itu duduk di kursinya, mempersilakan semua orang di sana untuk segera menghabiskan makan malam mereka. "Jiya pasti pinter di sekolah."

Jiya lekas menggeleng, terkekeh malu. "Nggak juga, Om," ucapnya merendah.

"Berarti Jiya dapet undangan langsung dari sekolah, ya?" tanya Rangga lagi, masih tenang.

Ada hal yang perlu orang-orang tahu tentang EIS. Salah satu sekolah swasta terbaik di Indonesia itu memiliki sistem unik, di mana mereka tidak menerima perpindahan murid baru kecuali mereka sendiri yang mengirim undangan.

Penerima undangan ialah siswa-siswi terpilih yang diyakini mampu menjadi pelajar hebat karena prestasinya. Tentu saja akan ada banyak pertimbangan sebelum mengundang seseorang untuk masuk EIS.

Dan undangan EIS tersebut pernah Jiya dapatkan beberapa minggu lalu.

Semuanya kembali fokus makan, Jiya sibuk menjawab pertanyaan dari Rangga, sedangkan Rea sedari tadi melirik kakak keduanya. Meski Rey terlihat biasa saja menikmati makan malam, Rea tahu laki-laki itu kesulitan menelan. Ia menghela napas, tahu kakaknya akan mendapat masalah.

"Bagus, loh. Walaupun pindahnya waktu kelas akhir, tapi Jiya bisa diundang pribadi sama EIS." Rangga masih membahas akses masuk Jiya sebagai murid baru.

"Dulu Rey harus belajar dulu baru bisa dapet peringkat 1 ujian masuk EIS," lanjutnya seraya melepas tawa.

Yang entah kenapa, terdengar dingin di telinga Rey.

Mata Rey terpejam, tangannya yang sedang mengumpulkan sesuap nasi berhenti. Menunggu hal apa lagi yang akan dikatakan oleh ayahnya.

"Di sekolah lama Jiya dapet peringkat berapa?"

Jiya melirik ke arah Rey. Sedari tadi ia tidak bisa fokus makan karena terus dihujani pertanyaan oleh Rangga. "Peringkat 1, Om."

"Di kelas?"

Gadis itu menggeleng pelan. "Seangkatan," jawabnya sedikit malu.

Tak tahu Rey saat ini tengah mengepalkan tangannya kuat di bawah meja. Ia dapat merasakan tatapan Rangga terpusat ke arahnya.

"Seangkatan, ya." Rangga menganggukkan kepala. "Jiya pasti sering dapet medali, nih."

"Nggak juga, Om. Cuma pernah satu kali dulu waktu OSN Matematika." Jiya menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.

"Begitukah?" Rangga mengalihkan tatapannya. "Rey juga pernah ikut OSN Matematika."

Satu kalimat tersebut membuat Rey kesulitan meneguk ludah. Sedangkan Jiya tampak membulatkan mata karena terkejut. Ia kira Rey hanya pernah mengikuti Olimpiade Fisika.

"Jiya taunya Rey ikut Fisika." Matanya menatap Rey kagum.

Rangga terkekeh. "Dua tahun lalu, tapi sayangnya gagal."

"Gagal?"

"Rey cuma dapet medali perak."

Cuma.

Satu kata yang mampu membuat Rey menjerit di dalam hatinya, berteriak Rangga tak tahu apapun tentang usaha mati-matian Rey untuk belajar olimpiade dua tahun lalu.

"Apa yang Jiya ikut juga olimpiade tahun itu?"

Jiya terdiam sebentar. Jika yang dikatakan Rangga adalah OSN dua tahun lalu, kemungkinan besar olimpiade tersebut sama dengan yang ia ikuti. Jiya benar-benar tak habis pikir, rupanya dirinya dan Rey pernah bertemu sebelum ia pindah ke EIS.

Ragu-ragu, kepala gadis itu mengangguk. Dan Rangga pun akhirnya tahu, orang yang membuat putranya mendapat posisi kedua dua tahun lalu adalah Jiya.

Suasana berubah menjadi hening. Suara pesan masuk di ponsel Jiya membuat empunya menunduk dan membaca pesan dari Gibran. Ia menoleh ke arah Rey yang menundukkan kepala, lalu sadar ada aura tak enak di tempat ini.

Pandangan Rangga begitu menusuk. Meski masih terlihat tenang, tapi Rey bisa merasakan ada kemarahan besar tersirat di balik tatapan itu.

"Rey," bisik Jiya memanggil. "Abang gue udah di depan," lanjutnya dengan suara lirih.

Rey mengangguk saja. Ia bangkit berdiri, mencoba mengabaikan tatapan tajam dari Rangga. "Jiya udah dijemput. Rey anter dulu ke depan."

"Duduk," ujar Rangga dengan suara beratnya. Ia menatap Jiya. "Jiya keluar sendiri nggak papa? Ada yang mau Om sampaikan ke Rey."

Langsung saja gadis itu mengangguk. "Nggak papa, Om. Jiya bisa sendiri. Kalau gitu, Jiya permisi, Om, Tante. Terima kasih makan malamnya."

Selepas meraih tas dan pamit keluar, Jiya membuang napas lega. Entah kenapa berada di antara keluarga Anggara membuatnya merinding. Kakinya langsung berlari kecil begitu melihat sosok Gibran keluar dari mobil kantornya.

"Nggak usah lari-lari gitu, Ji," tegur pemuda 24 tahun itu.

Jiya menurut. "Wah, gue berasa abis dari ruang ujian, Bang."

Gibran mengangkat alisnya bingung. "Lo keluar sendiri? Mana temen lo?"

"Di dalem, lagi pada makan malam. Gue juga tadi diajak."

"Udah makan berarti? Padahal gue mau mampir ke nasi padang dulu."

Jiya langsung mengangkat tangannya. "Ya jangan cancel juga. Gue ikut lah, nggak selera tadi makannya," jujur gadis itu.

"Kenapa emang?"

Ia terdiam, memikirkan kembali kejadian beberapa menit lalu di rumah Rey.

Meski tidak ada hal penting yang terjadi, tapi tetap saja Jiya merasa aneh. Aneh sebab ayah Rey terus bertanya tentang prestasinya. Aneh sebab Katya, Rey, dan Rea seperti diam saja. Aneh karena Rey hanya menundukkan kepala dan tak memasukkan sesuap nasi pun ke dalam mulut.

"Nggak papa. Perasaan gue aja kali," jawabnya tak yakin.

Mereka masuk ke dalam mobil. Jiya tanpa sengaja melihat ada motor yang datang saat ia mencoba bersandar pada jendela mobil. Keningnya terlipat saat motor sport warna hitam itu berhenti di depan rumah Rey.

Dan bola mata Jiya sukses melebar saat rambut pendek pink terlihat mencolok begitu helm terbuka. Jiya terpaku menatap wajah cantik bertubuh tinggi yang tampak keren.

Oke, ia tak salah mengenali.

Itu Aga.

.

tbc

akhirnya Aga muncul hahahah.

kalian pernah nggak sih, main ke rumah temen trus ketemu sama emak bapaknya ditanyain prestasi mulu? kayak, seakan dibanding-bandingin gitu.

agak nggak enak rasanya sama temen itu asli, emak bapaknya jg nggak mikir kali ya bandingin anak orang depan anaknya sendiri, ck.

next?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top