🛳️ | Bagian 11

🛳️ Bagian 01 🛳️

Membuang pandangannya ke hamparan laut yang sedikit berombak. Kapal yang mereka tempati ternyata telah berada di dekat sebuah pulau. Yah, memang terlihat dekat jika dari sini, padahal Dayana yakin sekali waktu yang cukup lumayan lama. Ah, sudahlah, Dayana pun tidak bisa menduga-duga sekarang.

Dayana berjalan ke depan kapal, tempat di mana semua peserta open trip berkumpul, termasuk Hamza yang sudah sampai terlebih dahulu.

Wanita itu mencari-cari keberadaan Bella. Kenapa wanita itu tidak ada? Apa belum selesai siap-siap, yah? Dayana memilih pergi ke kamar Bella saja daripada sendirian di sana. Apalagi semenjak ia dicap sebagai istri Hamza, kaum pria yang ada di sana menjadi tidak leluasa seperti sebelumnya. Yah, misal Dayana beberapa hari sering diajak berbicara, atau saling menyapa seperti teman dekat, sekarang malah sebaliknya, jangankan memanggil nama, mereka bahkan hanya mengangguk sambil tersenyum tipis.

Sial! Semua karena ucapan Hamza yang asal itu.

Dayana sampai di depan kamar Bella, mengetuk pintu kamar wanita itu beberapa kali, dan menyebutkan dirinya agar Bella segera membukakan penghalang di antara mereka itu. Tidak lama kemudian Bella membuka pintu kamarnya.

Kening Dayana mengerut kebingungan, pasalnya gadis di depannya ini tidak mengganti pakaiannya sesuai apa yang Dayana berikan. Tapi, pakaian yang sekarang Bella pakai pun tidak jadi masalah, terkesan lebih manly dengan kaus hitam oblong, juga celana pendek yang mirip seperti Dayana—karena itu memang celananya, hanya pakaian Bella yang berbeda.

“Kenapa nggak pakai yang mbak kasih?” tanya Dayana seraya meneliti dari atas sampai bawah tubuh Bella.

Bisa Dayana tangkap raut murung di wajah Bella, mata berkaca-kaca, bibirnya menekuk ke bawa dengan alis yang mengerut. “Kenapa, sih?”

“Dia ngelarang aku buat pakai baju yang tadi. Suruh aku ganti, mbak,” ungkap Bella dengan suara melemah. Bibir Dayana langsung berbetuk huruf O dengan kepala yang mengangguk-angguk mengerti.

“Ya, sudah. Ini juga oke, kok. Lagian ini karena kita mau ke bukit, jadi yah, nggak papa. Udah, ayok, kita ke depan, mau berangkat,” ajak Dayana, membawa tangan Belle ke genggaman tangannya dan berjalan ke tempat tujuan.

Di dalam perjalanan Dayana bertanya. “Kalian benar-benar cuma tetangga aja? Kok kayak pacaran?”

“Mbak juga sama Mas itu katanya cuma kenalan tapi suami istri,” seru Bella, membolak-balikkan perkataan Dayana.

Lantas mendengar itu Dayana berdecak kesal. “Kami ngg—”

“Ayok kumpul semuanya! Kita mau berangkat,” seru tour leader sambil memukul-mukul kertas yang ada di tangannya.

Ucapan Dayana terpotong karena atensi mereka kini fokus pada bagian depan kapal bersama rombongan pria yang tengah berbincang banyak hal, rame seperti biasa para pria lainnya yang entah merokok, merekam video—vlog, saling bercanda dengan umpatan khas Surabaya atau Jawa timur yang tidak absen dari kata jancok, dan cok.

Dayana melirik Hamza yang telah naik terlebih dahulu ke small boat yang akan mengantar mereka ke pulau Kelor. Pria itu sama sekali tidak memandang ke Dayana lagi sejak tadi.

Ah, seperti yang Dayana minta, mungkin pria itu tengah memberikan waktu kosong atau ruangan untuk Dayana hidup tenang. Menarik napas dalam-dalam, semoga saja pilihan Dayana tepat, tidak membawanya pada sesuatu yang tidak akan ia sesali nanti.

“Ayok, cewek-cewek masuk duluan, nanti para cowok pakai boat yang lainnya.” Kembali Mayan, tour leader berseru ke arah Dayana dan Bella secara bergantian, memberikan kode agar mereka segera turun ke boat.

Jadi, Dayana satu boat sama Hamza? Ck! Padahal ia sudah mewanti-wanti agar naik ke boat yang lain. Tidak bisa menawari lagi keputusan sang leader yang telah mengatur posisi mereka, Dayana turun duluan ke boat.

