bab 11
sorry lama & sama-sama, syg.
.
Ting!
Rey
Sorry baru ngabarin
Gue udah di sekolah
Tadi balik jam 3
Masih utuh kok
Aman, sayang
Aga menghela napas lega. Ia meletakkan ponselnya kembali, menatap jaket kulit dan barang lain yang biasa Rey titipkan padanya sudah tergeletak rapi di atas meja. Cowok itu dipastikan nyelonong masuk tanpa membangunkan Aga, beruntung Aga tidak mengunci jendela.
Sengaja.
Ia beralih menatap jam dinding setelah menyimpan barang Rey di lemarinya. Sudah jam 8 pagi. Gerakannya cukup santai bagi murid yang terlambat satu jam. Aga mengecek kembali riasannya.
"Senin gue mau ganti warna," gumam gadis itu sembari menyisir rambut ke belakang menggunakan tangan. T
Aga turun ke lantai satu, melempar kunci motor dan menangkapnya lagi. Langkah kakinya berhenti di anak tangga terakhir saat menyadari kehadiran orang asing di rumahnya.
Raut wajah Aga berubah dingin, menatap ayahnya duduk di meja makan. Tertawa bahagia bersama wanita yang tengah menyajikan sarapan.
"Ngapain dia di sini?"
•
bab 11
[ dunia baru ]
•
Dua hari yang ditunggu-tunggu telah tiba.
Jiya melirik ke sekeliling ruangan perpustakaan. Sepi. Hanya ada segelintir manusia yang datang untuk membaca, sisanya numpang Wi-Fi. Ia duduk di bagian pojok, mengeluarkan sebuah buku tebal bergambar angka-angka.
Gadis itu membukanya, mengambil selembar kertas yang terselip di antara lipatan halaman buku. Satu kolom masih belum terisi.
Ting!
Mela
Ngumpulin bareng kan?
Gue otw kelas lo, Beb
Jiya menghela napas panjang. "Plis, cuman sekali ini aja."
"Jiya, Abang mau ngomong penting."
Jiya mendongak. Kakaknya terlihat sedang membuka obrolan serius, maka dia meletakkan sendoknya dan berhenti makan.
"Gue dapet kasus di luar kota, jadi nanti siang bakal berangkat. Kemungkinan satu minggu di sana, tergantung selesainya kapan."
Jiya lekas menyahuti, "Mendadak banget."
"Perintah langsung dari atasan." Gibran menatap adiknya lamat-lamat. "Lo kalo bisa di rumah jangan sendirian, ajak Mela buat nginep sini. Atau lo aja yang ke rumahnya, nanti gue minta izin ke bokap dia."
Kepala Jiya menggangguk saja. "Gampang itu. Nggak perlu khawatir."
Soal menginap tidak perlu dipermasalahkan. Dia bahkan pernah menginap di kafe.
"Ah, ya." Gibran teringat sesuatu. "Gimana hasil ujian Kelas Bintang?"
Gawat.
Besok Jiya harus mengumpulkan tanda tangan dari walinya. Dan dia belum memberitahu Gibran tentang itu.
"Kalo gue lolos, Abang tetep nggak akan ngizinin?"
Gibran mengerutkan kening. "Lo lolos?"
"Seandainya."
"Abang nggak kasih izin."
Garis wajah Jiya menurun. "Kenapa?"
Gibran menghela napasnya panjang. "Sejak awal gue nggak pernah percaya sama kelas itu, Ji. Gue bilang gini bukan hasil pikir sekali doang."
"Oke, Abang tau lo pasti pengin banget masuk karena benefit yang dikasih nggak main-main. Tapi tetep, Abang nggak setuju. Soal Kelas Bintang, Abang lebih tau daripada lo," lanjut Gibran tak bisa diganggu-gugat.
"Abang lebih tau maksudnya?"
"Buat sekarang gue nggak bisa bilang semuanya karena itu masih belum jelas. Gue nggak tau apa yang bakal mereka lakuin ke depan supaya bisa nepatin janji-janji gila itu."
"Bisa aja emang mereka punya cara rahasia gitu."
Gibran menggeleng. "Gue tanya deh sama lo. Dengan kemampuan lo itu, yakin sanggup jadi bagian peringkat 10 besar se-Indonesia? Gue bukannya nggak percaya sama kemampuan lo, tapi pasti Kelas Bintang bakal pressure kemampuan lo sampai tingkat tertinggi."
Se-Indonesia.
Jiya tahu hal itu sangat mustahil. Masih ada banyak siswa jenius di luar sana, mungkin bahkan ratusan yang bisa mengalahkan dia.
