🥀 Chapter 07
“Aku akan menjagamu, Yoora.” Ucapan itu keluar begitu saja dari bibir Changbin.
“A ... apa?” tanya Yoora dengan keraguan, tangannya mengusap sisa-sisa air matanya.
Changbin melihat Yoora yang tidak melihatnya balik. Dengan pasti, dia kembali menjawab dengan kalimat yang sama, “Aku akan menjagamu, Yoora.”
Yoora tersenyum kecil di wajahnya yang sembab karena menangis, “Apakah kita tetap berteman, Binnie?’
Changbin mengambil susu kotak tersebut dan menusuknya dengan sedotan yang disediakan, memberikannya langsung di tangan Yoora, “Iya, Yoora.” Ucapnya tanpa berpikir panjang.
Changbin mengulurkan tangannya kembali, di depan wajah Yoora, dia mengusap pipi Yoora yang dibanjiri air mata dengan kedua jempolnya.
“Jangan menangis, Yoora.”
Yoora tersenyum dengan wajah setelah menangis, dia berusaha menggapai lengan Changbin, pemuda yang paham itu, mengambil tangan Yoora dan meletakkannya di lengannya sendiri yang masih bertahan di angkasa. Karena, mengusap air mata.
“Terima kasih, Binnie.”
▪︎▪︎▪︎
Changbin POV
Aku pulang setelah memastikan Yoora menaiki mobil jemputannya. Aku tidak melihat Mama siang ini. Tetapi, ketika aku mendengar suara tembakan, aku langsung menuju ke belakang rumah tanpa berpikir panjang.
“Ma,”
“Oh? Kau sudah pulang, Changbin?”
Aku mengangguk, melepaskan tas sekolahku dari pundak dan meletakkannya sembarangan di salah satu kursi sebelum menemui Mama yang sibuk menembak pohon dengan pakaian serba hitamnya.
“Teman Yoora meninggal.” Ucapku dengan tanpa minat melihat Mama menekan pelatuknya.
“Kenapa?”
“Kehabisan waktu. Yoora menjadi tidak tersenyum hari ini. Aku melihatnya menangis di rooftop.” Jawabku tanpa sadar menaikkan intonasi bicaraku. Aku tidak tahu, aku tidak ingin bayangan dimana Yoora menangis kembali terngiang di otakku.
“Bagaimana denganmu, Changbin? Apa perasaanmu saat mendengarnya?” tanya Mama memberikan senapannya pada salah satu anak buah Mama dan memfokuskan perhatiannya kepadaku.
“Aku tiak tahu. Tapi, aku tidak ingin melihat Yoora menangis.”
Kulihat Mama tersenyum, dan lagi-lagi, aku tidak bisa mengetahui alasan dibalik senyumnya Mama.
“Kamu menyayanginya, sayang.”
Aku tertegun, menyayanginya? Apa jawabanku bisa diartikan seperti itu?
“Kamu mau menjaga senyumnya, ingin terus melihat senyumnya, tidak ingin melihat tangisannya. Kamu menyayanginya. Kamu mungkin tidak sadar, sayang. Tapi Mama bisa melihat, kamu nyaman dengannya.”
Apakah aku seperti itu?
Aku nyaman dengannya?
Aku tidak bisa memutuskannya sekarang, tapi jika Mama mengatakannya seperti itu. Maka kemungkinan besar itu adalah kebenaran.
▪︎▪︎▪︎
Author POV
“Maukah kamu, Changbin?”
Changbin melihat Jiyeon dengan tatapan biasa, “Aku tidak bisa.”
“Aku hanya bisa berharap padamu, Changbin. Kita memang belum dekat. Tapi, bukan itu masalahnya sekarang. Yoora ... aku tidak bisa pergi damai jika dia tidak ada yang menjaganya di sekolah.”
“aku mohon, bantu aku menjaganya, heum?”
Changbin mengeluarkan napasnya, “Akan aku lakukan.”
