Just The Way You Are
"Ris, aku mau ngomong sama kamu."
"Iya, ada apa, Gus?"
"Aku boleh jujur nggak sama kamu?"
"Soal apa?"
"Sebenernya gini... sepertinya Ris, aku sudah jatuh cinta sama kamu."
"Lalu? Kamu inginnya hubungan kita jadi seperti apa?"
"Aku ingin... kamu jadi pacarku."
"Tapi... kalau kita pacaran, bagaimana dengan persahabatan kita?"
"Kita masih tetap sahabat. Tapi perasaan kita lebih dari sekedar mengasihinya seorang sahabat. Tapi juga saling mencintai seperti seorang kekasih."
"Tapi kamu tidak pernah menunjukkan tanda kalau kamu mencintaiku. Dan kenapa sekarang kamu katakan hal itu?"
"Perasaan cinta itu tidak selalu terlihat, Ris, kadang dia juga tersembunyi, seperti perasaanku ini. Kamu sendiri kan yang bilang kalau dari dulu kalau kamu ingin persahabatan kita ini berjalan sewajarnya saja? Itu yang aku lakukan. Aku tidak ingin bertindak melewati batas sebelum kamu memperbolehkannya. Sekarang Ris, aku mohon kamu jawab, apakah kamu menerima perasaanku atau tidak?"
"Aku ragu, Gus. Aku bisa merasakan keraguan dari perkataanmu itu."
"Tidak, ini benar apa adanya, Ris. Aku ingin kamu berpikir tentang perasaan kamu. Aku akan memberimu waktu kalau kamu belum siap atau kamu masih ingin berpikir soal ini."
"Tapi, jika aku menolakmu, bukankan itu akan merusak persahabatan kita?"
"Kurasa tidak. Aku tetap sahabatmu, walau kamu tidak mencintaiku secara lebih."
"Aku mengerti, tapi semuanya akan terasa berbeda jika kita sudah mengetahui perasaan kita masing – masing. Aku jadi takut kalau aku akan meyakitimu nantinya."
"Tidak apa, Ris. Percayalah, mau bagaimanapun jawabanmu, aku akan tetap ada di sampingmu."
"Tapi, aku tidak bisa menerimanya, Gus!"
Risna langsung berlari ke luar, sementara itu aku berusaha menyusulnya. Kutarik tangannya lembut, agar dia tidak pergi dariku. Aku menahannya sebisaku, dan kudengar ada suara isakan. Risna menangis. Oh Tuhan, apakah yang aku lakukan ini salah? Apakah aku telah menyakiti sahabat terbaikku dengan cara berterus terang akan perasaanku padanya ini?
"Kenapa? Kenapa baru sekarang kamu menyatakannya padaku, Gus?" tanya Risna, dengan suaranya yang bergetar.
"Maafkan aku Ris. Aku tau ini sudah sangat terlambat. Mungkin sekarang hatimu sudah jadi milik orang lain, aku tidak tau. Dan aku tidak mau tau soal itu. Tapi satu hal yang ingin kukatakan padamu adalah, aku tidak akan pernah merubah perasaanku padamu. Sampai kapanpun itu."
"Ini sudah sangat terlambat, Gus! Sudah sangat lama aku menantikan dirimu, aku lelah menunggumu..."
"Ya, aku tau kamu terluka karenaku. Mungkin aku bodoh, tapi aku masih mengharapkan kesempatan darimu. Kamu boleh pergi, tapi setelah menjawab satu pertanyaan dariku : apakah aku masih puya kesempatan untuk memperbaiki semuanya?"
"Kumohon Gus, bukan sekarang. Aku enggak bisa jawab pertanyaanmu sekarang. Kamu jangan ganggu aku dulu. Dihatiku kini dipenuhi keraguan akan perasaanmu, jadi kumohon sekarang jangan ganggu aku dulu."
"Apakah itu berarti tidak ada kesempatan bagiku?"
"Aku... aku tidak tau. Yang pasti, sekrang kamu jangan hubungi aku dulu!"
