Chapter 19 : Woah!

"Baiklah, untuk lebih jelasnya, mari kita lakukan praktikum. Segera ke laboratorium, ya," ucap pria paruh baya itu yang langsung keluar dari ruang kelas menuju ke laboratorium sekolah dengan beberapa buku yang telah ia bawa sebelumnya.

Sachi tampak menghela nafas berat setelah kepergian gurunya. Bahkan, ia pun berjalan dengan lemas hingga menyerupai seorang zombie.

"Ayolah Sachi, semangat seperti biasanya," hibur Neko yang merasa tidak enak hati saat melihat tingkah Sachi.

"Abaikan saja, setelah pelajaran ini juga ... dia akan kembali seperti biasa," ucap Rin yang merasa jika apa yang dilakukan Sachi memanglah berlebihan.

Ya, walaupun Rin memang sudah mengetahui bahkan kenal sejak lama. Namun, rasa kesal itu masih ada. Mungkin karena Rin ingin berada di sekitar orang yang notabenenya biasa-biasa saja jika dihadapkan pada suatu masalah.

Saat mereka tiba di laboratorium, tidak ada satupun diantara mereka yang berbicara ataupun bercanda. Mereka hanya diam sembari memakai perlengkapan praktikum, seperti jas laboratorium, sarung tangan karet, dan masker.

"Baiklah, sensei sudah bagikan lembar kerja di meja kalian. Dan kelompoknya pun sudah terbentuk. Jadi, selamat bekerja," ucap pria paruh baya itu yang kemudian duduk di kursinya lalu mengamati kerja muridnya satu-persatu.

Setelah mendapatkan perintah, baik Neko, Yukia, Sachi, dan Rin mulai membuka kertas yang tersusun rapi di hadapan mereka.

"Sachi, kau tugas menulis saja," bisik Rin.

"Dan kau mendikte?" balas Sachi yang membuat Rin mengangguk pelan.

"Memilih telur yang bisa menetas ya," gumam Yukia dengan manik yang sibuk mencermati kertas yang telah ternodai oleh tinta hitam.

"Apa kau tahu caranya?" ucap Neko yang memiliki kondisi yang sama dengan Yukia.

"Akan aku coba dahulu," ucap Yukia yang menaruh kertasnya lalu melihat-lihat lima butir telur yang telah disajikan di meja mereka.

Neko yang melihat hal itupun hanya menghela nafas. Dan ia langsung mengambil telur-telur tersebut ke hadapannya. Setelahnya, ia pun menyalakan lilin.

"Yukia, bisa bantu aku menyusun kertas hitam ini?" ucap Neko yang sibuk dengan percobaannya untuk menyusun kertas tersebut agar menutupi lilin.

"Untuk apa?" tanya Yukia yang langsung merespon gerakan Neko.

"Untuk melihat apakah telur itu bisa digunakan praktikum atau tidak," jawab Neko sembari membantu Yukia.

Tidak lama kemudian, mereka selesai membuat kubus hitam yang telah diberi lubang untuk tangan dan pengelihatan Neko masuk. Setelahnya, Neko pun mengambil satu biji telur lalu ia mencoba menerawangnya.

"Kau bisa lihat, telur ini hanya memancarkan sinar kuning. Yang artinya, telur ini tidak bisa menjadi unggas," ucap Neko yang mengetahui jika Yukia penasaran akan hal yang ia lakukan.

"Lalu, bagaimana yang bisa menjadi unggas atau sejenisnya?" timpal Rin yang membutuhkan penjelasan untuk langkah penulisan laporan.

"Ah, ketemu! Lihat ini!" ucap Neko yang kemudian sedikit bergeser agar teman-temannya bisa melihat hal yang ia maksud.

"Kalian tahu perbedaannya?" tanya Neko yang langsung disambut dengan anggukan pelan oleh Yukia, "Jadi, telur yang bisa digunakan itu memiliki warna merah diantara warna kuning."

"Um! Karena, warna merah itulah embrionya," ucap Neko yang kemudian kembali ke posisi semula.

"Sungguh, kau melebihi ekspektasiku. Aku kira aku akan bekerja sendiri," gumam Yukia yang membuat Neko hanya mengulas senyum saja. Sementara Rin, ia kembali membantu Sachi untuk mengolah laporannya.

