Cerita Dua: Sosok Misterius
Aku dititipkan pada saudara ibu. Ia wanita galak, tegas, dan tidak segan-segan marah bila aku berbuat salah. Jarang memuji, bahkan sering mengait-ngaitkan keberadaanku pada ibu yang gagal dan dibutakan cinta. Sekarang lihat, wanita itu memulai, ibu menderita karena kesalahannya sendiri dan tidak waras sampai memutuskan bunuh diri.
Aku diam saja. Tidak peduli pada ocehannya karena masih sakit ditinggalkan orang tua kandung. Bibi yang mendapat respons dingin akhirnya muak dan tidak jadi memanjangkan cerita kegagalan ibu. Kami mulai menjadi sepasang asing di rumah. Tidak pernah bercengkerama.
Kamarku kosong dan terasa menyesakkan. Tidak ada lagi dongeng, bulan yang menari, dan sepatu yang terbuat dari bintang. Semua cerita-cerita itu menjadi ampas di dasar laci kenangan.
Hidupku jadi menjemukan dan rasanya ingin mati, meninggalkan hari-hari yang membosankan dan terbang ke langit, di mana orangtuaku tengah berbulan madu di atas awan. Tetapi aku takut mengiris pergelangan tangan. Kemudian menyerah dan sadar, butuh keberanian lebih untuk menggantung leher dan melompat dari ketinggian. Ayah ibu pasti menderita sekali.
Setiap kali hendak berhadapan dengan maut, aku selalu terbayang wajah sedih ibu, bagaimana sengsaranya ayah, dan kemarahan bibi bila tahu aku mengkhianati kebaikannya dengan menjadi mayat tidak berguna.
Lagi, aku mengurungkan niat mengakhiri nyawa keseribu kalinya, melanjutkan hidup, dan mengikuti tahap demi tahap pendidikan. Sekarang aku berada di kelas dua SMA dan tidak punya banyak teman.
Mereka bilang aku terlalu diam dan pemurung. Tidak asyik diajak ngobrol, diskusi pun alot dan senang melamun sampai lupa bahwa lawan bicara tengah serius ngomong.
Kadang aku mendengarkan, mengangguk sebagai tanda paham, dan membalas satu-dua kata agar ia tahu bahwa aku menyimak percakapannya. Orang-orang kelas tidak pernah tahu luka yang kuderita, sakit dari merasa bosan setiap hari, dan kepala yang selalu dipenuhi pikiran negatif.
Mereka pikir pendiam adalah karakterku. Tukang menyepi di kursi kelas. Tidak suka keramaian. Padahal di bawah meja, aku tengah mencengkeram pecahan penggaris kuat-kuat. Melampiaskan tangis yang hampir tumpah ke rasa sakit.
Untuk apa aku hidup? Aku bertanya pada langit biru dan awan yang seputih kapas. Tidak ada jawaban, cuma semilir angin yang membelai air mata.
Sesungguhnya aku butuh teman bicara, teman yang tahu betapa sakitnya pikiranku. Tetapi aku sangsi, orang kelasku rata-rata berasal dari keluarga utuh dan bahagia. Masalah mereka paling seputar nilai, penampilan, dan gebetan. Tak ada yang serius menyelami dasar jurang untuk mencecap kesedihan.
Entah kenapa, aku dan mereka seperti dihalangi rekahan bumi yang lebar. Merasa dikucilkan secara tidak langsung ke sudut paling gelap, agar tidak mencemari senyum mereka yang cerah merona.
Wajah bahagia mereka amat menyilaukan, begitu perih dan menyakitkan. Seolah aku tidak pantas memiliki perasaan tersebut. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku tersenyum, atau bersyukur masih bisa hidup dan sehat tanpa kekurangan.
Seharusnya aku berdoa, memohon ampun pada Tuhan karena hidupku masih lebih baik daripada ribuan anak di bawah garis kemiskinan. Seharusnya begitu ... aku harusnya seperti itu ... tetapi itu masalah mereka. Masalahku adalah milikku, masalah mereka adalah milik mereka. Apakah dengan mengasihani dan bersyukur di atas penderitaan orang dapat membuatku bahagia?
Tidak. Batinku kekeringan, retak-retak, dan kesakitan. Sepulang sekolah aku mencengkeram pagar pembatas di lantai tiga. Di sini sangat tinggi sampai-sampai anak-anak di lapangan tampak seperti semut yang merambati dinding. Jika aku jatuh dengan kepala mendarat lebih dulu, aku pasti akan mati. Seketika. Tanpa harus merasakan sakit lama-lama.
Aku mendekatkan diri lagi sampai menempel pada pagar pembatas. Embusan angin semakin kuat, seakan mendorongku mundur dan menyerah. Tetapi aku mengencangkan pegangan, mengeraskannya sampai buku-buku jariku memutih dihimpit tekanan.
"Kalau melompat, kamu akan jadi malaikat kematian lho," seru seseorang di belakang , ringan tanpa beban. Laki-laki. Aku langsung berbalik dan mendapati wajah asing memakai seragam sekolah.
