bab 12
miss u, guys!!
sabar yakk, aku baru dikasih libur semester kuliah. semoga ide lancar buat selesein cerita ini.
gimana yg lagi cari cari kampus? aman nggak?
semangat terus, ya! aku jg dulu kayak orang gila belajar sampai nggak inget waktu. kalau nggak bisa sekarang, kalian masih punya waktu tahun depan. yakin, pasti ada jalan yg udah disiapin buat kalian.
btw, kalian masih nungguin cerita ini, kan?
•
bab 12
[ party ]
•
Minggu ini, ulang tahun Rey dirayakan di halaman belakang kediaman keluarga Anggara. Rupanya banyak yang hadir, tidak hanya murid Kelas Bintang. Dominan anak kelas 12 dan pengurus inti OSIS. Mungkin sekalian perayaan cowok itu baru saja lengser dari jabatannya.
Jiya berdehem, sepertinya ia salah kostum.
Terdampar di lautan anak-anak EIS yang saat ini tidak mengenakan seragam sekolah, tapi dress dan tuxedo mewah yang menunjukkan seberapa beradanya keluarga mereka. Ia maklum, lebih dari tiga perempat murid EIS lahir dengan sendok emas.
Dan dia masuk ke satu perempat sisanya.
Gadis itu menghela napas, berulang kali mengecek ponsel. Melihat berapa waktu yang sudah dia habiskan sambil mengumpati sahabatnya dalam hati.
Mela terpaksa harus telat karena perutnya sakit, efek kemarin makan seblak kebanyakan.
Jiya kembali menunduk, menatap heels yang ia pakai. Dress warna putih miliknya cukup cantik, tampak cocok di tubuh Jiya saat ia mengaca sebelum datang ke sini. Juga sebelum Jiya sadar bahwa yang ia hadiri adalah pesta untuk anak-anak berduit.
Ia menoleh ke samping. Tampak seorang gadis yang satu kelas dengannya menggunakan dress merah di atas lutut, menampilkan kedua bahunya yang putih mulus. Sangat cantik.
Jika dilihat-lihat, hanya Jiya satu-satunya yang mengenakan dress sederhana dengan make up minimalis.
Ting!
Mela
Bentar, Beb
Setengah jam lagii
Jiya menghela napas kasar.
Ia jadi merasa tidak punya teman selain Mela. Sebenarnya ada, tapi sejak tadi Jiya sendiri tidak berani mendekat karena tampaknya mereka sedang bersama circle lain yang lebih menyenangkan. Helaan napasnya terdengar, sedikit menggerutu sebab acara inti tidak dimulai-mulai.
Setahu Jiya, seisi rumah Rey kini hanya diisi oleh anak-anak EIS. Seluruh keluarga Rey hanya menyapa di awal tadi, lalu membiarkan putranya mengambilalih karena ini adalah ulang tahun Rey. Mereka kemudian pergi bertiga entah kemana.
"Jiya!"
Dengan cepat kepala gadis itu menoleh, harap-harap ada seseorang yang mengajaknya bergabung. Garis wajahnya menurun begitu melihat Dina datang. Entah kenapa, tapi suasana di sekitar Jiya selalu suram jika berhadapan dengan si peringkat empat tersebut.
Dia nggak kenal loh, tapi Dina sksd gitu.
"Sendirian lo?"
Jiya hanya menampilkan senyumannya, lalu mengangguk. "Temen gue masih di jalan."
Mulut Dina membulat. Dia tampak cantik bersama dress hitam panjang tanpa lengan. "Mau gabung sama gue nggak?" tawarnya.
"Eh?"
Tawa gadis itu keluar. "Jangan sungkan gitu, bareng sama anak-anak lain kok. Ada Rey juga."
Kenapa bawa-bawa Rey coba?
"Kebanyakan anak Kelas Bintang, sekalian kenalan lah sama mereka. Yuk?" lanjut Dina tersenyum.