Jiyeon tersenyum puas, dia segera mengupas buah-buahan tersebut dan meletakkannya di piring bersih.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah kematian, tetapi, aku ... semoga kamu mendapatkan ketenangan di sana, Jiyeon.”
Jiyeon tersenyum samar, dia mengangguk, “Pasti. Aku akan menjemput ajalku di usia semuda ini. Tuhan pasti sangat menyayangiku. Bantu aku bawa ini ke gazebo. Yoora pasti menunggu kita.”
Changbin membawakan piring berisi banyak jenis buah-buahan, sedangkan Jiyeon membawakan tiga gelas berisi sirup.
“Sudah menunggu lama, Yoora?”
Yoora menggeleng, “Tidak, Jiji. Bagaimana keadaanmu sekarang? Apa sudah baikan?”
Jiyeon mengarahkan pandangannya ke arah Changbin sebentar, dia menganggukkan kepala lalu tersenyum lembut, dia mengenggam kedua tangan Yoora dan menepuk telapak tangan putih itu dengan lembut, “Aku baik-baik saja. Besok ... aku akan ke sekolah.”
Yoora tersenyum, “Baguslah. Aku kangen ke sekolah bersamamu, Jiji.”
“Aku juga, Yoora. Aku akan merindukan semua kegiatanku di sekolah.” Jiyeon membalas dengan wajah menahan tangis, kalimat terakhir tidak sanggup dia utarakan kepada teman baiknya ini, berakhir hanya bisa disuarakan di relung hatinya saja.
“Terkadang aku penasaran dengan kematian, menurutmu, setelah kita meninggal, kita kemana?” tanya Jiyeon basa-basi. Topik seperti ini bukanlah hal tabu di sini, banyak yang beropini terkait topik ini.
Beropini tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya.
“Aku membayangkan, kalau jiwa kita masih hidup, kita mengingat semua yang kita lakukan. Kita menuju tempat lain yang antah berantah dimana, Jiji. Kita di sana menjadi lebih bahagia, tenang, merasakan kedamaian yang tidak pernah kita dapatkan di sini.”
“Sangat bagus jika itu adalah tujuan kita semua setelah kematian.” Ujar Jiyeon yang mengusap air matanya yang mengalir tanpa ada suara isakan.
“Kenapa membahas ini, Jiji?”
Jiyeon tersenyum, dia memeluk Yoora, “Tidak ada. Aku hanya terpikir hal ini tadi pagi, dan bertanya kepadamu. Aku juga berpikir seperti itu. Tapi, bagaimana jika ketika kita mati, jiwa kita juga ikut lenyap?”
“Tidak akan, Jiji. Aku yakin kita akan masuk ke dunia yang sangat baik.”
Jiyeon mengangguk, memeluk Yoora lebih erat, berusaha menyampaikan ucapan perpisahan tersirat kepada Yoora.
“Mari makan buahnya, Yoora. Kamu harus tetap sehat.”
“Jiji juga.” Ucap Yoora dengan senyum hangat. Jiyeon mengangguk.
“Iya, Jiji juga. Changbin, ... ayo makan buahnya.”
Yoora menangis lagi untuk kedua kalinya. Tubuhnya langsung merosot jatuh ketika turun dari mobil. Dia lagi-lagi tidak dapat menahan dirinya.
“Sayang!” pekik Hani ketika mendengar debuman keras di halaman rumahnya.
[Kediaman Kang Yoora]
[Cr : pinterest]
“Ma ... hiks Mama!”
Hani langsung memeluk Yoora yang terjatuh di tanah, mendekap kepala Yoora, ikut menangis karena turut merasakan kesedihan anaknya. Berusaha menenangkan anak keduanya. Karena, Jiyeon sudah dia anggap merupakan anaknya sendiri.
Semua orang tahu akan kematian Jiyeon, kecuali Yoora.
Karena, jam tangan yang dipakai.
Yoora dipapah masuk ke dalam rumahnya sendiri, didudukan ke sofa dengan Hani yang terus menerus mengusap air mata anaknya.
“Kalian hiks, semua pembohong.” Ucap Yoora yang tersendat-sendat.