Aku ketahuan!
Aku mengencangkan kewaspadaan. Jantungku berdebar, adrenalin memuncak dan berdesir di dalam pembuluh darah. Ujung-ujung jariku mendingin dan mati rasa, ada tremor samar merambati lengan dan kedua kakiku.
Aku ketakutan?
Kurasa sosok itu seusiaku. Ia tersenyum jahil dan bersandar pada dinding sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. Dagunya terangkat, kedua matanya menantang dengan kesan meremehkan.
Detik berikutnya, panas mengaliri pipiku. Seperti lahar, melelehkan segenap perasaan yang membatu dalam dada. Ada perasaan ingin menghilang, menjadi angin, atau tembus pandang. Namun aku tetap geming oleh kebingungan.
"Eh, gak jadi? Padahal seru jatuh dari situ, gak sakit," ucapnya lagi, aneh—sangat aneh. "Langsung byar dan besok terbangun tanpa memori. Paling cuma ingat alasan mati."
Dia gila, itu kesimpulanku. Mungkin dia anak dari kelas lain yang kebetulan memergoki dan mempermainkanku. Menganggap percobaan bunuh diri itu lucu. Apa ia tidak tahu sakit batin yang kutanggung? Apa ia tidak mengerti betapa hancur dan rapuhnya keinginan hidupku sekarang?
Dasar berengsek!
Laki-laki itu mengekeh geli dan memamerkan senyum miring. Seperti dihina, dadaku menggelegak saat itu juga dan hampir meledak. Bom waktu yang kusimpan sebentar lagi meletus. Aku maju berhadap-hadapan dengannya, mengangkat tangan, dan menampar wajahnya keras-keras sampai ia tersungkur merunduk.
Laki-laki itu jatuh di atas lantai karena limbung. Aku mengangkat tangan yang sudah memerah lagi. Detak jantungku beradu cepat dengan napas, mataku memanas, seluruh organ dalam dadaku seakan hendak melompat keluar dan menyumbat tenggorokan. Aku murka, marah karena ...
Ia menengadah, mengelus pipi merahnya yang perih. "Apa? Pukul lagi kalau belum puas. Nih, sebelah kanan! Ayo, tampar kalau bisa!" Laki-laki berdiri sekepala lebih tingggi dariku—memicingkan mata. Aku mundur, ngeri sekaligus tidak mengerti. Ia menyodorkan wajahnya sambil berkacak pinggang dan tidak takut sama sekali.
Benar-benar aneh!
Aku menurunkan tangan, tidak jadi mengonfrontasi, menggigit bibir bawah agar tidak menangis histeris. Kakiku lunglai terpaku di atas lantai. Tubuhku lemas, tetapi kupaksakan tegap. Udara seakan melonjak ke suhu mendidih. Membuat gerah dan terbakar.
"Cukup!" teriakku akhirnya. Lalu berpaling dan kabur melewati selasar sepi ke tangga utama. Kakiku berderap keras. Dalam pelarian sesekali kuseka air mata yang mengaburkan pandangan. Aku begitu ingin pulang dan meringkuk malu di bawah bantal.
Laki-laki itu gila, aku pun ... kenapa bisa seemosi itu?
Tiba-tiba kakiku terpeleset di puncak anak tangga, hilang pijakan dan pegangan ke depan. Jantungku mencelus melihat sisi luar sudut anak-anak tangga yang seperti penggilingan daging dan akan mencacah tubuhku. Beberapa mili detik itu aku sadar, aku akan jatuh dengan sangat keras dan menyakitkan.
Lalu tersadar bahwa ... tolong ... tidak ingin mati ... aku!
Kumohon siapapun!
Kupejamkan mata, bersiap pada hantaman. Alih-alih menabrak keramik, aku justru mendarat pada sebidang padat yang hangat. Napasku memburu, aroma sabun antiseptik memenuhi indra pembauku. Aku membuka mata di balik kabut air mata. Mendapati laki-laki itu tengah mendekapku kuat-kuat dalam rengkuhannya.
BAGAIMANA BISA?!
Aku hampir menjerit, menjengkangkan tubuh dan kaget. Panik melanda, ia tetap memegangiku tanpa gangguan. Memintaku mengencangkan pegangan. Tetapi aku tidak bisa mendengar apa-apa, syok. Lalu ia berlari menuruni tangga dengan kecepatan dan kehalusan seekor rusa. Membuatku sekali lagi ketakutan dan memegangi kerah seragamnya erat-erat. Beberapa detik rasanya seperti terbang ke angkasa.
Ketika mencapai halaman, cahaya matahari membanjiriku dan langit biru terlihat jernih tanpa cela. Tidak ada awan dan guratan mendung. Aku kagum beberapa saat. Pemuda itu menolehku dan tersenyum dengan pipi kiri merah dan mata berbinar.
Seketika tangisku pecah menjadi keping-keping kelegaan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top