9. Birthday Gifts
---
--
-
-
---
---
"Tau nggak, Cu. Dulu Nenek baper sama satu cowok. Kita udah kenal tiga tahun, terus nenek nembak cowok itu duluan tapi ternyata dia udah punya pacar."
Kiranya seperti itu kisah yang akan Neta ceritakan kepada anak cucunya di masa depan saat mereka sedang santai. Kejadian ini akan menjadi bahan lelucon pada hari tuanya. Namun, saat live-nya jangankan ditanya. Boro tertawa, tersenyum saja ia paksa.
Siang malam jadi Intel dadakan guna memantau akun media sosial milik Suta dengan akun fiktif rupanya sia-sia. Padahal itu cara paling efektif yang Neta tahu. Zaman sekarang ini mana ada perempuan legowo saat tidak ada foto mereka berdua di akun media sosial pacarnya? Kecuali kalau pacar Suta punya kesabaran seluas samudra pasifik.
Demi berat badannya yang turun satu kilo tapi naik dua kilo kemudian, Neta bersumpah tidak akan menyatakan perasaannya kepada lelaki yang punya pacar. Sebesar apa pun perasaannya, kewarasannya masih dalam batas normal untuk tidak menjadi perusak hubungan orang apa lagi selingkuhan. Rasa cinta pada dirinya sendiri jauh lebih besar daripada harus jadi orang ketiga. Paling banter Neta hanya berharap mereka cepat putus.
"Seandainya ... seandainya aja lo nggak punya pacar. Apa lo bakal nerima perasaan gue?"
Kembali ke malam ulang tahunnya yang malang, Neta mengajukan pertanyaan konyol. Walau sudah ditampar kenyataan, dia ingin mendapat sedikit harapan untuk menghibur hatinya yang sedang menangis.
"Maaf, Net."
Mendengar itu Neta tersenyum miris. Hatinya mulai bertanya-tanya bagian mana yang salah. Oh, rupanya dari awal dia sendiri yang salah mengartikan kebaikan Suta. Aneh sekali. Padahal selama ini dia tidak mudah terbawa perasaan dengan orang lain.
"Nggak usah bilang maaf terus. Ini bukan lebaran kali," larang Neta setelah jeda cukup panjang. Tangannya dikibaskan dengan ringan. Suara dan ekspresinya berubah riang dalam waktu sepersekian detik. Pekerjaan membuat Neta sudah terbiasa mengatur ekpresi. Jadi tersenyum saat hatinya terluka bukan masalah besar.
Kecuali matanya tidak memerah, Suta pasti akan percaya jika Neta baik-baik saja. Mata Neta menunjukan semua perasaannya. Ada kecewa dan sedih yang membuat Suta termenung. Seharusnya setelah tiup lilin mereka makan kue dan berbincang, bukan seperti ini.
"Pulang, gih, udah malem. Taruh kuenya di kulkas. Potongnya besok aja, ya. Gue capek soalnya."
Ini kesempatan Suta untuk mengakhiri situasi canggung di antara mereka. Namun, ia tidak tega meninggalkan Neta dalam kondisi seperti ini di hari ulang tahunnya. "Kenapa lo suka sama gue?"
"SIALAN SUTA! MAU LO APA, SIH?!"
Akhirnya Neta meledak. Usaha mati-matian menahan air matanya gagal total. Tubuhnya ambruk di lantai. Tidak butuh waktu lama tangisannya memenuhi studio.
Suta berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan Neta usai merutuki pertanyaan bodohnya. Kue yang sejak tadi dipegangnya diletakan begitu saja di lantai. Ketika tangis Neta mulai mereda, tangannya menangkup wajah Neta, setengah memaksa agar mau menatapnya.
"Jangan suka sama gue, Net," ujar Suta dengan lembut. Ibu jarinya mengusap wajah Neta yang basah karena air mata. "Lo cantik, baik, sempurna. Lo bisa dapet yang lebih baik dari gue, Net."
