Rather Be

Agustus 2009

Pertengahan tahun 2009, tepatnya bulan Agustus, aku sudah berhasil menamatkan kuliahku. Dan aku senang karena hasilnya cukup bagus. Karena nilai yang bagus itu jualah, aku diminta oleh dosenku untuk menjadi salah satu dosen yang diperbantukan untuk kampus. Kebetulan Fakultas Kedokteran di kampusku sedang memerlukan seorang dosen Bahasa Inggris Dasar, sehingga aku dirasa cocok untuk mengisi kekosaongan itu. Dan aku setuju saja atas permintaan dari kampus tersebut.

Tapi ada satu hal yang membuatku merasa bersedih selama ini.

Aku pulang ke kost setelah selesai berbicara dengan salah satu dosenku untuk masalah tawaran itu, dan tanpa pikir panjang, aku langsung menghempaskan tubuhku ke kasur. Kupandang langit – langit kamarku, dan akhirnya aku mengambil sebuah pigura yang terletak di meja belajarku. Tidak lain dan tidak bukan itu adalah fotoku dengan Agus, saat upacara kelulusan kami.

Agus sempat mengabari kalau dia akan tetap berada di kota sebelah karena pihak pemberi beasiswa sangat ingin dia melanjutkan pendidikannya di sana. Sebegai sahabat, jelas aku sangat mendukung dia. Selama semester pertama kuliah, aku dan dia tetap sering bersuratan. Tapi setelah itu, suratku tak pernah mendapatkan balasan. Dan bahkan suratnya dikembalikan lagi ke alamatku. Begitu pula dengan telpon, Agus tidak pernah menelpon aku lagi sejak semester dua dimulai. Aku sendiri tak bisa menelponnya, karena aku tidak tau nomor mana yang harus kuhubungi. Dan aku juga tidak tau kalau misalnya Agus mengirimkan surat ke alamat lamaku, karena sekarang aku sudah tidak serumah dengan kedua orang tuaku lagi. Bahkan ibuku mengatakan kalau dia tidak menerima surat dari Agus lagi semenjak aku ngekos. Jika aku ingin mengirim surat, aku tidak tau harus mengirim ke mana lagi. Apakah mungkin asramanya dipindahkan, dan dia tidak mengabariku? Aku tidak tau.

Sejak saat itu, sepanjang malam aku hanya bisa memeluk pigura foto yang berisikan foto kami berdua, sambil terus bertanya dalam hati bagaimanakah kabarnya, apa yang sedang dilakukannya, apakah dia baik – baik saja, dan yang paling penting adalah apakah dia masih mengingat aku dan juga janji yang telah kami buat? Aku telah menganggap dia sangat berarti bagiku, sehingga aku bahkan tidak bisa melupakan dia sampai sekarang. Aku masih terus merindukannya. Aku terus mencari dimana dia berada. Walau sampai saat ini aku masih tak tau dia dimana.

Dan terkadang aku juga berpikir kalau Agus mungkin sudah melupakanku. Di saat yang sama pula, aku terus berusaha mencari orang lain yang bisa mengisi kekosongan yang Agus tinggalkan dalam hatiku. Kucari teman – teman baru, dan aku juga berkenalan dengan banyak pria lain yang bisa dibilang lebih menarik daripada Agus. Tapi aku masih tak mengerti, dari jutaan percakapan dan ribuan pertemuan yang aku lakukan dengan orang lain, aku tak bisa menemukan seorangpun yang bisa membuatku merasa kalau dia lebih baik daripada Agus. Seperti ada yang hambar jika aku bertemu dengan orang lain. Walau aku seringkali berusaha melupakannya, tapi dalam hati aku mengatakan bahwa aku sepertinya takkan pernah bisa melupakan Agus selamanya.

