Gone

Mei 2002

Namaku Risna. Aku adalah seorang siswi di sebuah SMP yang sekarang tinggal menunggu masa kelulusan. Ujian sudah lewat, dan sebantar lagi aku harus meninggalkan seragam putih biru tua yang kukenakan, dan menggantinya dengan seragam putih abu – abu. Kuharap aku dapat nilai yang bagus supaya bisa melanjutkannya ke SMA Negeri yang kuinginkan.

Dan kuharap saat SMA nanti aku tidak terpisah dengan sahabat kentalku, Agus. Dia adalah seorang pria yang bisa dibilang sangat bersahabat walau selama tiga tahun ini dia tidak memiliki banyak teman. Dan salah satu orang yang beruntung yang bisa dekat dengannya adalah aku. Karena aku telah berhasil menjadi orang yang bisa dipercayainya. Dan kuharap begitulah seterusnya.

Agus memang pria yang bisa kubilang sangat baik, karena memang seperti itulah dia. Kehidupannya yang terkadang sulit membuatku sering simpati padanya. Diam – diam aku kadang memberikannya hadiah beberapa barang yang di butuhkannya. Dia kadang berusaha menolaknya, dan aku mengerti kalau dia tidak ingin selalu bergantung pada pemberianku. Tapi aku selalu bisa meyakinkannya kalau dia harus menerima barang itu. Karena itu bukan kasihan, tapi simpati. Walau banyak orang seringkali menyamakan keduanya.

Hari ini, aku akan menerima surat keputusan kelulusan yang akan dibagikan oleh wali kelasku. Pak Mundhar mengumpulkan kami di kelas dan memberikan kami masing – masing sebuah amplop yang berisi surat kelulusan itu.

"Sudah tak terasa kalian tiga tahun berjuang menuntut ilmu disini, dan sekarang saatnya kalian melanjutkannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Dan di dalam amplop itu ada hasil perjuangan kalian semua. Jadi, kalian boleh membukanya sekarang. Tapi bukan disini. Silahkan kalian semua buka amplopnya di luar, karena saya ingin sekali bicara dengan Agus."

Kami semua menuruti perintah beliau. Aku dengan tidak sabar membuka lidah amplop yang sedang kupegang dan mengeluarkan isinya secepat yang aku bisa. Peerlahan kubuka lipatannya. Kubaca sekilas kalimat pembukanya. Dan sebuah kalimat tercetak dengan tegas dengan tinta warna hitam dan bercetak tebal di atas kertas tersebut. Tulisannya sukses membuatku menahan napas selama lima detik.

LULUS

Akupun langsung bersorak girang, seperti banyak orang yang ada di sekelilingku. Akhirnya apa yang aku inginkan tercapai juga. Aku sangat senang karena semua hasil usahaku telah terbayar lunas di atas kertas itu.

Walau begitu, ada beberapa dari temanku yang menampakkan wajah sedih. Kurasa mereka telah gagal. Itu tandanya mereka ( mungkin ) harus mengulang selama setahun lagi.

Tapi aku baru ingat kalau Agus sedang berada di dalam kelas bersama Pak Mundhar. Aku jadi penasaran apa yang mereka bicarakan. Aku yakin kalau nilai Agus sama bagusnya denganku, jadi aku tidak tau apa yang mereka bicarakan di dalam sana.

Tak lama kemudian, Agus mengeluarkan sebagian tubuhnya dari pintu kelas yang tadinya tertutup.

"Ris, Pak Mundhar memintamu untuk masuk ke dalam." ujar Agus.

Aku mengerutkan alisku, bingung. Ada apa ini, kok aku juga ikut dipanggil? Apakah ada masalah?

"B – baik." jawabku.

Akupun memasuki ruang kelas, dan menutup pintunya. Agus tengah duduk berhadapan dengan Pak Mundhar, dan di sebelahnya ada sebuah kursi kosong. Aku yakin aku harus duduk di situ.