Setelahnya, Yukia langsung mencoba mensterilkan gelas plastik berbahan Polyglycolic acid dengan bantuan autoklaf pada suhu seratus dua puluh satu derajat celcius selama lima belas menit. Sementara Neko, dia sedang mengambil plastik wrap sepanjang sepuluh sentimeter yang akan ia sterilisasi dengan alkohol tujuh puluh persen.

Setelah semua bahan disterilisasi, Neko pun memasang plastik wrap pada gelas tersebut. Dan setelahnya, ia memecahkan telur secara perlahan dan segera diletakkan di oven ataupun inkubator.

Setelah semua karya siswa diberi label dan dimasukkan dalam inkubator, bel pun berbunyi yang menandakan jika pergantian jam pelajaran telah terjadi.

"Baiklah, sensei cukupkan sampai disini terlebih dahulu. Dan jika sudah saatnya pengamatan, akan sensei kabari lebih lanjut melalui ketua kelas," ucap pria tersebut yang langsung membuat muridnya segera membersihkan sisa ataupun kotoran di meja praktikum mereka.

Tidak lupa, mereka pun mengembalikan jas dan membuang handscoon serta masker yang telah mereka gunakan. Setelahnya, mereka kembali ke kelas lagi.

"Yang tadi itu mudah, bukan?" ucap Neko dengan perasaan bahagia.

"Bagaimana kau tahu itu?" tanya Yukia.

"Mudah, hal ini pernah ditayangkan di stasiun televisi. Tapi, aku tidak pernah mencari tahu semua teori-teorinya. Karena, mungkin sedikit sulit mencari teori tentang percobaan tersebut," jawab Neko sembari berjalan menuju mejanya.

"Pantas saja kau tahu," timpal Rin sembari menopang dagu.

"Kau cukup mengejutkan ya, Neko. Jarang ada anak transfer memiliki pengetahuan sepertimu. Rata-rata dari mereka, biasanya hanya memiliki dasar-dasarnya saja. Tapi sangat kaku dengan praktikumnya," ucap Chiba yang mulai membenamkan wajahnya pada lipatan tangannya.

"Lagipula, mengapa sensei tidak memberitahu ciri telur yang bisa ditetaskan atau tidak. Di kertas hanya tertulis, 'Carilah telur yang siap untuk ditetaskan'," protes Sachi yang tampak frustasi.

"Apa-apaan dengan wajah itu?" ucap Rin sembari mengernyitkan keningnya.

"Aku hanya kurang tidur. Semalam aku habis menonton drama," ucap Sachi.

"Orang yang kurang tidur, emosinya memang tidak stabil, tekanan darah tinggi, dan jantung berdegup kencang," ucap Yukia yang membuat Sachi menatapnya dengan tatapan tidak mengerti.

"Dan satu lagi, keterlambatan pemikiran," timpal Rin yang membuat Sachi mendengus, "Chiba pun sama!"

Chiba yang terpanggil pun langsung bangun. Ia menatap Sachi dengan tatapan malas.

"Sachi, kalau kau ngantuk, maka ngantuk sendiri sana. Jangan ngajak orang," ucap Chiba yang merubah posisinya menjadi menopang dagu.

Namun, sesaat setelah Chiba berbicara, Sachi tiba-tiba memasang wajah sedikit terkejut sekaligus bingung.

"Sekarang apa?" tanya Rin.

"Apa kalian tidak penasaran?" ucap Sachi yang sengaja memberi jeda pada ucapannya.

"Maksudmu?" sahut Yukia.

"Tadi malam, aku bermimpi jika kita berurusan dengan Hanako. Apa kalian juga memiliki mimpi yang sama?" tanya Sachi.

"Aku kira, kau mau menanyakan tentang praktikum tadi. Karena sejujurnya, aku penasaran dengan tumbuh kembangnya embrio tersebut," cicit Neko dengan nada lesu.

"Dasar! Aku tidak terlalu minat pada pengetahuan alam," balas Sachi dengan nada sedikit malas.

"Memangnya, apa yang kau lakukan sampai bermimpi Hanako?" tanya Rin.

"Itu ...."

"Kau sendiri takut hantu, bagaimana bisa kau memimpikan Hanako?" timpal Chiba.

"Nah, tuh," sahut Rin.

"Mungkin kau bermimpi buruk karena lupa berdoa sebelum tidur," ucap Yukia.

"Bisa juga tuh," sahut Rin untuk kedua kalinya.

"Uh! Beneran! Aku merasa jika mimpi itu benar-benar nyata," protes Sachi yang membuat empat temannya memasang wajah serius.