Tapi ini EIS.
Sekolah paling menjanjikan di Indonesia, langganan peringkat nasional, dan EIS punya Kelas Bintang.
"Gue yakin bisa, Bang."
Gibran tak habis pikir. Dia tahu, adiknya sangat menginginkan kelas itu, tapi tetap saja. Gibran memiliki perasaan buruk pada Kelas Bintang.
"Bahkan kalo pindah sekolah jadi sanksinya, Abang tetep nggak akan kasih izin."
Keputusan Gibran sudah final dan Jiya tak punya pilihan selain berbohong.
"Gue nggak lolos."
"Sorry, Bang... "
Gadis itu menenggelamkan kepalanya pada meja, tiba-tiba mengacak rambut karena merasa pening.
"Cuman sampe gue lulus. Seminggu lagi gue bakal jujur." Dia memantapkan tekadnya, setidaknya sekalian menyiapkan mental.
Karena ini bukan perkara biasa.
Meski Gibran membebaskan semua pilihan adiknya, termasuk sekolah di mana, tapi tetap saja dia masih memiliki tanggung jawab untuk memastikan apa yang dipilih Jiya tidak akan membahayakan gadis itu.
Jiya tahu, sangat tahu.
Tapi dia tak punya pilihan lain sekarang. Sekali Gibran melarang, dia tak mampu membantah.
Dan konsekuensi menolak Kelas Bintang terlalu berat baginya untuk menerima. Dia sudah sampai titik ini, tidak mungkin langsung angkat kaki hanya karena tidak bersedia menjadi murid Kelas Bintang.
Oh ayolah, lagian orang waras mana yang mau menolak kesempatan mendapat 100% jaminan mimpi terwujud?
Jiya tidak bilang kakaknya sudah gila loh, ya.
"Ah, nggak tau! Toh, gue nggak sendirian."
Tangan Jiya bergerak di atas kertas putih yang membutuhkan tanda tangan Gibran. Berbekal foto tanda tangan yang sudah dia ambil, Jiya menirunya. Sepertinya dia memang sudah gila, Jiya mengaku.
Nggak akan ada yang tau.
Sedari tadi terus merapalkan kalimat tersebut di dalam hatinya. Ia menutup mata, jantungnya berdegup dengan kencang saat ini.
"Oke, Jiya. Inhale exhale... "
Matanya terbuka kembali. Kepala Jiya menoleh ke kanan kiri. Setelah memastikan semuanya aman, ia menyimpan kertas pernyataan ke dalam buku. Beranjak berdiri, kemudian kakinya melangkah pergi dari perpustakaan untuk menemui Mela.
Tanpa dia tahu, seseorang memperhatikannya dari arah meja belajar. Ia tersenyum miring.
"Ngeliatin siapa, Din?"
"Hah?" Dina menolehkan kepala pada temannya, lalu menggeleng. "Bukan apa-apa. Udah dapet bukunya?"
.
"Atas nama Melania Hayyan dan Jihanna Adenium, Pak."
Mela menyerahkan dua lembar pernyataan wali murid kepada Zico, orang yang selalu berada di belakang Ms. Grace.
Zico ini kaku sekali. Jiya akui, pria di depannya berparas rupawan. Kalau kata Mela, cukup seksi dibalut jas hitam rapi berdasi yang pas dengan tubuh menjulang tinggi. Saat pertama kali melihat, Jiya kira Zico seorang model. Namun, kepribadiannya tidak selaras. Sangat kontras.
Jika boleh diumpamakan, mungkin akan cocok dengan robot. Benar-benar kaku, layaknya robot pribadi Ms. Grace yang selalu mengikuti perintah apapun dari guru itu.
Jiya merasakan senggolan Mela di sikunya, cukup bagi mereka untuk melempar kode merasakan aura canggung dan dingin.
"Em, anu, Pak. Apa semuanya sudah mengumpulkan surat pernyataan?" Mela bertanya dengan bahasa baku.
Saat di jalan tadi, dia berkata ingin membuktikan apakah Zico ini manusia beneran atau manusia robot yang diciptakan Ms. Grace.
Jiya meringis.
Semoga saja Zico tidak berpikiran aneh tentang mereka.
Dia bisa merasakan lirikan mata itu mampir, diikuti tangan yang merapikan tumpukan lembar pernyataan dari murid Kelas Bintang di atas meja.
"Tinggal satu orang."
Jiya dan Mela keluar dari ruang guru setelah Zico meninggalkan keduanya untuk menyetor lembaran tadi kepada Ms. Grace. Di koridor, Mela terus mengerutkan kening dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Tinggal satu orang... Siapa kira-kira?"