"Duduklah Ris." ujar Pak Mundhar, sambil menatap kursi yang ada di sebelah Agus.

"Baik pak..." jawabku.

Akupun duduk di sebelah Agus. Kulihat wajahnya berseri – seri, jadi kurasa tidak ada masalah di sini. Kuharap beliau memberikan berita baik.

"Tidak perlu tegang, Ris. Kamu tidak mendapat masalah kok. Saya hanya ingin menyampaikan sebuah kabar baik untukmu dan Agus." ujar Pak Mundhar, yang sepertinya bisa membaca kekhawatiranku.

"Kabar baik apa?" tanyaku.

"Entah, aku juga tidak tau. Beri tau dong pak..." sahut Agus.

"Baiklah, aku akan beri tau dari awal. Jadi begini Ris, sebenarnya Agus mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan sekolahnya di kota sebelah." Ujar Pak Mundhar.

"Hah? Bagaimana bisa?" tanyaku, terkejut karena kabar ' baik ' tersebut.

"Karena saya diam – diam menuliskan surat rekomendasi untuk Agus ke salah satu lembaga pemberi beasiswa beberapa bulan lalu dan mereka memilih Agus dari sekian banyak murid lain yang juga direkomendasikan dari berbagai sekolah."

Tentu saja aku terkejut. Karena aku tau kalau begitu berarti aku dan Agus tidak bisa bersama lagi. Tapi kulihat Agus terus memasang senyumannya, yang aku yakini kalau dia sangat senang bisa bersekolah dengan bantuan beasiswa. Jadi aku hanya bisa tersenyum untuk menutupi kekecewaanku itu.

"Wow, itu sungguh mengejutkan, selamat!" sahutku, seceria yang aku bisa.

"Makasih Ris! Kamu tau kan aku selalu ingin dapat beasiswa?" ujar Agus.

"Aku tau itu... dan bisa dibilang aku agak iri padamu..."

"Kamu tak perlu bersedih, Ris, karena masih ada satu hal lagi yang belum saya sampaikan, dan saya yakin ini akan jadi kabar baik bagi kalian," ujar Pak Mundhar.

"Apa itu, Pak?" tanyaku dan Agus secara bersamaan.

"Kalian berdua... merupakan pemilik nilai ujian tertinggi dari sekolah kita, dan... kalian secara resmi dinobatkan sebagai murid paling berprestasi di sekolah ini!"

Aku dan Agus ternganga selama sepuluh detik, dan setelah kami sadar, kami berdua langsung saja bersorak kegirangan sambil mengucapkan syukur.

"Bapak serius?!" tanyaku, karena aku masih nggak percaya dengan kabar hebat ini.

"Iyalah. Ngapain coba bapak bercanda soal yang kayak gini? Oh ya, besok kan upacara kelulusan, nanti kalian bakalan diserahi piagam sama Kepala Sekolah saat itu. Jadi bersiaplah!" jawab Pak Mundhar, dengan senyuman di wajahnya.

Aku dan Agus masih bertatapan dengan ekspresi tak percaya. Kami selama ini memang murid yang bisa dibilang cukup pintar, tapi kami tak percaya kalau nilai kami ada di atas orang lain. Kami merasa masih banyak yang lebih pintar. Dan lagi, aku masih tak percaya kalau Pak Mundhar diam – diam menuliskan surat rekomendasi untuk Agus dan pihak pemberi beasiswa menyetujui permintaannya itu. Walau kalau dilirik, nilai Agus itu memang bisa dibilang sangat membuktikan kepintarannya. Aku dan dia sering kali bersaing dalam soal nilai, tapi biasanya dia selalu memiliki nilai yang lebih tinggi daripada aku. Dan seringkali dia merendah kalau aku memuji nilainya.

Setelah sedikit perbincangan dengan Pak Mundhar, kami akhirnya keluar dari ruang kelas, dan melihat kalau kerumunan teman – teman menyambut kami.

