Photograph
Kutatap pintu kayu yang ada di hadapanku itu. Disana tertera nomor 115, dan juga sebuah papan yang menunjukkan nama penghuni ruangan itu. Disana tertulis namaku, dan juga nama temanku, yaitu Rahman. Kuambil kunci kamar yang kuletakkan di saku celanaku, lalu aku berusaha membuka pintu dalam dua kali putaran kunci. Setelah pintunya berhasil terbuka, aku langsung masuk ke dalam dan menutup kembali pintunya.
Kuhempaskan ranselku ke samping meja belajar yang ada di dekat kasurku, lalu aku menuju ke dipan yang sudah jadi bagianku, dan aku langsung menghempaskan diri ke atasnya.
Tak terasa, sudah dua tahun aku berada di SMA, dan bisa kubilang aku lumayan berhasil dalam mengejar cita – citaku ini. Walau kadang ada juga sedikit diskriminasi yang kualami, karena aku adalah anak beasiswa, sementara itu kebanyakan teman – temanku di sekolah adalah orang – orang yang bisa dibilang berkelebihan dalam masalah finansialnya. Dan lagi, karena aku dianggap anak yang 'pintar', kadang banyak sekali yang ingin memanfaatkanku, terutama paara preman kelas.
Sudah dua tahun aku berpisah dengan Risna. Dan bukan berarti aku sudah banyak melupakan hal tentang dia. Justru jarak ini membuatku semakin mengingat semua hal tentangnya. Mulai dari suaranya, kelakuannya, perhatiannya, sampai ketulusan yang selalu dia tunjukkan saat memberiku kejutan. Dia perempuan yang sangat manis. Walau terkadang aku berpikir kalau dia terlalu tinggi levelnya dariku, tapi dia tetap selalu menerimaku. Itu adalah hal yang paling aku suka dari dia.
Dan kurasa, aku beruntung karena memiliki sahabat seperti dia, karena aku tau kalau dia akan selalu tulus padaku. Dan seharusnya seperti itulah sebuah persahabatan.
Aku terlalu asik melamunkan beerbagai macam kekonyolan yang pernah sama – sama kami lakukan saat masih SMP dulu. Mulai dari pulang sekolah dengan keadaan basah kuyup karena kehujanan, bersaing masalah nilai, mengerjakan tugas bareng, atau bahkan saat kami berkeliling kota bersama. Semua kenangan itu terasa sangat indah bagiku.
Dialah satu – satunya sahabatku, yang takkan pernah bisa aku lupakan. Karena sangat sulit mencari sahabat seperti dia. Jangankan sahabat, di lingkungan sekolah yang di dominasi oleh anak – anak yang berada seperti ini, kurasa untuk mencari teman saja sudah susah. Karena itulah aku tak pernah bisa melupakan dia.
Dan aku yakin kalau Risna juga tidak akan pernah melupakan aku. Karena dia pasti merasakan hal yang sama denganku. Raga kami mungkin berjauhan, tapi hati kami selalu dekat dan bisa mengetahui perasaan masing – masing.
Aku jadi teringat kalau aku tadi baru saja menerima sebuah surat dari pengawas asrama. Dan siapa lagi pengirim surat itu? Tidak lain dan tidak bukan adala Risna. Aku mengambil surat yang tadi kutaruh di sakuku, lalu aku membukanya dan membacanya dengan seksama.
Dear Agus...
Bagaimana kabarmu? Melihat dari suratmu yang terakhir, kamu pasti baik – baik saja kan? Aku disini juga baik – baik saja kok, cuma agak kesepian karena tidak ada kamu, hahaha... soalnya kan sekarang aku jadi nggak punya teman belajar lagi, apalagi sekarang sudah dekat musim ujian. Kamu ingat kan, kalau kita selalu belajar bareng kalau mau ujian?
Aku sudah membaca suratmu yang terakhir, dan aku sangat senang saat mengetahui kalau kamu diikutkan oleh gurumu ke Olimpiade Matematika yang ada di kotamu itu. Walau kamu nggak mendapatkan juara, setidaknya aku yakin kamu sudah berusaha. Kan, setidaknya kamu pasti akan jadi anak yang paling pintar di sekolahmu, iya kan?
