Insecure ; Azizi Asadel x Male! Reader

"Hei!"

Mendengar sapaan itu, kamu menoleh. Ternyata itu Azizi, cewek yang cukup populer di sekolahmu. Rumahnya ada di RT sebelah.

Belumlah sempat membalas sapaannya, Zee sudah lebih dulu bicara lagi, "Tumben gak naik sepeda?"

"Sepeda aku dikasih ke kakak. Punya dia udah gak layak lagi."

Meskipun kamu sebenarnya kesal karena mulai sekarang harus berangkat ke SMA-mu lebih pagi, tapi kamu tak ada pilihan lain. Toh, kamu sadar jika kondisi ekonomi keluargamu memprihatinkan. Daripada dipaksakan membeli yang baru, lebih baik mengalah saja.

"Emang kamu gak capek jalan kaki gini? Ayo naik! Kita pergi barengan aja."

Ajakan Zee membuat dahimu mengerut.

"Masa iya cewek yang boncengin cowok? Nggak usah. Kamu pergi sendiri aja," tolakmu dengan sinis. Kamu pun berjalan lagi.

Zee turun dari sepeda putihnya. Dia pun menggeret kereta angin itu hingga menyamai langkahmu, lantas mencoba bernegosiasi denganmu lagi.

"Kalo begitu, kamu aja yang bonceng aku!"

"Nggak mau, kamu sendiri aja," tolakmu untuk satu kali lagi. Kamu hanya berjalan lurus tanpa menoleh padanya.

"Kok kamu kayak gak mau banget boncengan sama aku? Apa kamu benci sama aku?"

Pertanyaan sekaligus pernyataan Zee yang keliru itu sontak membuat langkahmu terhenti. Akhirnya kamu menoleh pada gadis tomboy berambut pendek itu. Wajahnya tampak sendu, khawatir jikalau kamu benar-benar membencinya. Padahal, Zee merasa tidak pernah melakukan kesalahan apa pun.

"B-bukan gitu! A-aku cuma malu kalo dicie-ciein. Selama ini, aku gak pernah deket sama cewek."

Ya, inilah alasanmu bersikeras menghindarinya. Kamu malu jika setiba di sekolah langsung menjadi pusat perhatian. Terlebih lagi, Zee adalah siswi yang sangat populer di sekolahmu, berbanding terbalik dengan kamu yang merupakan siswa biasa saja, dan tidak pernah genit ke cewek mana pun.

Seketika raut sendu berubah menjadi riang. Gelak tawanya pecah, sudut bibirnya mengurva dengan lebar. Itu berlangsung selama sepuluh detik. Kamu terpaku, bertanya dalam hati.

Mimpi apa aku semalam sampai bisa melihatnya tertawa dari jarak sedekat ini? Dan yang menjadi alasannya tertawa adalah: aku.

Karena biasanya, kamu hanya mampu memperhatikan Zee dari kejauhan.

"Kamu lucu banget sih? Emang kenapa kalo dicie-ciein? Pasti cuma sehari ini aja, lama-lama pasti lupa," kata Zee dengan santainya.

Pupil matamu melebar saat menyadari ada sepatah kalimat aneh yang terucap.

"Itu artinya kita bakal pergi bareng tiap hari?" tanyamu memastikan. Yang benar saja kalau pradugamu itu valid.

"Iya dong! Selama kamu belum ada sepeda, kita perginya bareng tiap hari."

Sayangnya itu memang benar.

"Ta—"

Enggan mendengar penolakan lagi, Zee semakin mendesakmu. "Ih, ayo! Kita udah mau masuk loh. Kalo kamu melihara gengsi mulu, emang mau dihukum sama Bu Sri?"

"Baiklah."

Pada akhirnya, benar-benar tak ada lagi celah untukmu menghindar. Kamu mengangguk, mengambil alih setang sepeda dari tangan Zee. Akan lebih baik begini daripada harus menerima hukuman dari guru yang tidak manusiawi itu. Lari lapangan upacara sebanyak 50 kali putaran, apa-apaan?

Kamu kini telah menaiki sepeda. Setelahnya, Zee duduk di bangku belakang. Tangannya memegang pinggangmu, membuat organ pemompa darahmu bekerja dua kali lebih cepat. Astaga, astaga!

Di tengah debaran jantungmu yang menggila, kamu berusaha menenangkan diri. Kakimu sedikit gemetar, dan akan membahayakan jika terus-terusan begini. Kamu menarik dan mengembuskan napas, kemudian memberanikan diri untuk memijak pedal. Syukurlah, kamu akhirnya dapat berkendara dengan baik walaupun lambat.

Cuaca pagi ini sedang cerah-cerahnya, seakan matahari sedang antusias menampakkan diri untuk menyaksikan kalian. Burung-burung dan kupu-kupu yang berterbangan tak mau ketinggalan.

"Serius kamu gak pernah deket sama cewek?"

"Dua rius," jawabmu sekenanya.

"Padahal kamu ganteng."

Terkejut, rasanya kamu tak lagi mampu menyeimbangkan diri hingga sepedanya oleng. Zee spontan memelukmu dengan erat karena takut jatuh. Kamu berhenti sejenak, reaksi salah tingkahmu itu benar-benar membahayakan dan kamu merasa sangat bersalah.

