Cerita Delapan: Terluka dan Sarapan Bersamamu

Kepulangaku ke rumah, disambut ruang keluarga yang berantakan. Meski demikian, aku tetap tersenyum dan dengan senandung kecil pergi ke kamar untuk berganti pakaian. Kedua anak bibiku sedang menjerang air di ceret.

"Mau kubantuin?" Aku menawarkan diri. Mereka kaget dan menatapku heran.

"Nih." Anastasia menyerahkan berbungkus-bungkus mi ke arahku. Aku pun memasaknya menjadi mi goreng, kemudian memotong tempe dan tahu untuk dimasak dengan kecap. Menu sederhana, tetapi keduanya puas dan tidak berwajah masam lagi kepadaku.

Setelah itu aku membersihkan rumah dan merapikan perabotan. Saat berpapasan dengan keduanya yang hendak pergi, aku tersenyum dan berkata hati-hati di jalan. Jelas mereka kaget. Senyum yang jarang berbalas kepadaku.

"Kami mau balik, bilang ke Mama kami duluan."

"Iya," jawabku antusias. Lalu keduanya menaiki motor matic dan memberi lambaian tangan kaku.

Sejak saat itu jika kedua sepupuku datang—aku tidak lagi memanggil mereka anak bibi—kami jadi lebih akrab dari hari ke hari. Di sekolah, aku jadi lebih fokus untuk belajar. Memang terlambat untuk memulai pertemanan, aku tetaplah pemalu yang minderan seperti dulu. Tetapi aku mencoba menebar senyum lebih sering, dan berpikir positif untuk dunia.

Namun, hanya satu yang kurang. Laki-laki itu tidak pernah lagi terlihat di sekolah, di kelas, ataupun di jalan. Ia menghilang. Bahkan ketika kuberanikan diri untuk mencari keberadaannya, orang-orang menggeleng tidak tahu dan seorang lainnya menunjukiku daftar absen dan murid-murid yang lalu-lalang di dalamnya.

"Gak ada cowok kek gitu."

"Oke, makasih."

Aku kembali dengan lesu ke kelas. Teman sebangkuku sampai khawatir dan penasaran dengan tujuan pencarianku.

"Kami gak sengaja ketemu, dia nyelamatin aku dari tabrakan. Aku mau berterima kasih."

"Mungkin bukan anak sini."

"Lambangnya nama sekolah ini."

"Bukan rejeki kali, ya udah gak papa, nanti kapan-kapan, kalau jodoh pasti ketemu."

Seperti mantra, perkataan temanku terkabulkan hanya dalam waktu dua hari. Saat itu aku tengah ke warung sayur langganan, menggunakan sepeda baru setelah beberapa bulan hanya naik angkot. Di hari Minggu dan jalanan pagi masih sepi dari manusia-manusia yang sibuk bekerja.

Aku pulang lewat jalan memutar, mengelilingi daerah Bukit Hindu dan masuk antar celah masjid dan gereja yang berdekatan. Burung-burung bercuitan di langit, aku menghirup udara jernih yang masih belum tersentuh polusi, mendapati perempatan tempatku hampir ketabrakan. Aku berhenti di bawah lampu merah yang—masih—belum aktif. Di sana, di salah satu jejeran pohon akasia dan ketapang, laki-laki itu sedang bersandar dan mengamati langit dari tempatnya berdiri.

Tanpa berpikir aku langsung mengayuh sepedaku ke arahnya. Laki-laki itu terkejut, namun segera berubah murung dan pucat seolah melihat hantu.

"Kamu?"

"Ngapain?"

"Gak ada, cuma ngelamun." Ia kembali santai. Kali ini tampilannya berbeda karena memakai baju bebas: celana pendek dan kaos hitam.

"Kamu kelas berapa sih?"

"XI-3."

"Kita ... sama." Aku menganga takjub. Kenapa aku tidak tahu ia dari kelasku? Tetapi ... sudahlah aku tidak ingin memikirkan itu lebih jauh.

"Habis belanja?"

Aku mengangguk. "Mau ikut ke rumah? Sarapan bareng."

"Males ah, entar rame."

"Bibi lagi ada acara keluarga, jadi aku sendiri sampai siang. Mau ya?"

Laki-laki itu menoleh ke arahku, alisnya naik sebelah. "Yakin?"

Entah kenapa perasaanku mulai jadi tidak enak.

"Oke, ayok." Dia naik sendiri ke boncengan sepedaku. Bukannya duduk, ia malah berdiri di kiri-kanan roda belakang, tepat di atas porosnya yang menjorok ke luar. Kedua tangan besarnya memegangi bahuku.

"Seppi ... go!"