Hani menggeleng, tidak ada seorangpun yang berniat membohongi anak gadis ini. Sekalipun itu Jiyeon, Jiyeon sendiri yang meminta kepada mereka untuk bersikap baik-baik saja jika ada Yoora di dekat mereka.
“JIJI MENINGGAL! KENAPA KALIAN TIDAK MEMBERITAHUKU? Hiks ... hiks ... Huwaaaaa. Kalian pembohong.”
Yoora meraung keras, Hani kembali mendekap badan anaknya, “Tidak ada yang membohongimu, sayang. Kami sama terpuruknya denganmu.”
“Kalian jahat.”
Hani menggeleng dengan mata yang tetap mengeluarkan air mata, “Tidak, sayang. Jiji sendiri yang meminta kami. Kami tahu kamu akan bereaksi seperti ini.”
“Kalau begitu, Jiji dimana, Ma?”
“Dia masih di rumah, sayang. Mau Mama bawa ke sana?”
Yoora mengangguk dengan ribut.
▪︎▪︎▪︎
Yoora mendekap mulutnya sendiri, ketika menginjak kediaman Jiyeon. Dia bisa mendengar banyak isak tangis untuk Jiyeon.
“Nak Yoora,”
“Tante Irene,”
Irene mendekap gadis tersebut dan menguraikan air mata, “Maaf, sayang. Tante tidak berniat membohongimu.”
Yoora menggeleng kepala, “Ini pasti berat untuk Tante. Tante harus sabar. Jiji pasti ditempatkan di tempat yang paling baik.”
“Pasti. Anak Tante adalah orang baik. Mau melihatnya, Nak? Jiji meminta untuk tidak dimakamkan sebelum kamu datang.”
“Mau, Tan.”
Yoora dituntun oleh Irene, dengan Hani di belakangnya. Dia memasuki kamar pribadi Jiyeon dan berjongkok di sisi kasur dimana terbaring teman baiknya di sana. Yoora menepuk kasur tersebut dengan pelan, mencari tangan Jiyeon.
“Tangannya.”
Irene langsung menghubungkan kedua tangan persahabatan tersebut. Yoora mengenggamnya seolah tidak ada hari esok. Tangan yang biasanya terasa lembut dan hangat, berubah menjadi dingin dan beku.
“Terima kasih untuk semuanya, Jiji. Kamu adalah teman baikku, sahabatku, semuanya bagiku. Terima kasih telah terlahir di dunia ini. Pertemuan singkat ini sangat berharga, aku bersedia jika masih ada kehidupan mendatang dipertemukan lagi denganmu.”
Yoora membawa tangan beku tersebut untuk didekap di dekat pipinya. Menangis di depan mayat temannya.
“Kamu benar! Astaga! Aku melupakan tugas itu. Apa kamu bisa membantuku?”
“Ya, kamu masih punya banyak waktu. Jarum jamnya berada di angka empat. Kamu punya waktu yang sangat banyak. Kamu akan mendapatkan donor matamu dan kita bisa kembali bermain dan jalan-jalan seperti dahulu kala, Yoora.”
“Tidak ada. Aku hanya terpikir hal ini tadi pagi, dan bertanya kepadamu. Aku juga berpikir seperti itu. Tapi, bagaimana jika ketika kita mati, jiwa kita juga ikut lenyap?”
“Mari makan buahnya, Yoora. Kamu harus tetap sehat.”
Ternyata, kamu yang tidak punya banyak waktu tersisa, Jiji. Maafin aku yang tidak peka terhadapmu.
Mari bertemu di kehidupan mendatang lagi, ... sahabatku.
▪︎▪︎▪︎
Our Tomorrow | Chapter 07
Done
▪︎▪︎▪︎
Hai, bagaimana dengan chapter kali ini?
Besok aku masih update, kok. Sudah kusiapin, tinggal menunjukkan ke kalian semua.
Omong-omong, besok Nginep juga bakalan update.
See ya ^^
︎▪︎▪︎▪︎
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top