🛳️ | Bagian 19

🛳️ Bagian 19 🛳️

“Mbak ada oli nggak, yang ini habis?” seru Iqbal seraya mengangkat botol oli, tangannya yang ditutupi pelindung berwarna merah tinggi-tinggi terlihat kotor dan pastinya berminyak.

Dayana yang tengah memperhatikan Iqbal dari samping anak magang itu sedang melakukan tune up—Tune up sendiri adalah suatu pekerjaan yang dilakukan untuk mengembalikan performa mesin kendaraan anda seperti halnya pada anda pertama membelinya—yaitu mengganti oli, penyetelan klep, membersihkan busi pada kendaraan, menyetel kembali platina, dan membersihkan mesin mesin yang kotor.

“Ada. Mbak ambil dulu," seru Dayana.

Tentu saja Iqbal tidak sendirian melakukan itu semua, Ada Kiki juga yang fokus membersihkan busi mobil.

Dayana melirik ke dalam kantor denga seutas senyum kecil. Seminggu yang lalu, Dayana mendengar kata-kata manis dari Hamza di sana—walaupun ia tolak dan memilih untuk pacaran—dan selama itu pula ia memiliki hubungan spesial dengan pria itu.

Wanita yang memakai celana sobek-sobekmya itu pun berjalan ke dalam kantor sambil membawa barang yang tadi Iqbal tanyakan. Iya, kantor wanita ini juga merupakan tempat penyimpanan beberapa peralatan selain tentu saja ada gudang di samping kantor bengkel DMD ini.

Membuka pintu ruangannya yang terbuat dari kayu jati, Dayana berjalan ke deretan botol oli untuk mobil. Di samping ruangannya itu terdapat timbunan ban dalam dan ban luar mobil.

Usai mengambil salah satu botol oli, tiba-tiba saja Dayana menjatuhkan benda itu karena seruan Bagas dari depan pintu ruangannya dengan nyaring.

“Mbaaakk! Mas Hamza datang bawain makanan, mbak!”

Demi apa? Hampir seminggu ini Hamza terus membeli makanan untuk anak-anak bengkel yang jumlahnya hampir 20 orang ini. Dayana langsung memegang erat botol ke dalam dadanya, wanita itu berjalan keluar dengan cepat.

Benar saja. Hamza tengah membagikan makanan pada setiap anak-anak bengkel. Dayana tahu anak-anak bengkel sangat senang karena tindakan Hamza. Semua itu tampak jelas dari mimik wajah, ukuran senyum, dan juga mata yang ikut berbicara.

Suara sahutan anak-anak bengkel mengucapkan terima kasih dan juga memuji kebaikan Hamza tidak bisa Dayana tutupi bahwa ia ikut senang mendengarnya. Dulu, mantannya yang mata selangkangan itu tidak pernah melakukan ini, jangankan mau membeli makanan, menegur dan bersapa saja sama anak-anak bengkel ia enggan.

Melangkah mendekatinya. Dayana memanggil Hamza. “Mas ngapain beli terus? Uangnya habis ntar.”

Hamza membalikkan tubuhnya, tersenyum tiga jari hingga lesung pipinya terlihat jelas. “Nggak kok, kebetulan ada kelebihan, makanya mas beli. Nggak seberapa, kok.”

“Duh, mas Hamza baik banget, mbak. Udah nikah aja, mbak sama mas Hamza. Biar kita makan terus!” celetuk Mamud yang kini mulutnya telah penuh dengan nasi dan lauk.

Memutarkan mata, Dayana memang awalnya salah tingkah tingkah mendengar awal kalimat Mahmud, namun detik berikutnya ia mendengkus panjang. Selalu ada udang dibalik bakwan! “Memangnya selama ini mbak nggak kasih kalian makan?”

Jangan salah sangka, Dayana bukan tipikal boss yang pelit. Ia percaya uang adalah energi, maka uang yang ia berikan kepada orang-orang yang membutuhkan pasti akan berbalik padanya—Padahal Dayana juga tidak terlalu memikirkan balasannya karena ia tulus berbagi—maka dari itu, Dayana mengeluarkan sedikit uang sakunya untuk menambah lauk dan porsi nasi pada Catering makan siang anak-anak juga cemilan Sore.

“Kan biar dua kali makannya, mbak. Biar sekalian bersemangat, hihihi.” Kali ini Bagas yang menimpali dan langsung mendapatkan sorakan setuju dari anak-anak bengkel lainnya.

“Itu perut apa loyang?” ujar Dayana sarkas. Namun seperti biasa, tidak ada yang terlalu menanggapi ucapan Dayana yang satu ini. Hidup terlalu keras untuk terbawa perasaan hanya karena ucapan seperti ini.

Dayana menoleh kembali pada Hamza. Semua orang sedang makan, tapu Dayana belum. Ia juga lapar akan tetapi Hamza lebih perhatian pada karyawannya darapda ia sebagai kekasih!

“Udah makan belum, Mas?” tanya Dayana. Kadang ia harus memulai percakapan seperti ini. Tidak apa Dayana, kan sudah pacaran jadi wajar-wajar saja bertanya, batin wanita itu.