"Selamat ya buat kalian!" seru mereka semua.

Kami saling bertukar jabat tangan dan pelukan. Ah, pasti mereka diam – diam mengintip dari jendela setelah menaiki bangku yang ada di depan kelas, atau menempelkan telinga mereka di depan pintu.

Tak lama kemudian, kami semua membubarkan diri, karena hari ini kami hanya datang untuk menerima hasil ujian kami. Di depan gerbang, ayahku menyambutku dan memberikan sebuah pelukan hangat.

"Bagaimana hasilnya?" tanya Ayah

"Aku tak percaya ini! Agus dapat beasiswa untuk melanjutkan SMA ke kota sebelah!" ujarku

"Wah? Itu serius? Selamat yah Gus, saya rasa kamu memang layak mendpatkannya. Apalagi kalau melirik nilaimu yang selalu bisa mengungguli Risna..." ujar Ayah, sambil menjabat tangan Agus

"Eh, terima kasih, om." Sahut Agus

"Kecuali Bahasa Inggris! Nilaiku dua poin lebih tinggi darinya! Dan biasanya aku selalu unggul dalam Bahasa Inggris." Celetukku, agak kesal juga karena Ayah menggodaku masalah nilaiku dan Agus.

"Tapi Matematika kan masih tinggian aku."

"Sudah! Yang pasti kalian sama – sama memiliki nilai tinggi dalam mata pelajaran yang kalian senangi. Jadi, bagaimana soal beasiswanya, Gus?" tanya Ayah

"Kata Pak Mundhar, besok pihak pemberi beasiswa akan menemuiku setelah upacara kelulusan. Mereka akan bicarakan bagaimana kelangsungan hidupku di sana. Katanya sih, aku mungkin bisa ditampung di asrama. Tapi... yah, kita lihat saja."

"Sepertinya tidak ada lagi yang bisa kutanyakan. Yang pasti, kamu suda berjuang, dan kamu layak untuk mendapatkannya. Bagaimana kalau kita pulang saja sekarang?"

"Itu sepertinya bagus, Yah. Aku duluan ya Gus..." ujarku, lalu menghadiahi satu pelukan pada sahabat kentalku itu sebelum akhirnya kami berpisah.

"Iya Ris. Hati – hati ya"

"Tentu saja! Sampai besok! Aku sepertinya jadi tidak sabar untuk menunggu acara upacara kelulusan kita!"

Agus tersenyum lebar. "Aku juga! Sampai besok!"