"Bangke," aku membalas. Laki-laki itu terkekeh. Kemudian kuangkat kaki kanan, mengayuh, lalu kaki kiri naik dan melakukan tugasnya. Sejenak kami terdiam. Meresapi sepoi angin dan daun-daun yang berguguran. Kulirik laki-laki tersebut lewat sudut mata, ketika rambutnya berkibar ke belakang, menampakkan wajah manis dan sedikit jahil tanpa penghalang. Bibirku merekah saat mendapatinya memejamkan mata dan menikmati pagi. Ia mengeraskan pegangan di bahuku, membuat jantungku berdegup kencang dan wajahku memanas tanpa sebab.

Empat perempatan terlewati sudah.

"Gantian, aku mau nyoba sepedaan."

Aku menurutinya, mengerem seketika dan membiarkannya turun sehingga sepeda terasa lebih ringan.

"Pegangan yang erat yak!" Ia mulai tersenyum jahil. Aku duduk dengan curiga di sadel belakang. Menggenggam kaosnya dan bersiap-siap untuk menerima apa-saja-yang-sudah-direncanakan-oleh-otaknya.

Whusss! Mendadak dia melajukan sepeda dengan kecepatan tinggi. Kedua kakinya mengayuh begitu kuat. Aku terjungkal, refleks memeluk perutnya karena ketakutan. Jalan di Bukit Hindu yang tidak semuanya rata membuat sepeda terguncang hebat. Berkali-kali tubuhku melayang dan jatuh. Terhentak dan miring ketika memasuki perbelokan.

"Pelan-pelan!" protesku. Tetapi ia tidak mendengar. Malah kulihat ia terkekeh senang dan semakin mempercepat kayuhannya.

"I'm the king of the world!" Ia melepas kedua tangannya, merentang seolah dapat merengkuh dunia, sepeda pun melaju tanpa pegangan, aku berteriak kaget. Kemudian sebuah batu terlindas. Sepeda oleng, langsung bergerak liar, stangnya meleng ke sana-ke sini, tahu-tahu kami melaju ke satu pohon dan laki-laki itu tidak bisa mengerem keteledorannya karena terlambat.

Kedua kakinya menapak berusaha menghentikan laju sepeda. Sia-sia!

"Aaaakkhhh ...," teriakku.

Bruakk! Sepeda sukses menghantam batang mangga. Aku jatuh miring dengan dagu dan siku mendarat di atas pasir berbatu. Laki-laki itu terlempar entah kemana. Roda sepedaku masih berputar kepayahan. Aku bangkit, merintih sakit, dan berusaha berdiri meski belum stabil.

Kuangkat sepeda yang ban depannya penyok tersebut. Bibi akan marah mengetahui aku merusak barang pemberiannya lagi. Laki-laki itu muncul di sampingku, tampangnya awut-awutan, dengan kaos berlumur debu dan wajah memar biru-biru. Ia tak ubahnya maling yang habis digebuk.

"Oke, maaf udah ngerusakin."

"Maaf aja gak cukup."

"Aku gak punya uang buat biaya ke rumah sakit. Jangan gugat aku," tangisnya pura-pura, karena sekejap kemudian ia tertawa nyaring dan menunjuk-nunjuk rambut panjangku. "Haha, asli kayak wewe gombel."

Aku mengangkat tangan dan meraba rambutku, banyak daun-daun kering serta rumput tersangkut di sana. Aku menggerutu kesal. Tiba-tiba ia menjulurkan tangan dan mencabutinya satu-satu. "Sini kubantu."

Wajahku tersipu, tetapi tidak mampu menampik. Kubiarkan ia mencomot lembar demi lembar daun dan rumput, sementara aku membersihkan ujung rambut yang lain. Lalu ia menyisiri rambutku dari atas ke bawah dengan jari-jari besarnya. Bersih. Ia tersenyum, semakin manis dan memikat. Lesung pipitnya menghipnotis.

"Kita ke bengkel dulu, tahu yang dekat daerah sini?"

Aku mengangguk patah-patah, berusaha tidak berbicara agar tidak berteriak. Entahlah, rasanya ada ribuan kepik yang hendak meluncur keluar dari dada. Mati-matian aku menahan senyum dan bahagia, sampai pipi sakit, dan kami berjalan beriringan dengan ia menuntun sepeda ke depan.

Kami sampai di sebuah bengkel sederhana yang keseluruhan bangunannya masih terbuat dari kayu. Mengambil inisiatif, serta siasat untuk mengalihkan pikiran, aku memanggil paman yang berjaga dan bertanya apakah ia bisa memperbaiki sepedaku?

