bab 2

cast Rey aku ganti, ya. soalnya di sini Rey ada vibes badboy juga, cocok sama hwang inyeop. apalagi aku suka karakter smart boy-nya di The Sound of Magic

bab 2
[ selalu ada variabel dalam setiap kejadian ]

Reynaldi Anggara.

Seumur-umur Jiya hidup, jujur, dia belum pernah bertemu orang seganteng Rey. Meski ada gagang membingkai kaca minus yang bertengger di atas telinga cowok itu, tak menyurutkan aura penuh daya tarik sehingga membuat mata siapa saja terpaku.

Jiya cewek biasa, tidak bisa menolak pesona pria berwajah rupawan. Dia hanya pernah melihat di layar kaca, artis-artis pemeran film dan idol Korea yang sering dibanggakan Mela. Rey tidak kalah dari mereka.

Bola mata cokelatnya menjadi terang saat ada cahaya masuk dari jendela dan berpapasan dengan retina Rey, membuatnya menyipitkan mata. Teduh, Jiya tak bisa memalingkan wajah dan berakhir mencuri pandang hanya dalam detik.

Pesona murid teladan dan populer seorang Rey yang diceritakan Mela nyata adanya. Balutan seragam OSIS rapi berdasi yang dimasukkan ke dalam celana abu-abu dan dililit ikat pinggang, dilengkapi kaki jenjang bersepatu hitam penuh. Definisi dari Ketua OSIS yang sebenarnya-Ketua OSIS di sekolah Jiya dulu bahkan tidak serapi ini.

Jiya mengalihkan tatapannya segera, ketahuan sedang mengagumi Rey saat cowok itu meliriknya. Bola mata mereka beradu sesaat, sebelum Jiya mengarahkan pandangan ke lain hal di depan dan pura-pura mencatat. Ia merutuki kenakalan matanya yang jelalatan jika ada orang ganteng.

Tuk! Tuk!

Jiya menoleh pada jari telunjuk yang mengetuk dua kali bagian meja di seberang bukunya.

"Boleh pinjam pulpen?"

Rey bertanya pelan. Suara bass yang terdengar rendah membuat telinga Jiya berkedut. Jiya segera menguasai diri, mengambil sebuah gel pen bertinta hitam.

"Ini."

Rey tersenyum tipis, menerimanya. "Thanks."

Pria itu lanjut menyelesaikan catatan. Jiya sempatkan diri untuk melirik tulisan tangan rapi milik Rey, membandingkan dengan tulisannya sendiri. Bibirnya terbuka kagum menyadari Rey mempunyai tulisan yang lebih bagus daripada miliknya.

"Lo suka fisika?" tanya Jiya spontan. Dia ingat Mela pernah menyebutkan bahwa Rey ahli dalam mata pelajaran Fisika.

Rey mengangguk tanpa menoleh, terus mencatat materi fluida bagian hukum Bernoulli yang baru saja diterangkan Bu Jasmine.

"Gue tau fisika sejak kecil dan suka setiap bahasannya, terutama waktu tau hukum alam di dunia ini bisa diukur dan dikembangkan," akunya.

Dari situ, Jiya bisa tahu Rey dan fisika adalah satu paket.

"Ada yang bisa menjawab soal di depan?" Pertanyaan Bu Jasmine membuat Jiya mengalihkan atensinya.

Ia disuguhkan pada soal tanpa angka, masih berbasis fisika dan mengandalkan kemampuan nalar yang tak bisa dia jangkau. Meski Jiya cukup percaya diri dengan kemampuan matematikanya, tapi beda jika dia dijamu oleh persoalan cerita. Terlebih tanpa satuan yang bisa Jiya otak-atik dengan berbagai rumus.

Di saat Jiya kesulitan untuk memahami soal, sosok di sampingnya justru mengangkat tangan. Setengah menit bahkan belum berlalu.

Seisi kelas hening.

Sebagian sibuk menyelesaikan catatan. Sebagian menunggu Rey menjawab pertanyaan Bu Jasmine, menatap cowok berseragam rapi itu dengan atensi penuh. Momen Rey mengeluarkan apa yang dipikirkan oleh otaknya bisa disebut sebagai suatu hal yang mengagumkan.

"Iya, Rey. Silakan berdiri dan jawab pertanyaan ini."

Rey berdiri.

Jiya menengadahkan kepala, terkejut dengan yang Rey katakan selanjutnya.

