Chapter 12 : Teror Hanako #3
Chiba membaringkan sang gadis dengan perlahan yang diiringi dengan Rin yang tengah memanggil petugas UKS. Selain itu, Sachi, Io, dan Yukia mengamati ketiga senpai mereka.
Menurut pemandangan mereka, ketiga senpai mereka memiliki ciri-ciri yang serupa. Kulit putih pucat, dingin, dan wajah yang sangat sayu.
'Bukan gejala pingsan yang biasa,' batin Yukia.
"Mendapat sesuatu?" tanya Chiba yang kini tengah berdiri disebelah kanan Yukia dan dijawab dengan gelengan.
"Yang ku tahu, Hanako tidak menyerang. Kecuali para pelaku bully," ucap Io.
"Aku pun tahunya seperti itu," sahut Sachi.
'Ada yang tidak beres disini,' batin Chiba.
Chiba pun mencoba menyentuh kelopak mata Neko. Namun, ia menghentikan aktivitasnya saat petugas UKS hadir untuk memeriksa kondisi sang gadis.
Mereka pun menatap petugas UKS itu dengan tatapan serius dengan beribu harapan. Tetapi, harapan mereka pupus saat melihat petugas UKS menggelengkan kepalanya.
"Apakah ini juga ulah Hanako?" tanya petugas UKS.
"Iya," jawab Rin ragu.
"Aku tak paham persoalan ghaib atau sejenisnya. Tapi, yang dapat aku tangkap adalah kondisi ini diluar medis," jelas petugas UKS dengan tatapan sangat serius.
"Jiwa mereka terperangkap?" tanya Sachi dengan tatapan khawatir.
"Aku tidak tahu, karena kasus ini telah berada di luar jangkauan medis. Tapi, ada kemungkinan jika hal ini sedikit sama dengan saat kalian bermain Sadako-san," jelas petugas UKS.
Di lain tempat, para guru kini telah berkumpul atas permintaan kepala sekolah. Dan para siswa pun telah dipulangkan lebih awal dari jam biasanya.
Hal yang mereka bahas adalah tentang teror yang dialami oleh tiga siswa kelas tiga dan satu siswa kelas dua yang notabenenya siswa pindahan yang harus mereka jaga selama dua puluh empat jam. Dan jika pun ada masalah dalam keluarga barunya, maka keluarga barunya harus berkomunikasi dengan pihak sekolah agar permasalahan yang ditimbulkan dapat segera diredam.
"Jadi, apa pendapatmu, Maeda-sensei?" tanya kepala sekolah dengan tatapan menantang.
Mendengar pertanyaan itu, Maeda-sensei pun tampak berpikir sejenak dan mulai menjelaskan jika hal ini bukan kesalahan dari gadis pertukaran pelajar itu. Melainkan kesalahan dari tiga siswi kelas tiga.
"Tapi, tidak ada bukti jika mereka yang melakukannya," sela wali kelas tiga.
"Bukti selalu ada di akhir cerita, sensei," tegas Maeda-sensei.
"Bagaimana jika kita beri waktu pada Maeda-sensei untuk membuktikan semuanya," saran wali kelas satu dan langsung didukung oleh para guru yang berada dalam rapat tersebut.
Kepala sekolah pun tampak berpikir lalu berkata, "Baik. Akan saya berikan Maeda-sensei waktu untuk membuktikan semuanya. Tapi jika sensei gagal, maka sensei dipecat. Dan untuk sementara, sekolah akan ditutup hingga Maeda-sensei mendapatkan bukti-bukti yang diperlukan. Serta untuk pembelajarannya akan diberlakukan pembelajaran jarak jauh melalui daring. Apakah ada pertanyaan?"
Seorang guru bahasa Inggris pun mengangkat tangannya lalu dipersilakan bertanya, "Bagaimana dengan siswa yang masih pingsan? Haruskah mereka pulang atau tetap disini?"
"Pertanyaan yang bagus," puji kepala sekolah dan ia pun mulai berkata," Saya akan menjelaskan pada orang tua siswa yang bersangkutan jika anaknya belum diizinkan pulang. Mungkin akan membuat gempar, tapi akan saya usahakan semaksimal mungkin agar berita ini tidak menyebar kemanapun. Sekaligus untuk menjaga citra sekolah kita. Apakah ada pernyataan lagi?"
Setelah penjelasan tersebut, semua guru pun diam.
" Baiklah jika tidak ada pertanyaan maka pernyataan tersebut menutup rapat singkat kali ini. Terima kasih atas kerjasamanya." ucap kepala sekolah dan langsung meninggalkan ruang rapat menuju ke ruangannya sendiri.