Jiya melirik jam tangannya. Daripada menunggu sendirian seperti orang hilang di sini, lebih baik bergabung bersama mereka. Lagipula kemungkinan juga nanti Mela akan menyusul, secara perkumpulan yang Dina maksud diisi oleh murid-murid Kelas Bintang.
"Oke, deh."
Mereka berjalan menuju samping rumah. Tadinya Jiya berdiri di dekat pintu masuk, sekarang dia bisa benar-benar melihat Rey mengundang banyak orang. Tawa mereka semua mengudara di tengah-tengah kolam renang besar milik keluarga Anggara.
"Lo udah pernah ke sini sebelumnya?" Dina bertanya tiba-tiba.
Jiya mengangguk. "Dulu waktu kerja kelompok, tapi belum ke kolamnya."
"Rey tiap tahun sering ngadain birthday party gini. Sebenernya bukan dia yang ngadain sih, lebih ke Bundanya." Gadis itu terkekeh. "It's so clasic, but I know their reason."
Baru saja ingin bertanya lebih lanjut, mereka sudah sampai di dalam rumah Rey. Betul seperti yang Dina katakan, di sana sudah ada Rey, Aga, dan anak-anak Kelas Bintang dari jurusan lain.
"Tamu spesial kita sudah datang, guys!" Seorang pria tampak menyapa ramah, mengangkat satu gelas berisi cairan merah. "Bagaimana perasaan Anda sebagai satu-satunya murid yang menerima undangan EIS?"
Dina mengibaskan tangannya, berlagak mengusir cowok itu. "Diem dulu lo deh, Kan."
Dia Rakan, peringkat pertama ujian Kelas Bintang jurusan IPS. Saingan Mela.
"Yaa kan gue cuman mau mengenal lebih dalam gitu loh, Din. Lo sensi mulu abis meluncur ke posisi empat." Dina melotot mendengar kalimat sarkas Rakan.
Bola mata Jiya bergerak menelusuri wajah-wajah yang ada di depannya dan berhenti pada seorang pria yang juga tengah menatap dia. Cepat-cepat Jiya memutus kontak dengan Rey.
Rasanya berbeda.
Karena sudah tahu sifat asli cowok itu, Jiya merasa harus menjauh. Dia masih ingat dengan jelas percakapan mereka bersama terakhir kali. Secepat Jiya merasa kagum dengan sosok Rey saat pertama kali melihatnya, juga secepat bagaimana Rey mematahkan rasa kagum itu menjadi waspada.
Rey bahaya.
"Gue Rakan, lo deket sama Mela, kan?"
Lamunannya buyar saat seseorang bertanya kepadanya. Jiya menolehkan kepala, lalu mengangguk sebagai jawaban. "Jiya."
Senyum Rakan terbit. "Mana temen lo? Dari tadi mukanya nggak keliatan."
"Masih di jalan. Perutnya sakit, jadi dia telat."
Mulut Rakan membulat. "Bilangin sama temen lo, jangan terlalu kejauhan. Dia sendiri yang bakal jatuh kalo nggak pernah puas."
Jiya mengerutkan dahi. "Maksudnya?"
"She just hurt herself. Karena gue nggak akan ngalah."
Rakan melenggang pergi saat dipanggil oleh anak-anak dari jurusan IPS. Sedangkan Jiya masih memikirkan kalimat dari Rakan. Selama ini Mela tak pernah memperlihatkan diri jika punya masalah, paling hanya mengeluh karena terlalu stress dengan keadaan. Tapi dari kalimat tadi, Jiya merasa sejak awal tidak ada yang baik-baik saja.
"Minum, Ji?" Ia menoleh pada Dina yang menawarkan segelas air warna merah padanya. "Aman kok, non alkohol."
Tangan Jiya menerimanya. Ia menatap gelas itu, lalu kembali mengarahkan pandangan pada Rakan.