"Besar tegangan tali bergantung pada massa rata-rata benda, massa jenisnya, dan volume benda. Pori-pori batu berisi udara. Saat batu dicelupkan, pori-pori itu akan terisi air yang ditandai dengan keluarnya gelembung-gelembung udara."

Jiya meneguk ludah.

"Selama proses tersebut, maka massa rata-rata batu semakin bertambah, tegangan tali juga bertambah."

Rey membuatnya terpaku. Apa yang Mela katakan terbukti.

"Setelah seluruh pori-pori terisi air, massa rata-rata batu tetap sehingga tegangan talinya juga tetap."

Bu Jasmine tersenyum, membuat Jiya mengakui kehebatan Rey.

"Jadi?"

"Tegangannya membesar lebih dulu, baru kemudian tetap."

Rey dengan kesempurnaannya. Sejak saat itu, Rey mutlak menjadi salah satu orang yang Jiya kagumi. Iri, sekaligus terpesona.

.

"Tamat riwayat gue, Mel."

Mela menatap prihatin pada sahabatnya yang sudah menelungkupkan kepala di atas meja kantin. Mood Jiya sudah buruk, sejak dia duduk sebangku dengan Rey. Mela yang baru dikasih tahu sudah kaget duluan, tak menyangka janji yang mereka buat beberapa hari lalu dihancurkan oleh takdir.

"Gue turut berdukacita ya, Ji." Ia mengusap-usap pundak Jiya, memberikan kekuatan supaya cewek itu tabah.

"Yang penting bukan sama Jo," lanjutnya.

Jiya menutup wajahnya dengan rambut berantakan. "Gue udah cium bau-bau ada yang nggak beres sama takdir gue nih, Mel. Apa gue perlu minta pindah kelas aja, ya? Sama lo aja gitu."

"Heh!" Mela menampol lengan Jiya yang melantur. "Lo kata pindah kelas semudah ngesot? Btw, gue IPS ego!"

"Ya biasa aja kali, nggak usah ngegas."

Mela mencoba mengontrol emosi. "Maklum, lagi PMS."

"Terus gue kudu gimana, Mel?"

"Mau gimana lagi? Terima kenyataan aja."

Jiya mengeluh panjang lagi. Dia menegakkan kepala, menoleh ke kanan kiri dan membuat sahabatnya mengerutkan kening. "Kenapa lo?"

"Setidaknya kalo gue udah kenal satu macan, nggak boleh kenalan sama dua macan lain."

"Mereka nggak pernah ngantin." Pernyataan Mela membuat Jiya melebarkan mata.

Pasalnya, bagi sebagian besar pelajar di muka bumi ini, kantin adalah surga sekolah.

Benar, kan?

Atau hanya Jiya saja yang berpikir demikian?

"Why?"

Mela mengedikkan bahu. "Mungkin kalo mereka ke sini, kantin bakal rame banget."

"Heran, deh. Nggak laper emang?"

"Ya lo pikir? Mereka kan bisa suruh satu orang buat beliin."

Jiya mengangguk-angguk. "Iya juga, ya."

"Sekarang rencana lo apa? Terkait Rey," tanya Mela.

Mendengarnya, Jiya menghela napas panjang lagi. Dia betul-betul berharap, duduk satu bangku dengan orang berlabel 'sempurna' seperti Rey tidak akan memengaruhi kehidupan sekolahnya di EIS.

Satu yang pasti, Jiya ingin lulus dengan hati aman dan damai.

"Gue jalani aja dulu. Kalo nggak sanggup, tinggal minta pindah tempat duduk."

"Emang berani bilang?"

Jiya langsung menekuk bibir ke bawah, menatap penuh pertolongan pada sahabatnya. "Enggak!"

"Lah, bocah."

"Lagian, gue ngerasa nggak ada salahnya." Sambil mengusap ujung hidungnya, Jiya mengaduk pelan jus stroberi dingin di hadapannya menggunakan sedotan. "Nggak ada salahnya berteman sama Rey."

Jeda.

"Gue pikir, Rey baik."




"Udah ngerjainnya?" tanya Rey begitu lima belas menit berselang setelah Bu Jasmine meninggalkan ruangan dan memberikan tugas untuk langsung dikerjakan.

Jiya mengangkat tangannya, memberikan isyarat untuk menunggu ia menyelesaikan soal terakhir. "Lo yang ngumpulin ke Bu Jasmine?"

Rey menjawab dengan anggukan. "Gue ketua kelas."