"Kurosaki-san, kau juga bermimpi buruk, bukan?" tanya Rin yang memasang wajah penasaran.

"Um, aku memimpikan hal yang sama dengan Sachi," jawab Neko dengan tatapan penuh keyakinan.

"Mungkin hanya kebetulan. Karena sedari kemarin, Sachi selalu memintamu untuk menemaninya ke toilet dan setelahnya, kalian ada kegiatan klub sampai malam. Kurasa, itu hanya faktor kelelahan," jelas Yukia dengan pose berpikir.

"Aku pun berpikir begitu," gumam Neko.

"Lalu, mimpi itu yang membuatmu tidak bisa tidur dan pada akhirnya, kau memilih nonton drama?" ucap Chiba yang langsung dibalas anggukan oleh Sachi.

"Tapi, apa yang Sachi katakan benar. Mimpi itu rasanya benar-benar nyata," gumam Neko.

"Sudahlah, jangan dipikirkan. Tidak baik jika terus-menerus memikirkan hal buruk," ucap Chiba.

Tidak lama kemudian, seorang wanita muda memasuki kelas tersebut dengan beberapa buku dalam genggamannya. Ia memancarkan aura penuh wibawa yang membuat murid memberikan respon yang baik pula.

"Baiklah, bagaimana praktikum kalian sebelumnya? Berjalan lancarkan?" ucap wanita itu dengan manik yang menyusuri seluruh isi kelas.

"Lancar, Sensei. Hanya, sedikit kesulitan saat menemukan telur yang bisa dipakai atau tidak," ucap salah satu murid yang duduk di pojok kanan belakang.

"Um, bahkan, kelompokku pun memakai telur sembarangan," sahut seorang siswa bersurai bob.

Guru itu hanya tersenyum mendengar aduan murid-muridnya. "Tidak masalah, namanya juga proses pembelajaran. Akan ada hal sulit ataupun hal mudah yang bisa ditemui kapanpun," ucap guru itu sembari memotivasi murid-muridnya.

"Jadi, apa Sensei tahu, mana telur yang siap ditetaskan ataupun tidak?" tanya gadis tersebut yang membuat guru itu terus mengulas senyum.

"Sebelum sensei menjawabnya, alangkah baiknya kalian menjawab pertanyaan sensei terlebih dahulu. Jadi, apakah ada yang melihat lilin di meja praktikum kalian?" tanya guru itu dengan tatapan penasaran.

"Iya, kami melihatnya, Sensei," jawab salah satu muridnya.

Kemudian, guru itupun berbalik menuju papan tulis. Lalu, ia mulai menggambar sebuah ilustrasi praktikum.

"Kalian paham sekarang?" tanya guru itu yang membuat siswanya tertegun.

"Jadi, telur kami salah," gumam salah satu muridnya.

"Mungkin, guru sebelumnya lupa untuk memberitahu kalian caranya. Jadi, gagal atau tidaknya itu tidak masalah. Kalian masih dalam proses pembelajaran," ucap guru itu yang mencoba membuat siswanya tidak terpikirkan oleh kesalahan mereka.

"Sudah tidak ada pertanyaan? Kalau tidak, mari kita lanjutkan pembelajaran berikutnya," ucap guru tersebut yang langsung membimbing murid-muridnya menuju ruang seni rupa.

Disana, mereka dijelaskan tentang seni rupa. Mulai dari seni rupa dua dimensi, hingga terapan pun mereka pahami. Dan setelahnya, mereka diminta untuk membuat sebuah gambar dengan temannya sebagai model.

Awalnya, cukup sulit. Membuat sketsa, membuat lineart, baru gambar yang sesungguhnya dan diakhiri dengan pewarnaan.

Namun, diantara mereka, Rin lah yang paling cepat selesai. Melihat hal itu, baik Neko dan Rin hanya menghela nafas.

Ya, karena Neko menggambar dengan cara berbeda. Bahkan, prosesnya pun butuh waktu lebih lama dibandingkan Rin.

'Profesional dengan pemula memang berbeda,' batin Neko yang sibuk menghapus gambarnya.

"Tolong, aku malas," gumam Sachi dengan mata yang semakin mengantuk.

"Sedikit lagi, Sachi. Tahan sebentar, sebentar lagi istirahat," ucap Neko yang duduk disebelah Sachi.

"Rin, bisa tangani gambar Sachi?" tanya Yukia yang membuat Rin melemparkan tatapan bertanya.

To be continued~


Jumlah kata : 1516 kata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top