"Di EIS cuman ada persaingan, Jiya." Tiba-tiba Dina menyeletuk di sampingnya. Gadis itu menggerakkan gelas miliknya, lalu meminum dengan lihai. Seolah memang sudah biasa dengan acara pesta seperti ini. "Lo beruntung nggak satu jurusan sama Mela. Karena semua orang di sini nggak akan ngalah sama siapapun, entah itu sahabat—
Jeda.
—atau bahkan saudara." Dina mengeratkan genggamannya. Dia memperhatikan Jiya yang mulai minum, sudut bibirnya tertarik ke atas.
"Gue harap lo nggak kaget setelah beberapa minggu sekolah di sini," ujar Dina masih ingin berbincang dengan gadis baru itu.
"Lo sebenernya mau apa dari gue?" Jiya bertanya. "Gue rasa kita nggak deket."
Dina terkekeh, menyenggolkan lengannya. "Gue cuma mau temenan, emang nggak boleh?"
"Barusan lo bilang di EIS selalu ada persaingan. Bukannya lo mau kita jadi saingan?"
Kepala Dina menggeleng, bibirnya masih tersenyum. "Lo salah. Kita bukan saingan, kok. Emang bener yang gue bilang, tapi bukan lo orangnya."
"Terus?" Atensi Jiya tertarik. "Rey?"
Lagi-lagi gadis itu terkekeh. "Lo polos banget ya, Ji? Gue salut."
"Gue nggak ngerti."
"Jo."
Satu nama itu membuat Jiya tertegun.
"Semua murid di ruangan ini berusaha ngalahin dia. Gue rasa lo cukup pinter buat tau alasannya."
Jiya terdiam. Ia merasa pusing.
Dina mendekat dan berbisik, "Sorry. Kayaknya gue salah kasih minuman, harusnya itu buat gue."
Kaki Jiya langsung melangkah keluar ruangan saat merasa sesuatu dalam perutnya ingin keluar. Ia mencari toilet. Sedangkan di ruangan itu, Rey beranjak dari tempatnya, sempat ditahan oleh Aga. Penampilan Aga malam ini tampak berbeda dengan hari-hari biasa.
"Kemana?"
Bukan jawaban, tapi Aga tahu maksud dari arah tatapan itu. Ia mengangguk-angguk, melepaskan cekalan tangannya dan membiarkan Rey menghampiri Dina. Meski pandangan Aga tak bisa dialihkan dari punggung pria dengan tuxedo hitam tersebut. Ia memutar pelan gelas ramping berisi cairan merah, kemudian menghabiskannya dalam satu kali minum.
Langkah kaki Rey berhenti di depan Dina. "Lo apain dia?"
Dina menoleh sekilas, lanjut meminum minumannya. "Santai aja, Rey. Gue cuman kasih dikit kok, ya kadarnya emang agak tinggi, sih."
Rey menatapnya kesal. "Siapa yang kasih izin bawa ke rumah gue?"
"Ayo lah, Rey. Lo juga dulu sering minum, kan? Setidaknya berhenti sok suci depan gue. Oke?" Dina menepuk pundak Rey dua kali, lalu beranjak pergi menuju teman-temannya.
.
Jo baru saja sampai di rumah Rey yang sudah ramai. Ia diam di tempat, berdecak sejenak karena menghadiri acara seperti ini sangatlah tidak menggambarkan kepribadiannya.
Jika saja Aga tidak mengancam akan datang ke apartemennya, dia pasti sudah menolak. Apartemen Jo harus jadi dari spesies seperti gadis bar-bar itu, banyak sekali barang berharga Jo yang sudah pernah menjadi sasaran Aga.
Kakinya melangkah maju, mengabaikan beberapa tatapan dari anak-anak EIS yang menyadari kehadirannya. Meski tahu Jo dekat dengan Rey, tapi tetap saja rasanya aneh melihat Jo di tempat selain sekolah. Apalagi masalah di antara kedua pria itu masih menjadi topik hangat.
