Chapter 21 : Fighting!
Mentari sedang berjalan perlahan menuju singgasananya. Dengan hati-hati, ia mengusir kegelapan yang membuat makhluknya terkurung di dalam rumah mereka.
Utamanya, dalam keluarga Rin. Mereka sangat bersemangat untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya.
Walaupun mereka harus memulai lagi dari awal, namun tidak ada salahnya untuk terus mencoba selagi masih hidup.
Lagipula, hidup tidak hanya tentang cinta, bersenang-senang, ataupun sekedar berangan-angan. Melainkan, hidup itu tentang perjuangan, kerja keras, dan bersabar dalam hal apapun.
"Chiba, apa kau punya waktu?" bisik Neko yang berada di belakang Chiba.
"Hmmm, kurasa ada. Lalu, ada yang bisa aku bantu?" jawab Chiba.
Neko langsung menarik Chiba sejauh mungkin dari lingkungan kelas mereka. Setidaknya, Rin tidak tahu apa yang akan mereka bicarakan.
"Kenapa harus jauh-jauh seperti ini untuk bicara?" tanya Chiba dengan nada malas.
Neko pun menghela nafas sebentar, "Ini masalah Rin. Aku tahu jika kau punya perasaan pada Rin, jadi ... apakah kau bisa membantuku?
Chiba semakin datar. Ia tidak menyangka jika gadis dihadapannya akan menyadari hal yang selama ini ia sembunyikan dapat dilihat dengan mudahnya.
"Sebelum aku menjawab pertanyaan mu, bagaimana kau bisa tahu hal itu?" tanya Chiba dengan tatapan menyudutkan gadis dihadapannya.
"Itu ... hanya kebetulan semata. Aku pun tidak mengetahui itu benar atau tidak. Jadi, asal bicara saja," jelas sang gadis dengan tampang tidak bersalah sedikitpun.
"Jadi, apa yang bisa aku bantu?" tanya Chiba yang langsung dijawab oleh Neko jika ia membutuhkan bantuan Chiba untuk desain animasi.
Chiba pun tampak memutar bola matanya, "Kenapa kalian sangat suka melibatkanku dalam hal sulit."
"Aku masih dengar itu," ucap Neko yang membuat Chiba mendengus.
"Lagipula, ini juga untuk membantu keluarga Rin," sambung sang gadis yang terkesan merasa bersalah.
"Memangnya, apa yang terjadi?"
Pertanyaan Chiba membuat sang gadis bingung harus mengatakannya atau tidak. Disisi lain, ia harus mengatakannya agar Chiba bisa membantunya.
Namun, disisi lain pula, ia tidak ingin masalah keluarga dibuka atau lebih tepatnya dibicarakan kepada orang lain. Karena, belum tentu orang yang kita percaya untuk diajak bicara itu selalu baik di manapun ia berada.
"Neko?" panggil Chiba yang membuat gadis itu menyentuh kepalanya.
"Entah mengapa ... ini sangat sulit," gumam sang gadis.
"Jadi, apa yang bisa aku bantu?" ulang Chiba yang berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan oleh sang gadis. Walaupun, ia sebenarnya sudah mengetahui dari mimik sang gadis, jika ada hal yang tidak beres di sana.
"Sudah aku bilang, aku butuh bantuanmu untuk desain animasi," ulang Neko.
"Desain animasi? Aku rasa ... aku bisa membantumu."
Baik Neko dan Chiba pun menatap lawan bicaranya dengan bingung. Pasalnya, dia tidak diundang, tetapi langsung menyela pembicaraan mereka.
"Apa yang dilakukan wanko disini? Bukankah wanko seharusnya berada di hutan?" ucap Chiba dengan santainya yang membuat lawan bicaranya geram.
"Jadi ...."
"Manusia jadi-jadian. Jangan didengarkan," potong Chiba yang telah mengetahui hal yang ingin Neko tanyakan.
Lawan bicaranya pun hanya bisa berdecih sembari melipat tangannya di dada, "Lebih baik kau diam, jika kau tidak ingin memperkenalkan temanmu pada seseorang."
"Memperkenalkan? Aku rasa ... telingaku kemasukan tarantula saat tidur," balas Chiba dengan wajah datarnya.
"Chiba ...," gumam Neko yang tidak mengerti apakah Chiba bercanda atau tidak.
"Jadi, kau butuh bantuan pada desain animasi? Jangan butuh bantuan dia, dia terlalu malas untuk membantu seseorang. Jangankan membantumu, membantuku saja ... dia selalu menolak," ucap pria itu yang kini tengah merangkul Chiba.
