Harry

Alex Evans as Kyne 

-------------------------------------------

    "Kyne, maafkan aku.. maafkan aku ya.."

    "Kamu membuat aku kesal Dyne!"

    "Iya aku tahu, aku minta maaf Kyne.. Kumohon.."

    "Kamu selalu saja ceroboh! Baru saja kutinggal sebentar, kamu sudah berbuat bodoh lagi! Aku kan sudah bilang, Dyne! Aku tidak suka kamu dekat dengan siapapun! Tidak ada orang yang baik di dunia ini! Kamu tidak bisa mempercayai siapapun kecuali aku! Berapa kali sih aku harus bilang begitu sama kamu?!"

    Aku menundukkan kepalaku. Mengalihkan pandanganku agar aku tidak melihat diri Kyne yang mengerikan di cermin. Aku tidak kuat memandang wajah marahnya lebih lama lagi.

    "Dyne?!"

    Aku sedikit terkesiap dan refleks mengigit bibir bawahku saat mendengar suaranya yang memanggilku murka. Tak sedetikpun aku sanggup mengalihkan pandanganku dari jari – jariku yang saling mengait di atas wastafel.

    Aku takut. Takut Kyne akan membenciku. Takut Kyne tidak akan mencintaiku lagi. Takut Kyne akan meninggalkanku sendiri.

    Aku mendengar Kyne menghela nafasnya dan memanggil namaku dengan lebih lembut, tapi aku masih belum berani melihat ke arahnya.

    "Dyne, please, lihat aku."

    Aku beranikan diriku untuk menengadahkan kepalaku dan melihat ke dalam cermin kembali. Pandangan matanya yang tadinya tajam dan juga dingin sudah melunak. Membuat diriku menjadi dapat melonggarkan nafasku yang sedikit sesak.

    "Maaf ya Dyne, aku sudah membentakmu. Tapi kamu mengerti kan, alasan kenapa aku marah?"

    "Sebenarnya aku tidak mengerti. Aku hanya ingin mendapatkan teman, Kyne.. Aku juga tidak ingin kesepian saat kamu sedang tidak ada, seperti tadi misalnya.. Aku malah tadinya ingin marah sama kamu karena kamu meninggalkanku tanpa memberiku kabar terlebih dahulu. Sekarang malah kamu yang memarahi aku, hanya karena aku tidak ingin sendirian. Kamu tidak adil!"

    Rasa takutku berubah menjadi kesal sekarang. Tanpa sadar aku jadi mengerutkan alisku, mengerucutkan bibirku dan menggigit bibir dalamku sambil menatap Kyne yang malah tersenyum lebar sekarang. Uh! Kyne menyebalkan!

    "Jangan tertawa!" aku semakin kesal karena Kyne mulai tertawa lebar sekarang. Tapi aku lega, karena Kyne sekarang tidak marah lagi padaku.

    "Iya.. hahaha.. Sorry.. ehem.. Aku minta maaf untuk pagi ini, aku sedang ada keperluan tadi. Dan aku minta maaf ya, sudah membuat kamu merasa kesepian. Tapi aku benar – benar tidak ingin kamu berteman dan dekat – dekat dengan siapapun selain aku. Dan kamu harus mengerti. Karena seperti yang berkali – kali aku katakan padamu, tidak ada orang yang baik dan dapat dipercaya di dunia ini selain aku. Aku hanya ingin melindungi kamu Dyne, karena aku sayang dan cinta kamu. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada dirimu. Kamu mengerti kan?"

    Aku menatap ke arahnya. Memperhatikan kilat matanya yang tajam. Aku mengerti perasaan Kyne yang ingin melindungiku dan tidak ingin aku terkena bahaya, tetapi aku masih tidak bisa menerima kalau aku tidak bisa berteman dengan siapapun. Bukannya aku kurang akan kasih sayang Kyne atau apa. Tetapi aku memang ingin memiliki seorang teman yang bisa diajak untuk berbagi suka dan duka.

    "Dyne?"