Aku dan Agus akhirnya berpisah, dan memang benar, aku tak sabar untuk menunggu hari esok.

~~~~~

Sepulangnya aku ke rumah, aku disambut oleh ibuku, dan beliau mendengarkan semua ceritaku saat kami sama – sama duduk di sofa ruang tamu. Aku menceritakan dengan detil semua hal yang barusan kualami tadi.

"Wah, Agus hebat ya? Tapi Ris... kalau begitu bukan berarti kamu... akan berpisah dengan Agus, setidaknya selama 3 tahun?" ujar Ibu, dengan hati – hati.

Yah, itu memang benar. Bodoh kalau aku tidak menyadarinya. Aku tau kalau aku memang akan berpisah dengan Agus karena hal ini. Bohong kalau aku bilang aku nggak marah atau sedih karena kepergiannya itu. Tapi aku nggak bisa bilang. Wajah Agus terlalu senang saat itu, dan aku tak tega untuk merusak kebahagiaannya. Agus sangat jarang terlihat sebahagia itu. Aku sebetulnya tak mau dia pergi. Dia selama tiga tahun ini telah menjadi sahabatku, partner in crime – ku, dan banyak lagi yang tak bisa aku ungkapkan. Dia bahagia karena itu, dan aku sebagai sahabatnya hanya bisa mendukungnya, walau sebenarnya itu sangat menyakitkan bagiku.

"Risna nggak bisa bilang soal itu ke Agus, Bu. Agus kelihatannya senang sekali, jadi aku nggak mau merusak kebahagiaannya itu." Sahutku

"Ibu mengerti bagaimana perasaanmu itu. Dulu Ibu juga pernah merasakannya, saat sahabat ibu pindah ke luar kota. Saat itu Ibu marah padanya, marah pada semua orang. Apalagi karena sahabat ibu itu mengatakan kepindahannya hanya sehari sebelum dia pergi. Ibu nggak bisa apa – apa lagi. Dan sampai sekarang, Ibu nggak pernah ketemu sama dia lagi."

"Tapi Bu... Risna masih pengen barengan sama Agus!"

"Ibu tau kamu nggak mau Agus pergi, tapi kamu kan sahabatnya, jadi Ibu tau kamu pasti akan mengikhklaskan kepergiannya."

"Tapi Risna takut kalau Agus tak kembali lagi."

"Kamu masih punya banyak waktu kan? Kalau begitu, lebih baik kamu membuat janji diantara kalian berdua. Supaya kalian nggak putus kontak. Dan kalian juga berjanji agar bertemu lagi suatu saat nanti. Entah tiga tahun lagi, lima tahun. atau sepuluh tahun sekalipun. Kalau kalian sudah sama – sama berjanji, kalian pasti akan berusaha menepatinya. Karena janji itu adalah utang, iya kan?"

Ibu benar. Aku bisa mengikat diriku dan Agus dengan sebuah janji. Kalau begitu, kami akan tetap bisa berhubungan dan juga mungkin bertemu, suatu saat nanti, saat kami lebih dewasa. Dan lagi, kepergian Agus kan memang belum pasti. Jadi kurasa aku masih bisa membuat beberapa kenangan dengannya.

"Ibu benar! Aku akan coba melakukannya!" ujarku, sambil memeluk ibuku.

"Nah, begitu dong. Itu baru namanya putri Ibu."

Aku langsung saja bergegas ke kamarku, dan akupun duduk di hadapan meja belajarku. Kuambil setumpuk kertas dan sebatang pulpen, agar aku bisa merancang rencanaku, yaitu hal – hal apa saja yang akan aku lakukan sebelum akhirnya Agus pergi. Dan Ibu benar, karena aku masih punya waktu, aku masih bisa membuat beberapa kenangan yang setidaknya akan membuat Agus sulit melupakanku saat dia jauh dariku

~~~~~

Keesokan harinya, aku datang ke sekolah untuk upacara kelulusan. Di acara tersebut, kami nanti akan mendapat pidato kelulusan dari Pak Kepsek, lalu mendapatkan kalungan medali alumni. Dan juga piagam penghargaan, untukku dan Agus.

Sesampainya di sekolah, aku langsung menemui Agus di kelas. Sudah kuduga dia akan datang lebih cepat daripada aku, dia pasti sangat bersemangat untuk hari ini.

"Halo Gus! Wah, kamu rupanya sudah duluan ya?" sapaku, saat aku duduk di bangkuku yang tepat ada di sebelahnya

"Iya, aku semangat sekali menunggu hari ini datang, sampai – sampai aku susah tidur." Sahut Agus.

"Bagaimana, kamu sudah beri tau orang tuamu soal beasiswa itu?"

"Tentu saja sudah! Dan mereka sangat senang saat mendengarnya. Begitu juga semua saudaraku. Aku rasa, aku harus berterima kasih pada Pak Mundhar karena surat rekomendasinya. Kalau bukan karena itu, mungkin hal ini tak akan pernah terwujud."

"Kamu bisa bilang itu pada beliau nanti. Yang pasti, sepertinya sekarang kita harus segera ke aula, karena mungkin sebentar lagi acaranya akan dimulai."

"Kamu mungkin benar. Ayo kita ke sana sekarang!"

Agus langsung bangkit, dan dia menarik tanganku sambil berlari kecil di sepanjang koridor menuju aula yang mula dipadati oleh siwa kelas 9.