"Bodoh. Aku tidak punya urusan denganmu. Lebih baik kau pergi saat ini juga," ucap Chiba.
"Kau yang lebih bodoh, kawan. Kau tidak pernah memperkenalkan diriku pada teman-temanmu. Aku tahu jika temanmu itu wanita semua," balas pria itu yang membuat Neko sedikit risih.
"Chiba, aku akan kembali ke kelas duluan. Jaa ...," ucap Neko yang langsung meninggalkan mereka begitu saja.
"Hmmm ... apa dia berniat menembakmu?" tanya pria itu yang belum melepas rangkulannya.
Chiba pun membalas ucapan temannya dengan tatapan datar sekaligus menusuk. Selain itu, ia pun sempat mengatakan jika ia tidak tertarik pada semua wanita.
"Baiklah, lupakan," ucap pria itu yang langsung meninggalkan Chiba.
*****
Jam berlalu begitu cepat. Dan kini, jam istirahat telah tiba.
Para murid begitu antusias untuk menyambutnya. Karena, setelah ini mereka akan dipulangkan lebih awal atas alasan jika sekolah akan mengadakan rapat dadakan.
"Rin, aku tahu jika kau begitu mengikuti perkembangan teknologi. Tapi, aku merasa jika ini sangat mustahil. Aku sendiri saja belum bisa melakukan apapun tentang editing," ucap Sachi.
"Aku tahu. Tapi ... tolonglah, Sachi. Mungkin ada hal yang bisa kau lakukan tapi kami tidak bisa melakukannya," ucap Neko yang masih berusaha membujuk Sachi.
"Itu bisa diurus nanti. Permasalahannya, kapan kita akan debut?" ucap Yukia yang membuat mereka mengerti.
"Jangan terburu-buru debut jika kita belum memiliki beberapa orang yang bisa membantu kita untuk editing. Belum lagi untuk naskah," ucap Rin yang memaksa mereka kembali pada kenyataan.
"Kawan, kalian jangan resah. Kan ada aku."
Suara itu menginterupsi kelompok Chiba yang sedang asik berdiskusi.
'Dia lagi,' batin Chiba dan Neko secara serempak.
"Apa yang kau inginkan, Kiro?" ucap Sachi yang sangat ingin menghindari masalah.
Ya, laki-laki yang hadir kemari adalah Kiro Kuroha. Dia laki-laki populer di sekolah ini. Dan, ia juga bekerja sebagai Youtuber.
"Kiro? Maksudmu ... Kiro Kuroha?" tanya Neko.
"Tentu saja, aku Kiro Kuroha. Senang bertemu denganmu, Neko Kurosaki. Dan ... apakah kita berjodoh? Nama kita sama-sama 'Kuro'," ucap Kiro yang terkesan menyebalkan ditelinga mereka.
"Jangan ganggu dia. Lebih baik, kau bantu kami untuk urusan desain animasi," ucap Chiba yang tidak ingin melihat temannya digoda satu-persatu.
*****
Setelah pulang sekolah tiba, mereka langsung berkunjung ke rumah Kiro untuk mengetahui detail yang mereka butuhkan.
Dan sesampainya di sana, alangkah terkejutnya mereka dengan berbagai macam alat-alat mahal sekaligus sulit untuk didapatkan, atau dengan kata lainnya adalah limited edition.
"Memang, orang profesional dengan pemula sangat beda," gumam Sachi.
"Oh, ayolah, kawan! Bersemangat lah sedikit!" ucap Kiro yang sangat bersemangat dari biasanya.
"Lalu, aplikasi apa yang biasa kau pakai?" tanya Rin dengan antusias.
Setelah mendengar pertanyaan Rin, Kiro segera meminjam laptop milik Neko dan mulai melakukan pemasangan sekaligus pendaftaran akun pada beberapa aplikasi yang biasa ia gunakan. Tidak lupa, Kiro pun juga memberikan tutorial yang mudah digunakan untuk seorang pemula.
"Baiklah, kau tahu semuanya. Tapi, ada yang punya ide mengenai visualnya?" ucap Yukia.
"Aku bisa menggambar," ucap Rin.
"Aku bisa menggambar digital," sambung Neko.
"Aku bisa bagian pewarnaan," sambung Sachi.
"Aku bisa menonton," ucap Chia yang langsung mendapatkan tatapan mematikan dari keempat gadis disebelahnya.
"Itu lebih parah dari dugaanku," gumam Yukia dan disambung, "Aku akan urus bagian suaranya."
"Kalian kompak sekali ya. Chiba, kau sangat beruntung bisa memiliki tiga gadis mandiri," goda Kiro yang membuat Chiba langsung melontarkan tatapan membunuh padanya.