“Belum. Yuk makan di luar. Mas pengen makan ayam geprek. Kamu mau makan apa?” Hamza balik bertanya. Ia mengeluarkan kunci mobil dari saku celana.

Dayana mengangguk kecil. “Samain aja, Mas. Yuk makan. Bentar lagi balik kerja kan? Jangan sering keluar, ntar dimarahi, loh.”

“Iya,” jawab Hamza pelan. Menggenggam tangan Dayana.

“Duh, dunia berasa milik sendiri, yang lain nge-kos,” celetuk Bagas, tersenyum lebar, mengedipkan mata kirinya.

Dayana tahu, beberapa detik berikutnya ia akan mendapatkan sorakan dari anak-anak bengkel. Maka sebelum ia bertambah malu, dengan cepat ia menarik tangan Hamza untuk berjalan ke arah mobil pria itu, masuk ke dalamnya dan menghembuskan napas kasar.

Tidak ada yang berkomentar. Hamza diam, Dayana pun sama, masih menetralkan jantungnya. Melirik ke samping, di mana Hamza berkendara dengan sangat baik.

“Mau makan di mana mas?” tanya Dayana.

“Ayam geprek di Wonokromo.” Hamza melirik sekilas, dan fokus menyetir.

Dayana kurang tahu nama warungnya itu apa, yang jelas jika Hamza suka berarti pilihan pria itu tidak akan mengecewakan. Untung saja selera makanan mereka tidak terlalu beda jauh, jadi bisalah Dayana makan apa yang kekasihnya itu suka—begutu pula sebaliknya Hamza kepada Dayana.

Membuang wajah ke luar jendela. Seperti biasa jalan selalu ramai dengan kendaraan beroda dua dan empat. Terik matahari pun selalu terik, dan ketika berhenti di lampu merah, selalu saja ada anak-anak atau remaja yang menjual tisu dan koran.

Harus banyak-banyak bersyukur Dayana. Tidak semua orang bisa berteduh di dalam mobil, menikmati AC yang melindungi dari sinar matahari—pelindung orang pinggiran hanyalah O3 dan beberapa pohon yang berada di pinggiran jalan.

“Mas?” Dayana tidak menoleh ke Hamza, ia tetap fokus keluar, merenung.

“Iya?”

“Aku dari dulu pengen banget bagi-bagi makanan ke orang-orang, cuma malu.” Dayana kali ini menolehkan kepalanya pada Hamza. Saat itu Hamza juga menatapnya.

“Boleh. Hari Jumat ini mau? Nanti suruh anak-anak bengkel yang bagi aja kalau kamu nggak mau.”

“Bukan nggak mau, Mas,” hardik Dayana.

“Malu?”

“Malu, iya. Dalam artian bukan aku malu untuk jalan di samping mereka. Aku malu dilihatin orang karena takut dikira caper. Kamu tahu kan sekarang apa-apa pasti divideokan. Orang yang niatnya tulus, yah walaupun aku tahu yah direkam juga tulis harusnya, tapi kan aku nggak suka jadi sorotan,” jelas Dayana sembari mengikat ulang rambutnya ketika mereka hendak sampai di Wonokromo.

Sedangkan Hamza mengangguk kepalanya, paham maksud Dayana.

Akhirnya mereka masuk ke dalam rumah makan tersebut. Tempat makan ini sama seperti rumah makan biasanya, hanya mereka berada di sebuah ruko yang terdapat dua lantai, di mana lantai satu kursi-kursinya diatur biasa, sedang lantai dua lesehan di atas tempat yang dibuat dari kayu.

Tidak memerlukan waktu lama akhirnya pesanan mereka sampai, yaitu dua ayam geprek juga jamur krispi dan teh dua botol.

Di saat mereka tengah makan, Dayana kepikiran sesuatu. Ia ingin segera dipertemukan dengan Maya. “Mas? Kapan dia ada waktu?”

Meneguk teh esnya hingga setengah botol, Hamza terlihat kepedesan dan sedikit berkeringat. Sial, mana bukannya terlihat jorok atau jelek,  Hamza malah terlihat semakin hot. Memang, yah, orang tampan berbeda kalau keringatan.

Menarik tissu di agas meja, Dayana memberikan benda itu kepada Hamza. Jangan membayangkan Wanita itu akan menghapus keringat Hamza, karena demi apapun, Dayana tidak mau detik berikutnya ia mengidik jijik sendiri karena bertingkah seperti itu. Mungkin sekarang belum, tapi nanti siapa yang tahu?

“Makasih.” Hamza menghapus keringatnya.

Kembali pada topik pembicaraan yang Dayana angkat tadi, Hamza berdehem, menjernihkan suara yang serak karena makan makanan pedas.

“Besok? Mau?” tanya Hamza.

Dayana mengangguk kaku. “Kalau aku, sih, mau mas. Maya mau nggak? Takut ntar aku ditampol pakai sol sepatu kayak dulu.”

“Mas usahakan, yah?”

“Makasih, Mas.”

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top