Tidak peduli dengan mereka, Jo memutuskan untuk mampir ke belakang, berlawanan arah dengan kolam renang. Tujuannya adalah kamar tamu.
Sudah lama sekali semenjak Jo pindah ke apartemen. Dulu dia sering menginap di rumah Rey untuk sekadar numpang tidur. Dulu, saat mereka belum seperti sekarang.
Jo, Rey, dan Aga sudah seperti permen karet karena selalu bersama saat masih kecil. Tapi keadaan berubah setelah mereka sadar sudah beranjak dewasa. Rey yang memang ambisius dari kecil semakin giat belajar, menjadikan prestasi sebagai prioritas pertama. Ketiganya mulai jarang berkumpul, lebih tepatnya begitu menjadi murid EIS.
Itulah alasan mengapa mereka memiliki markas pribadi yang tidak pernah diketahui oleh siapapun. Karena mereka lebih sering bertemu di sekolah daripada di luar.
Jo membuka pintu kamar, membiarkan seisi ruangan itu gelap sebab lampunya masih belum dinyalakan. Ia beranjak naik ke sofa, menidurkan tubuh dengan lengan sebagai bantalan. Satu lengan yang menganggur diletakkan di atas dahi. Matanya terpejam.
"Udah, lah. Santai aja kali, Rey aja nggak tau."
Samar-samar telinganya mendengar percakapan yang ada di ruangan sebelah.
"Ya kalo tau kita udah ditebas sama tuh anak, anjir! Lo yakin?"
"Nggak ada siapa-siapa di sini. Udah buruan, itu kamar juga nggak ada kuncinya."
"Coba masuk dulu elah, takut gue."
"Kamera taro atas lemari aja, nggak akan ketauan."
"Yakin, nih?"
"Lama lu! Sini gue aja, lo coba cari cewek di luar. Kalo bisa yang udah teler, tadi gue liat pada bawa minum."
Jo masih setia di posisinya, tak terganggu sama sekali dan lebih memilih untuk diam saja dengan lampu mati. Tidak peduli. Toh, bukan urusannya.
"Ini kalo Rey tau, gue nggak mau ikut-ikutan."
"Banci ah, lo! Gimana nggak ikutan, lo aja udah di sini. Cepet sana, bawa dua."
Tok! Tok! Tok!
Jo menghela napas. Mulai terganggu.
Tok! Tok! Tok!
Kelopak matanya terbuka. Dengan berat hati ia bangun dari sofa dan membuka pintu kamar. Keningnya terlipat begitu melihat seorang gadis dengan dress putih sedang menunduk dalam hingga seluruh wajahnya tertutup rambut.
Begitu gadis di depannya mengangkat tangan untuk mengetuk pintu kembali, Jo menahannya.
"Jiya?" Ia menggumamkan pertanyaan saat melihat Jiya menunjukkan wajah.
"Eh, ini bukan toilet?" Jiya menyentuh pelipisnya. Merasa sangat pusing hingga hampir jatuh jika Jo tidak menopang bahunya. "Salah, ya? Sorry ya, nggak tau tempat soalnya."
Jiya terus berujar meski sekarang dia masih setia bersandar pada dada bidang Jo. Gadis itu meracau tak jelas. Jo sampai harus menepuk kedua pipi, menangkupnya dan melihat mata Jiya sudah sayu. Hidungnya mencium bau alkohol yang kuat.
"Shit!" Ia mengumpat lirih.
Kesal sebab bisa-bisanya ada yang memberi minuman beralkohol pada Jiya. Lebih kesal lagi karena Rey tidak mencegah Jiya minum, meski sebenarnya dia tak tahu apa yang sudah terjadi sebelumnya.
"Woi, anjir! Lama banget lo, cepetan sana keburu Rey tau!"
Atensi Jo teralihkan. Ia langsung menarik Jiya masuk saat seseorang hendak lewat di depan mereka. Tangannya menarik pintu dan menguncinya.
