Chapter 14 : Perjuangan #1

Io pun terus meneliti hingga menekan barisan tanaman boxwood tersebut. Namun, tidak membuahkan hasil sama sekali.

"Mencari jalan pintas pada labirin memang tidak mudah, bukan? Tidak seperti dalam buku ataupun serial film Harry Potter: The Goblet of Fire."

Suara anak kecil yang sedikit tegas itu membuat Io menghadap lawan bicaranya. Ia tampak bingung, karena hanya dialah yang di sini sedari awal. Namun, tak menutup kemungkinan jika ada arwah orang lain juga disini.

"Nama tidaklah penting jika ingin membantu seseorang," ucap gadis kecil tersebut yang mengerti isi pikiran Io.

Io pun berdeham sejenak lalu berkata, "Jadi, kau mengerti semua sisi labirin ini?"

"Permasalahannya bukan pada masalah labirin ini, tapi pada rasa pedulimu pada kondisi disekitarmu," ucap sang gadis.

Io pun kurang memahami maksud gadis kecil dihadapannya itu.

"Jika kau peduli pada orang-orang disekitarmu, aku bisa memastikan kau bertemu dengannya lagi. Tapi, kau kemari untuk satu alasan, bukan? Untuk membuat teman masa kecilmu tidak bersedih," jelas sang gadis.

"Lalu, apa hubungannya antara peduli dengan labirin? Jangan bercanda."

"Keterpaksaan, semua yang dilakukan dengan terpaksa maka akan berbuah sia-sia," jelas sang gadis yang langsung pada intinya.

"Hei!"

"Kau terpaksa melakukannya kan, Io? Jika temanmu, Rin tidak bersedih, maka kau tidak akan mencarinya sampai disini. Karena pada dasarnya, kau pun sedikit malas untuk berurusan dengan hal-hal yang membuatmu harus berpikir lebih lama dari biasanya," ucap sang gadis yang membuat Io bungkam.

'Kepedulian ... apa kaitannya?' pikir Io.

"Jika kau melakukannya dengan terpaksa, maka kau tidak jauh berbeda dari seekor anjing yang dipaksa untuk menuruti perintah manusia. Lebih baik, kau tidak usah bersekolah jika hasilnya seperti itu. Bahkan hewan liar yang tidak sekolah pun memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap hewan lain, atau bahkan sesamanya," jelas sang gadis misterius itu.

"Apakah ceramahmu itu sudah selesai?" tanya Io yang mencoba menahan amarahnya.

"Kurasa," jawab sang gadis sembari mengedikkan bahu.

Io pun menggelengkan kepalanya sebentar lalu menatap tempat yang rasanya berbeda.

'Dimana ... labirin tadi?' batin Io.

"Ayo, kita tidak punya banyak waktu," ucap sang gadis itu yang kemudian melangkahkan kakinya duluan.

"Hei, jelaskan dulu soal ini," ucap Io sembari menyusul sang gadis.

"Sudah ku jelaskan sebelumnya."

Ucapan sang gadis menutup pembicaraan tersebut. Io hanya bisa bertanya-tanya seorang diri.

'Bagaimana mungkin jika labirin bisa hilang dalam waktu sekejap? Namun, bisa saja. Lagipula, ini pun bukan duniaku,' pikir Io.

*****

"Psssttt ... Sachi apa kau aman?"

Mendengar suara dari walkie talkie itu membuat Sachi langsung menekan tombolnya lalu menjawab, "Aku aman."

"Syukurlah."

Sachi pun bingung dan mulai menebak-nebak apakah lawan bicaranya tertangkap.

"Hei, Chiba. Apa kau baik-baik saja?"

Sunyi, itulah yang Sachi terima. Ia semakin khawatir jika temannya tertangkap.

"Chiba!"

"Pelankan suaramu! Dan aku baik-baik saja. Selain itu, ada penjaga sedang mengarah ke UKS, segera sembunyi!"

"Bagaimana kau ...."

Dan benar, tampak bayangan yang akan tiba pada ruangan tempat Sachi berada. Dengan langkah terburu-buru serta panik, Sachi mencari tempat teraman untuk bersembunyi.

Tap tap tap~

Suara langkah kaki semakin terdengar. Hingga pada akhirnya, Sachi memutuskan bersembunyi di dalam loker khusus untuk petugas UKS.