"Gue pikir cuma makanan yang bisa basi, ternyata omongan lo juga," cibir Neta mata yang masih basah yang sama. Nada riangnya sudah mengungsi karena ucapan Suta sebelumnya seperti banjir bandang yang meluluhlantakkan perasaannya.
"Tapi itu kenyataan. Hidup gue ribet-"
"Ini masih ulang tahun gue," sela Neta tiba-tiba, menolak untuk mendengar basa-basi lain. "Seenggaknya lo bisa kabulin satu permintaan gue, kan?"
Menghela napas pendek, Suta bertanya, "Apa?"
"Kiss me."
Neta gila! Yah, tanpa diberi tahu pun dia sadar. Neta bahkan mengutuk mulutnya dalam hati hanya dalam waktu dua detik setelah dua kata itu terucap. Entah keberanian atau kegilaan macam apa yang mendasarinya.
Di tempatnya Suta terlalu syok untuk merespon. Matanya memindai seluruh wajah Neta, berusaha mencari tahu jika perempuan di depannya ini sedang melawak. Namun, meski hidung dan matanya memerah, Suta tahu jika ekspresi Neta cukup serius. Mengetahui hal itu, ia pun menarik kedua tangannya dari wajah Neta.
Sudah terlanjur. Neta menarik kerah kemeja Suta hingga hidung mereka hampir menempel. "Anggap aja itu kado buat gue," lirih Neta dengan tatapan putus asa.
Suta menggeleng dengan hati-hati, takut jika gerakannya menyebabkan masalah. "Jangan gini, Net. Gue bisa kasih kado apa pun selain ini dan jadi pacar lo." Suta menyentuh kedua tangan Neta, berusaha melepaskan cengkeraman Neta dari kerah bajunya.
"Tapi cuma dua hal itu yang gue mau dari lo," ucapnya dengan lemah. Setelah melewati malam ini, Neta yakin akan mencari cara untuk migrasi ke pulau terpencil.
"Gue brengsek kalau nurutin kemauan lo." Neta mungkin tidak tahu jika tanpa diminta pun Suta ingin melakukannya sejak lama. Namun dengan dalih permintaan, sama saja dia memanfaatkan situasi. Ini terasa tidak benar "Lepas, Net-"
Suta seketika terdiam. Aroma samar yang sejak tadi terhirup indra penciumannya semakin jelas. Kenyakinannya semakin kuat, ini bau alkohol. Raut wajah Suta berubah menggelap, begitu pula tatapannya yang sejak tadi lembut kini menatap Neta dengan tajam.
"Lo mabuk?" tebaknya penuh keyakinan.
Neta tertawa kecil. Ia melepaskan cengkeramannya di kemeja Suta sambil menggeleng beberapa kali. "Nggak, kok. Gue cuma minum sedikit," jelasnya sembari menyatukan ibu jari dan jari telunjuk, membuat gestur sedikit seperti ucapannya.
Suta bediri lalu mengacak tambut. Emosi dengan cepat memenuhi dadanya. Ada dua orang yang Suta tahu tidak akan mengaku saat ditanya. Pertama penjahat dan yang kedua itu orang mabuk. Yang paling menyebalkan adalah yang kedua.
"SERIUS ANETA! LO MABUK DAN LO NYETIR DARI DARI PUNCAK KE SINI. LO CARI MATI APA GIMANA?!"
Sungguh, Suta sudah berusaha sabar tapi tetap saja lepas kontrol. Sebuah keajaiban Neta bisa tiba dengan selamat. Membayangkan kalau sesuatu mungkin terjadi kepada Neta selama perjalanan membuatnya kalut.
"TERUS PEDULI LO APA?!"
Neta balas berteriak. Entah dapat kekuatan darimana. Ia bangkit dengan perasaan kesal luar biasa. Matanya membalas tatapan Suta dengan nyalang. Posisi mereka terbalik. Yang ditolak dirinya, tapi yang marah-marah siapa.