    Aku masih bungkam dan lebih memilih untuk terus menggigit pelan mulut dalamku. Bolehkan aku egois kali ini saja? Meminta Kyne untuk menuruti keinginanku. Selama ini kan aku terus yang menuruti keinginannya. Aku hanya ingin seorang teman, apa yang berbahaya sih dari itu?

    "Dyne, ayolah.. Aku bisa merasakan kekesalanmu.. Jangan seperti itu dong. Lagi pula siapa sih yang tadi itu? Merangkul Dyne ku seenaknya! Dia pikir siapa dia bisa sok akrab seperti itu dengan milikku?" Kyne menatapku dengan tatapan menusuknya lagi.

    "Dia hanya Ray, orang yang memiliki kelas yang sama denganku," dadaku jadi berdentum – dentum dan aku merasakan panas di pipiku.

    Aku jadi tersipu mendengarnya berkata seperti itu. Dalam hati aku sangat senang karena itu pertanda bahwa Kyne sangat mencintaiku. Untung saja dia tidak bisa membaca setiap kata yang ada di pikiranku. Aku bisa malu setengah mati kalau seandainya dia bisa.

    "Kamu tahu tidak kalau kamu manis sekali, Dyne?" wajah Kyne melembut lagi. Mungkin karena melihat aku blushing karena perkataannya. Kyne tersenyum manis sekali.

    Oh my God Kyne! that breathtaking smile of you!

    Aku suka sekali senyum Kyne yang dipadukan dengan tatapan mata tajamnya itu.

    "Dyne?" Kyne memecah lamunanku tentangnya. Senyumannya semakin melebar karena memergoki ku yang terpesona olehnya.

    "Ah! iya?" aku jadi semakin malu. Dadaku berdegup kencang dan aku berani bertaruh, muka ku pasti sudah merah sepenuhnya.

    "Kemarikan tanganmu. Aku ingin menyentuhnya."

    Aku merentangkan tanganku ke depan dan menyentuh cermin. Bayangan tangan Kyne bersatu dengan tanganku. Cermin yang dingin perlahan menjadi terasa lebih hangat. Hangatnya menjalar ke dalam dadaku, tepat ke hatiku. Nafasku menjadi sedikit sesak karena jantungku yang berdegup hebat.

    "Aku sangat suka degupan jantungmu yang seperti ini Dyne. Degupan jantung ini sangat berharga dan amat berarti bagiku. Ini pertanda bahwa kamu hidup. Bahwa kamu masih bisa bernafas dan merasakan dunia. Kalau kita masih bisa bersama – sama seperti ini. Merasakan perasaan yang amat indah ini bersama, hanya kamu dan aku. Dan degup jantung yang seperti ini, juga pertanda bahwa kamu benar – benar mencintaiku, ya kan?"

    Ya Tuhan Kyne.. Bisa tidak sih kamu tidak membuatku lemas dan gemetaran seperti ini..

    "Dyne? Kamu sedang apa?" Aku kaget setengah mati mendengar suara selain suara Kyne dan aku, menggema di dalam toilet ini.

    Aku buru – buru menarik tanganku yang menempel di cermin ke belakang tubuhku. Seperti ingin menyembunyikan sesuatu. Well.. aku memang menyembunyikan sesuatu. Dan aku tidak boleh ceroboh dan ketahuan sedang berbicara dengan Kyne kalau mau masa Senior High ku aman. Aku tidak mau kejadian mengerikan di Junior High terulang kembali. Terlebih lagi aku juga ingin memiliki teman di sini.

    "Um.. R-Ray.. Kamu juga sedang apa di sini? Bukannya kelas belum selesai?" aku berjalan mendekat ke arahnya.

    Tapi semakin aku mendekat, rasa panas di tubuhku meningkat. Oh Kyne! Kamu seperti anak kecil saja! Bagaimana bisa aku berbicara dengan Ray jika tidak mendekatinya? Berbicara dengan jarak yang jauh dan berteriak – teriak? Yang benar saja.