Ngomong – ngomong soal lomba, beberapa waktu lalu aku juga diikutkan dalam lomba debat Bahasa Inggris. Perdebatan kami seru sekali, pokoknya kalau kamu nonton di sana, kamu pasti nggak akan paham akan apa yang kami ucapkan karena saking cepatnya kami ngomong
Intinya, kami disuruh melakukan perdebatan terhadap suatu tema, dan ada yang jadi tim pro dan ada juga yang jadi tim kontra. Dan aku benar – beanr berusaha sekuat tenaga agar timku menang ( karena lombanya per tim ) walau akhirnya aku kalah juga di semi final. Yah... tidak apa sih. Kalo kata ayahku, anggap aja sebagai suatu pelajaran bagiku.
Bagaimana denganmu, Gus? Apa kamu sudah bersiap untuk ujian juga di sana? Aku disini mulai bersiap karena bulan depan ujiannya sudah dimulai. Kamu tau kan, apa kebiasaanku kalau mau ujian? Ya, aku mulai membaca beberapa buku pelajaran akhir – akhir ini selama beberapa jam. Dan sebentar lagi kan sudah kelas 12, kamu mau bagaimana saat naik kelas nanti?
Ingat ya Gus, aku akan selalu menantikan balasan suratmu ini, cepat atau lambat. Karena bagiku, semua kabar dan cerita dari kamu itu bisa membuatku lebih baik lagi disini. Dan jangan lupa kamu telpon aku kalau sempat, telpon darimu pasti akan kutunggu siang dan malam.
Salam rindu
Risna
Aku tersenyum simpul saat sudah selesai membacanya. Ah, aku harus ingat untuk menelponnya besok. Asalkan hari ini aku bisa mengerjakan semua tugasku dengan baik, pasti besok malam aku bebas. Dan karena besok banyak yang ekskul atau pergi jalan – jalan ke kota, aku rasa aku pasti bisa menggunakan telpon umum yang ada di sebelah asrama sepuasnya.
Aku langsung mengambil pigura yang terletak di meja kecil di sebelah kasurku. Disana ada sebuah foto berbingkai, yaitu foto saat aku dan Risna di upacara kelulusan SMP. Yang saat kami berdua memegang piagam penghargaan kami. Seminggu sebelum aku pergi, Risna mencetak fotonya dan memberikannya padaku. Katanya, agar aku dan dia selalu ingat satu sama lain. Tapi, walau sebetulnya tanpa foto itu, aku juga masih akan selalu merindukannya.
Yah, aku sekarang terpisah jauh dari Risna, dan kami hanya bisa saling mengenang dan mengingat satu sama lain lewat foto ini. Memang menyakitkan mengetahui fakta bahwa aku dan Risna tak bisa bertemu lagi seperti dulu. Aku masih ingat saat hari pertama di asrama, aku langsung menangis malamnya karena aku telah benar – benar pergi dan kehilangan Risna dalam jangka waktu setidaknya tiga tahun. Dan aku tidak yakin tahun depan aku akan benar – benar pulang. Pihak pemberi beasiswa sangat menyukai prestasiku, karena aku memang sangat ingin mempertahankannya. Dan mereka mulai berpikir untuk memberiku dana untuk kuliah di universitas yang ada di kota ini. Dan sudah jelas itu akan membuatku tidak bisa pulang setidaknya selama empat tahun lagi. Pikiranku itu membuatku dilema. Antara melanjutkan pendidikan dan juga kembali pada Risna. Aku sangat menginginkan keduanya, tapi aku tak bisa menggabungkan atau mendapatkan keduanya.
Begitu asiknya aku bernostalgia, sampai akhirnya aku tak menyadari kalau teman sekamarku Rahman sudah ada di dalam ruangan yang selama tiga tahun ini jadi milik kami berdua.
"Halo? Agus? Kau sudah tak menjawab sapaanku sebanyak tiga kali. Aku harap jiwamu masih disini." Ujar Rahman, sambil menggoyangkan tangannya di hadapanku.
