Cerita Enambelas: Berubah itu Penting

Seminggu kemudian, aku sehat total. Tubuhku tidak lagi lemas dan panas. Aku bahkan rajin sarapan dan makan siang setelah temanku mengancam akan membekaliku sayuran mentah setiap hari.

Sampai pada satu hari Sabtu, kami berdua pergi ke taman dan duduk di bangku di bawah pohon minyak kayu putih. Temanku mengambil satu-dua daun, meremasnya, dan membiarkanku mencium wanginya yang menenangkan.

"Kalau usaha minyak kayu putih, boleh juga," cetusnya tiba-tiba.

"Jangan, ini pohon orang." Aku menyela. Temanku langsung terkekeh dan mengacak rambutku gemas. Aku menggeram sesaat, kemudian ia tobat dan merapikan rambutku kembali. Kedua tangannya terhenti menangkup wajahku. Kami berpandangan. Tatap-tatapan.

Entah kenapa, kali ini raut wajahnya sangat serius. Tidak jahil pun tengil seperti waktu-waktu lalu.

"Aku mau ngingat wajah ini selamanya."

"Kenapa?"

Temanku mendesah. Kemudian melepas tangkupannya dan mengambil bekal berisi bolu yang tergeletak di samping tempat duduknya.

"Ayo makan, kusuapin ya ... aaaaa."

"Jawab, kenapa? Waktuku sudah dekat?"

Temanku terdiam. Bolu di tangannya menggantung di udara. Semilir angin datang dan menerbangkan daun minyak kayu putih yang diremasnya tadi ke tanah.

"Ya. Sebentar lagi. Tapi jangan takut, gak sakit kok, aku janji gak bakal kasar. Kamu jangan khawatir."

Ada rasa gelitik samar di dalam dadaku. Aneh. Seharusnya aku cemas sekarang. Namun tidak, aku tenang seolah perjalananku akan berakhir dan inilah saatnya bagiku untuk istirahat.

Terlalu banyak hal di dunia ini yang sudah kukecap. Entah apa aku bisa menanggung beban masalah ke depan, aku ragu, karena aku sendiri tahu kemampuanku bagaimana. Jika aku lanjut hidup, aku hanya akan berakhir menjadi seonggok manusia yang sakit jiwa. Iya jika aku masih bisa bertahan dan melawan pikiran jahat, kalau tidak?

Lantas aku tersenyum, menggenggam tangan temanku dan menatapnya dalam-dalam. "Tidak apa-apa, aku siap." Kemudian ia terperangah bahagia. Memelukku. Lalu kami berdua larut dalam momen sederhana di taman, hanya dengan sebekal bolu dan sejuta kisah di antara daun-daun taman.

Keesokan harinya, aku berusaha semaksimal mungkin menjalani hidup sebelum hari H. Setiap berpapasan dengan dosen, aku akan menyalami mereka. Menegur, melempar senyum, meski sering tak berbalas. Aku tetap geming dan terus melakukannya sampai beberapa dosen balik menyapa dan kami terlibat obrolan singkat.

Ya, pagi ini masuk.

Mata kuliahnya memang sulit, tapi selama absensi penuh, tidak masalah.

Tumben, ada apa nyapa?

Kamu cantik kalau banyak tersenyum.

Teman-temanku juga mulai merasakan perubahannya. Aku jadi lebih riang, tidak lagi berbicara ngawur dan sering mengangkat tangan saat dosen berujar, "Ada yang ingin ditanyakan?"

Kesempatanku makin sedikit. Aku ingin mencoba segala hal yang tidak pernah diriku dulu lakukan. Termasuk presentasi terlebih dahulu dan mengambil kerja lebih aktif dalam penyusunan makalah dan diskusi. Lambat laun, Ika tidak lagi khawatir. Icha dan Bertha jadi semakin lengket, dan Nisa tahu, kami tidak lagi berisi satu orang pesakitan yang suka murung dadakan.

Selama itu pula, aku mencoba gaya rambut baru. Aku tidak pernah serius memotong rambutku sebelumnya. Kukatakan pada Icha, kalau aku ingin mencoba berubah dan menjadi diri yang baru.

"Buat apa sih, wisuda juga masih lama."

"Biar pas mati, aku gak kucel-kucel amat."

Icha terkekeh, mungkin dipikirnya ini lelucon. Tetapi ia sungguh-sungguh mengantarku pada sebuah salon dan memotong pendek rambutku. Saat berkaca, aku benar-benar berbeda dan menjadi orang lain. Wajahku sedikit bulat bila terbingkai sampai dagu begini. Belum cukup, pihak salon memberiku sedikit tips memakai make up dan mengijinkanku mengoles lip balm, eyeshadow, dan perona pipi.

Lagi-lagi aku tampak berbeda.

"Ih cantik, coba dari kemarin begini, pasti banyak yang naksir." Lalu Icha mengambil foto selfie dan menyebarkannya di media sosial. Tahu-tahu, keesokan harinya beberapa cowok menyenggol bahuku dan tersenyum aneh.

"Ehciye yang berubah. Ada gebetan?"

Aku menggeleng. "Udah punya pacar."

"Hah, siapa?"

Aku mengedipkan mata jahil. "Rahasia."

Di rumah, aku lebih rajin membersihkan pekarangan. Bunga-bunga asoka kupangkas, rumput kucabut, daun-daun gugur kusapu, halaman harus bersih. Itu prinsipku, sebelum Bibi pulang. Kebetulan Anastasia dan Meilina ke rumah. Keduanya membawa macam-macam bahan pembuat kue dan mengajakku merayakan ulang tahun bibi yang ke-50.

"Sekali-sekali, kita bikin pesta kejutan."

Aku setuju. Selagi aku dan Anastasia meramu adonan, Meilina menggunting kertas krep dan mengukirnya menjadi berbagai bentuk untuk digantung di sudut-sudut ruangan. Tak lupa beberapa balon kami tiup sebagai dekorasi.

"Eh, kamu potong rambut?"

Mereka baru sadar penampilanku sudah berbeda. Mendadak kecanggungan melingkupiku.

"Cantik. Gitu dong, coba gaya baru. Aku punya banyak baju di lemari, udah gak kepake. Kayaknya pas kalau kukasih ke kamu."

"Hehe, makasih." Aku tersenyum samar, menahan bahagia dan melampiaskannya ke dalam krim yang harus dikocok kuat-kuat.

Sorenya, ketika rumah sudah rapi dan pekarangan bersih. Bibi pulang dan kami sambut dengan antusias. Bibi sempat kaget, tidak percaya ada yang masih mengingat ulang tahunnya, bahkan ia sendiri lupa kalau sekarang hari istimewanya.

Bersama, kami menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Menyilakan Bibi meniup lilin berbentuk 50 di atas kue berhiaskan cha-cha coklat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top