Bola mata Jiya bergerak memutar. "Ya menurut lo?"
"Pacar lo? Atau Aga?"
Langkah Jiya terhenti. Ia mendengus kesal. "Gue udah bilang jangan sebut pacar-pacar lagi, kan?"
"Aaaaa iya-iya, jangan marah, dong." Mela langsung menautkan tangannya pada lengan Jiya, bergelayut manja. "Maapin."
"Jangan diulang lagi."
Mela mengangguk saja sambil mengerucutkan bibirnya. "Tapi kok lo sensian banget, sih? Kan dia pacar lo."
"Tapi lo bahkan nggak bilang bener atau salah. Kalian beneran pacaran atau nggak sebenernya?" lanjut gadis itu penasaran.
Jiya menghela napas.
Berpikir lama.
Ia hendak membuka mulutnya, tapi berhenti lagi dan kembali berpikir.
"Ji?"
Yang dipanggil merengut, menutup wajah bagian atasnya. "Nggak tau gue!"
"Lah?"
"Dia... bikin gue bingung."
Jeda.
"Jo nyuruh buat ngejauhin, tapi gue kepikiran."
"Terus?"
Jiya menghela napas lelah. "Anggap aja udah putus?" Kalimatnya adalah sebuah pernyataan, tapi yang terlontar bernada tanya.
"Maksudnya gimana, nih?" Mela akhirnya mengibaskan tangan, enggan mengurusi. "Hubungan kalian rumit banget. Nyerah saya."
Ting!
Jiya menundukkan kepala, menatap layar ponselnya. Notifikasi yang tampil pada layar menunjukkan undangan untuknya.
"Birthday Party?"
Ia mengerutkan kening. Men-scroll ke bawah.
"Reynaldi Anggara."
Ah.
Lusa ulang tahun Rey rupanya. Megah sekali sampai diadakan party, pikir Jiya. Ia menoleh ke arah Mela yang sedang menunduk.
"Mel?"
Gadis itu menunjukkan ponselnya. "Kok gue juga diundang, Ji?"
Mela dan Rey tidak mengenal satu sama lain. Pertama, karena memang keduanya tidak pernah kenalan. Kedua, beda jurusan.
"Anjir, gemeteran gue diundang gini. Gimana lo yang dulu tiba-tiba duduk bareng, Ji?" imbuh Mela.
Jiya hanya menggeleng. "Mungkin karena lo anak Kelas Bintang juga?" Ia tak yakin.
Mela mengangguk-angguk. "Masuk akal. Artinya, semua murid Kelas Bintang diundang sama dia?" Ia menganga. "Wah, pesta ulang tahun berasa pesta bareng anak-anak pinter."
.
"Sialan!"
Rey hampir melempar bukunya kaget mendengar umpatan keluar dari mulut Aga yang sejak tadi anteng goleran di bawah sofa. Ia melirik ke belakang. "Apa sih, Ga?"
"Kalian serius bakal diem-dieman kek gini, hah?" kesal Aga sambil berdiri. Tangannya sudah berkacak pinggang, melotot ke arah Rey dan beralih pada Jo yang sibuk memejamkan mata di atas sofa.
"C'mon, guys! Ini udah berapa hari dan kalian masih marahan? Kayak banci lo pada!"
Penghinaan itu membuat Jo mengerutkan keningnya, lantas membuka mata dan menatap tajam Aga.
"Apa lo liat-liat!"
Dan dibalas tajam juga oleh gadis itu.
Rey menghela napas. Dia juga sudah lelah sebenarnya. Bukan Jo yang salah, sebab sejak awal dia sendiri yang memulai. Jika tidak main-main dengan Jiya menggunakan ancaman video itu, Jo juga tidak akan bertingkah.
Tapi tetap saja, gengsi dalam dirinya lebih besar. Lagipula, Rey merasa Jo terlalu berlebihan. Toh, ia belum menyebar video Jiya.
Bola matanya bergerak menatap tubuh Jo bangun dan duduk. Mereka saling menatap, tatapan tak mau kalah.
"Lo belum hapus videonya?"
Melihat Rey hanya diam membuat Jo geram. "Gue nggak main-main sama ucapan kemarin, Rey."
Aga mengusap wajah frustrasi. Lagi-lagi dia harus turun tangan mengurusi dua cowok keras kepala ini.
"Stop, Jo. Jangan mulai lagi."
Tatapan Jo beralih pada Aga, tersenyum sinis. "Tau apa lo? Yang memulai di sini bukan gue."
Wah.
