🛳️ | Bagian 30 [ Spesial Hamza ]

🛳️ Bagian 30 🛳️

Demi Tuhan. Hamza sangat berantakan! Kantung mata yang menghitam dan mengendur, kumis dan jenggot yang mulai bertumbuh lebat, juga wajah yang kusam, rambut hitam yang semakin panjang. Benar-benar Hamza tidak memedulikan penampilannya.

Tidak jarang para bawahannya heran dan hendak bertanya seperti biasa, namun tingkah ramah yang sering Hamza tunjukkan pun ikut menyusut hingga lenyap entah kemana. Dibandingkan lebih emosional, Hamza tampak mirip mayat hidup.

Lalu, ketika mendengar kabar bahwa Dayana sadar dari koma, Hamza langsung berdiri dari bangku kerjanya, berjalan keluar dari ruang kerja, Hamza mengabaikan tatapan para bawahannya yang memperhatikannya dengan dahi mengernyit heran dan juga bingung—mungkin untuk sekian Minggu yang ia lewati dengan wajah datar dan juga aura suram telah berganti dengan senyum manis hingga lesung pipinya terlihat jelas?

Hamza senang bukan main! Rasa senang itu ia keluarkan dalam bentuk air mata kebahagiaan. Membuka pintu mobil yang terparkir, Hamza langsung menyalakan mobil dan bergegas ke rumah sakit universitas di Surabaya, di mana Dayana telah dirawat satu bulan lebih.

Jarak yang yang ditempuh untuk sampai di rumah sakit tersebut terasa sangat lama bagi Hamza, ditambah jalan yang macet dan juga cuaca yang panas—padahal Hamza menyalakan AC—bertambah kegelisahan di hatinya.

Terbesit dalam pikiran, apakah Dayana mau melihatnya? Apakah wanita itu ... Ah! Siapa yang baik-baik saja setelah melihat pasangannya bersama wanita lain di mall?

Ragu. Semakin mendekati RS, Hamza menjadi takut untuk bertemu dengan Dayana. Apa mungkin, ia menunggu di luar atau melihat saja dari kejauhan? Atau ... Mendengar kabar dari anak-anak bengkel?

Akhirnya Hamza sampai juga di parkiran rumah sakit. Memarkirkan mobilnya, Hamza berjalan dengan ragu ke dalam sana. Tepat di depan pintu masuk, ia berpapasan dengan Lanang.

Dari semua anak-anak bengkel, entah mengapa Hamza bisa merasakan aura permusuhan dari Lanang. Cowok mudah itu terlihat tidak suka dengan Hamza. Awalnya ia masih beranggapan bahwa Lanang mungkin saja memiliki karakter seperti itu, namun melihat ia bertingkah semakin aneh, bisa disimpulkan bahwa Lanang sepertinya menaruh hati pada Dayana.

Dayana memang memiliki karakter yang memungkau banyak orang, salah satunya Hamza bukan?

“Dayana udah sadar, Lan?” Setelah menyapa dengan menepuk pundak Lanang, Hamza pun bertanya.

“Kenapa tanya? Anda yang buat Mbak Dayana sekarat kayak gini harusnya nggak usah datang!” ujar Lanang sengit, pandangan tajam cowok itu layangkan pada Hamza, terpancar kebencian di sana. Lalu disusul dengan dengkusan kasar, membuang wajah ke sembarang arah.

Bungkam. Hamza tidak bisa membantah ucapan Lanang yang memang benar adanya. Kenapa Hamza masih ada kepercayaan diri untuk menatap Dayana setelah semua ini?

Sebelumnya, Hamza memang menjelaskan semua kejadian yang terjadi pada anak-anak bengkel. Ia tidak punya hak untuk menutup hal itu bukan dari orang-orang yang juga menyayangi Dayana? Biarlah tatapan kebencian, ketidaksukaan dan semacamnya ia dapatkan dari mereka semua. Hamza pantas untuk itu.

“Anda kalau mau lihat mbak Dayana, tolong dari jauh, atau nggak usah. Kita sama-sama tahu mbak Dayana baru sadar dari koma, dan nggak mau terjadi sesuatu yang buruk sama dia,” jelas Lanang, menekankan setiap untaian kata-kata agar Hamza mengerti maksudnya. Sesudah itu, Lanang pergi dari hadapan Hamza.