Mulut Jiya membulat baru tahu jabatan Rey di kelas. Dia pikir Rey belum puas menjabat sebagai Ketua OSIS di sekolah ini. Rasanya semua aspek yang terpandang bagus disapu habis oleh cowok itu.

"Nah, udah." Jiya meloloskan senyum bangga begitu berhasil menjawab seluruh soal fisika yang membuat otaknya mendidih.

Rey yang melihatnya turut menarik sudut bibir. "Lo kayaknya nggak suka fisika."

Jiya menyengir. "Keliatan, ya? Gue suka matematika, sih, tapi kalo fisika nyerah aja."

Kekehan kalem keluar dari bibir Rey.

"Padahal sama, cuma penerapannya yang bikin susah."

"Setuju gue."

Bagaimanapun Jiya terus mengingat apa yang dikatakan Mela, Rey yang ada di depannya begitu menarik. Mereka bisa mengobrol santai meski baru pertama kali bertemu. Dan Jiya merasa nyaman akan hal itu.

"Butuh bantuan?" tanyanya saat melihat Rey membawa tumpukan tugas 36 siswa.

"Nggak berat, sih."

Jeda.

Jiya menunggu karena Rey tak mengalihkan tatapan mereka.

"Tapi kalo mau nemenin, boleh."





"Jiya!"

Jiya tersentak kaget. Ia tak sadar melamun tentang Rey. Sepertinya dia sudah gila.

"Iya?"

Mela terdiam sebentar.

"Ini yang gue takutin, Ji."

Ada kerutan di kening Jiya. "Apa?"

"Rey itu terpandang sempurna. Nilai bagus, keluarga baik, bahkan attitude oke. Dia paket komplit. Emang nggak ada salahnya berteman sama dia. Dia nggak bermasalah. Tapi bakal jadi masalah buat diri kita sendiri."

Jeda.

"Karena sekalinya kita jatuh sama pesona Rey, sulit buat berdiri lagi."

.

Jiya tidak akan jatuh.

Dia sudah mengambil tekad untuk hal itu. Meski Mela sudah memberikan peringatan, tapi Jiya yakin yang dia rasakan kepada Rey hanya sekadar kagum. Lagipula, dia dan Rey hanya berkenalan sebatas teman sebangku, tak lebih.

Jiya tahu betul batasan mana yang tidak boleh dia lewati dan mana yang bisa dia pijak.

"Jihan?"

Kepalanya menoleh, merasa asing dengan nama panggilan yang diucapkan Rey.

"Oh iya, gue lupa belum kenalan sama lo tadi." Ia menggaruk belakang kepalanya. "Gue Jihanna Adenium, panggil aja Jiya."

Rey mengangguk dua kali. "Jiya, ya."

Ada desiran aneh yang mengganggu Jiya saat Rey mengucapkan namanya.

"Gue Reynaldi Anggara, panggil Rey."

Dan Jiya sudah tahu.

"Pulang nanti lo sibuk?"

Jiya menaikkan alis, memikirkan hal apa saja yang akan dilakukannya nanti. "Nggak terlalu, sih. Gue ada kerja part time di kafe sampe sore."

"Lo kerja?"

Rey tampak tertarik, sedikit memelankan tempo menulis catatan biologinya untuk mendengarkan perkataan Jiya. Dia sebenarnya jarang ngobrol, apalagi tempat duduknya di barisan paling depan. Namun guru yang mengampu hanya hadir beberapa menit, memberikan catatan panjang dan tugas kelompok, lalu pamit pergi karena ada halangan mengajar hari ini.

Jiya mengangguk. "Gue butuh uang buat hidup," kekehnya tak merasa malu.

"Bagus, sih. Gue pernah ada rencana buat kerja sambilan juga, tapi ortu ngelarang. Padahal bisa bikin mandiri tanpa uang orang tua."

Rey berbeda dengan orang-orang yang Jiya temui sebelumnya. Mereka mengatakan lebih baik fokus menuntut ilmu dan tidak layak seorang pelajar bekerja di tengah-tengah kegiatan sekolah.

Tapi, Rey berbeda.

"Lo nggak ngerasa malu semisal kerja saat masih sekolah?"

Pria itu justru terkekeh kecil dan pelan. Jiya menatapnya dalam.

"Ngapain malu? Justru harusnya gue bisa sombong ke orang-orang. Sekolah nggak putus dan lancar, udah bisa nyari duit untuk diri sendiri."