"Ma – maafkan aku. Aku hanya sedang melamun saja." Sahutku
Inilah salah satu orang yang bisa berkawan dekat denganku. Rahman berada di kelas yang sama denganku, dan dia juga sekamar denganku. Dia juga diberi beasiswa, tapi bukan karena prestasi akadaemik sepertku, melainkan karena prestasinya di bidang olahraga. Kecintaannya pada dunia karate telah mengantarnya pergi ke kota ini. Yah, bisa dibilang nasibnya kurang lebih sama denganku.
"Kamu ini kenapa sih? Aku kadang heran sendiri kenapa kamu suka melamun seperti itu." ujar Rahman
"Aku hanya memikirkan beberapa hal saja." Jawabku
"Yah, tapi itu terlihat agak aneh. Dan juga menurutku kamu itu seperti enggan menjalin hubungan intens dengan orang lain. Aku mengerti kalau lingkungan disini tidak banyak mendukungmu. Tapi aku merasa, kalau kamu sepertinya masih kurang mempercayaiku."
Aku memang belum pernah banyak bercerita soal diriku, terutama soal Risna pada Rahman. Aku memang agak tertutup, dan Rahman sebaliknya. Dia sudah banyak bercerita padaku. Soal keluarganya, kerabatnya, dan juga sahabatnya. Dia juga kehilangan seorang sahabat saat pergi ke sini, yang merupakan teman baiknya terutama saat dia berlatih karate. Tapi temannya itu sesama laki – laki, dan kelihatannya dia tidak mengalami kerinduan yang mendalam pada teman dekatnya itu sedalam yang aku rasakan pada Risna.
"Bukannya aku tidak percaya padamu. Aku selalu percaya padamu, karena aku tau kamu adalah orang baik. Tapi aku merasa... aku tidak akan pernah bisa menemukan seorangpun yang bisa menggantikan sahabat terbaikku. Karena aku merasa sangat nyaman dengannya, dan tanpa dia, seolah aku nggak bisa menemukan seseorang yang tepat untuk berbagi cerita yang aku punya."
"Aku mengerti itu, kawan. Tapi sepertinya kau sering menerima surat, jadi kupikir kau punya banyak sahabat pena."
"Tidak. Semuanya berasal dari orang yang sama."
"Jadi, siapa lelaki ramah yang jadi sahabatmu ini?"
"Dia bukan laki – laki, Man. Dia perempuan."
"Hah? Perempuan? Kamu punya fotonya?"
"Kamu sudah lihat sendiri..."
Aku menunjukkan pigura yang sedang aku pegang, dan Rahman langsung menggangguk paham setelah melihatnya.
"Ohh... jadi dia ya? Kamu pasti bersahabat sangat dekat dengannya ya?"
"Dia temanku sejan SD. Dan kami mulai bersahabat saat SMP."
"Tiga tahun memang bukan waktu yang singkat, aku bisa mengerti kenapa kamu sangat merindukannya dan merasa kalau tempatnya dalam dirimu tak bisa digantikan oleh siapapun."
"Memang. Dia satu – satunya sahabat yang aku punya."
"Aku jadi paham sekarang. Alasan kenapa aku melihatmu dengan mata bengkak saat hari pertama kita bertemu pasti karena kamu menangisi perpisahan kalian, iya kan?
"Kamu benar."
"Aku akan mendengarkan semua ceritamu sampai jam makan malam datang. Tapi izinkan aku ke kamar mandi dulu. Karena aku sangat membutuhkannya. Gerah sekali rasanya setelah dua jam melatih tendangan memutarku."
"Ya sudah. Tadi aku juga sudah mandi kok, sebelum pergi ke perpustakaan."
Dia terkekeh, dan kemudian dia langsung mengambil handuknya dan bergegas mandi. Setelah dia selesai, aku mulai bercerita banyak hal tentang Risna. Mulai dari keseharian yang kami miliki, pemikiran kami, sampai akhirnya detil tentang perpisahan kami. Rahman mendengarkannya dengan seksama dari awal sampai habis. Kedengarannya dia cukup tertarik saat mendengarkannya.