Kehidupanku berjalan datar tanpanya. Dan aku sangat menginginkan kehadirannya dalam keserahrianku. Aku tak mengerti, kenapa Tuhan seperti tidak mengizinkan aku mengejar cita – cita bersama dengan Agus. Mungkin ini akan memberi kami berdua pelajaran, tapi rasa rindu ini sudah betul – betul menyakiti hatiku. Aku kadang ingin menyerah, tapi aku selalu ingat kalau Agus ingin aku untuk terus bangkit dan berjuang, agar kami bisa berdiri di tempat yang sama, suatu saat nanti. Hati kecilku juga selalu berkata dan yakin kalau Agus pasti masih akan mengingat janji yang kami berdua buat.

Tak terasa, air mataku menetes, dan aku semakin menangis saat mengingat semua kenangan yang telah aku lalui dengan Agus. Semuanya terlalu indah, dan aku telah merindukan semua saat – saat indah itu. Sudah tujuh tahun aku terpisah dengannya, dan tujuh tahun itu bukanlah waktu yang sebentar. Itu sangat lama bagiku. Dan aku harus menahan rinduku selama itu juga demi kepulangannya yang tidak pasti. Itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Itu menyakitkan.

Tiba – tiba, pintu kamarku terbuka, dan muncullah sesosok gadis cantik dengan rambut coklat alami. Dia memasang wajah khawatir saat memasuki kamarku, dan langsung menyeruak menuju ke arahku. Dia adalah Angel, temanku dari awal kuliah. Bisa dibilang dia adalah teman curhatku yang paling setia. Karena dia tau semua hal tentang Agus dan juga tau alasan kenapa aku selalu tidur sambil menangis dan memeluk pigura setiap malamnya.

"Ya ampun! Risna! Cukup, ini belum malam dan kamu sudah bernostalgia? Kamu ini kapan bangkitnya coba?" tanya Angel

"Aku... kayaknya aku nggak bisa, Jel. Agus sudah banyak melukiskan kenangan yang sangat indah buatku. Dan dengan dialah aku bisa merasa sangat nyaman serta bahagia." Jawabku, sambil terisak

"C'mon! Cowo kan nggak cuma dia! Lihatlah ke sekelilingmu, Ris! Banyak pria yang menaruh hati padamu, percayalah!"

"Aku tau. Tapi aku merasa aneh saat dengan orang lain. Kekosongan itu masih belum tergantikan sampai sekarang."

"Tapi bisakah kamu mencari sedikit penghiburan? Aku nggak suka kalau melihat temanku terus murung karena kabar seorang sahabatnya yang tidak jelas. Dan aku yakin, kesedihanmu itu akan segera terlihat oleh orang lain! Carilah orang lain yang setidaknya bisa membantumu meringankan semua kerinduanmu itu!"

"Bohong kalau aku nggak berusaha, Jel. Dalam hati kadang aku terpikir kalau dia mungkin sudah melupakanku. Aku sudah mencarinya, tapi aku selalu merasa kalau orang itu tidak bisa memberikan apa yang selama ini aku cari. Dan kadang juga aku merasa seperti mengkhianati Agus."

"Aku mengerti itu, kawan! Dan aku tau kamu sangat haus akan kabar darinya. Eh, bukankah kamu baru – baru ini membuat akun Facebook kan?"

"Iya. Lalu?"

"Nah! Gunakan itu! siapa tau kamu bisa menemukan teman SMP – mu disana, dan mungkin juga kamu bisa terhubung dengan Agus! Percayalah, itu pasti berhasil! Karena aku juga telah berhasil menemukan akun milik kapten tim basket di masa SMP – ku yang aku taksir! Cobalah!"

"Kamu yakin?"

"Coba saja dulu. Kalau tidak berhasil ya... apa boleh buat."

"Baiklah. Aku turuti saranmu."

"Karena kurasa kamu sudah lebih baik, kurasa aku bisa pergi sekarang. Baiklah, sampai nanti!"

