Bagian 9
Percuma saja Yuki merasa gugup, dia sudah berkali-kali merasa grogi karena Omar akan mengenalkan orang tuanya pada Yuki. Nyatanya, lima belas menit yang lalu Omar mengabari Yuki bahwa dia tidak bisa pulang ke apartemen.
Yuki tidak membalas pesan dari Omar tersebut. Dia merasa kesal karena sudah gugup dan terlalu percaya diri untuk hal yang tidak penting. Mau tidak mau Yuki mematikan ponselnya dan pergi tidur.
Di sisi lain, Omar merasa gelisah karena Yuki tidak membalas pesannya. Saat dihubungi pun nomor Yuki berada di luar jangkauan. Entah kenapa tiba-tiba Omar merasa khawatir dengan Yuki yang sendirian di apartemen.
"Kau kenapa?" Ibu Omar, Diana bertanya.
Saat ini Omar sedang makan malam bersama Ibu dan Ayahnya yang baru saja kembali dari pelesiran. Mereka berdua belum tahu Omar sudah menikah.
Omar hanya diam saja, dia tidak berniat menjawab pertanyaan Ibunya. Begitu lah Omar, jika menurutnya tidak penting. Maka, dia akan diam saja dan tidak banyak komentar.
"Kau kapan akan mulai ekspansi Choco Love di Indonesia?" Hugo Barack, Ayah dari Omar bertanya.
Seketika Omar terdiam, dia tidak tahu harus menjawab bagaimana. Satu bulan yang lalu rencana ekspansi ini mulai dibicarakan. Hugo berkali-kali meminta tim pengembang untuk memulai rencana pembukaan Choco Love di Indonesia.
"Mungkin bulan depan. Aku harus pindah ke sana untuk beberapa waktu," sahut Omar yang diangguki setuju oleh Hugo.
Selama Omar pergi ke Indonesia, Hugo akan berada di kantor pusat sini dan mengambil alih segala pertanggung jawaban. Sedangkan Omar, dia bingung karena dia baru saja menikah dengan Yuki. Meninggalkan Yuki dalam waktu lama, tidak mungkin Omar lakukan.
"Kapan kau akan menikah? Ibu butuh teman shopping," pinta Diana pada Omar.
Tiba-tiba Omar tersedak keras, dia tidak menyangka akan mendapat permintaan seperti ini dari Ibunya. Padahal beliau tahu Omar bukan pria normal. Dia sedikit special.
"Hon. Jangan seperti itu, kau tahu Omar ingin tapi dia tidak bisa," timpal Hugo yang di ujung kalimatnya terdapat kekehan pelan.
Omar hanya bisa mendengus pelan, dia tahu Ayahnya itu menyindir dirinya. Belum tahu saja dia jika Omar sudah berhasil menemukan seseorang yang bisa dia sentuh dengan bebas.
Menurut Omar, belum saatnya untuk Yuki berkenalan dengan orang tuanya. Dia harus membuat kedua orang tuanya menyukai Yuki dahulu, tanpa memandang status keluarga Yuki. Tidak mudah memang terlahir sebagai keluarga terpandang dan kaya raya, semua apa yang dia inginkan menjadi sorotan orang banyak. Kedua orang tua Omar selalu tidak suka dengan pemberitaan negatif tentang keluarga mereka.
"Kalau ada wanita yang bisa aku sentuh dengan bebas. Apa kalian akan setuju saja?" Tanya Omar hati-hati. Dia berusaha untuk tenang dan melirik kedua orang tuanya dengan tenang.
Hugo berdeham pelan, dia berusaha membersihkan laju suaranya yang sedikit serak. "Tentu dengan catatan tertentu," ucap Hugo membuat Omar terdiam.
Catatan tertentu, catatan yang Omar yakin jauh dari sosok Yuki. Perempuan berkelas? Mungkin jika Yuki punya kehidupan lebih baik dan beruntung, dia akan menjadi wanita berkelas yang luar biasa. Sayangnya, nasib baik tidak berada di pihak Yuki.
"Sayang, kau tahu anak kita ini saja tidak bisa menyentuh perempuan. Kau masih terlalu berharap seperti itu?" cibir Diana pada suaminya. Dia juga merasa kasihan ketika melihat raut wajah Omar yang kaku.