Risna pergi meninggalkanku. Dengan perasaanku yang hancur lebur tanpa kejelasan jawaban dari Risna.
~~~~~
Aku terbangun dari tidurku dengan tiba – tiba. Napasku memburu, dan debar jantungku seperti sehabis dibawa lari marathon. Dan saat itu juga, barusan yang kualami adalah sebuah mimpi. Mimpi yang nyata, yang telah terjadi padaku seminggu yang lalu.
Tapi sekarang, mimpi itu bukan jadi masalah yang besar bagiku, karena aku telah mendapatkan apa yang selama ini sangat aku inginkan. Yaitu Risna.
Jujur saja, aku sering kali bertanya, untuk apa aku dan Risna dipisahkan selama bertahun – tahun. Dan kini aku tau, kalau Tuhan ingin memberi tau tentang perasaan apa yang sebenarnya ada di dalam hati kami, yaitu perasaan cinta. Agar kami bisa merasakan bagaimana saat rindu melanda diri kami, dan membuat kami sadar kalau sebenarnya kami membutuhkan satu sama lain, dan saling menginginkan untuk bersama.
Tapi akhirnya, kisah kami berakhir dengan indah. Karena sekarang Risna telah jadi milikku.
Aku mengecek ponselku, dan aku melihat – lihat sejenak, sebelum akhirnya aku menelpon Risna untuk menanyakan kabarnya.
"Halo Ris! Gimana perasaanmu sekarang?"
"Yah... aku senang karena sekarang hubungan antara kita sudah jelas. Kamu tau, aku takut jika harus kehilangan kamu."
"Begitu ya? Baiklah, aku mengerti. Kau tau, aku juga merasakan hal yang sama denganmu. Apa kamu baik – baik saja disana? Kemaren kita kehujanan loh..."
"Kurasa aku baik – baik saja *uhuk*"
"Tidak, kurasa kamu tidak baik. Kamu tadi batuk kan? Kamu pasti demam!"
"Yah, mungkin. Aku merasa agak sakit kepala."
"Baiklah, tunggu aku di sana! Aku akan segera datang!"
"Ti – tidak perlu! Aku baik – baik saja, percayalah."
"Aku harus datang, Ris! Karena kalau bukan karena aku, kamu pasti tidak akan sakit seperti ini! Tunggulah di sana!"
"Baiklah, kalau kamu mau datang. Aku tidak mengunci pintu, jadi masuk saja."
"Baiklah, sampai nanti!"
Aku menutup telponnya, dan akhirnya aku langsung tancap gas menuju ke tempat Risna.
~~~~~
Mungkin kalian bertanya, kenapa aku bisa mencintai Risna. Biasanya, seseorang pasti punya alasan kenapa bisa sampai melakukan suatu hal, begitu pula denganku, iya kan? Yah, pastinya aku punya alasan kenapa sampai – sampai bisa mencintai seorang Risna Rahmiani. Tapi aku yakinkan kalau alasanku sangatlah sederhana.
Ingin tau?
Alasanku adalah : karena aku menyukainya saat jadi dirinya sendiri. Saat dia tampil apa adanya. Karena menurutku saat dia jadi dirinya sendiri, dia terlihat sangat sempurna di mataku.
Baiklah, mari kita lanjutkan ke cerita utama saja. Aku angsung pergi ke tempat Risna sambil membawa beberapa obat dan juga bubur ayam untuknya. Aku langsung masuk ke dalam tanpa mengetuk, dan menemui Risna tengah berbaring di kasurnya sambil bergelung di dalam selimut.
"Halo Gus..." sapa Risna
"Kamu nggak apa, Ris?" tanyaku
"Nggak apa, aku cuma sedang sakit kepala parah."
"Begitu ya? Kamu sudah makan?"
"Gimana mau makan, orang akunya aja males bangkit dari kasur."
"Ya ampun... ya sudah! Kebetulan aku bawa bubur. Baiknya kamu makan, sini, aku suapin..."
