🛳️ | Bagian 17
🛳️ Bagian 17 🛳️
4 hari telah berlalu. Selama itu pula Dayana merasakan banyak hal yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. Ada hal yang berjalan di luar ekspektasi wanita itu. Yah, bertemu dengan Hamza adalah salah satunya, dan membuat kelimpungan dengan hati yang tidak menentu.
Andai saja Dayana tidak bertemu dengan Hamza. Mungkin ia hidup bahagia, tidak memusingkan apa yang harus ia lakukan setelah kembali ke Surabaya. Ia hanya perlu bertingkah seperti biasa, menikmati masa panjang sambil mencari pria yang cocok untuknya ketika ada pelanggan bengkel pria kaya raya dan tampan yang datang.
Namun seperti yang diketahui, Dayana mati kutu karena dunianya diambil ahli oleh Hamza. Dayana kesal tidak bisa berkutik lagi, ia sungguh sejatuh-jatuhnya ke dalam dekapan Hamza. Pria itu luar biasa!
Jadi, di mana letak Dayana move on? Dayana mengira bahwa ia tidak akan berhubungan selama beberapa bulan bahkan tahun karena penghianatan sialan dari s mantan bajingan itu, namun apa? Secepat ini ia melupakan sakit hati dan kembali menjatuhkan hati yang memang belum benar-benar hilang dari relung hati Dayana.
Menoleh ke samping, di mana Hamza ada di sebelahnya. Dayana dan Hamza baru saja berpisah dari gerombolan open trip.
“Kamu tinggal di mana, Dayana?” tanya Mas Hamza. Pria itu mati-matian sejak di atas pesawat untuk mengutarakan Dayana pulang.
Dayana melirik Hamza dengan ekor mata, memanyunkan bibirnya beberapa sentimeter ke depan karena en'ek sama pertanyaan itu saja.
Bukan Dayana namanya jika tidak menolak untuk memberitahukan di mana ia tinggal, namun sama keras kepalanya, Hamza terus saja mendesak untuk mengantar ia pulang.
Di saat Dayana hendak membuka mulut untuk menjawab Hamza, tiba-tiba dari arah luar bandara tiga pria dengan postur tubuh yang variatif berlari ke arah mereka —lebih tepatnya Dayana—sembari meneriakkan nama Dayana.
Antara ingin ketawa dan malu, Dayana bingung dengan kelakuan ketiga karyawannya yang kini menjadi pusat perhatian beberapa orang yang ada di sana. Karena tidak bisa menahan rasa gemas dan lucu dari tingkah mereka, Dayana pun tertawa. Spontan ia berlari-lari kecil ke arah mereka seraya membalas rentangan tangan mereka.
Sejujurnya. Dayana sangat merindukan mereka, semua pegawainya, kantor, bengkel, aroma oli bercampur bau, gemuk, dan semua yang ada di bengkel. Dayana bukanlah wanita yang sering mengambil jatah cuti, ini pun bisa dikategorikan luar biasa seorang Dayana berlibur.
“Mbak Dayana! Mbakkk! Alhamdulillah, Mbak pulang keadaan gosong,” ujar Bagas usai berpelukan layaknya perempuan yang kemayu. Malah Dayana yang terlihat seperti laki di sampingnya.
Memukul lengan Bagas, Dayana mendelik tajam. “Aku potong gajimu kalau ngomong lagi,” ancam Dayana yang berakhir dengan tawa renyahnya.
Menoleh ke samping Dayana memeluk Mahmud dan Lantang dengan senang hati. Ah, Dayana sekali lagi berkata ia merindukan mereka secara terang-terangan. Tidak lupa ia bertanya keadaan bengkel yang langsung dijawab kesal oleh Mahmud karena tidak bertanya mengenai keadaan mereka selama di bengkel. Sontak Dayana dan yang lainnya tertawa.
Mengangkat keningnya. Dayana menatap bingung karena tatapan ketiga pria di depannya yang mengerutkan kening dan memberi kode padanya agar menoleh ke belakang.
Ah! Dayana sampai lupa jika ia bersama Hamza. Menyengir kering, Dayana menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil menolehkan kepala ke arah Hamza dengan tidak enak hati telah mengabaikan dan melupakannya beberapa saat.
Dayana tidak bermaksud sama sekali untuk melupakan. Tadi Dayana bersemangat melihat ketiga bujang yang heboh, dan efek samping dari masa bodoh mantan pacarnya yang kadang cemburu melihat keakraban mereka berempat membuat Dayana lepas kendali.
“Maaf, Mas. Udah lama nggak ketemu,” ujar Dayana. Halah, baru juga 4 hari alasan aja kamu, Dayana, lanjutnya dalam hati. Ia mengigit bibirnya bersalah.
Merasakan colekan pada bahunya, Dayana kembali memperhatikan ketiga bujang sambil menelan salivanya bulat-bulat. Nah, sekarang tugasnya adalah memperkenalkan mereka dan menjelaskan posisi mereka.
Posisi? Maksudnya? Dayana tidak paham juga dengan otaknya yang tiba-tiba berpikir tentang peranan keempat pria itu dalam hidupnya.