Aga tak sanggup berkata-kata lagi. Dia mengepalkan tangan. Sialan sekali si Jo ini.
"Gue udah hapus." Rey mengalihkan atensi keduanya. "Bahkan sebelum ujian Kelas Bintang, video itu udah gue hapus."
Aga menatapnya. "Kenapa nggak bilang dari awal?" Jika Rey mengatakannya dulu, pertengkaran itu tidak akan terjadi.
"Nggak akan ada yang berubah, Ga. Gue udah ancam cewek itu. Oke, gue ngaku salah. Tapi gue makin penasaran." Rey bangkit dari duduknya, berjalan dan berhenti di hadapan Jo. "Ada sejarah apa di antara kalian berdua sampai lo sejauh ini?"
Jo ikut berdiri.
Aga sedikit mundur, berada di tengah-tengah titan seperti mereka tidak menguntungkan.
"Itu bukan urusan lo."
Senyum kemenangan Rey muncul. Daripada mengelak, Jo justru memberikan jawaban lain. "Berarti sejarah itu memang ada."
Tatapan mata Aga mengarah pada Jo. "Kalian udah saling kenal sejak lama?"
Kepala Jo menunduk, lalu mengangguk beberapa kali. Saat ini dia tidak bisa menutupinya lagi.
"Karena kalian udah tau, gue tekanin satu hal." Ia mengangkat kepala, menatap kedua temannya. "Jangan pernah ganggu dia."
Jo pergi dari markas pribadi mereka.
Aga tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri. Ia menyisir surai hitamnya dengan tangan. "Berengsek."
Ini tidak adil.
Aga dan Rey. Mereka berdua mengetahui rahasia satu sama lain. Begitupun Jo, tidak mungkin Jo tak tahu apapun tentang keduanya. Jo tahu, sangat paham bagaimana kehidupan Aga dan Rey karena mereka sudah bersama sejak lama.
Namun, Aga dan Rey tentang Jo?
Nol besar.
Jo masih abu-abu, hingga detik ini.
Pria itu terlalu menutup diri, bahkan pada mereka berdua.
Rey menepuk pundak Aga, menenangkannya. "Biarin dia dulu."
"Lo nggak ngerasa Jo seberengsek itu, Rey? Dia tau semua tentang rahasia gue, semua tentang lo. Sedangkan gue sama lo nggak tau apapun tentang dia."
"Jo udah kenal Jiya sejak lama. Fuck, is he kidding me?" imbuh Aga tak menyangka.
Rey diam, membenarkan.
Dia menatap pintu yang masih terbuka. Pernyataan Aga benar adanya. Mereka tidak tahu sedikit pun tentang Jo, sebab Jo tidak pernah menyinggung tentang kehidupan pribadinya.
Tapi dia yakin akan satu hal.
Jo dan Jiya sudah bertemu.
Jauh sebelum pertemanan ketiganya terjadi.
.
tbc
.
bonus
.
"Huaaa Mama... "
Suara tangisan seorang gadis kecil yang memasuki kelas menarik atensi dua bocah itu. Gadis tadi menutupi matanya tanpa menghentikan isak tangis, berjalan dan duduk di samping mereka. Bando merah muda tampak mencolok, ditambah tas kecil model unicorn.
"Hei, kamu kenapa nangis?" Satu bocah laki-laki yang duduk di kursi sebelah bertanya dengan khawatir.
"Huaaa mereka nakal sama Aga!"
Bocah itu terkejut saat Aga menunjukkan wajah melasnya. Seluruh wajah Aga basah karena air mata. Ingusnya sampai keluar.
"Mereka jahat sama Aga. Jajan Aga diambil semua sama mereka, huaaa!"
"Eh eh, tenang dulu. Duduk dulu, ya. Kita lapor ke Bu Guru."
Aga langsung menggeleng. Tangisannya semakin keras. "Kalo Aga lapor, mereka bilang bakal ambil jajan Aga lagi besok. Mereka nakal banget."
"Cengeng." Bocah lain yang duduk di belakang Aga menyeletuk.
Mereka berdua menengokkan kepala bebarengan.
"Aku nggak cengeng!"
"Itu nangis terus."
Aga mengusap air matanya. "Ini nggak berhenti keluar huaaa!"
"Eh jangan nangis lagi." Satunya berusaha menenangkan kembali. "Kita bikin rencana aja, yuk. Ambil jajan kamu lagi."
Tangisan Aga langsung berhenti. "Kamu bisa ngalahin mereka?" tanyanya penuh harap.
"Mereka ada berapa?"
"Ada tiga orang."