"Hei~ kamu tidak perlu merikku seperti itu! Aku pasti akan mengikutimu kok!" ujarku

"Maafkan aku karena sudah menyeretmu, tapi aku sedang sangat bersemangat sekarang ini. Ayo!" sahut Agus

"Baiklaaah~"

Setelah aku dan Agus sampai di aula, kami duduk di tengah kerumunan siswa lainnya sambil sedikit mengobrol sebelum acaranya dimulai. Tak lama kemudian, muncullah seorang pembawa acara yang membacakan susunan acara hari ini.

Setelah beberapa pembukaan, pidato dari Kepala Sekolah, dari siswa yang meninggalkan dan juga siswa yang ditinggalkan, saatnya kami menerima kalungan medali alumni kami. Kami berbaris seprti bebek di sepanjang jalan menuju panggung, sampai akhirnya masing – masing dari kami mendapatkan sebuah kalungan dari wali kelas.

Dan setelahnya, adalah acara yang paling kami tunggu – tunggu.

"... kini kami akan umumkan, pemilik nilai tertinggi di sekolah kita dalam Ujian Nasional tahun ini, yang jatuh pada... Agus Andika dan juga Risna Rahmiani! Kepada yang bersangkutan, harap segera naik ke panggung untuk menerima piagam penghargaan dari sekolah." ujar Pak Kepala Sekolah.

Aku dan Agus langsung menuju ke panggung, sekali lagi, dan setelah kami berjabat tangan dengan Pak Kepala Sekolah, kami menerima piagam kami dan difoto beberapa kali.

Setelah kami diberi piagam, diumumkanlah beberapa siswa lain yang juga berprestasi, seperti menjadi juara dalam lomba, atau apalah. Tak lama kemudian, akhirnya upacara kelulusan selesai, dan kami berjabat tangan sesama kelas 9 sebagai tanda perpisahan, dan juga dengan adik kelas kami.

Orang tua murid yang menunggu di luar aula akhirnya berhamburan menyambut anaknya masing – masing saat kami semua keluar dari aula. Begitu pula dengan ayahku dan ibunya Agus.

"Selamat atas kelulusan kalian!" ujar Ayah

"Iya Yah..." sahutku

"Ibu bangga denganmu, Gus." Ujar Tante Lina, ibunya Agus

"Iya Bu..."

"Bagaimana kalau kalian berfoto bersama, sambil memegang piagam kalian? Supaya ada kenangannya, iya kan?" tanya Ayah, sambil menunjukkan kamera yang dibawanya

Aku dan Agus menggangguk setuju, dan kami tersenyum sambil menunjukkan piagam kami ke depan kamera. Ayahku memotret beberapa kali, sebelum akhirnya kami mendengar kalau nama Agus di panggil.

"Sepertinya itu Pak Mundhar. Bukannya beliau bilang ingin bicara padamu setelah acaranya selesai?" ujarku, sambil menoleh ke arah suara. Aku bisa melihat dari kejauhan Pak Mundhar menuju ke arah kami.

"Kamu benar. Kalau begitu, aku permisi sebentar." Ujar Agus

Sementara Agus menemui Pak Mundhar, aku, Ayah dan Tante Lina duduk di sebuah bangku yang ada di taman sekolah, yang kebetulan ada di sebelah aula. Kami bercakap – cakap ringan, dan aku juga sambil mengamati ke sekelilingku, melihat siswa kelas 9 sedang beramai – ramai berkumpul dengan keluarga dan temannya. Ada yang berfoto bersama sahabat, saling berpelukan, dan juga bahkan saling bertukar tangis. Sejenak aku jadi ingat akan perpisahanku dengan Agus. Aku tidak boleh menangis karena itu, pikirku. Itu akan jadi sangat memalukan bagiku. Mungkin nanti aku akan menangis juga pada akhirnya, tapi itu bukan sekarang.