"Oke, tapi agak lama. Mungkin sore nanti baru bisa diambil."

Aku berterima kasih. Kemudian mengajak temanku pergi dari bengkel ke destinasi awal: rumah. Jarak bengkel dengan rumahku tidak begitu jauh, jalan kaki mungkin akan menghabiskan waktu lima menit. Melewati jalan aspal menanjak, masuk ke dalam sebuah gang, kemudian melewati bagian belakang taman bermain, dan terakhir lorong hijau.

Aku menyebutnya lorong hijau karena jalan itu hanya selebar satu mobil. Di kiri-kanannya ditumbuhi banyak pohon mangga, jambu biji, dan semak beluntas. Membuat jalan setapak itu begitu asri dan teduh. Setelahnya belok ke kanan, ada halaman luas dengan rumah bibiku yang sederhana tanpa pagar pembatas.

Di depan halaman tumbuh bunga-bunga asoka yang rajin dipangkas setiap Minggu agar tidak liar, bersama daun-daun pandan dan melati. Kadang aku menyirami mereka setiap sore, kadang bibi yang melakukannya.

"Bunga-bunga ini kenangan pamanmu." Ia bercerita suatu waktu. Membuatku mengerti kenapa Bibi yang pekerja keras dan tak mau repot masih berkutat pada urusan berkebun.

Temanku duduk di lantai teras dan melepas penat sesaat. Matahari sudah beranjak setinggi atap. Aku segera merogoh kunci dari kantong baju dan memasukkannya ke lubang pintu. Kresek-kresek yang selamat dari insiden tabrakan aku letakkan di atas meja dapur. Kemudian mengeluarkan isinya satu per satu untuk disortir. Setelahnya, aku merebus air di dalam ceret. Mengambil cairan antiseptik, kapas, plester luka, dan salep bengkak dari kotak P3K.

Aku membawa dua gelas teh, setoples biskuit, dan obat-obatan tersebut ke teras depan. Sejenak, di bawah ambang pintu rumah aku terkesiap mendapati sosok temanku benderang dimandikan cahaya pagi. Ia tampak segar, damai, juga tenang. Tak ada lagi raut kekosongan, ia telah sembuh dari kesedihan.

Pelan-pelan aku menapakkan kaki seolah takut mengganggu momen tersebut.

"Eh, mau kubantu?" Ia tiba-tiba menoleh, tanpa menunggu langsung mengambil nampan berisi teh dan meletakkannya di antara kami. Beberapa detik duduk diam-diaman sampai kemudian aku menyodorkan salep bengkak kepadanya.

"Olesi ke memarmu," ucapku. Sementara aku meneteskan cairan antiseptik ke atas kapas dan mengoleskannya ke luka lecet di siku dan daguku. Awalnya perih, namun perlahan-lahan rasanya jadi lebih baik dan setelahnya aku mengupas sisi pengaman plester luka dan menempelkannya di siku.

"Aku tempelin, sini." Temanku menawarkan diri, salep bening di wajahnya bececeran seperti keringat kental. Entah kenapa aku tertawa, apalagi melihat senyum dan tampangnya yang awut-awutan.

"Eh, kenapa?"

"Wajahmu, babak belur."

"Dari tadi sudah."

"Belepotan gitu ngolesnya."

"Gak ada cermin, gak bisa liat."

"Tuh jendela ada."

"Ih, gelap gitu mana kelihatan."

"Sini kubantu." Aku mengoleskan salep ke ujung jari, kemudian mengusapnya ke memar temanku dengan sangat pelan. Di dahi, pipi, dan dagu. Beberapa salep yang berkeliaran, kurapikan lagi dengan mengulasnya ke tempat yang seharusnya.

"Nah sudah." Aku bertepuk tangan sekali, puas, seperti melihat karyaku terpajang di pameran.

"Sekarang giliranku." Temanku itu langsung mengambil plester luka dan menempelkannya di bawah daguku. Tangannya yang bersentuhan dengan kulitku terasa menyetrum. Entah kenapa kembali membuatku tersipu tanpa sebab. Jantungku berpacu kencang, waktu terasa sangat lambat dan tahu-tahu jarak di antara kami berkurang.

Kami bertatapan sesaat.

"Ehem, tehnya, minum." Aku menetralkan suasana. Temanku langsung mundur dan menggaruk kepalanya kikuk sambil meminum tehnya dengan buru-buru. Senyumku tertahan, cepat-cepat aku membalikkan badan dan masuk ke dalam. "Aku mau masak bentar, tunggu ya."

Di dapur aku melompat-lompat sambil mengepalkan tangan kuat-kuat. Rasanya ingin berteriak, tetapi aku urung dan malah meremas teflon dengan gemas. Seolah itu wajah temanku, dan aku ingin memeluknya erat-erat demi meluapkan semua ini.

