🛳️ | Bagian 36

🛳️ Bagian 36 🛳️

Awal mula Dayana menggeluti dunia perbengkelan karena setibanya di Surabaya, ia kebingungan mau bekerja di mana. Jiwa Dayana yang bebas membuat ia cepat bosan dan stres jika terus melakukan hal yang sama atau rutinitas.

Maka, ia memutuskan untuk membuka bengkel DMD. Bermodalkan pengetahuan dan pemahaman yang ia dapatkan selama perkuliahan, Dayana membuka bengkel dengan tidak terlalu berharap, jiwanya yang santai sama sekali tidak membayangkan bahwa bengkel ini akan menjadi sebesar sekarang dalam kurung waktu yang cukup cepat menurutnya.

Bisa dibilang, bengkel ini Dayana dirikan sendirian, mencari pekerja, membeli peralatan, dan menyewa tempat. Iya, tempat atau ruko yang ia pakai bukanlah miliknya melainkan punya salah satu kakak dari Koko kekanakannya di Surabaya Barat.

Ada rasa bangga terhadap diri sendiri. Salah satu cita-citanya sejak dulu adalah menciptakan lapangan kerja baru, dan yah, setidaknya ia mampu mempekerjakan belasan orang.

“Mbak. Ini jadikan kita ke tempat tinggalnya Lanang?” tanya Bagas yang baru saja mencuci tangannya.

Dayana mengangguk. “Iya. Ini lagi siap-siap. Jangan lupa kasih tau Baba dan Mahmud untuk siap-siap.”

Dayana pun bersiap-siap di dalam ruangannya, merapikan rambut, memakai bedak sedikit dan pelembab bibir agar wajahnya yang masih sedikit pucat tercover.

🌼🌼🌼

Akhirnya mereka sampai di sebuah gang di Keputihan, Dayana dan kedua bujang sampai di rumah Lanang. Beberapa kali mereka memanggil nama pria itu, akhirnya setelah sepuluh menit kemudian pintu kosnya terbuka dan menampilkan pria bermata panda yang rambutnya acak-acakan.

“Kamu kenapa, Lanang? Sakit?” tanya Dayana yang langsung bergerak satu langkah ke depannya. Tangannya tanpa bisa dicegah, terulur untuk memegang kening Lanang.

Spontan Lanang menjauhkan diri darinya. “Nggak, Mbak.” Pria itu membuang wajah ke sembarang arah dan tampak tidak bersahabat.

Dayana mengangguk kecil. “Terus kenapa kamu nggak kerja?”

“Saya mau berhenti mbak.”

Dayana melebarkan mata. Tidak jauh berbeda, kedua bujang pun saling bertukar pandang, dan memberikan kode dengan tatapan mereka.

“Huh? Ada apa? Kamu kenapa mau keluar?” Dayana tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

Luar biasa, Dayana mana sempat berpikir jika salah satu pegawainya yang setia akan mengundurkan diri. Apa ada yang salah dengan cara kerja wanita itu, sehingga Lanang hendak berhenti? Atau ada hal lainnya?

“Saya mau jujur juga, Mbak.” Lanang mengangkat wajah, melirik ke arah Bagas dan Mahmud dan memberikan sinyal untuk mereka pergi. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan secara empat mata saja dengan Dayana.

Dayana yang tanggap pun menyuruh mereka untuk pergi sebentar. Wajah wanita itu kusut, penuh dengan tanda tanya.

“Kamu, mau jujur apa? Apa ada yang salah sama cara kerja saya selama ini? Kalau ada–”

“Enggak, Mbak. Bukan itu.” Lanang segera memotong ucapan Dayana.

“Lalu apa? Kenapa?” Dayana menyibak rambutnya yang ia gerai ke belakang. Kakinya sudah bergerak sejak tadi karena penasaran dengan apa yang akan diucapkan Lanang, juga gugup karena ini jarang, bahan belum pernah terjadi sebelumnya.

Mata Lanang kini berpusat pada Dayana, walaupun pasangannya sedikit goyah, ia tetap mantap untuk berkata. “Saya ...” Ia berdehem sebentar.“ Saya suka sama Mbak. Saya punya perasaan lebih ke mbak.”

“Huh? Gimana, Lan?” Dayana membekap mulut dan menggeleng kepala.