Tak lama setelahnya, Angel langsung pergi. Kurasa dia akan menemui teman – temannya untuk jalan atau apalah.

Perlahan, kudekati meja komputer yang ada di seberang kasurku. Kunyalakan mesinnya, dan setelah siap, aku memasuki halaman Facebook, situs sosial yang akhir – akhir ini tengah booming.

Aku membuka berbagai halamannya den mengamatinya dengan seksama. Tak heran banyak orang menyukai situs ini, karena disini kamu bisa berinteraksi dengan banyak orang tanpa perlu pergi dari tempat dudukmu. Aku juga mendapatkan banyak permintaan pertemanan dari teman – temanku. Mulai dari teman kuliah, SMA, dan bahkan teman SMP – ku.

Sampai aku akhirnya melihat sebuah permintaan pertemanan yang mengejutkanku. Bukannya karena dia orang yang tidak kukenal tapi... karena permintaan tersebut berasal dari Agus. Saking terkejutnya, aku bahkan nyaris terjengkang dari tempat dudukku.

Setelah menerima permintaannya, aku langsung mengirimkan sebuah pesan kepadanya.

Risna Rahmiani : Ini benar kamu, Gus?

Agus Andika : Iya Ris, ini aku. Maaf... aku beberapa tahun ini tidak memberimu kabar

Risna Rahmiani : Kamu sudah membuatku khawatir, Gus. Aku selama ini terus memikirkan bagaimana keadaanmu.

Agus Andika : Maaf, itu karena aku tidak dapat menelponmu lagi, dan juga aku pindah asrama. Selain itu, masalah kuliah juga membuatku sibuk dan tidak punya waktu untuk menghubungi kamu.

Risna Rahmiani : Aku tau, tapi kamu sudah benar – benar membuatku bingung akan keberadaanmu selama ini!

Agus Andika : Apakah kabarmu baik – baik saja disana?

Akhirnya, sisa hariku itu dihabiskan untuk chatting dengan Agus. Kami bertukar kabar kami, dan berbagai cerita yang selama ini kami alami. Berdasarkan penuturannya, Agus akan kembali melanjutkan pendidikannya ke S2 di sana, dan dia juga diminta untuk diperbantukan di kampusnya selama kurang lebih lima tahun.

Di saat itu jualah, Agus berjanji kalau masa kerjanya disana selesai, dia akan segera kembali ke mari dan akan bekerja sebagai dosen di kampus tempat aku berada. Dia akan segera kembali kalau memang sudah saatnya.

Dan, hanya janji itu saja sudah bisa membuatku senang. Kuharap saat itu akan segera datang, karena aku sudah benar – benar merindukgan Agus.

~~~~~

Agustus 2015

Pagi itu, aku sedang berada di ruanganku, saat tiba – tiba ponselku berbunyi dan menampikan nama Agus di ID Caller – nya. Langsung saja aku angkat telpon itu. Karena kalau Agus menelpon sepagi itu, biasanya itu merupakan berita yang sangat penting.

"Ya Gus? Kok kamu nelpon pagi – pagi begini?" tanyaku

"Maaf... soalnya penting. Apa aku mengganggumu?"

"Tidak, tapi setengah jam lagi aku harus masuk kelas."

"Tenang saja, aku tidak akan lama kok. Setelah ini aku juga akan mengurus masalah lain."

"Oke, jadi ada apa?"

"Kamu tentu ingat, kalau aku berjanji kalau aku akan segera kembali saat masa kerjaku disini telah habis?"

"Tentu saja aku ingat itu, Gus. Aku takkan pernah melupakannya."

"Jadi begini, minggu lalu, masa kerjaku telah habis, dan aku sudah mengurus kepindahanku ke kampusmu. Aku akan kembali kira – kira dua minggu lagi."

Aku nyaris menjatuhkan ponselku saat mendengarkan perkataan Agus itu. Tunggu... kalau itu benar, berarti... sebentar lagi penantianku akan terbayar lunas?

"Hah! Kamu... serius?" tanyaku, yang masih agak tidak percaya akan kabar ini.

"Tentu saja! Buat apa aku bohong? Tenang, setelah aku sampai, aku pasti akan segera menemuimu!"

"Kamu janji kan, Gus?"

"Iya, aku janji!"

"Baiklah, kalau begitu... kita akan ketemu lagi nanti."

"Tentu saja! Sebaiknya kita jangan telponan dulu, biar surprise, hehe~"

"Boleh juga!"

"Kalau begitu, sampai ketemu dua minggu lagi!"

"Sampai ketemu!"

Kami mengakhiri sambungan telponnya, dan aku langsung memandang ke pigura yang kuletakkan di atas meja kerjaku. Fotoku dan Agus, pastinya.

Sebentar lagi, penantianku akan terbayar.