"M-maaf ...," ucapmu dengan wajah tertunduk dan memancarkan rona semerah lobster, seakan wajahmu itu baru diangkat dari air rebusan.

Alih-alih memakimu, Zee malah tertawa lebih kencang dari sebelumnya seraya memukul tubuhmu dengan gemas. Andai gadis itu melihat warna merah di wajahmu, pastilah ia semakin terbahak-bahak.

"Iya-iya, sekarang aku percaya kalau kamu beneran gak pernah deket sama cewek."

"Iya lah. Cewek-cewek tuh pasti sukanya cowok banyak duit dan bergaya, kayak Jeremy, Miko, Rei dan temen-temennya. Aku mah apa," balasmu dengan rasa rendah diri.

Pasti Zee juga kan?

"Aku nggak tuh," sanggah Zee dengan mantap. "Walaupun mereka kaya dan bergaya, tapi mereka nakal, sering bolos, sering gonta-ganti cewek, bahkan pernah mabuk. Apa kerennya? Aku gak suka cowok nakal kayak di film-film. Cowok kayak gitu cuma bawa dampak buruk."

Kamu terdiam cukup lama untuk meresapi itu. Benar, orang-orang yang kamu sebut itu terlalu gaul sampai melampaui batas wajar. Kamu kira, Zee juga akan jadi salah satu pemuja cowok modelan begitu karena mereka adalah idola para cewek. Nyatanya tidak.

Apakah boleh aku berharap?

Tanyamu pada diri sendiri.

Zee melirik arlojinya dan menepuk bahumu. "Hei, ayo jalan lagi! Sepuluh menit lagi kita masuk."

Namun, kamu tak mengindahkan perintah gadis itu. Justru kamu malah tenggelam dalam pikiranmu sendiri.

"Hei?" Sekali lagi Zee memanggilmu.

Setelah beberapa saat, akhirnya bibirmu berani menyampaikan kegelisahan yang berkecamuk dalam benak.

"Zee."

"Iya?"

Kamu menarik napas, lalu mengembuskannya. Pandanganmu menunduk dalam-dalam, sejujurnya kamu malu mengatakannya. Namun, ini adalah momentum yang sangat pas.

"Sejujurnya, aku udah lama banget mau deket sama kamu, tapi aku terlalu minder. Kalau aku pengin lebih akrab, gak apa-apa, kan? Apa boleh? Apa orang kayak aku pantes deketin kamu?"

Akhirnya, akhirnya kamu berani mengatakan isi hatimu yang terpendam dari kelas 3 SMP, dan sekarang kalian sudah kelas 2 SMA.

Selama ini, kamu hanya berani memperhatikan gerak gerik Azizi Asadel dari kejauhan, tak berani mendekatinya seperti temanmu yang lain. Setelah sekian lama, akhirnya kamu meluapkan itu pada orangnya secara langsung.

"Boleh, tapi ada syaratnya."

"A-apa syaratnya?" tanyamu dengan cemas, takut tak bisa kamu sanggupi.

"Jangan lagi jadi cowok yang minderan. Kamu gak boleh sering rendah diri, belajar percaya sama diri kamu sendiri."

Ah, ternyata itu syaratnya. Kamu pun menyanggupi itu.

"Makasih banyak, Zee. Aku bakal berusaha."

Zee mencebikkan bibirnya, kesal.

"Aih, kamu tuh ngomong doang! Coba deh jangan nunduk mulu, noleh ke aku."

Perlahan-lahan, kamu mengangkat kepalamu dan menoleh ke belakang dengan malu-malu. Rona merah tadi belumlah memudar, dan sekarang malah jadi tambah pekat kentara jelas, membuat Zee lagi-lagi tertawa. Menggodamu kini masuk ke daftar aktivitas favoritnya selain menari, menyanyi dan bermain gitar listrik.

Kamu segera memalingkan wajah karena terlampau malu.

"Astaga! Kita udah hampir telat! Ga apa-apa kalo ngebut, yang penting jangan telat."

"Maaf ya, gara-gara aku."

Maka, kamu refleks mengayuh sepeda itu dengan kencang, Zee mengeratkan pegangannya pada pinggangmu karena laju sepeda ini benar-benar meningkat dari sebelumnya. 

Saat bangunan sekolah telah terlihat di depan mata, telingamu menangkap sorak sorai dari siswa-siswi yang juga baru sampai. Sesuai prediksimu, ada yang teriak 'cieee', bersiul-siul bahkan ada yang mengumpat dengan kasar.

Peka dengan kecemasanmu, Zee berkata untuk tidak usah menghiraukan mereka. Saat satpam bersiap menutup gerbang, kamu pun semakin meningkatkan kecepatan. Para siswa di belakang kalian yang tadinya berjalan santai jadi berlari.

Pada akhirnya, kalian berhasil masuk ke dalam gerbang di detik-detik terakhir. Kalian sama-sama mengembuskan napas lega, lalu tertawa dengan riangnya.

Entah apa yang akan terjadi ke depannya, setidaknya kamu telah memiliki izin untuk mendekati gadis ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top