Setelah pernyataan tersebut, semua guru langsung pergi dari ruangan tersebut dan meninggalkan Maeda-sensei sendiri. Ia masih bingung akan keputusan kepala sekolah. Namun, ia pun tak bisa menyalahkan kepala sekolah. Mau bagaimanapun, ia adalah pimpinan disini dan apapun yang ia lakukan juga demi kebaikan sekolah ini.
'Aku harus menemui Rin,' pikir Maeda-sensei yang langsung berkemas serta meninggalkan ruangan yang telah sepi.
*****
"Kalian harus pulang," ucap petugas UKS tersebut yang terdengar seperti mengusir.
"Tapi ...,"
"Cepat pulang! Sebelum sekolah benar-benar ditutup," potong petugas UKS yang membuat Chiba menggandeng Rin keluar dan diikuti oleh tiga gadis lainnya menuju ruang kelas untuk berkemas. Setelahnya, mereka pun meninggalkan sekolah.
Rin tampak amat bersalah. Ia tidak seharusnya meninggalkan apa yang menjadi tanggungjawabnya.
"Oh ayolah, apakah kita harus menghadapi Hanako dengan cara bermain dengan Sadako? Jangan bercanda! Tidak mudah melawan mereka. Tidak seperti melawan animatronik ataupun zombie," ucap Sachi yang merasa sedikit tertekan.
"Tapi, zombie lebih sulit dilawan," timpal Yukia.
"Ya, aku setuju itu," balas Sachi.
"Kalian masih disini saja. Cepat pulang!" usir satpam yang membuat mereka langsung lari dari lingkungan sekolah.
Namun, mereka tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, melainkan mereka berkumpul di rumah Rin. Tentu saja, mama Rin menyambut kepulangan mereka dengan tatapan yang lebih khawatir dari sebelumnya. Ia tidak menyangka jika Hanako bisa meneror seperti itu. Hingga pada akhirnya, mama Rin pun pingsan yang membuat mereka bergotongroyong untuk memindahkan mama Rin ke kamarnya.
"Mama ...," ucap Rin sembari memandang mamanya yang terbaring lemah.
Rin tahu jika mamanya tidak boleh diberi kabar yang membuatnya harus berpikir berat. Karena, mama Rin memiliki penyakit yang tidak mengizinkannya untuk melakukan aktivitas ataupun berpikir berat. Dan jika itu terjadi, maka ia akan pingsan ataupun demam hingga sakit yang tak kunjung pulih.
Setelah memindahkan mama Rin, mereka pun berkumpul di ruang tamu dengan minuman serta camilan seadanya.
"Tidak hanya Mama Rin, tapi ... aku pun tidak percaya jika Hanako akan meneror seperti itu," ucap Yukia sembari membenarkan kacamatanya yang tak turun sedikitpun dari batang hidungnya.
"Setahuku, Hanako itu baik. Dia cenderung menolong dibandingkan menyakiti," gumam Sachi yang entah mengapa ia merasa sangat sedih. Bahkan lebih sedih dari mendengar kabar burung jika Isamu mulai melakukan pendekatan pada Neko.
"Kalian masih percaya pada cerita masa kecil kita? Dimana Hanako bisa diatasi dengan menunjukkan raport yang tertulis nilai sempurna?" ucap Io yang sedari tadi bungkam.
"Um, kurasa aku sedikit mengingatnya," jawab Rin.
"Dan ia akan hilang saat melihat nilai itu?" sahut Sachi dengan sangat antusias.
"Jangan percaya, itu hanya mitos belaka," timpal Chiba sembari meminum susu kotak rasa strawberry yang entah kapan ia membelinya.
"Atau ... kita harus bermain dengan Sadako-san," ucap Yukia yang langsung disambut tatapan horor oleh ketiga gadis di sana.
"Ku rasa itu ide yang buruk," ucap Sachi dengan nada ragu.
"Dan kurasa itu tidak ada salahnya untuk dicoba," ucap Chiba.
"Jangan mencari mati! Jika kita tidak berhasil menghindar atau gagal untuk bermain petak umpet dengannya, maka kita akan berakhir sadis," jelas Rin.
"Tapi, mereka berdua ada kaitannya dengan air," ucap Yukia.
"Tapi Sadako-san tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Minako," ucap Chiba.
"Chiba ...," eluh Rin yang sangat tidak setuju dengan ide gila Yukia.
"Aku akan mencoba untuk berbicara dengannya," ucap Io yang membuat mereka tertegun.