Sambil bersenandung, aku mengupasi bawang merah dan putih. Memanaskan minyak dalam teflon, memasukkan bawang, kemudian air dan menunggunya mendidih. Setelah itu dua bungkus mi instan meluncur bersama bumbu-bumbunya. Tak perlu waktu lama menunggu airnya menyusut dan menjadi mi goreng. Aku segera menghidangkan dan membawanya ke teras depan. Di sana, ia masih setia menunggu dan itu membuat pipiku semakin sakit menahan haru.

"Makan."

"Makasih."

Lalu kami bercerita tentang sekolah, guru-guru, pelajaran, dan lingkungan Bukit Hindu yang sering sepi dan penuh perempatan. Seperti labirin. Dulu, sewaktu pindah pertama kali ke sini, aku sering tersesat dan salah masuk perempatan. Membuatku pulang telat dan selalu kusut setiba di rumah. Tetapi lambat laun, aku mulai terbiasa dan malah menikmati jalan-jalan di daerah ini karena suasananya yang sejuk dan penuh kejutan.

Temanku berbeda cerita. Sejak lahir ia adalah warga sini. Ia tidak terlalu kenal tetangga-tetangganya. SD ia masuk swasta, SMP juga. Karena itulah sejak kecil ia sudah merasa tertekan karena beban belajar. Belum lagi SMA yang ia masuki adalah SMA favorit, ditambah OSN, ia harus mengejar semua pelajaran atau orang tuanya akan dingin dan ia tidak dianggap anak kebanggaan lagi.

"Mereka selalu membanding-bandingkanku dengan kakak yang rajin rangking satu, juara olimpiade, dan dapat beasiswa penuh di universitas luar ternama. Rasanya seperti diabaikan, seolah keberadaanku hanya bayang-bayang kakakku. Apalagi dia sejak awal memang tidak pernah menyayangiku. Aku dan kakak bagai orang asing di dalam rumah. Tak pernah menyapa, bermain, dan sebagainya. Aku benci dia, semakin benci ketika orang tuaku selalu membanggakan dia."

"Kau bilang, kau kehilangan memori setelah melompat."

"Benar. Aku berkeliaran. Ke sana-kemari, dari tempat asalku mati lalu ke seluruh kota. Aku mencari tempat familiar, sebuah lokasi dimana otakku menangkap suara dan kenangan dari masa lalu. Mungkin kau menyebutnya hantu gentayangan, tetapi aku menyebutnya arwah tersesat. Kami mencari arti kehidupan kami dulu. Lalu menyambungkannya dengan alasan kematian. Lalu saat berhasil pulang, aku mendapati rumah yang suram dengan ibu yang tidak pernah berhenti menangis."

Diam sejenak, angin berembus mengantar bau mi ke atas langit. Daun-daun bergemirisik, mentari semakin naik.

"Mereka mulai menyalahkan diri sendiri. Tahu-tahu, Ibu jatuh sakit. Beberapa kali ia sembuh dan kembali down. Aku cemas, Ayah khawatir, dan kakak tak kunjung balik karena sibuk di sana. Saat itulah aku merasa sangat bersalah. Jujur, aku benci kehidupanku, tetapi aku lebih membenci diriku yang tidak bisa berbuat apa-apa di dekat mereka. Perlahan, waktu kematian Ibu semakin dekat. Aku seharusnya sudah menjemputnya dari beberapa bulan yang lalu. Namun aku malah membiarkannya menderita berkepanjangan."

Suara temanku mulai terisak. Ia menarik napas dalam-dalam, setengah porsi minya tidak lagi disentuh. Ia meletekkan piring dan mulai merenung menekuri paving berlumut yang menutupi sebagian halaman.

"Lalu kau mencegahku melompat."

"Ya," sahut temanku pelan. "Karena dirimu seperti melihat masa laluku. Aku tidak mau kamu mengalami siksaan ini."

"Tapi aku tidak punya orang tua dan orang kesayangan."

"Katamu ... nanti setelah mati, orang-orang yang dulu kamu benci benar-benar menangisi kepergianmu. Rasanya sesak. Gak enak."

Aku kembali terpekur, diam. Akankah Bibi menangisi jenazahku andai aku benar-benar melompat saat itu? Apakah Ayah dan Ibu benar-benar sedih melihat kehidupanku sekarang? Rasanya memikirkan itu semua, membuatku mengatur ulang sudut pandangku.

"Setelah hukumanmu selesai, apa yang akan terjadi?"

"Aku akan pulang ke alam baka."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top