Kriet~

Pintu pun terbuka dan Sachi mencoba mengintip siapa penjaga tersebut. Namun, alangkah terkejutnya ia, saat melihat penjaga tersebut berkulit putih pucat dengan tatapan sayu, serta darah berwarna hitam yang keluar dari hidungnya.

'Sial,' batin Sachi.

Sachi tak bergeming saat melihat penjaga itu seolah-olah mencari hal baru. Ia hanya bisa menutup mulutnya sembari berdoa demi kelangsungan hidupnya.

'Kami-sama, cobaan apalagi yang kau berikan? Aku masih muda, masih banyak impian untuk diraih, masih ingin pendekatan pada Isamu. Tapi, mengapa Engkau kirim orang seperti ini kemari?' batin Sachi dengan jantung yang terus berdegup kencang.

Penjaga itu terus-menerus memperhatikan ketiga gadis yang masih terlelap dalam dunianya. Namun, satu hal yang dapat Sachi tangkap, Hanako tidak berada di toilet.

Ya, Hanako justru berada dalam ruangan ini bersama penjaga tersebut. Sachi pun semakin panik dalam diam.

'Semoga Chiba tidak menghubungiku. Ah, sungguh malang nasibku saat ini. Yukia, dimana kau? Kau bilang pergi sebentar, tapi ini cukup lama,' batin Sachi.

Disisi lain, Chiba masih bersembunyi dari dua orang yang telah ia bawa keluar dari toilet. Ia pun tidak menyangka jika kedua orang tersebut bisa bangkit dalam keadaan yang berbeda dari biasanya.

'Mungkinkah ini peristiwa kerasukan?' pikir Chiba.

Namun, tetap saja Chiba tidak bisa tinggal diam di dalam ventilasi udara. Ia harus membantu Sachi dan Yukia pula.

Saat dua orang itu berjalan menjauh dari toilet, kesempatan itupun dimanfaatkan oleh Chiba untuk keluar dari ventilasi dan mulai mengendap-endap. Setidaknya, minimal ia harus tahu apa kelemahan mereka.

Setelah melewati dua ruang kelas, Chiba berhenti sejenak untuk memantau aktivitas dua temannya pada tempat yang telah ia letakkan kamera pengawas melalui jam tangan yang telah ia modifikasi sedemikian rupa, hingga bisa terhubung dengan kamera khusus.

Jujur saja, ia sangat lega melihat Sachi mampu bersembunyi dengan aman. Namun, ia masih belum bisa memperingatkan Yukia jika ada seseorang yang mendekati lokasinya.

'Ck! Apa yang kau lakukan di sana, Yukia! Cepat pergi!' batin Chiba.

*****

"Shimatta, ini sudah terlalu lama," gumam Yukia yang kini berada dihadapan vending machine.

Ya, kini Yukia tengah berada dalam kantin. Ia sekadar menjarah beberapa hal yang bisa ia makan untuk beberapa jam kedepannya. Mengingat Sachi terkadang ribut jika perutnya sedang lapar.

Namun, saat Yukia akan melangkahkan kaki, ia terlebih dahulu mendengar langkah kaki yang membuat nya harus bersembunyi di kolong meja para penyaji makanan.

Tap tap tap~

Karena penasaran, Yukia pun memutuskan untuk mengintip sebentar.

'Zombie kah? Tapi ... jika zombie, mengapa tubuh mereka utuh?' pikir Yukia.

Tiba-tiba, Yukia memiliki ide untuk mengalihkan perhatiannya. Ia mengambil salah satu gelas aluminium itu lalu melemparnya ke sudut ruangan paling kanan, terjauh dari tempatnya.

Klontang!

Penjaga itu tertawa lalu bernyanyi, "Aku tahu kau ada disini, aku tahu kau bersembunyi, keluarlah kasih, karena kau lah yang kucari!"

Bletak!

Yukia spontan memukul penjaga itu dengan panci. Karena, akhir dari lagu tersebut, sang penjaga mengejutkan Yukia dengan memunculkan wajahnya begitu saja.

Setelah dipukul Yukia, penjaga itu tidak mundur, melainkan tertawa dengan darah di mulutnya.

"Pukulan yang bagus, anak muda," ucap penjaga itu dan langsung mencoba meraih Yukia. Namun, sebelum berhasil meraih Yukia, Yukia telah terlebih dahulu menghindar dan menodongkan pisau pada penjaga itu.

"Mundurlah, Paman!" bentak Yukia.