Aku bergegas mencari piring dan sendok, sekalian mengambil segelas air. Akupun bersiap untuk menyuapi Risna.
"Gus... aku bukan anak kecil lagi... aku pasti akan makan itu..." keluh Risna
"Tapi aku ingin memastikan kalau kamu memakan semuanya. Makanya aku menyuapi kamu."
"Oke... kalau itu maumu. Kamu sendiri sudah makan belum?"
"Aku sudah makan tadi. Nah, ayo, buka mulutnya!"
Aku menyuapi Risna dengan sabar. Aku senang bisa menyuapinya, dan Risna spertinya senang karena kusuapi. Setelah selesai makan, aku menyuruhnya untuk minum obat, dan dia meminumnya. Usai aku meletakkan piring dan juga gelasnya serta mengambilkannya kompres air hangat, aku kembali ke kamar Risna dan mengobrol dengannya sejenak.
"Ris..." ujarku
"Ya, kenapa Gus?"
"Aku... makasih, karena kamu udah bersedia menerimaku kemarin."
"Iya, sama – sama Gus. Kamu juga, aku berterima kasih karena kamu mau memaafkan aku."
"Aku akan selalu memaafkan kamu, Ris."
"Boleh aku tanya?"
"Boleh. Kamu mau tanya apa?"
"Kenapa... kamu bisa suka sama aku?"
Aku diam sejenak, untuk memikirkan kata – kata yang pas dan juga enak untuk didengar.
"Karena... menurutku kamu sangat menakjubkan di mataku. Kamu indah, dan aku sangat menyukai keindahanmu." Jawabku
"Tapi... aku bukanlah orang yang sempurna. Aku punya banyak sekali kekurangan. Dan aku sekekali juga bisa berbuat salah."
"Aku tau itu. Tapi kamu tetap sempurna di mataku. Kamu tetap berusaha jadi dirimu sendiri, tanpa ada satupun yang kamu tutup – tutupi. Itu yang membuatku suka padamu. Karena kamu apa adanya. Dan kamu juga membuatku nyaman, tanpa perlu membuat kepura – puraan di antara kita."
"A – aku... oh Gus... kamu sepertinya aku nggak bisa komentar apa – apa lagi. Jawabanmu adalah jawaban yang aku cari dari setiap pria yang pernah menyatakan perasaannya padaku. Ketahuilah, aku juga mencintaimu dengan cara yang sama. Dan aku tidak pernah menyesal karena menerimamu."
"Berjanjilah Ris, mulai sekarang kita akan terus bersama, dan tidak akan pernah saling meninggalkan satu sama lain."
"Aku berjanji, Gus."
Kuambil tangan kiri Risna, dan kucium jemarinya, tepat di jari manisnya yang mengenakan cincin pemberianku.
"Mari kita pikirkan masa depan, Ris. Bagaimana kalau aku mengunjungi orang tuamu minggu ini untuk meminta restu?" tanyaku
"Kamu tau, sebetulnya kamu nggak usah minta juga kayaknya kamu udah direstuin sama kedua orang tuaku. Tau nggak, selama aku ditinggal olehmu mereka selalu bilang aku ini kayak ditinggal pacar pergi perang, karena saking khawatirnya aku sama keberadaanmu. Jadi kurasa kamu pasti bakal langsung disetujui oleh mereka."
"Baiklah, aku mengerti. Tapi sedikit formal tidak masalah kan?"
"Yah, tidak masalah sih. Oh ya, aku terpikir satu hal."
"Apa itu, Ris?"
"Bagaimana kalau di pernikahan kita nanti, kita mengundang Andri? Anggap saja itu adalah cara kita untuk berterima kasih. Bagaimana?"
"Aku setuju. Kuakui, dia sangat berperan dalam kehidupan kita sekarang ini."
Aku dan Risna saling berpandangang, lalu kami akhirnya sama – sama tertawa. Kehidupan bahagia kami, dimulai dari sini.
~~~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top