Chapter 18 : Nightmare

Bruk!

"Ittai ...," gumam Neko seraya bangkit dari lantai yang menangkapnya saat jatuh dari tempat tidur.

Ia pun tampak melihat kondisi sekitarnya dengan perasaan bingung sekaligus takut.

'Sekolah ... rumah ... what happen with me!?' batin Neko.

Neko segera membuka jendela kamarnya lalu memaksa udara masuk lebih banyak dalam paru-parunya lalu ia hembuskan perlahan dengan harapan agar pikirannya tenang. Dan setelahnya, ia pun ingat apa yang dikatakan oleh temannya jika Mama Rin sedang sakit karena memikirkan dirinya.

Dengan langkah cepat, ia pun membuka pintu kamarnya dan langsung menuju dapur. Di sana, ia hanya bisa tercengang.

Mama Rin tengah sibuk memasak untuk sarapan, Rin tengah bermain ponsel dan papa Rin pun baru saja hadir sembari membenarkan dasinya.

'Ini tidak benar ...,' pikir Neko.

"Selamat pagi, Nak. Apa istirahatmu cukup?" ucap Papa Rin yang menangkap hawa aneh dari anak barunya.

"I-iya, aku mendapatkan istirahat yang cukup," ucap Neko dengan manik yang masih terlihat terkejut.

"Doushita, Kurosaki-san? Kau tampak seperti orang habis melakukan kesalahan besar," timpal Rin dengan tatapan menginterogasi.

"Tidak, mungkin aku hanya kelelahan lalu tidur lelap dan ya ... begitulah," jawab Neko setelah mengedikkan bahunya.

"Mungkin putri kita masih dalam fase penyesuaian. Jadi, harap maklum jika Neko mengalami mimpi buruk," timpal Mama Rin sembari menyajikan makanan di meja makan, "Baiklah, mari sarapan. Mumpung masih panas."

Neko pun mendekati meja makan dengan lesu. Ia masih bingung akan mimpinya. Sungguh, peristiwa dalam mimpinya sangat-sangat nyata.

Mama Rin pun mulai mengambil piring lalu diisi dengan nasi dan kare. "Ayo, dimakan. Coba dulu masakan ibu barumu ya," ucap mama Rin dengan senyuman lebar yang terpatri di wajahnya.

"Arigatou," balas Neko dengan senyuman lesu.

"Ittadakimasu!" ucap mereka secara serempak setelah mendapat makanan lalu mereka pun menyantapnya dengan nikmat.

Meskipun belum terbiasa dengan rasa pedas. Namun, masakan mama Rin mampu menggugah selera makan sang gadis yang baru saja mendapatkan mimpi buruknya.

Rasa pedas dan gurih bercampur menjadi satu dalam sebuah cita rasa.

Mereka sarapan dalam keheningan. Hanya suara ringan dari sendok dan garpu yang beradu dalam sebuah piring yang mengisi ruangan ini.

"Gochiosama deshita," ucap mereka setelah selesai makan.

"Sudah lama Mama tidak masak kare," ucap Rin dengan penuh antusias.

"Tentunya mulai sekarang mama akan sering masak makanan Jepang untuk membiasakan lidah anak baru mama," balas Mama Rin dengan riang.

"Nak, ada apa? Kau bilang jika kau mendapatkan istirahat yang cukup, tapi kok lesu begitu?" tanya Papa Rin yang menangkap sorot tidak bahagia pada sang gadis.

"Aku hanya bermimpi buruk," jawab Neko seadanya yang membuat mama Rin tersenyum, "Tidak apa-apa. Awal kami pindah rumah pun, Rin selalu bermimpi buruk. Dengan kata lain, pikiran dan tubuhmu sedang menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Jadi, jangan sedih ya. Segeralah cuci muka, gosok gigi lalu pakai seragam ya. Rin akan menunggumu di depan."

"Baiklah, terima kasih, Mama," ucap Neko yang langsung menuruti ucapan mama barunya.

Namun, Rin justru menahan tangan sang gadis seraya berkata, "Tunggu, kau sudah mandi kan?"

Neko pun terdiam. Entah karena ia belum terbiasa dengan adat negeri sakura ini atau Rin menanyakan hal yang membuatnya kesal.

"Lihat jam, masih awal. Jadi kau boleh mandi dulu jika belum," ucap Rin dengan senyuman lebar di wajahnya.

"Okay, then I say goodbye to take a shower for a while," ucap sang gadis sembari memberikan senyuman singkat dan pergi ke kamarnya.