"Ahahaha ... pukulan itu tidak akan membuatku mati," ucap sang penjaga yang semakin mencoba mendekati Yukia.

Yukia hanya bisa mundur terus-menerus sembari menodongkan pisaunya.

"Paman ...."

Brak!

Pintu pun dibuka secara kasar yang membuat dua orang yang berada di ruangan itu menghadap sang pelaku

"Yukia, lewat sini!"

Titah itu membuat Yukia melarikan diri. Namun, ia tidak sendiri. Sang penjaga masih mengejar Yukia.

'Kami-sama, tolonglah aku,' batin Yukia.

*****

"Bagaimana caramu kemari?" tanya Io sembari mengekor sang gadis.

"Tiap orang memiliki caranya masing-masing untuk membantu orang lain. Dan aku tidak akan mengungkapkannya meskipun kau memohon padaku," jelas sang gadis yang sedikit memancing emosi Io.

'Siapa juga yang akan meminta pertolongannya,' batin Io.

"Tenanglah. Tanpa bantuanku, kau pasti akan terjebak dalam labirin itu," ucap sang gadis.

Io hanya menghela nafas. Dan bagaimanapun, apa yang dikatakan oleh gadis itu memang fakta.

"Aku tahu jika kau pasti mengerti jika dunia manusia dan dunia kami berbeda. Kami bisa memasuki dunia manusia dengan mudahnya, tapi manusia tidak bisa melihat kami."

"Sekarang, apa yang coba kau katakan?" tanya Io.

Sang gadis pun menunjukkan suatu tempat yang menyerupai cermin. Dan pada cermin itu, terdapat gambaran apa yang terjadi pada Sachi, Chiba, dan Yukia yang mencoba bermain petak umpet dengan para penjaga yang notabenenya sudah bukan manusia lagi.

"Tunggu, mengapa Hanako ada disana?" tanya Io.

"Sudah kubilang, kepedulian," jawab sang gadis singkat yang kemudian berlalu pergi.

"H-hei!"

"Kita tidak punya waktu. Jika kau tidak ingin terjebak di sini, maka ikuti aku," ucap sang gadis.

Namun, Io sedikit keberatan. Ia masih memandang cermin tersebut yang menggambarkan perjuangan teman-temannya.

"Temanmu akan baik-baik saja. Ya ... selama mereka tidak berkontak fisik dengan mereka yang hidup seperti itu," ucap sang gadis yang kemudian melanjutkan perjalanan yang membuat mau tak mau, Io harus mengikutinya.

"Maksudnya, jika mereka tertangkap maka teman-teman ku akan menjadi seperti mereka?"

"Tidak, tapi jika teman-teman mu terkena air yang dikeluarkan dari tubuh mereka. Tapi, kurasa itu sedikit mustahil. Mengingat, jumlah mereka ada enam. Dua orang di lantai tiga, satu orang di lantai dua, dan sisanya berkeliaran di lantai satu," jelas sang gadis.

'Ganbare, minna!' batin Io.

*****

"Terima kasih banyak, Maeda-sensei," ucap Rin setelah menerima teh hangat dari gurunya tersebut.

Maeda-sensei pun membalas dengan senyuman hangat. Tak lupa, ia pun mengelus surai Rin dengan penuh kasih sayang.

"Maaf, sensei telah membuat keluargamu repot, Rin," ucap Maeda-sensei.

Rin pun bergeleng sebentar lalu berkata, "Tidak masalah, Sensei. Lagipula ... ini juga salahku. Aku seharusnya memberitahu Sensei tentang masalah bully ini."

Maeda-sensei terdiam. Ia memikirkan jika kelak ia menikah, ia berharap memiliki seorang anak gadis yang serupa dengan Rin.

'Semoga saat-saat itu akan terwujud,' pikir Maeda-sensei.

"Sensei, apa sensei percaya pada Hanako?" tanya Rin yang membuat Maeda-sensei sedikit berpikir lalu berkata, "Semua kembali pada keyakinan tiap orang, Rin. Jika itu sensei, maka sensei percaya. Lagipula ... menurut sensei, kehadiran Hanako membuat kita sadar jika masih ada siswa yang berperilaku buruk pada siswa lainnya."

Rin pun tampak mengangguk pelan. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia sangat khawatir pada kondisi teman-temannya.

To be continued~

[Neko Note]

Sensei : guru

Shimatta : astaga, gawat

Jumlah kata : 1531 kata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top