"Apa? Kurasa aku salah dengar," ucap Rin sembari membuka telinganya yang tertutup oleh rambutnya yang digerai.
"Itu terlalu berbahaya, Io. Kami takutnya jika kau akan bernasib sama seperti Neko-chan," ucap Sachi.
"Akan lebih berbahaya lagi jika kita bermain terlebih dahulu dengan Sadako," ucap Io yang membuat keempat temannya diam saja.
Namun, diamnya mereka bukan karena mereka setuju. Melainkan, mereka tidak ingin Io yang menjadi korban selanjutnya.
"Tidak ada cara lain untuk melakukannya," ucap Io.
"Tapi, bolehkah kita meminta bantuan pada orang-orang kuil dulu?" tanya Yukia.
"Ide bagus! Setidaknya, kita mendapatkan doa agar tidak bernasib sama dengannya," sahut Sachi.
"Um! Aku setuju!" ucap Rin.
"Baiklah, berhubung esok kita masih kosong, maka kita akan ke kuil esok. Sekaligus mencoba keberuntungan di sana," ucap Yukia yang langsung disambut dengan pelukan ceria dari Sachi.
"Yeay! Aku mau menguji keberuntungan ku dengan Isamu!" teriak Sachi yang membuat Yukia menutup telinganya.
Melihat hal itu, baik Io maupun Rin pun tertawa pelan.
"Berisik," tegur Chiba dengan nada malas.
"Bilang saja kau iri," balas Sachi.
"Tidak. Siapa juga yang iri dengan gadis aneh sepertimu," ucap Chiba.
"Oh, begitu. Siapa juga yang mau dengan pria malas seperti mu," balas Sachi.
"Ada yang mau, hanya saja sangat sulit ku raih," gumam Chiba dengan nada amat pelan hingga tak mampu didengar oleh siapapun.
"Sudahlah, sekarang kita konsentrasi saja pada Kurosaki-san," ucap Rin yang merasa terhibur sejenak.
Puk~
Chiba pun menepuk pundak Io sembari mengeluarkan tatapan tajam seraya berkata, "Kau yakin akan pergi sendiri?"
"Sangat yakin. Jika aku mengajak kalian, ada kemungkinan besar jika hal yang terjadi akan lebih sulit dibandingkan sebelumnya," jelas Io.
"Sebelumnya? Jadi ... kau ...."
"Iya, aku sempat bicara dengan Hanako sebentar. Karena, kebetulan ia muncul karena mendengar langkah kaki dari tiga senpai kita dan mendadak ... Hanako mendorongku hingga keluar dari toilet lalu ia mengunci tiga senpai kita. Dan terakhir, mereka ditemukan dalam kondisi seperti itu," jelas Io dengan tatapan lelah.
"Kau melihat Hanako?" tanya Sachi setelah melepas pelukannya dari Yukia.
"Um," jawab Io.
"Bagaimana tampangnya?" tanya Sachi dengan antusias.
"Cantik," jawab Io singkat yang membuat Sachi terkejut.
"Apakah ada kabar terbaru dari sekolah?" tanya Chiba yang mengalihkan perhatian keempat temannya.
"Sekolah diisolasi sementara. Jadi, ini tidak akan mudah jika kita mencoba masuk," ucap Yukia.
"Diisolasi dengan murid yang masih ada didalamnya ... kejamnya ...," gumam Rin.
Mendengar ucapan Rin, Io pun langsung mengelus pundaknya dan memberikan tatapan jika semuanya akan baik-baik saja.
"Yosh! Aku akan butuh beberapa penjepit kertas sebagai lock pick," ucap Chiba dengan senyuman tipisnya.
Rin pun langsung menatap Chiba seraya berkata, "Menjebol pintu?"
"Tentu saja. Bagaimana kita bisa masuk ruangan yang terkunci jika tidak ada kunci?" ucap Chiba.
Io pun menghela nafas sejenak dan mulai berkata, "Apa kau sangat khawatir sampai lupa jika pintu akan terus dikunci hingga waktu yang telah ditetapkan?"
"Kurasa ...," gumam Rin.
"Baiklah! Aku akan menyiapkan perbekalannya!" ucap Sachi dengan penuh semangat.
"Dan jangan lupa, esok kita harus pergi ke kuil," ucap Yukia sembari tersenyum.
'Arigatou minna' batin Rin yang menahan rasa terharunya didalam hatinya.
To be continued~
[Neko Note]
Arigatou : terima kasih
Minna : semuanya
Sensei : guru
Jumlah kata : 1572 kata
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top