Tak lama kemudian, Agus akhirnya kembali. Wajahnya terlihat sangat berseri – seri, dan itu membuatku jadi semakin tidak ingin menangis. Itu pasti akan merusak kebahagiaannya. Aku tidak tau apakah Agus bersedih karena sebentar lagi dia akan berpisah denganku, tapi sedikit banyak aku bisa merasakan kesedihannya. Aku yakin itu, karena naluri seorang sahabat sangatlah kuat.

"Bagaimana Gus?" tanyaku

"Katanya mereka akan memberiku sebuah kamar di asrama mereka, dan aku juga akan diberi transport, yaitu tiket pesawat yang akan aku terima tiga hari lagi via pos. Dan katanya aku akan berangkat dalam waktu dua minggu lagi." Jawab Agus.

Masih ada banyak waktu sebelum dia pergi, pikirku. Dan aku akan memanfaatkannya sebaik mungkin.

"Wah... aku iri! Enaknya kamu, bisa naik pesawat, gratis pula!"

"Iya.. tapi tak terasa ya, sebentar lagi kita akan berpisah?"

Akhirnya, kata 'berpisah' terucap dari mulut Agus. Dia memang benar, karena itulah yang kami hadapi saat ini. Sebuah jurang bernama perpisahan. Yang kehadirannya tak pernah kuinginkan, tapi dia harus ada di antara aku dan Agus.

Aku meghela napas berat. "Iya, aku tau itu. Kuharap, kita akan baik – baik saja saat berjauhan."

"Kuharap. Kamu jaga diri baik – baik ya?"

"Tentu saja!"

Agus menghadiahiku dengan sebuah pelukan erat. Entah kenapa rasanya sangat hangat, lebih dari biasanya. Dan aku hanya bisa terus memeluk Agus, sambil berusaha agar air mataku tidak jatuh sekarang. Aku hanya punya dua minggu. Sekali lagi, dua minggu.

"Bagaimana kalau kita jalan – jalan dan melakukan banyak hal lainnya sebelum kamu pergi, agar perpisahan ini lebih bermakna lagi bagi kita?" tanyaku

"Ide bagus! Aku setuju! Kapan?"

"Bagaimana kalau besok?"

"Aku akan selalu setuju, Ris, asalkan itu bersama kamu."