    Aku berbisik pelan sekali yang hanya bisa didengar oleh telingaku sendiri, "Kyne, please.. just trust me.. kamu juga cinta aku kan?"

    "Aku khawatir padamu makanya aku mencari kamu! Dyne? you okay, right? kamu masih sakit?" Ray mendekat ke arahku yang membuat rasa panas di dalam tubuhku semakin meningkat seiring dengan dekatnya jarak antara Ray dan aku.

    "Kyne.." aku berdesis dan melangkah mundur untuk menjauhkan jarak antara Ray dan aku karena aku mulai merasa tidak nyaman dengan rasa panas ini. Kyne benar – benar kekanak – kanakan!

    Ray tetap saja mendekat dan akhirnya dia berada tepat di depanku. Aku bernafas lega karena Kyne sudah tidak membuat suhu tubuhku meningkat lagi.

    Ray mengangkat tangannya dan menyentuh dahiku dengan telapak tangannya. Tanganku langsung menepis tangannya dengan kasar dan kencang. Err.. itu perbuatan Kyne, by the way.. Kyne yang menggerakkan tanganku untuk menepis tangan Ray.

    "Wow wow.. Aku hanya mengecek suhu tubuhmu." Ray mengusap tangannya yang ditepis oleh Kyne.

    "Um.. Sorry.. itu refleks.. apakah sakit?" Aku menatap Ray dengan prihatin.

    "Not really.. Sepertinya kamu harus pulang deh. Aku antar ya?"

    "Aku tidak sakit kok. Sungguh. Aku baik – baik saja. Sudah yuk. Kelas berikutnya akan mulai sebentar lagi kan?"

    Ray menyipitkan matanya, meragukan perkataanku. Aku meyakinkannya sekali lagi yang dibalas dengan bahunya yang naik tanda antara pasrah dan tidak perduli.

    Hari ini sekolah berjalan dengan aman. Aku sudah mulai sedikit nyaman dengan lingkungan sekolah meskipun ini adalah hari pertamaku. Tadi aku juga sudah sedikit berani untuk berkomunikasi dengan teman kelasku. Mungkin ini kesempatan untukku agar aku bisa menjalani hari – hari sekolahku dengan normal. Hanya saja Kyne kadang masih belum bisa menerima dan aku harus bersusah payah untuk terlihat normal ketika aku harus menahan rasa panas di tubuhku setengah mati.

    "Baiklah Silvia, aku akan menunggu Harry. Mungkin sebentar lagi dia datang," aku memindahkan smartphone ku ke telinga yang sebelahnya untuk membenarkan tas ku yang mengendur, "iya iya.. Mau aku mampir ke minimart untuk membeli sesuatu?" aku bersandar pada pohon di dekat pekarangan sekolah, "baiklah kalau tidak perlu, ah! itu Harry! Bye Silvia, sampai ketemu di rumah.."

    Aku mematikan smartphone ku dan melambai pada Harry yang tersenyum kepadaku. Aku berlari kecil menuju mobilnya dan masuk ke dalamnya. Lalu duduk di atas kursi penumpang di sebelah Harry.

    "Bagaimana hari pertama sekolah?" Harry tersenyum dan mengacak – ngacak rambutku. Aku hanya tertawa sambil memakai sabuk pengamanku.

    "Lumayan Harry, lumayan. Aku senang sekali aku bisa mendapatkan teman baru. Dan ternyata Senior High tidak buruk seperti perkiraanku." Aku tersenyum lebar melihat gedung sekolah dari jendela mobil tapi senyumku memudar ketika melihat wajah Kyne yang bad mood di kaca mobil. Aku menelan air liurku.

    "... kamu mau kan? Dyne?"

    Duh aku jadi lupa karena saking senangnya. Kyne membenci Harry. Dia pasti kesal karena aku harus pulang bersama Harry mulai dari sekarang.

    "Dyne? Dyne, kamu dengar aku?" Harry menyentuh pundakku yang mengakibatkan suhu badanku memanas lagi.

    Aku mengedikkan bahuku agar Harry melepaskan tangannya dari bahuku, "Um, maaf, tadi kamu bilang apa?"