Hugo tertawa pelan. "Ya. Kau benar Hon, dia bisa menghamili wanita mana saja aku sudah bahagia," kelakar Hugo membuat Omar tersedak untuk yang kedua kalinya.
"Ketika kau datang dengan seorang perempuan hamil ke hadapan kami. Maka, saat itu juga Barack Group akan aku berikan padamu dan ibu dari anakmu," timpal Diana yang disetujui Hugo.
Omar tahu kedua orang tuanya ini sangat menginginkan dirinya memiliki keturunan. Tapi, dia tidak menyangka mereka akan sampai seperti ini.
"Mungkin kalian bisa sedikit berharap," gumam Omar misterius.
*****
Yuki bangun pagi dengan perasaan malas, dia bahkan tidak berniat mengecek ponselnya. Beberapa menit yang lalu Yuki sudah mengaktifkan kembali ponselnya. Banyak notifikasi dari Omar yang tetap diabaikan oleh Yuki.
"Ada apa? Kau ada masalah? Apa Miranda menemuimu?" Tanya Norah tidak sabaran.
Norah merasa Yuki agak berbeda, dia seperti menyembunyikan sesuatu darinya. Bahkan biasanya Yuki selalu menghubungi atau minta ditemani olehnya, belakangan ini Yuki seolah menjauh.
Yuki menggeleng pelan, dia menatap kopi Americano di hadapannya dengan malas. "Aku hanya sedang memikirkan bagaimana caranya mengambil kembali rumah," ucap Yuki berbohong. Dia masih belum siap jika harus bercerita soal Omar pada Norah.
"Kau butuh banyak uang? Mau aku pinjamkan dengan Orlando?" Norah menawarkan dengan hati-hati takut Yuki tersinggung.
Di dalam hatinya, Yuki merasa bersalah. Dia telah membohongi Norah berkali-kali. Jika Yuki mau, dia bisa meminjam uang Omar. Bahkan Yuki yakin sekali isi kartu milik Omar yang ada padanya sanggup membeli satu buah gedung puluhan lantai.
Yuki hanya sedang kepikiran Omar, dia merasa seperti istri simpanan Omar. "Memang apa yang kau harapkan, Yuki Page?" Hati Yuki berbisik menyentil si empunya hati.
Yuki mendesah pelan. "Tidak perlu. Aku akan mengumpulkan uang dari gajiku," sahut Yuki.
Norah memandang Yuki tidak yakin. "Kau tahu Yuki. Gajimu tidak akan besar jika kau tidak bisa mencapai target. Sementara kau ..."
"Aku tidak masalah!" Bantah Yuki cepat.
Mau tidak mau Norah hanya bisa pasrah saja. Dia tidak bisa memaksa Yuki untuk masuk ke dunia kotor sepertinya.
"Soal perkataanku kemarin. Aku serius, kau bisa meminta bantuanku Yuki," ucap Norah menatap manik mata Yuki tajam.
Yuki tersenyum tipis, mempunyai Norah sebagai teman yang selalu mendukungnya merupakan keberuntungan terbesar Yuki. Dia selalu berharap Norah dapat menemukan sosok pria yang tepat, yang bisa menjaganya dengan baik.
Ponsel Yuki bergetar di atas meja, layarnya terbalik menghadap ke bawah. Sehingga Norah tidak tahu siapa yang menghubungi Yuki.
"Josh? Pria itu masih menghubungimu?" Norah memutar bola matanya kesal. Dia tidak suka Yuki dimanfaatkan oleh Josh.
Mantan pacar Yuki itu bukan dari kalangan bawah, dia cukup mapan dan dari keluarga kaya. Meski begitu, dia berpacaran dengan Yuki hanya ingin menjadikan Yuki babunya. Membersihkan apartement, service mobil bahkan Yuki pernah harus mengganti bola lampu di tempat tinggal Josh.
"Bukan," bantah Yuki. "Aku duluan ya. Harus ke kantor pusat, ada beberapa berkas yang harus aku isi di bagian human resource," lanjut Yuki yang dijawab Norah dengan acungan jempol.
*****
Yuki baru saja selesai mengurusi urusan administrasi. Dia mengisi beberapa informasi pribadi dan menandatangi kontrak kerja. Beberapa kali Yuki menghela napas saat mengisi status pernikahannya. Akhirnya Yuki memilih menyatakan bahwa dirinya belum menikah.