Jiya ikut terkekeh. "Bener, sih."

"Jadi, lo free malem?"

"Malem?"

Jiya mengangguk ragu.

"Gue biasanya cuman ngerjain tugas atau rebahan aja di rumah."

"Oke."

Rey menunjuk tugas yang tertulis di papan depan. "Ngerjain tugas kelompok nanti malem. Lo bisa?"

"Bisa. Di mana?"

"Rumah lo ada orang?"

"Gue cuma tinggal sama Abang. Abang gue biasa pulang telat."

Rey mengangguk-angguk. "Kalo gitu di rumah gue aja. Nanti malem gue jemput lo."

Jiya langsung menggeleng. "Jangan jemput gue di rumah!"

Rey menaikkan alis.

"Jemput di kafe aja. Abis shift gue selesai langsung kabarin."

"Oke. Perlu gue izinin ke Abang lo?" tanya Rey menawarkan.

"Nggak, nggak perlu. Abang gue langsung izinin kalo kerja kelompok." Jiya tersenyum kaku.

Rasanya aneh.

"Berarti kalo jalan nggak bakal kasih izin?"

Seperti ada yang meletup di dalam diri Jiya. Gadis itu dengan cepat menoleh, matanya langsung bertemu dengan mata Rey.

"Kalo... jalan?"

"Iya. Kalo kita jalan, Abang lo kasih izin nggak?"

Tiba-tiba saja-entah kenapa-jantung Jiya berdegup kencang.

.

Tbc

.

bonus

.

"Rey!"

Rey menoleh. Tangannya masih sibuk memasukkan buku ke dalam tas, lalu berlanjut menggendong tasnya.

"Kenapa?"

Dina-siswi kelas sebelah yang menempati posisi peringkat kedua tahun lalu-menghampiri. Bola matanya bergerak melirik bangku kosong di sebelah Rey.

"Lo inget sama siswi baru yang duduk bareng lo itu?"

Rey tidak akrab dengan Dina. Hanya saja, cewek ini dulu pernah menembaknya dan mereka berakhir dengan berteman meski tidak terlalu dekat. Rey cukup nyambung jika ngobrol dengan Dina, apalagi mereka mengikuti ekskul yang sama dan menekuni bidang sains.

"Lo kenal?"

Dina hanya mengedikkan bahu. "Nggak juga, tapi gue tau dia."

Gadis itu tersenyum penuh arti. "Lo mungkin harus hati-hati buat ujian selanjutnya."

"Kenapa?" tanya Rey tak minat. "Lo mau ngalahin gue?"

Dina memutar bola matanya. "Bukan gue, tapi dia."

Rey tahu arah bicara Dina merujuk pada Jiya. "Dia nggak terlalu pinter fisika."

"Please yah, Rey. Lo cuman tau dia lemah fisika, belum tentu dia juga lemah di materi lain."

Dina terdiam sejenak.

"Lo inget olimpiade dua tahun lalu?"

Rey tak tahu, bahwa Jiya datang bukan sebagai teman baru untuknya.

"Dia orangnya, Rey. Yang ngalahin lo dan bikin lo jadi juara dua."

Bahwa Jiya datang sebagai rival, tantangan terbesar untuk mempertahankan tahtanya.

.

for information, Jiya pernah nyumbang medali emas waktu dia kelas 10 di bidang matematika. sedangkan Rey juara dua.

karena ini matematika, bukan fisika. Rey bukannya lemah hitung-hitungan, dia ahli. tapi nggak lebih pinter dari Jiya yg bisa otak-atik rumus.

tahun berikutnya, waktu mereka kelas 11, baru Rey dapet medali emas olimpiade bidang fisika. dia mutusin buat banting setir ke fisika, sebab nggak mau ketemu lawan kayak Jiya lagi.

Dina ini yg pernah nembak Rey, tapi ditolak. mereka jadinya temenan aja. sama-sama pinter bikin Rey-Dina nyambung kalo ngobrol. ya lu bayangin aja peringkat pertama sama kedua seangkatan kalo ngobrolin tugas seasik apa.

Dina tau tentang Jiya karena satu ekskul sama Rey, ekskul yg lebih menargetkan materi olimpiade. jadi Dina jg paham siapa yg raih medali emas dua tahun lalu, apalagi ngalahin gebetannya yg pinter ini.

📌 note: jangan terlalu percaya sama ucapan Rey :)

next update?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top