Aku hanya bisa tersenyum saat mendengar kalimat itu meluncur dari mulut Agus. Iya Gus, aku juga akan senang, asalkan aku masih bisa selama mungkin bersama kamu.

~~~~~

Dua minggu tak terasa telah berlalu. Dan ini adalah saatnya aku dan Agus berpisah. Sebetulnya aku telah berupaya keras agar hari ini tidak datang sama sekali. Dan jika ini adalah mimpi buruk, aku sangat berharap kalau aku bisa segera bangun. Tapi hal itu tak pernah terjadi. Karena ini adalah sebuah kenyataan. Kenyataan yang sangat pahit bagiku.

Aku meminta ayahku agar memperbolehkan aku untuk mengantar Agus pergi sampai ke bandara. Dan ayahku mengiyakannya. Dan disinilah aku, di sebuah pagi yang agak berawan dan bisa dibilang cukup cerah, aku terus mengobrol dengan Agus sampai ke ruang tunggu bandara. Seolah kami hanya berpisah sebentar saja, bukannya lebih lama lagi.

Tapi semua kesenangan itu berakhir saat suara di pengumuman memberi tau jadwal keberangkatan dan mengatakan kalau pesawat yang akan ditumpangi Agus akan berangkat dalam lima belas menit lagi.

"Ris, sepertinya kita harus berpisah disini, ya" ujar Agus, mengucapkan kata – kata yang sekali lagi tidak ingin kudengar, yaitu perpisahan.

"I – iya." Jawabku, agak kaku

"Kok aku jadi sedih ya, pas sudah pengen pisah sama kamu gini?"

"Iyalah kamu sedih! Kita kan sahabat! Persahabatan itu akan membuatmu sulit untuk berpisah dengan seseorang. Seperti... aku contohnya."

"Kamu benar juga. Aku tidak terlalu sedih saat berpisah dengan kedua orang tuaku, atau teman – teman yang lain. Tapi denganmu... entah kenapa terasa berat. Seolah aku nggak akan menjalani hidupku dengan benar kalau nggak ada kamu di sisiku."

"Aku juga merasakan hal itu?"

"Apa kamu sedih, Ris?"

Aku mengangguk. "Tentu saja. Karena kamu sudah menjadi sahabat yang sangat baik bagiku. Yang nggak pernah bisa aku lupakan. Pasti."

Secara mengejutkan, Agus tiba – tiba memelukku. "Iya. Kamu juga adalah sahabat terhebat yang pernah aku punya. Kalau aku punya salah denganmu, kumohon kamu memaafkannya. Aku tidak mau pergi dengan menyisakan masalah yang belum selesai denganmu. Itu membuatku jadi tidak tenang."

"Tentu saja. Aku akan memaafkanmu. Selalu. Begitu pula denganku, kuharap kamu mau memaafkan semua kesalahanku padamu."

"Aku sudah memaafkan semuanya kok. Tapi satu hal, Ris."

"Apa itu?"

"Maafkan aku, karena sekarang aku akan pergi meninggalkanmu. Dan tak bisa lagi berada di sisi kamu, mengejar cita – cita bersama seperti mimpi kita berdua. Maaf..."

"Tidak. Kita masih bersama. Kita masih mengejar impian kita. Karena... aku tau hati kita pasti masih bersama. Hanya fisik kitalah yang terpisah oleh jarak. Tidak dengan hati kita."

Agus tersenyum. "Kamu benar."

"Mari kita berjanji, Gus."

"Janji?"

"Iya. Kita berjanji supaya kita nggak akan putus kontak sampai disini. Kita masih akan sering bersuratan, atau mungkin telpon, kalau asrama kamu punya. Kita masih saling tau akan kabar masing – masing."

"Tanpa janjipun, aku pasti akan selalu menghubungi kamu, Ris."

"Dan satu hal lagi."

"Apa itu?"

"Kamu harus janji padaku, kalau kita akan bertemu lagi. Disini. Di kota ini. Entah setahun, tiga tahun, bahkan sepuluh tahun lagi. Tapi kelak kita pasti akan bertemu nanti. Aku mau janji kamu soal itu."

Agus mengeratkan dekapannya. "Iya! Aku akan senang kalau bisa ketemu kamu lagi. Selalu."

Kami saling melepaskan dekapan kami, dan aku menatap wajahnya lekat – lekat, untuk terakhir kalinya. Tanpa aku sadari, ada setetes air mata yang jatuh di pipiku.

"Sudah... aku tau kamu perempuan yang kuat. Jangan tangisi kepergianku seperti ini. Aku akan merasa berat kalau kamu nggak mengikhlaskan kepergianku."

"A – aku mengikhlaskannya. Walau sisi emosionalku sedikit tidak bisa menerimanya."

"Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi yakinlah, kalau waktu pasti akan membuatmu lebih bisa menerimanya."