    "Aku bilang, minggu depan ada turnamen basket antar sekolah. Ini pertandingan terakhirku karena aku mau fokus untuk persiapan kuliahku. Kamu mau kan datang ke pertandingan terakhirku? Please Dyne.." Harry menatapku dengan tatapan memohonnya.

    Aku sungguh – sungguh tidak bisa menolak Harry kali ini meskipun Kyne tidak suka. Lagipula aku sudah janji dengan Silvia.

    "Baiklah, aku akan datang Harry," aku cepat – cepat melihat ke arah jendela mobil Harry. Menatap Kyne dengan puppy eyes ku agar dia tidak marah. Kyne masih saja cemberut tapi aku semakin gencar melebarkan mataku, menatapnya dengan pandangan memelas terbaikku yang biasa ku pakai untuk membujuk Kyne. Akhirnya Kyne menyerah dan menggerakkan mulutnya mengucapkan kalimat "kau berhutang padaku"  tanpa suara. Aku mengedip padanya senang.

    Malamnya Kyne benar – benar menagih janjinya. Dia meminta hal yang mustahil dan paling memalukan seumur hidupku.

    Dia memintaku untuk menciumnya!

    Bagaimana bisa?!

    Ini sungguh memalukan!

    Argh! Dasar Kyne mesum!

    Meskipun kami saling mencintai, tetapi aku dan Kyne tidak pernah melakukan lebih selain berpegangan tangan! Aku saja baru menyadari perasaanku padanya setahun yang lalu setelah Kyne dengan gencar membuatku jatuh cinta padanya.

    "Tidak bisakah kamu meminta yang lain? Ini sangat sangat memalukan Kyne!" aku menatapnya kesal.

    Kyne mengeluarkan smirk khasnya yang semakin membuatku kesal, "kamu sudah janji Dyne, lagi pula apa susahnya sih mencium cermin?"

    Aku menyilangkan kedua tanganku, menatap kesal ke arah meja belajarku. Ke mana saja pokoknya selain ke cermin raksasa yang menempel ke dinding di sebelah tempat tidurku itu.

    "Dyne.. please.. Aku kan juga mau berciuman seperti layaknya pasangan - pasangan yang lain. Apa aku harus bilang padamu, jika kamu tidak menciumku, maka kamu tidak boleh datang ke pertandingan si pengganggu yang menyebalkan itu?"

    Aku menggerakkan kepalaku ke arah cermin dan melihat cengiran menyebalkannya. Mulutku terbuka menatap Kyne tidak percaya. Bagaimana bisa Kyne tega mengatakan hal seperti itu padaku?

    "K-kamu mengancamku?" aku masih tidak percaya dengan perkataannya.

    "Kan aku bertanya padamu. Apa aku harus? Bukan berarti aku bersungguh – sungguh sama ucapanku Dyne, jangan ngambek dong, please.. Aku kan hanya ingin meyakinkan diriku kalau kita saling mencintai. Kalau kita juga bisa seperti pasangan yang lain. Jadi kumohon.. aku hanya ingin menciummu.. apakah aku salah akan itu? Salah jika aku ingin mengekspreksikan cinta kita?"

    Hatiku bergetar mendengar kata –katanya dan melihat pandangannya yang sangat serius. Memang sih, Kyne benar. Aku juga sebenarnya ingin sekali melakukan hal – hal yang bisa di lakukan pasangan lain.

    Aku menghela nafasku. Kamu tidak boleh egois, Dyne. Kyne hanya ingin berciuman.

    "Um.. b-baiklah.. tapi hanya satu kecupan singkat ya.." aku menunduk. Sekarang jantungku mulai tidak dapat terkontrol lagi degupannya. Aku mulai gugup.

    Demi tuhan, aku sebentar lagi akan berciuman dengan Kyne!

    Kyne mengeluh tidak puas dengan jawabanku tapi dia menerima permintaanku akhirnya. Dia menyuruhku untuk mendekat dengan cermin di dinding yang menempel dengan tempat tidurku.