"Jadi, apa niatmu setelah lulus SMA nanti? Kembali ke kotamu, kembali menemui Risna dan melanjutkan kuliah di sana?" tanya Rahman, saat aku sudah selesai bercerita.
"Aku sih berniat begitu. Lagian universitas di sana kan juga lumayan bagus. Jadi kenapa tidak?" Jawabku
"Yah, memang. Tapi kau sudah dengar sendiri kan, kalau kamu kemungkinan akan diberi beasiswa untuk kuliah di sini. Dan katanya lagi, universitas di sini tenaga pengajarnya lebih kompeten dan juga fasilitas kampusnya lebih bagus. Manfaatkan kesempatanmu! Kalau aku sejenius kamu, aku pasti akan memilih kuliah di sini!"
Aku tersenyum. Rahman memang berbakat soal karate, tapi kalau soal pelajaran dia memang butuh sedikit usaha ekstra. Setidaknya agar semua nilainya ada di standar. Aku terkadang juga jadi 'guru privat' – nya dalam belajar, dan dia orang yang giat, jadi selama ini nilainya selalu tertolong. Dan keuletan itu jualah yang pasti telah membuat dia sukses dalam menjadi seorang atlit karate.
"Yah... tapi gimana ya? Aku kadang merasa sangat rindu dengan kampung halamanku."
"Aku juga merasakan hal yang sama."
"Duh... aku jadi bingung harus kayak gimana."
"Mungkin kamu bisa tanya sahabatmu dulu? Aku yakin kamu tidak akan ada disini tanpa kerelaan sahabtamu. Dan kalau dia benar – benar sahabatmu, dia pasti rela menunggumu beberapa tahun lagi untuk bertemu denganmu. Karena dia pasti akan mendukung semua keputusanmu yang menurutnya baik bagimu. Kurasa itu pasti bisa menghilangkan keraguanmu. Setelah makan malam, kamu bisa buat balasan suratnya dan mengutarakan soal itu." saran Rahman
"Ide bagus. Atau aku bisa mengungkannya besok saat aku menelponnya. Kurasa itu akan lebih baik. Walau sebenarnya aku sangat ingin bertemu dengannya lagi. Tapi mustahil untuk saat ini."
"Aku mengerti bagaimana rasanya seperti itu. Tapi setidaknya, kamu punya sebuah pengingat akan persahabatan kalian berdua." Ujar Rahman, sembaari menunjuk pigura yang dari tadi aku pegang.
"Ya, aku tau. Setidaknya dari foto itu, aku masih bisa mengenang masa indah yang kami alami saat itu."
"Aku setuju. Dan aku yakin komunikasi langsung dengannya pasti akan lebih baik untuk mengungkapkan keinginanmu itu. Aku doakan semoga kamu berhasil, dan sebagai gantinya kamu harus doakan aku. Besok adalah latihan terakhirku, karena lusa aku akan tanding di lapangan indoor kota. Kamu tau kan, pertandingan tingkat kota."
"Aku tau, dan aku pasti akan mendoakanmu."
"Bagaimana kalau kamu datang saja ke sana. Yah, sebagai penyemangat."
"Asalkan masuknya gratis, aku mau."
"Tenang saja! Untuk pelajar gratis loh! Asal kamu tunjukkan kartu pelajarmu pada penjaganya aja."
"Beneran?"
"Iya, anggota klub bola juga sering nonton pertandingan karate kok! Dan itu memang gratis!"
"Wah, kalau begitu aku mau!"
"Nah, kalau begitu ayo kita langsung ke kantin! Aku sudah lapar nih! Jangan sampai makan malamnya diserbu sama anak tim basket yang kelaparan karena hari ini mereka telah memenangkan pertandingan semifinal mereka!"
Aku terkekeh. Dia memang benar.
Rasanya menyenangkan bisa punya teman baru. Tapi aku akan selalu merindukan Risna. Dan foto di pigura itu adalah bukti, kalau persahabatan kami itu nyata, dan juga bukti bahwa aku dan Risna masih memiliki sebuah janji untuk bertemu kembali di masa depan.
~~~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top