“Kenalin, Mas. Ini karyawan udah seperti adik laki-laki saya di bengkel.” Dayana melirik mereka bergantian.
Berdehem sebentar. Dayana tidak tahu harus menjelaskan siapa Hamza kepada mereka. Karena memang ia dan Hamza belum officially dating. Yah, walaupun tingkah mereka sudah mirip seperti pengantin baru.
“Hmm, Rek. Ini mas Hamza.” Hanya itu yang bisa Dayana jelaskan sekarang.
“Salam kenal, Mas. Saya Lanang,” ujar Lanang memperkenalkan dirinya seraya mengulurkan tangan ke Hamza untuk bersalaman.
“Hamza.”
Dayana bernapas lega karena Hamza membalas jabatan tangan Lanang dengan senyum manis. Ah, kenapa Dayana segugup ini? Padahal ia tidak memperkenalkan Hamza pada kedua orangtuanya.
“Saya Baba, Mas.” Bagas tersenyum malu-malu, menundukkan kepala dan bertingkah seperti wanita perawan saja. Melihat itu Dayana jadi merinding sendiri.
“Saya Mahmud, Mas.”
“Jadi kalian yang waktu Vidio call sama Dayana di kapal sore-sore?” tanya Hamza memulai percakapan pertama di antara mereka.
Ck! Hamza pintar sekali memulai percakapan, mana yang pria itu angkat adalah hari di mana mereka bercumbu ... Shit! Dayana membuang wajah ke sembarang arah ketika kenangan itu kembali berputar di kepalanya.
“Iya. Mas tau?”
“Iya. Waktu itu saya dan Dayana habis di kamar setelah dia pi—”
“Mas? Pulang yuk? Tadi katanya penasaran rumah aku di mana?” ujar Dayana memotong ucapan Hamza.
What! Dayana melebarkan mata dengan hidung kembang kempis menahan gejolak ingin memukul lengan pria di sampingnya ini.
Hamza yang benar saja! Kata pijat ini sangat negatif dan membuat pikiran orang traveling, apalagi diucapkan oleh pria dewasa seperti Hamza yang berada di dalam kamar bersama Dayana. Dayana bisa-bisa langsung diintrogasi sama mereka bertiga, plus anak-anak bengkel lainnya.
Wah, membayangkan saja Dayana tidak sanggup! Ck! Hamza tidak pikir-pikir dulu kalau mau berbicara, atau pria itu memang sengaja berkata seperti tadi untuk memancing Dayana?
“Mbak Dayana nggak pulang bareng kita?” seru Baba, menatap Dayana bingung. Ah, salah Dayana sendiri yang tadi malam meminta mereka menjemputnya. Mana Dayana tahu Hamza dengan rasa penasaran dan segala tingkahnya meminta untuk mengantar Dayana pulang?
Menghembuskan napas panjang, satu-satunya cara yah itu. “Kita sama-sama saja. Bisa kan?”
Pada akhirnya Dayana dan Hamza naik mobil bengkel. Iya, mobil bengkel alias mobil pick up. Jangan tanya cara mereka duduk sekarang karena ketiga bujang mau tidak mau harus menahan panasnya matahari dari Sidoarjo ke Surabaya dan Hamza dengan suka rela menawarkan diri untuk mengemudi.
Dayana tidak begitu khawatir dengan ketiga bujang di luar. Bagaimana pun panas matahari sudah menjadi makanan sehari-hari mereka, dan pakaian yang mereka pakai semua melindungi tubuh mereka. Kini yang ia pikirkan adalah Hamza yang tampak kelelahan sekali.
“Mas? Berhenti dulu, deh. Di aku tiba-tiba haus,” seru Dayana menunjuk ke arah toko serba ada.
Sebernarya Dayana hanya beralasan saja. Ia tidak cukup berani dan agak aneh meminta secara langsung agar Hamza menepikan mobilnya. Pun Dayana meragukan Hamza akan mendengarkan ucapannya. Guys, ego laki-laki itu tinggi, mungkin ada beberapa laki-laki yang biasa saja saat mendengarkan wanita berbicara tentang sesuatu yang agak sensitif—misal mengenai kekuatan, atau kemampuan—akan tersinggung atau sebaliknya.
Sedangkan Dayana tidak tahu tentang Hamza. Berpisah selama ini membuat banyak hal bisa saja berubah kan? Orang selingkuh saja bisa dalam satu detik. Perasaan Manusia siapa yang bisa menebak?
“Mas ini, buat Mas.” Dayana mengulurkan tangan dan memberikan sekaleng kopi dingin.
Wanita berambut pink panjang itu baru saja masuk ke toko untuk membeli minuman untuknya, Hamza dan ketiga bujang. Ia juga punya hati nurani yang tidak tega melihat ketiga bujang kepanasan dan kehausan di luar.
“Mbak, belum jalan?” tanya Mahmud yang sudah meminum setegah susu kalengnya yang dingin. Mahmud memang tidak bisa minum kopi, selain maag, ia juga intoleransi kafein yang banyak.
Dayana mengangguk kecil, mengunyah keripik kentang sebelum berseru. “Kalian adem-ademan dulu, ntar dikit lagi jalan.”
To be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top