    Aku menelan air liurku berkali – kali untuk mengusir rasa gugupku, namun itu percuma. Rasa gugupku malah semakin bertambah seiring dengan permintaan Kyne yang menginginkan aku untuk menempelkan kedua tanganku di atas cermin.

    "Dekatkan kepalamu Dyne, aku tidak bisa menciummu terlebih dahulu, jadi kamu yang harus menciumku."

    Ya Tuhan Ya Tuhan Ya Tuhan Ya Tuhan!

    Aku memejamkan mataku rapat – rapat dan tanpa sadar mengatupkan bibirku terlalu rapat.

    "Hei..", Kyne tertawa pelan, "aku tidak bisa menciummu kalau kamu menyembunyikan bibirmu Dyne," suara Kyne terdengar dekat sekali. Dia seperti sedang berbisik di telingaku yang membuat tubuhku semakin merinding.

    Aku melepaskan katupan bibirku tanpa membuka mataku.

    "Mendekatlah Dyne.. Perlahan.."

    Aku menuruti perkataan Kyne dan aku merasakan dingin di bagian permukaan bibirku. Bibirku sudah mengenai cermin. Aku kaget karena rasanya sama seperti saat kita berpegangan tangan. Bagian kami yang saling bersentuhan mulai terasa menghangat. Kami seperti benar – benar sedang bersentuhan.

    Aku membuka mataku perlahan dan berusaha ingin menarik kepalaku tetapi Kyne buru – buru memohon agar aku menahan keadaan ini untuk sebentar saja. Tetapi bukan itu yang membuatku berhenti menarik kepalaku. Tetapi pandangan mata tajam Kyne dengan jarak sedekat ini, yang melihatku dalam dan dengan penuh cinta, sambil berusaha menciumku dari balik cermin.

    Tanpa sadar air mataku menetes.

    Aku sangat mencintainya.

    Dan ciuman kami yang terbatas ini sangat sangat indah.

    Ciuman pertamaku dengan orang yang paling aku cintai di dunia ini.

    Tak akan bisa aku lupakan seumur hidupku.

    "I love you, Dyne. Really really love you that I'd die for you."

***

     Pemuda itu terus menerus merasa gelisah sejak dia melihat kejadian yang menggugah hatinya beberapa saat yang lalu. Sudah sedari tadi dia tidak bisa tidur. Dia hanya bergerak membenarkan letak tidurnya ke sana ke mari di atas ranjang yang ditidurinya.

     Kejadian itu terus berputar - putar. Mengganjal hati dan pikirannya. Seberapa besarpun usahanya untuk tidak memikirkan hal itu, tetap tidak akan berhasil. Semua usahanya itu akan terbuang sia - sia.

     Dengan membawa sejuta kegundahan, pemuda itupun bangun dari ranjangnya akhirnya. Dia hanya bisa berdecak kesal dan memutuskan untuk melakukan ritual hariannya untuk mengusir rasa mengganjal yang terus mengganggunya tiap malam, semenjak dia mendapatkan anggota baru di keluarganya. Terlebih lagi karena rasa itu semakin bertumpuk setelah dia melihat kejadian tadi. Dia merasa tidak tahan lagi.

     Dia tahu ini gila. Dia juga tahu ini tidak mungkin dan sangat tidak masuk akal. Tetapi dia sudah terjerat dengan sangat erat ke dalam ketidak-warasan ini. Bahkan setelah mengetahui terdapat hal yang lebih menggilakan dari perasaannya terhadap pujaan hatinya yang sudah cukup terbilang gila, dia malah semakin tertarik dan terjerat erat kepadanya.

     Dia hanya bisa menyerah pada perasaannya yang terasa semakin kuat, hari demi hari dan menerima kenyataan atas segala apa yang terjadi pada dirinya dan juga pujaan hatinya.

     Saat dia sampai ke tempat tujuannya pun, dia hanya bisa menghembuskan nafasnya yang ditariknya dalam – dalam untuk menenangkan dirinya. Mempersiapkan dirinya untuk menghadapi sesuatu yang berat dan luar biasa yang baru diketahuinya beberapa bulan terakhir.