Saat Yuki berdiri di depan lift, dia bertatapan dengan Omar. Pria itu ada di dalam lift dan membuat Yuki menahan napasnya sejenak. Sejak semalam Yuki sudah mengabaikan telepon dan pesan Omar.
Yuki melangkah masuk ke dalam lift, dia tidak punya pilihan lain. Semua karena Yuki ada janji dengan calon customer. Jelas Yuki tidak akan mau kehilangan calon customer dengan alasan tidak profesional.
"Kenapa tidak membalas?" Suara berat dan dalam Omar bertanya.
Di dalam lift hanya ada Yuki, Omar dan Daniel. Jelas saja Omar bisa menegur Yuki seperti biasa. Dia sebenarnya sudah lelah dengan kelakuan Yuki yang ternyata menyebalkan.
"Sibuk," sahutku Yuki pelan.
Omar berdeham. "Kau lebih sibuk dariku?" Omar menyindir Yuki.
"Semua orang bisa sibuk. Aku terlalu sibuk memikirkan masa depanku dan bagaimana aku harus mengumpulkan banyak uang untuk diriku sendiri," jelas Yuki terdengar tajam.
Bahkan saat pintu lift terbuka di lobi, Yuki langsung mengangguk hormat sekilas pada Omar. Dia kemudian langsung pergi keluar dari lift dan berjalan dengan cepat meninggalkan Omar.
Daniel akhirnya paham kenapa seharian ini Omar gelisah. Atasannya itu bahkan beberapa kali marah hanya karena masalah sepele. Banyak manajer yang sudah kena imbasnya hari ini.
"Kau minta seseorang untuk awasi Yuki. Jangan sampai istriku kenapa-kenapa," perintah Omar yang langsung dijalankan oleh Daniel.
Mungkin Yuki tidak sadar bahwa selama ini secara diam-diam Omar memperhatikannya. Meski begitu, Omar tidak ikut campur pada pekerjaan Yuki. Dia akan turun tangan jika sesuatu membahayakan Yuki.
"Ini kontrak kerja Nyonya," kata Daniel menyerahkan i-Pad yang ada di tangannya pada Omar.
Keduanya berjalan melintasi lobi dengan gestur luar biasa. Banyak perempuan yang menatap Omar dengan memuja. Rata-rata membayangkan sesuatu yang seksual.
"Tidak boleh menikah dan hamil dalam masa kontrak?" Gumam Omar tersenyum tipis. "Belum apa-apa dia sudah melanggar kontrak, dia sudah menikah, Daniel." Lanjut Omar mengembalikan i-Pad pada Daniel saat dia masuk ke dalam mobil.
"Jadi Tuan mau kontrak dibatalkan dan Nyonya dipecat?" Daniel bertanya memastikan.
Omar menatap Daniel datar, dia punya rencana yang lebih baik daripada sekedar menikah. "Saat Yuki hamil. Dia akan mengundurkan diri. Aku yakin," sahut Omar.
"Lalu bagaimana dengan orangtua Anda, Tuan?" Tanya Daniel yang paham bagaimana kedua orang tua Omar itu.
"Mereka akan terima Yuki saat dia hamil," sahut Omar yakin.
Ada senyum menyeramkan yang membuat Daniel bergidik takut. Dia tidak bisa membayangkan rencana apa yang sedang Omar susun. Bertahun-tahun menjadi bawahan Omar, atasannya itu tidak pernah membuat sebuah rencana dalam jangka pendek.
Hanya satu rencana hidup Omar yang di luar rencana pria itu, menikahi Yuki. Omar tidak pernah punya rencana untuk segera menikah, semua karena apa yang dialami olehnya.
Namun, saat Omar tahu bahwa Yuki bisa memberikan apa yang perempuan lain tidak bisa, membuat Omar menanggalkan semua rencananya. Menambahkan Yuki ke dalam daftar rencana masa depan dirinya telah dilakukan oleh Omar.
Tanpa Yuki tahu, kartu yang Omar berikan padanya merupakan seluruh gaji milik Omar dari Barack Group. Entah apa yang Omar pikirkan, dia hanya mau Yuki sadar bahwa Omar tidak butuh Yuki sibuk bekerja. Dia hanya ingin Yuki melayaninya dengan baik sebagai seorang istri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top