Selepas kepergian sang gadis, orang tua Rin langsung menggoda Rin dengan menanyakan apa yang gadis itu katakan. Tentunya, Rin bilang jika sang gadis akan segera mandi.

"Sungguh perbedaan budaya ya," ucap Papa Rin sembari meneguk kopinya.

*****

"Enaknya bersepeda atau jalan kaki?" tanya Rin saat sang gadis telah siap.

"Menurutmu?"

"Hmmm... aku lebih suka jalan kaki," jawab Rin sembari membenarkan rambutnya.

"Ya sudah, kita jalan kaki," ucap Neko dengan sedikit cuek.

"Tapi, nanti kita lelah saat sampai di sekolah," ucap Rin dengan nada memelas.

"Baiklah, kalau begitu pakai sepeda."

"Tapi nanti, sulit saat pulang."

'Rin, I don't want to say this but, you're quite annoying today,' batin Neko dengan tangan yang telah ia kepalkan.

Neko pun menghela nafas agar apa yang ia pikirkan tidak keluar begitu saja. "Menurut Mama, apa yang seharusnya kami lakukan?" tanya Neko yang memilih jalan pintas.

"Diantar Papa," jawab Mama Rin dengan santainya.

'What's with this family!?' pikir Neko yang tidak habis pikir akan perbedaan sikap mereka.

"Ah, tidak usah, Mama. Lagipula, kami harus segera berangkat. Ittekimasu!" ucap Rin yang langsung menarik sang gadis menuju sekolah.

Saat langkah mereka telah cukup jauh dari rumah, Rin pun melepaskan tangannya dan mereka mulai berjalan santai seperti biasa.

"Then, what is the problem between walking and riding a bicycle?" tanya Neko yang masih memikirkan hal sebelumnya.

"Tolonglah, pakai bahasa Jepang. Jepang, Jepang, agar aku mengerti," ucap Rin dengan wajah yang tidak mengerti apapun.

"Tapi tadi, kau tahu apa yang ku bicarakan."

Rin pun berhenti, begitu juga dengan sang gadis. Lalu, Rin menghadap Neko dengan sabar dan berkata, "Kurosaki-san, logat bahasa Inggris kami berbeda dengan orang luar sana. Jika di negara lain, seperti Indonesia itu kemampuan bahasa Inggrisnya sudah bertambah tiap mereka naik sekolah, maka kami hanya mempelajari sedikit saja. Bahkan, kelas dua SMA di Jepang mempelajari materi bahasa Inggris kelas dua sekolah dasar. Mengerti?"

Neko pun langsung mengangguk dengan cepat. Ia baru menyadari adanya ketidaksesuaian pola bahasa tiap negara.

'Sepertinya, aku harus mulai mengerti,' batin Neko.

*****

"Ohayou!" sapa Rin pada dua temannya yang telah sibuk dengan kegiatan mereka.

"Ohayou," balas Sachi dan Yukia secara serempak.

Namun, bukannya memberi salam terlebih dahulu, Neko langsung menepuk pelan pundak Yukia lalu berbisik, "Yukia, ada waktu sebentar?"

"Ada," jawab Yukia sembari menutup bukunya lalu menatap lawan bicaranya.

"Hm ... ini pertanyaan yang cukup menyinggung tapi, aku tidak akan mengerti jika tidak kau jelaskan. Jadi, apakah benar jika orang Jepang sulit berbahasa Inggris?" tanya Neko dengan tatapan serius.

Mendengar pertanyaan itu, Yukia tampak menghela nafas. Ia memikirkan alasan yang tepat pada sang gadis agar tidak menimbulkan kesalahpahaman yang membuat mereka berakhir pada perselisihan.

"Kurasa kau akan mengerti ini. Kami, para siswa Jepang hanya menggunakan bahasa Inggris saat ujian saja. Selain ujian, kami tidak menggunakannya. Dan yang terpenting, kami kesulitan membuat dalam mengartikan bahasa Inggris. Banyak huruf katakana yang tidak sesuai dengan terjemahan dalam bahasa Inggris. Ditambah dengan pola pikir masyarakat kami pada pendidikan yang tidak begitu mementingkan bahasa Inggris. Itulah mengapa kami kurang bisa bahasa Inggris," jelas Yukia yang membuat Neko mengangguk paham.

"Aku mengerti sekarang," ucap Neko dengan wajah yang penuh kepuasan.

"But, if you want to speak English, then I understand whatever you're talking about," ucap Yukia sembari membenarkan kacamatanya yang tidak bergeser sedikitpun.