Aku mengangguk. Tenggorokanku terasa tercekat. Padahal masih banyak kata yang ingin kuungkapkan padanya. Tapi aku tak bisa. Sementara itu, dengan perlahan, Agus mengelap air mataku dengan ibu jarinya, dan mendekapku untuk terakhir kalinya.

"Apa kamu masih punya kata – kata yang ingin kamu sampaikan padaku sebelum aku pergi?"

Aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi aku tak bisa menahan air mataku. Kurasa aku takkan bisa mengungkapkannya sampai kapanpun.

"Kurasa tidak. A – aku pasti akan merindukan kamu, Gus."

"Iya. Aku juga. Aku menyanyangimu, Ris. Walau nanti kita akan terpisahkan oleh jarak, aku akan tetap menyanyangimu. Percayalah."

"Aku percaya itu, Gus."

Dan secara mengejutkan, Agus tiba – tiba mencium keningku lembut. Memberi sensasi hangat yang aneh bagiku. Tapi aku menyukainya.

"Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu." Ujar Agus, lalu dia menuju ke kedua orang tuanya.

"Jaga dirimu baik – baik, nak." Ujar Tante Lina.

"Iya ma. Pasti. Agus pergi dulu."

Dia melepaskan mereka, lalu bersalaman dengan Ayah.

"Terima kasih, Gus. Kamu sudah jadi seseorang yang mampu mencerahkan setiap hari yang dilalui oleh Risna." Ujar Ayah.

"I – iya om. Sama – sama."

"Selamat berjuang ya. Dan jangan lupa kembali! Karena kami semua pasti akan merindukan kamu."

"Iya om. Pasti."

Akhirnya, Agus kembali menatapku.

"Sampai jumpa lagi, Ris. Aku pasti akan kembali padamu. Cepat atau lambat." Ujar Agus, sambil menggenggam tanganku lembut.

"Iya Gus. Hati – hati. Jaga dirimu baik – baik."

"Tentu. Selamat tinggal, Ris."

"Selamat tinggal..."

Aku melepaskan genggaman tangannya dengan berat, sebelum akhirnya Agus melangkah menjauh dengan ranselnya. Dia tak pernah menoleh lagi, seolah kalau dia melihatku maka itu akan membuyarkan semua impiannya. Dan aku memperhatikannya, sampai punggungnya menjauh lalu menghilang. Kutahan air mataku sebisa mungkin, walau hatiku terasa seperti diiris saat melihatnya.

"Ayo, kita pulang." Ujar Ayah, sambil memegang kedua bahuku,

"I – iya Yah."

Selama perjalanan pulang, aku hanya diam, tidak seperti biasanya yang sering kali ngobrol dengan Ayah. Aku merasa sedang tidak ingin ngomong, dan ayahku sepertinya mengerti bagaimana keadaanku itu.

Sesampainya di rumah, aku langsung berlari ke kamarku. Aku langsung memeluk bantal, dan tangisanku tumpah. Aku tidak bisa berkata apa – apa lagi. Perpisahan ini sangat menyakitkan bagiku. Dan aku tak sanggup menerimanya. Apalagi karena Agus telah menjadi orang yang sedemikian penting dalam hidupku. Dan saat dia pergi... rasanya sungguh tidak enak. Orang yang pernah kehilangan sahabatnya pasti akan merasakan hal yang seperti itu. Walau entah kenapa, aku merasakan bahwa masih ada yang mengganjal dalam hatiku.

"Risna!" seru Ayah, dan mulai mencoba menuju ke kamarku.

Tapi langkahnya terhenti, dan terdengar suara ibu di luar.

"Sudah, jangan ganggu dia. Dia perlu waktu sendiri. Bisakah kita menghormati privasinya? Dia baru saja ditinggal pergi seseorang yang baginya sangat penting, dan kita hanya mengganggunya saja kalau mengacaukan privasinya. Dia butuh waktu, karena baginya ini pasti sangat menyakitkan. Kehilangan seseorang sebaik Agus itu sangat berat. Ayah juga bisa merasakannya kan?" ujar Ibu

"Aku tau. Dia anak yang baik. Dan juga sangat baik pada anak kita. Kadang aku berpikir kalau mereka tak hanya sebatas sahabat saja pada akhirnya. Dan... aku bodoh juga. Berani – beraninya aku ingin mengacaukan perasaan anakku yang tengah kacau itu." Sahut Ayah

"Nah, makanya. Lebih baik kita biarkan saja dia dulu."

Itulah kalimat terakhir yang kudengar, karena yang selanjutnya terjadi adalah aku menangis sejadi – jadinya. Aku tau setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Tapi perpisahanku dengan Agus ini terasa terlalu menyakitkan bagiku.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top