“Saya cinta sama Mbak. Tapi, Mbak sudah memilih Mas Hamza. Mas Hamza juga terlihat lebih tampan dan kaya raya dari saya. Saya mundur, Mbak. Tapi kalau ada apa-apa kasih tau saya, aja. Nanti saya hajar mas hamza.” Lanang menekan gigi hingga rahangnya mengeras.

Dayana memundurkan setengah langkah kakinya, dan membuang napas panjang. Menyugar helaian rambut di wajahnya, ia berusaha tetap tenang dan berpikir jernih.

“Hm ... terus apa hubungannya sama kamu keluar dari bengkel?”

Lanang tidak langsung menjawab. Ia berjalan mendekati Dayana, dan menarik tangan wanita itu. Refleks, Dayana menarik tangannya menjauh dari Lanang.

“Karena, Mbak mau nikah kayaknya sama mas Hamza.”

“Hey? Ini sebenarnya pilihan kamu, Lan. Buat lanjut kerja atau berhenti. Tapi karena alasan yang kamu sebutkan barusan itu nggak kuat sama sekali. Kamu butuh uang kan? Hidup keras Lan, Jan mikirin hati aja, perut lebih penting, tidur lebih penting.

“Satu lagi, meskipun Hamza jelek, atau pegawai biasa, saya tetap mencintai dia. Karena saya tahu, dia pria dewasa, pemikiran matang, dan bertanggung jawab, menghargai hal-hal yang berkaitan dengan saya walaupun mungkin aja dia nggak suka.”

Sakura menarik napas dalam-dalam setelah berujar panjang lebar. Kali ini ia benar-benar membuka mata pria muda di depannya. Hidup Lanang masih panjang, ada banyak wanita yang lebih dari Dayana, dan yang bisa menyamainya.

“Kamu hanya termakan emosi sesaat. Dan saya harap kamu nggak ambil tindakan gegabah seperti ini lagi dalam hidupn kamu. Jika kamu resign, terus mau dapat uang dari mana? Jangan naif, kamu nggak mau kan mati konyol karena kelaparan?”

Setelah berkata demikian, Dayana pergi dari hadapan Lanang yang tertunduk lesuh. Entah apa yang ia renungan, semoga ia tersadarkan bahwa semua tidak baik-baik saja jika ia tetap kukuh untuk keluar dari kerjaannya.

Dayana melewati Bagas dan Mahmud begitu saja ketika ia keluar dari pagar kos-kosan Lanang dengan langkah terburu-buru. Mereka yang bingung dengan apa yang telah terjadi, tetap diam dan mengikuti sang wanita yang masuk ke dalam mobil.

“Mbak, ad–”

“Sssst! Diam!” Bagas menimpuk kepala Mahmud dengan topi di tangannya. Dengan delikan matanya, ia berusaha menjelaskan bahwa ini bukan saatnya untuk banyak bicara.

Selama perjalanan itu, penghuni mobil itu diam, tidak ada yang berani berbicara, bahkan ketika Dayana dengan kasar menekan klakson mobil hingga membuat beberapa orang di sekitar mereka memekik kaget.

💸💸💸

Dayana telah berbaring sejak tadi, ingatannya selalu membawa ia pada kejadian tadi sore. Bagaimana bisa Lanang, pria ingusan mencintainya? Ya, bisa saja, tidak ada yang mustahil, hanya, dengan begini hubungan mereka akan sangat canggung.

Bagaimana ia berlagak biasa saja setelah menolak pria itu? Juga kata-katanya yang mungkin saja menyakitkan hati Lanang, membuat egonya terluka? Jangan kan itu, dengan ia bersikap biasa saja, kemungkinan besar Lanang akan sakit hati.

Ini pilihan yang berat. Dayana tidak tahu harus bagaimana lagi. Apa, lebih baik ia menceritakan ini kepada Hamza? Mungkin pria itu memiliki jalan keluar. Ah, akan tetapi bagaimana jika Hamza marah?

Dayana mengacak-acak rambutnya dengan kasar. Ia frustrasi sendirian. Selang beberapa detik, ponselnya berdering, dengan malas, Dayana menarik ponsel dan menemukan sebuah pesan singkat dari sang kekasih yang telah menunggu di bawah rumah.

Ah, sungguh luar biasa. Dayana bergegas turun ke bawah.

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top