"Neko-chan, apa kau sudah siap dengan pelajaran hari ini?"

Sachi menginterupsi kegiatan Neko dan Yukia yang terkesan selalu mendiskusikan hal-hal penting di pagi hari. Bahkan, itu terkadang membuat beberapa guru bangga pada mereka. Meskipun Kurosaki Neko baru beberapa hari berada disini.

"Sekarang? Pelajaran?"

"Biologi," jawab Yukia sembari merapihkan bukunya, "Rencananya hari ini kelas kita mendapatkan jatah untuk praktikum menetaskan sebuah telur ayam dalam gelas plastik."

Neko sedikit tercengang atas apa yang ia dengar.

"Amazing," gumam Neko dengan penuh antusias.

"Hee~ apa yang membuatmu begitu antusias? Bagi kami, itu hal yang menyulitkan," komentar Sachi yang terdengar tidak menyukai pelajaran tersebut.

"Di tempatku bahkan hal itu belum pernah dilakukan. Ini pasti akan luar biasa," jawab Neko yang tidak ada henti-hentinya untuk kagum pada negara ini.

"Selalu kagum seperti biasanya ya, Neko-chan."

Chiba bangkit dari tidur paginya. Ia tampak tidak bersemangat hingga tidak berminat sedikitpun.

"Entahlah, sedari tadi dia selalu membuatku bingung dengan bahasa Inggris nya," sahut Rin sembari duduk ditempatnya.

Chiba hanya mengulas senyum setipis benang tiap mendengar keluhan Rin.

"Ah iya, Chiba," ucap Neko yang kemudian mendekati Chiba sembari merogoh tasnya. Tak lama kemudian, ia mengeluarkan sebuah buku tebal yang tampak membosankan bagi Sachi, "Terima kasih atas bukunya. Lain kali aku akan meminjam yang lain."

"Baiklah," ucap Chiba dengan nada malas sembari menerima buku tersebut.

Tak lama kemudian, bel pun berbunyi yang membuat beberapa siswa langsung berhamburan ke kelas mereka.

"Selamat pagi."

Pria paruh baya itu segera meletakkan buku yang ia bawa dengan langkah terburu-buru.

"Selamat pagi," balas seluruh siswa di kelas ini.

"Baiklah, kalian sudah siap untuk praktikum kali ini?" tanya pria paruh baya itu sembari memberikan senyuman terbaiknya pada anak didiknya.

Kemudian, salah satu anak laki-laki yang duduk di dekat pintu pun mengangkat tangannya.

"Iya, Sozaki-kun?" ucap pria paruh baya itu dan dengan segera, siswa itu mengajukan pertanyaannya, "Sensei, sebenarnya ... apa tujuan kita melakukannya?"

"Pertanyaan yang menarik, Sozaki-kun. Kira-kira ... adakah diantara kalian yang mengerti tujuannya?" balas pria paruh baya itu dengan mata yang mengawasi gerak-gerik muridnya.

Tak lama kemudian, Yukia pun mengangkat tangannya.

"Iya, Tsucigami-san?"

"Menurut pengetahuanku, hal itu digunakan untuk membantu mengembangbiakkan hewan-hewan yang terancam punah," jawab Yukia yang langsung mendapat pujian dari pria paruh baya itu.

"Pintarnya ...," gumam Sachi yang hanya bisa didengar oleh Yukia.

"Biasakan baca buku. Praktikum ini sudah dilakukan sejak tahun dua ribu enam belas," balas Yukia.

"Tentunya, praktikum ini hanya bisa dilakukan pada unggas saja. Selain itu, apakah ada yang tahu apa nama lain dari praktikum ini?" ucap pria paruh baya itu yang semakin menguji pengetahuan siswanya.

Chiba pun mengangkat tangannya seraya berkata, "Surrogatemother. Dengan kata lain, sama seperti bayi tabung pada manusia. Sehingga, praktikum ini juga sering disebut sebagai burung tabung."

"Baiklah, untuk lebih jelasnya, mari kita lakukan praktikum. Segera ke laboratorium, ya," ucap pria paruh baya itu yang langsung keluar dari ruang kelas menuju ke laboratorium sekolah dengan beberapa buku yang telah ia bawa sebelumnya.

To be continued~

[Neko Note]

Arigatou : terima kasih

Ittadakimasu : selamat makan

Ittai : sakitnya

Ittekimasu : kami berangkat

Doushita : ada apa

Gochiosama deshita : terima kasih atas makanannya

Ohayou : selamat pagi

Sensei : guru

Jumlah kata : 1590 kata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top