~~~~~

Semiggu kemudian...

Aku baru saja selesai mengajar di kelas dan mulai merapikan bukuku, saat seorang mahasiswa mendatangi mejaku.

"Miss..." ujarnya, mulai untuk berbicara denganku.

"Eh? Ada apa, Ndri?" tanyaku, pada mahasiswa bernama Andri itu.

"Emm... begini. Sebetulnya dalam perjalanan ke kelas tadi saya dimintai seseorang untuk menyampaikan pesan pada Miss."

Aku jadi penasaran. Kira – kira siapa ya pengirim pesan itu?

"Oh ya? Memangnya dari siapa?"

"Dia menolak untuk memberitahukan namanya. Saya juga tidak tau siapa dia."

"Orang kampus sini juga?"

"Nah, kalau itu saya juga tidak tau. Kan saya tidak mungkin bisa mengenai semua orang yang ada di kampus ini."

Uh, dia memang benar. "Jadi, apa pesannya?"

"Dia tadi berpesan supaya Miss menemuinya di kantin setelah kelas selesai."

"Begitu ya? Hmm... saya jadi ikut penasaran. Baiklah, saya akan menemuinya setelah meletakkan barang – barang di kantor. Oh ya, terima kasih ya atas pesannya."

"Iya Miss, sama – sama. Saya permisi dulu."

"Silahkan."

Aku jadi penasaran, siapa sih orang yang mengirimkan pesannya lewat Andri itu? Andri anak kedokteran, jadi kurasa pengirim pesannya bukan dari fakultas yang sama dengannya. Tapi... dia memintaku bertemu? Rasanya aneh, karena aku jarang diminta untuk menemui seseorang. Tapi aku yakin kalau Andri tidak berbohong padaku. Karena dia tipe anak yang jujur. Aku bahkan membagi sedikit rahasiaku padanya soal Agus. Kebetulan minggu lalu saat aku telah selesai bicara dengan Agus, dia ke ruanganku untuk mengantarkan tugas. Tapi... siapa gerangan ya orang itu? Aku sepertinya harus memastikannya langsung. Apakah mungkin alumni yang merupakan muridku? Bisa saja, tapi mereka biasanya lebih senang untuk pergi langsung ke ruanganku. Kurasa aku memang harus memastikan siapa yang memintaku untuk bertemu ini.

Langsung saja aku keluar dari ruang kelas, dan meletakkan buku – buku yang kubawa di ruanganku. Aku bergegas menuju kantin yang dipadati oleh para mahasiwa dan mahasiwi yang ingin memanfaatkan waktu istirahat mereka untuk mengisi tenaga. Aku duduk di sebuah meja yang terletak di sudut yang agak tertutup, menunggunya. Karena dia tidak memberi tau dimana persisnya aku akan menemuinya, maka kurasa akulah yang harus ada di sini terlebih dahulu.