Di saat Dayana hendak berjalan mendekati tempat duduknya, tiba-tiba ombak membuat boat bergoyang cukup kasar hingga tubuh Dayana hilang keseimbangan.

“Ahhh!” Dayana memekik tertahan dengan suara pelan. Jangan sampai ia menjadi bahan tawaan lagi hari ini. Gila, ada apa dengan hari-hari wanita berambut merah mudah itu? Kenapa begitu dramatis?

Hap! Dayana menolehkan kepala ke sebelah kanan, di mana ia merasakan lengannya digenggam. Manik Dayana bertemu dengan pria yang memegangnya. Siapa lagi kalau bukan Hamza?

Sial, Dayana merasakan saluran pernapasannya. Membuang wajahnya ke sembarang arah, ia tidak berani menatap balik lebih lama wajah si pria. Bisa-bisa jantung Dayana minta pensiun dini. Amit-amit, ia masih ingin menikah, memiliki anak dan hidup bahagia.

Posisi mereka saat ini, Dayana berdiri beberapa sentimeter di depannya.

“Ehem. Silakan duduk, pasturi kita,” seru Diaz, merekam Dayana dan Hamza dengan kameranya.

Detik berikutnya terdengar seruan menggoda Dayana dan Hamza mengudara, diikuti dengan siulan panjang beberapa pria yang masih ada di atas kapal.

Dayana lantas salah tingkah dibuatnya. Segera ia duduk di tepi boat, yang ternyata tepat di samping Hamza.

“Haduh. Bakal jadi obat nyamuk kita, nih,” celetuk Moses yang diakhiri dengan dehem-an, lalu melirik bergantian Dayana dan Hamza.

Demi Tuhan! Dayana sangat malu sekarang. Ada apa juga dengan orang-orang ini, terus menggodanya. Ingin berseru, menjelaskan bahwa hubungan di antara mereka tidak lebih dari orang yang telah lama tidak berjumpa dan tanpa sengaja bertemu. Namun ia juga kasihan, malu yang mereka—terutama Hamza—dapatkan pasti berlipat-lipat ganda.

Ya sudah, ini juga hanya beberapa hari saja, setelah itu mereka akan hidup normal seperti biasa. Dayana berusaha untuk biasa saja, menekankan pada alam bawah sadarnya kalau tidak akan ada kejadian aneh terjadi setelah ini.

Tidak terasa, sekitar enam orang telah mengisi small boat. Ada Dayana, Hamza, Bella, Keenan, Diaz, Moses, satu orang yang membawa atau menjalankan mesin motor laut ke pulau Kelor.

“Udah siap, guys? Jalan, yah?” seru Moses bertanya, yang langsung dijawab dengan anggukan kecil dari semua peserta.

Dayana menahan ujung kayu dengan erat. Semua orang duduk di tepi boat, karena boat ini tidak memiliki bangku, hanya lantai dari kayu. Sebenarnya Dayana bisa saja duduk di bawah, hanya ia ingin merasakan sensasi angin yang lebih terasa jika duduk di tepi boat, lagi pula baju dan celananya bisa kotor. Tidak, Tujuan Dayana hari ini tidak mau terlihat jelek, apalagi ada Hamza.

Eh ... Kok malah memikirkan hal itu? Dayana menggeleng kepalanya membayangkan wajah Hamza.

Pegangan tangan Dayana mencengkram erat tepian boat bersama dengan hantaman ombak laut yang menyapa, untaian rambut panjang yang telah ia ikat rapi pun ikut bergerak-gerak mengikuti angin.

Di hadapan Dayana terdapat Bella dan Keenan yang sama persis seperti kanebo kering, kaku. Sebelas dua belas dengannya dan Hamza. Tapi jika dilihat lama, Bella dan Keenan ini terlihat sangat serasi, yang satu nerd, satu lagi cool. Hmm, ciri khas novel remaja sekali.

Mengalihkan atensinya ke samping, Dayana merasakan sensasi hangat nun aneh pada pinggangnya yang tiba-tiba disentuh seseorang.

“Hati-hati, kamu bisa jatuh,” ujar Hamza, sekilas melirik Dayan. Wanita itu mengangguk pelan, tidak bisa ia pungkiri bahwa ada letupan-letupan bagaikan overheatingasap mobil yang keluar dari bagasi karena suhu yang mencapai 100 derajat Celsius—di hatinya atas perlakuan Hamza.

Usai itu, tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Lebih tepatnya memang tidak ada yang harus dibicarakan, Dayana juga mau fokus liburan.

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top