Seorang pria di depan ruangan itu menolehkan kepala kaget. "Ada orang?"
Jo diam. Ia sibuk menutup mulut Jiya yang masih meracau lirih.
Pria tadi akhirnya menyerah dan pergi. Jo menghela napas panjang, perlahan beralih menunduk. Tatapannya meneduh, tepat pada seorang gadis yang sedang mendongak sembari menyipitkan mata. Jarak mereka terlampau dekat, hingga Jo mampu melihat bulu mata lentik milik Jiya, pun merasakan aroma parfumnya yang khas stroberi.
Jiya mengerjap pelan sampai matanya menutup sempurna dan kembali menjatuhkan kepala di dada bidang Jo. "&$-#+#(@)+$)/₱."
Jo mengerutkan kening. "Ha?"
Tangan Jiya terangkat, menunjukkan jari telunjuk dan tengahnya.
"Dua?"
Kepala Jiya mengangguk meski mulutnya tetap diam. Dia masih merasa pusing. "Dina anjing." Meski sangat lirih, Jo masih bisa mendengarnya.
"Dia yang kasih lo minum?"
Lagi-lagi Jiya mengangguk. Gadis itu mulai menjauhkan kepalanya dan kembali mendongak untuk menatap wajah Jo. Karena gelap, dia harus menyipitkan mata. Kedua tangan Jo reflek menangkup kedua pipinya, merasa hangat. Walaupun tidak bisa melihat dengan jelas, tapi dia yakin pipi Jiya memerah karena mabuk.
"Lo juga," gumam Jiya. Tanpa sadar ia ikut menangkup pipi Jo, menekannya kuat. "Lo juga jahat."
Jo diam, menurunkan kedua tangannya. Mendengarkan semua perkataan Jiya.
"Lo jahat." Nada bicara itu semakin melemah. "Gue udah penasaran, tapi lo nyuruh ngejauh."
"Lo nggak suka?"
Kening Jiya terlipat dalam. Ia langsung menggeleng kuat. "Lo kunci utama gue, jadi nggak boleh jauh-jauh."
Shit!
Jo mengepalkan tangannya di samping tubuh, tak tahan dengan tingkah Jiya yang sedang mabuk. "Lo nggak sadar. Lo mabuk."
"Orang mabuk nantinya ilang ingatan, yah?" Gadis itu justru mengajukan pertanyaan random. Tangannya mulai turun dan berhenti di bawah dagu Jo. "Ih, ada tahi lalatnya di sini."
Jo tertegun.
"Ih, kamu punya tahi lalat di situ?"
Jo melirik gadis kecil di sampingnya. "Kenapa? Jelek, yah?"
"Enggak jelek! Mamah juga punya tahi lalat di deket leher. Keren, deh!"
"Mamah juga punya di sini." Jiya menatap dagu Jo lamat-lamat dengan senyum mengembang. "Jadi kangen Mamah."
Jo langsung sadar, ia segera menepis tangan Jiya. "Jangan pegang."
"Why?" Jiya merengut tak suka. Lucu.
Jo menggeleng, mengentaskan pemikiran apapun di kepalanya supaya cepat sadar bahwa ini salah. Tidak seharusnya. Mereka tidak boleh di sini berdua.
"Tolong bantu gue." Gagal. Suara itu selalu membuat Jo lengah. Dia kalah. Pikirannya kalah.
"Mereka serem."
"Siapa?"
"Lo," ujar Jiya setengah merem, menunjuk dada Jo. "Rey. Aga. Kelas Bintang. EIS. Kepala sekolah. Kalian. Kalian semua. Gue takut kalian. Gue takut lo, Jo."
Gue takut.
Jo menatapnya lama. Seolah bibir Jiya masih mengucapkan kalimat itu terus menerus meski faktanya hanya ada keterdiaman di antara mereka berdua.
"Sorry," ujarnya lirih.
"Semuanya salah gue."
.
tbc.
hbd, Rey!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top