"LO NGAREPIN GUE MATI?!"
"NGGAK GITU-"
"TERUS APA?!"
"BERHENTI NYELA UCAPAN GUE ANETA!"
"DAN BERHENTI PANGGIL NAMA GUE KAYAK GITU!"
Dada Neta naik turun dengan cepat, begitu pula dengan Suta. Gemuruh emosi mereka saling bersahutan. Ini mungkin peryataan cinta pertama dan teraneh dihidupnya. Beberapa kali menjalin hubungan, Neta biasanya hanya perlu duduk tenang di tempat romantis dengan suasana hangat dan kata-kata manis. Hanya dengan Suta ungkapan perasaannya harus berubah jadi adu mulut.
Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Keduanya sama-sana berusaha menenangkan diri. Suta maju selangkah, mendekati Neta yang tidak punya tempat untuk mundur. Kakinya sudah terantuk anak tangga pertama.
"Kalau cuma mau pidato mending nggak usah," larang Neta memperingatkan. Bahaya menyetir di bawah pengaruh alkohol sudah dia pahami dengan baik. Suta hanya buang-buang tenaga karena dia sama sekali tidak mau mendengar. "Mending lo balik. Gue gagal dapet pacar dan kado dari lo. Seenggaknya gue berharap bisa tidur nyenyak setelah ini."
Tanpa menunggu tanggapan Suta, Neta menaiki tangga dengan langkah linglung. Efek berteriak dan ditolak membuatnya kehilangan banyak tenaga. Neta benar-benar butuh istirahat walau tidak yakin bisa tidur. Walaupun bisa sepertinya ia akan mimpi buruk.
Tepat ketika akan membuka pintu kamar, tangannya di tarik dan tubuhnya berbalik dalam waktu singkat. Neta meringis saat punggungnya membentur pintu kamar. Dia nyaris berteriak kalau tidak melihat pelakunya. Saat ini Suta hanya berjarak satu langkah darinya. Entah sejak kapan Suta ikut naik ke lantai dua dan mengikutinya. Langkah kakinya benar-benar tidak terdengar, atau mungkin hanya Neta saja yang tidak sadar.
"Apa lagi-"
"Berhubung lo mabuk, lo mungkin enggak akan ingat kejadian ini," kali ini giliran Suta yang memotong kalimat Neta.
"Makanya mending lo-"
"Ini hadiah ulang tahun buat lo." Kali kedua Suta menyela. Kemudian, tanpa membiarkan Neta mencerna ucapannya, Suta mendekatkan wajah dan menempelkan bibirnya di bibir Neta.
Mata Neta melebar. Seluruh tubuhnya kaku, terlalu terkejut karena Suta menciumnya. Keinginannya terpenuhi tapi tidak ada rasa bahagia sama sekali. Hatinya malah terasa sakit dan hampa disaat bersamaan. Berusaha menekan perasaan aneh itu, Neta mulai membalas ciuman Suta. Sekali lagi air matanya mengalir.
Tidak lama kemudian, tubuh Neta oleng. Seolah sudah tahu yang akan terjadi, Suta dengan sigap menahan tubuh Neta. Dengkuran halus terdengar tidak lama setelahnya. Setiap mabuk Neta biasanya akan tertidur pulas setelah membuat keributan. Esoknya saat bangun perempuan ini tidak akan mengingat apa pun.
"Yah ... seenggaknya lo akan lupain kejadian hari ini," ujar Suta dengan senyum masam. Tangannya mengelus rambut Neta yang sudah terlelap dengan lembut. Ia berucap lirih, "Selamat ulang tahun ... dan maaf udah buat lo nangis."
Sebut Suta pengecut. Dia bersikap naif tapi pada akhirnya benar-benar mengambil satu-satunya kesempatan yang dia miliki.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top