Aku menunggu sejenak, sambil terus berpikir siapa gerangan yang sesungguhnya ingin menemuiku ini. Aku jadi sangat penasaran karena dia tidak mau member taukan namanya pada Andri. Apalagi rupanya Andri tidak mengenalinya. Apakah mungkin dia adalah orang baru di sini? Apakah mungkin...

Belum selesai aku berpikir, tiba – tiba aku merasakan bahwa bahuku di remas oleh seseorang. Dia meremas bahuku lembut, dan tangannya yang kuat ini terasa... agak familiar bagiku. Langsung saja aku menoleh.

Dan aku tidak siap dengan kejutan bahwa sebenarnya yang ada di belakang sana adalah Agus. Aku juga heran karena aku tidak pingsan saat itu, melainkan hanya terkejut saat melihatnya. Aku nyaris berpikir kalau ini adalah mimpi. Tapi remasannya di bahuku membuatku percaya kalau ini nyata.

Rupanya masih sama seperti saat SMP dulu, tapi sosoknya kini sudah terlihat semakin dewasa, seperti di beberapa foto yang kulihat di sosial medianya. Tapi senyumnya msih seperti dulu. Sederhana dan hangat. Membuatku sadar kalau aku sudah sangat merindukannya selama dua belas tahun tidak bertemu dengannya.

"Kamu... Agus kan?! Tapi... bukannya kamu..." ujarku, masih tidak percaya akan kenyataan ini."

"Long time not see, Ris..." sapa Agus

"Tunggu, ini beneran kamu kan? Aku gak mimpi kan?"

"Iya Ris. Ini kenyataan kok!"

"Tapi, bukannya kamu bilang kamu baru balik minggu depan?"

"Kejutan~ lagian rupanya urusanku lebih cepat selesainya. Jadi lebih baik aku langsung aja menemui kamu. Aku kan kangen sama kamu."

Begitu pula aku, Gus. "Aaah! Kamu bikin aku kaget aja!"

"Kalo enggak bikin kamu kaget bukan kejutan dong namanya..."

"Iya juga sih. Jadi, tadi kamu ketemu sama Andri?" tanyaku, yang masih penasaran akan caranya menyampaikan pesan lewat Andri.

"Iya. Dia yang nyampein pesanku ke kamu kan?"

"Ck, pantesan dia gak tau siapa. Rupanya kamu toh!"

"Maaf Ris, selama ini aku udah bikin kamu khawatir sama aku. Apalagi aku sering nggak ada kabar."

"I really miss you, you know?"

"Iya, aku juga kangen kamu. Abis ini kamu mau gak ngajakin aku keliling kota?"

"Boleh! Kamu pasti kangen kan sama semua bangunan yang ada di sini?"

"Tapi sebenernya aku sih lebih merindukan kamu."

"Ugh, kamu ini! Lama gak ketemu rupanya nggak berubah ya?"

"Iya dong! Kamu juga nggak berubah ya? Tetap cantik seperti biasanya."

Sejak kapan ya Agus jadi jago gombal begini? "Kamu juga! Tetap necis seperti biasanya."

"Itu memang sudah gayaku."

"Yuk! Duduk sini! Kita perlu ngobrol panjang sekarang, karena kita sudah nggak tatap muka secara langsung selama 12 tahun! Dan itu sangat lama, tau!"

"Memangnya kenapa? Kamu kangen ya saat kita ngobrol kayak dulu?"

"Jelas! Karena aku nggak pernah ngobrol dengan orang lain yang sama serunya kayak pas aku ngobrol sama kamu."

Aku dan Agus mulai membuka permbicaraan kami, dan langsung terlibat dalam sebuah obrolan seru. Seperti masa lalu, tepatnya. Dan memang, tidak ada yang lebih baik selain aku bisa bersama lagi dengan Agus. Karena memang dialah yang sangat aku inginkan untuk berada di sisiku saat ini. Dan aku sangat berterima kasih kepada Tuhan, karena telah memberiku kesempatan kedua agar bisa bersama Agus.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top