     Dia tahu seharusnya dia tidak perlu ikut campur atau apapun seperti apa yang sudah dikatakan oleh pujaannya kepadanya. Tapi apa daya. Seperti yang sudah dipaparkan. Dia sudah terjerat sangat erat. Untuk menghilangkan perasaannya dan menutup mata atas apa yang telah dilihatnya selama ini adalah hal yang sangat mustahil.

     Pemuda itu membuka pintu di hadapannya dan melihat seseorang yang dipujanya sudah tertidur lelap di atas tempat tidurnya. Tanpa sadar kedua sisi bibirnya tertarik ke atas. Semua perasaan tidak mengenakkan yang ada pada dirinya hilang, digantikan oleh perasaan paling bahagia dan menyenangkan yang tadinya tidak pernah ia rasakan sebelum dia mengenal pujaannya.

    Dia kemudian berjalan pelan mendekat ke tempat tidur. Menatap kaca besar yang melekat di dinding sebelah tempat tidur yang sekarang berada di hadapannya, memberikan pantulan dirinya yang samar – samar terlihat karena pencahayaan yang minim. Dia masih heran, kenapa anak manis yang terlelap, yang telah mengambil hatinya di hadapannya ini, meminta kaca sebesar ini di dalam kamarnya. Tentu saja walaupun heran dan seaneh apapun permintaan pujaannya, dia tetap akan mengabulkannya. Apapun akan dia berikan untuk pujaan hatinya.

     Dia lalu duduk di atas tempat tidurnya. Tatapannya tidak lepas dari pemandangan indah di hadapannya. Jantungnya mulai berdegup kencang tidak beraturan. Badannya memanas. Dia tahu benar dia sudah kalah sejak lama. Tetapi meskipun begitu, dia tetap berusaha sekuat tenaga untuk memendamnya. Mempertahankan kewarasannya yang selalu berperang dengan segala hal - hal gila, yang terjadi di dalam dirinya maupun yang disuguhkan kepadanya.

     Tapi sekarang sudah tidak bisa.

     Perasaannya seperti ingin meluap. Dia sangat ingin menumpahkan dan mencurahkan perasaan ini untuk seseorang yang tertidur manis di hadapannya.

     Terutama karena hari ini. Setelah dia melihat kejadian yang sangat menggetarkan hatinya yang tidak bisa lepas dari pikirannya sejak tadi. 

    Melihat pujaan hatinya mencium bayangan dirinya sendiri di depan cermin. Sesuatu yang sangat cukup untuk membuang sisa - sisa kewarasannya yang sudah terbilang sedikit.

    Dia memuaskan hatinya dengan menatap wajah pujaannya terlebih dahulu, sebelum kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah pujaan hatinya dengan perlahan. Berusaha meraih dan menyentuh bibir pujaannya yang sangat kissable dengan bibirnya sendiri.

    Semakin lama semakin mendekat.

.

.

.

    Semakin dekat.

.

.

.

.

     Sampai..

.

.

.

.

    Pukulan keras mendarat di pipi pemuda itu. Sangat keras sampai dia bisa merasakan rasa anyir di dalam mulutnya. Alih – alih kesal, pemuda itu malah tersenyum senang karena mendapatkan pukulan itu dari pujaan hatinya. Mungkin dia sudah berubah gila dan menjadi seorang masokis.

    Semua itu karena pujaan hatinya yang sudah merubah hidupnya 180 derajat.

    "Sudah berapa kali harus kubilang untuk tidak menyelinap ketika dia sedang tidur Harry?! Dan sekarang apa? Kamu berusaha menciumnya?! You're so dead!

HE IS MINE!"

---------------------------------------------------------

Duh abis baca part ini kok aku jadi ngerasa aneh hahahah malu jugapun sama cerita ini.
Dyne nya lembek banget hahah kesel.

Mau nulis lanjutannya jadi males. Dilanjut ga ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top