"Kalau gitu nggak cukup kuat, kita cuman berdua." Ia terdiam, langsung menolehkan kepala lagi pada bocah yang masih setia duduk di belakang kursi Aga. "Oke, kita udah pas bertiga."
"Aku nggak ikutan!"
"Kamu harus ikut! Kalau nggak ikut, berarti kamu orang jahat yang nggak mau bantuin temen." Ia menjulurkan lidah, merasa menang.
Tidak terima dengan hal itu, bocah tadi akhirnya mengalah. Aga menatap keduanya berbinar. "Yeay, Aga punya dua temen! Nama kalian siapa?"
"Nama aku Reynaldi. Aga bisa panggil Rey aja."
"Oke, Rey." Aga menolehkan kepala ke belakang, menunggu perkenalan selanjutnya.
"Aku Jonathan, panggil Nathan."
"Jo aja biar gampang. Oke ini Rey dan ini Jo."
Jo mengernyit, lalu merengut tak suka dengan panggilannya.
"Kita bikin rencana dulu buat lawan mereka, yuk."
.
Ketiga bocah yang baru masuk SD itu berjalan keluar kelas dengan langkah berani. Aga paling depan, sudah siap membasmi musuhnya dan bersiap merebut kembali jajan yang sudah direnggut oleh mereka.
"Awas aja, kalian! Temen-temenku nggak akan kasih ampun nanti."
Dengan wajah gembira, Aga memanggil nama tiga orang dengan keras. Dia tersenyum lebar, memberi kode kepada Rey dan Jo yang pasang badan di belakang.
"Ingat rencana kita, ya. Jangan sampai kita kalah sama mereka," ujar Rey memimpin rencana.
Tiga orang yang dipanggil Aga sudah keluar.
"Wah, sekarang udah punya teman, ya?"
"Itu namanya Budi. Dia ketuanya," tunjuk Aga pada bocah yang tadi bersuara.
"Hei, kamu kalau mau nakal jangan sama cewek! Kata kakakku namanya banci!" Rey berteriak.
Budi marah.
"Apa kamu bilang?! Kamu nggak takut sama kami, hah?"
"Nggak takut!" Aga menjulurkan lidah.
"Kalian itu masih kecil, pasti kalah sama kami nanti!"
"Stupid."
Satu kata itu keluar dari mulut Jo.
"Kalian bertiga, kami juga bertiga. Itu jumlah yang seimbang, perbandingannya sama. Belum tentu kalian menang," lanjut bocah itu lantang.
Beni menatap Jo aneh. "Kamu siapa berani ngomong gitu, hah?" Ia beralih menatap teman di sampingnya. "Heh, panggil temen-temen kita yang lain!"
Tak berselang lama, lima orang datang.
"Mereka berdelapan... " Nyali Aga ciut.
"Jangan takut! Kita masih punya rencana," ujar Rey berani.
"Curang. Kamu bilang mereka cuman tiga." Jo melirik Aga sengit. Dia tidak suka kekalahan, tapi melihat frekuensi lawan lebih banyak dari mereka sudah bisa dipastikan siapa pemenangnya.
"Ya kan aku nggak tau!"
"Hahaha, kalian sekarang takut, kan? Teman-teman, cepat ambil semua jajan mereka!"
"Rencana tiga dalam hitungan tiga detik." Rey bersiap menghitung. "Satu... "
Aga dan Jo juga bersiap.
"Kabur!!!"
Rey langsung berlari sambil menarik tangan Aga, meninggalkan Jo yang berteriak marah di belakang mereka.
"Dasar nggak pinter ngitung kamu, Rey!!!"
.
Rey-Aga-Jo
btw, gue dulu pas sd pengin masuk salah satu sma. rill, sma itu punya yg namanya kelas bintang kayak cerita ini. isinya anak-anak pinter, gue nggak terlalu tau sih gimana sistemnya. tapi nyokap pengin banget gue masuk kelas itu. ini nyokap yg nyeritain, tetangga gue ada yg masuk sana soalnya.
DAN MONMAAP YAAA, gue lupa² inget karena itu udah 8 tahun lalu. tapi jelasnya emang ada beneran.
itu alasan gue kasih nama kelas bintang di sini.
sedihnya, waktu gue mau masuk ke sma itu, kelas bintang udah dihapus huhuhuu.
fyi, gue pernah ngubek-ngubek google buat nyari infonya, tapi nggak ketemuuu ges 👀
apa emak gue ngibul ya?
sekolah kalian punya nggak, kelas buat anak-anak pinter gitu?
sorry lama up, lg overthinking 🐒
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top