"Chiba, segera putuskan kalau kau bisa apa," ucap Rin yang terkesan mengancam Chiba.
"Well well, pujaan hati Chiba mulai marah," gumam Kiro.
"Ulangi, lalu jangan berharap jika kau akan melihat matahari esok," ucap Chiba.
"A-ah, jangan begitu. Kita kan teman," ucap Kiro.
"Teman? Aku tidak ingat jika aku menganggap mu teman," balas Chiba.
'Dinginnya,' batin Neko.
Kemudian, tiga gadis itupun tidak memperdulikan perdebatan diantara kedua laki-laki itu. Selama mereka tidak adu fisik, itu tidak masalah bagi mereka.
"Rin, kau mau membuat seperti apa?" tanya Sachi yang masih fokus pada layar laptop Neko.
"Kurasa, aku akan membuat gambar diriku sendiri," jawab Sachi dan disambung, "Kurosaki-san, jika membuat digital, mohon buat yang bagus untuk Rin ya. Dan Sachi, usahakan warnanya natural."
"Tidak. Rin lebih bagus jika warnanya sedikit menyala," ucap Sachi.
"Kalian mau ribut juga? Kalau mau ribut, sini aku lempar dari lantai dua sekalian," ucap Yukia yang membuat ketiga gadis itu bergidik ngeri.
'Memang, marahnya orang diam itu sungguh mengerikan,' batin mereka bertiga.
*****
Waktu telah menunjukkan pukul enam sore. Dan kini, keluarga Rin tengah berkumpul untuk makan malam bersama.
Kali ini, Mama Rin memasak makanan kesukaan Rin, tumis daging saus tiram. Tentunya, mereka sama sekali tidak protes. Karena, selama Mama Rin yang masak, maka mereka akan tetap memakannya dengan penuh suka cita.
"Papa, jadi ... bagaimana? Apa sudah mendapatkan pekerjaan baru?" tanya Rin setelah selesai menelan makanannya.
"Ah, sudah. Kali ini papa bekerja sebagai sekretaris," ucap Papa Rin dengan bangga.
"Benarkah, Pa?" tanya Neko yang langsung dijawab oleh Rin, "Sejak kapan kau tahu jika Papa berbohong?"
"Aku kan bertanya, bukan bermaksud apapun," bela Neko yang membuat Mama Rin segera melerai mereka.
"Benar, sekarang kita akan hidup seperti biasa. Maaf, Papa sudah sempat membuat kalian ikut terguncang," ucap Papa Rin dengan senyuman yang telah ia ukir di wajahnya yang tidak termakan usia.
"Sudah, jangan pusing-pusing dihadapan rezeki. Nikmati selagi ada, dan bersabar selagi tidak ada. Susah senang, kita selalu bersama," nasehat Mama Rin yang membuat kedua putrinya hanya bisa mengiyakan saja.
Setelah makan malam, Rin dan Neko langsung ke kamar mereka masing-masing. Ya, untuk belajar ataupun tidur.
Sementara itu, Papa Rin berada dalam kondisi yang sangat kacau. Ia merasa bersalah karena telah membohongi anaknya sendiri, sekaligus anak orang yang telah ia anggap sebagai anaknya sendiri.
"Sudahlah, Pa. Tidak perlu dipikirkan. Yang terpenting, Papa sudah berusaha sebisa yang Papa bisa. Biarkan Tuhan yang menjawab semuanya," ucap Mama Rin yang berusaha menghibur pendamping hidupnya.
"Maaf, aku sangat bersalah pada kalian. Aku membuat kalian kesusahan dalam ekonomi," ucap Papa Rin sembari mengacak rambutnya.
"Sudahlah, Sayang. Tidak masalah. Lagipula, aku masih punya tabungan yang bisa aku gunakan sambil menunggumu mendapatkan kabar baik," ucap Mama Rin sembari mengusap punggung suaminya.
Papa Rin pun menghela nafas, ia menyadari apa yang dikatakan istrinya memanglah benar. Namun, apa gunanya seorang pria jika tidak mampu membahagiakan keluarganya?
"Aku sungguh beruntung memilikimu dan Rin dalam hidupku. Aku berjanji, aku akan segera menemukan pekerjaan dan membuat kalian bahagia lagi," ucap Papa Rin yang membuat istrinya tersenyum.
"Jangan lupa, kita masih punya anak angkat yang harus kita bahagiakan juga," ucap Mama Rin.
"Pasti, Sayang," balas Papa Rin.
Malam ini, berlalu dengan sangat panjang. Banyak masalah yang mereka hadapi. Namun, apakah keluarga ini sanggup menghadapinya?
To be continued~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top