Menarik napas panjang. Hamza Ingin mengupat, memaki diri sendiri, dan juga keadaan yang begitu menyedihkan. Berjalan gontai memasuki bagian dalam RS. Hamza melakukan apa yang dikatakan Lanang, menatap Dayana dari kejauhan, seraya berharap ia bisa memeluk tubuh mungil wanita itu, mengucapkan ribuan kata maaf dan penuh penyesalan, juga berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya!

Setelah berjam-jam berlalu, Hamza memilih untuk pergi. Ternyata begitu sakit, awalnya ia pikir semua akan baik-baik, ia mampu melihat Dayana tanpa menyentuhnya, akan tetapi semua diluar dugaan, begitu sulit dan teramat sakit.

Dengan udara segar di luar ruangan ini, Hamza bisa lebih tenang.

Harusnya Hamza senang! Iya, tentu ia berbahagia dengan keadaan Dayana yang membaik. Yang membuat Hamza sedih, seperti tulang yang kering karena ia tidak di samping Dayana.

Hamza punya ego, menginginkan dirinya sebagai orang pertama yang melihat Dayana sadar, membantu wanita itu untuk melakukan apapun, membuat Dayana begitu bergantung padanya. Dan egonya tersakiti kali ini.

“Apa yang kamu pikirkan, Hamza. Bodoh!” maki Hamza pada dirinya.

🛳️🛳️🛳️

“Mas Hamza?” panggil seseorang dari belakang Hamza. Detik berikutnya ia menoleh ke sumber suara.

Hamza masih berada di luar rumah sakit. Berdiri tanpa arah dan terlihat tidak fokus, matanya hanya menerawang pada satu titik dan jiwa melayang pada Dayana.

“Mas Hamza nggak masuk?” Hamza menggeleng pelan, tersenyum kecil sebagai jawaban atas pertanyaan Bagas.

Bagas menyodorkan sebatang rokok bersama pemetiknya. “Mau mas? Sesekali nggak bakal bikin paru-paru langsung bolong.”

“Tapi sesekali itu bisa jadi keseringan,” balas Hamza, menggeleng pelan, namun tangannya tetap menerima penerimaan Bagas.

Hamza bukanlah pria yang tidak suka merokok. Tentu rokok pernah menjadi bagian hidupnya dan susah payah pria itu untuk berhenti merokok. Tetapi kali ini biarkan ia merokok sekali saja, membiarkan dadanya penuh dengan asap dan nikotin.

“Mas? Mbak Dayana emang nggak bilang langsung kalau lagi nyari mas, tapi tingkahnya bilang, matanya terus melirik ke pintu ruangan.”

“Ngomong yang jelas, Bagas,” tegur Hamza. Di saat seperti ini, ia tidak mau berekspektasi tinggi.

Menghembuskan napas bersama gumpalan asap rokok yang perlahan menghilang bersama udara, Bagas berseru. “Mungkin aja, Mbak Dayana lagi cari, Mas.”

“Setelah apa yang saya perbuat?” Hamza mendengkus pelan, mengejek dirinya dengan tawa kecil di akhir kalimat.

“Yah, Mas, mas. Belum juga dicoba. Jangan cepat-cepat ngambil keputusan, toh. Mas kan belum tau gimana reaksi mbak Dayana. Ntar kalau udah tahu, baru terserah mas e, mau ngambil keputusan kayak gimana,” saran Bagas.

Tercenung memikirkan perkataan Bagas. Ah, sepertinya Dayana beruntung sekali memiliki pegawai yang begitu peduli padanya dan juga ada yang bijaksana pikiran seperti Bagas.

“Udahlah, Mas. Urusan gimana-gimana itu serahkan sana yang di atas. Intinya dicoba dulu. Wes, aku balik ke dalam dulu mas. Jangan kelamaan mikir, kesempatan cuma datang sekali di waktu yang baik, tinggal tunggu mas gerak aja!" Hamza merasakan tepukan pelan di punggungnya.

Sendirian. Hamza kembali sendiri di sini bersama setangkai rokok yang sudah habis setengah. Melemparkan rokok itu di atas aspal, Hamza menginjaknya hingga hancur.

Hari ini, dua orang sedang memberikan masukan berbeda pada Hamza. Dan kembali pada keputusan pria itu, baik yang baik, baik yang buruk sama sekali tidak ada yang mengubah keadaan dan fakta yang telah terjadi. Sejujurnya, jawaban akan tetap sama saja jika Hamza melakukannya atau tidak, namun karena ia ingin memenuhi rasa keingintahuannya, Hamza masuk ke dalam!

Semua, biarlah terjadi seperti apa yang akan terjadi!

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top