8. Not A Perfect Birthday
———
——
—
—
——
———
Sepanjang dua puluh delapan tahun hidupnya, Neta pernah mengalami beberapa momen memalukan. Di antara itu, ada satu momen yang amat sangat memalukan hingga dirinya ingin migrasi ke bawah laut, bersembunyi dan bersemedi di rumah nanas milik SpongeBob SquarePants.
Kejadiannya dua tahun lalu dibulan Juni tanggal lima belas, tepat di hari ulang tahunnya. Selepas menghadiri after party pernikahan salah satu temannya, Neta nekat mengemudi tengah malam dari Puncak ke Jakarta Barat. Bermodal keyakinan dan kepercayaan diri, ia berencana menyatakan perasaannya kepada Suta setelah mengenal lelaki itu selama tiga tahun.
Sepanjang perjalanan Neta komat-kamit supaya Suta tidak lelah menunggu. Ponselnya kehabisan daya dan ia tidak punya cara untuk menghubungi Suta. Akhirnya Neta berusaha mengebut sebisanya di padatnya lalu lintas. Karena meski sudah tengah malam, ini malam minggu di mana banyak orang yang masih berkeliaran.
"Untung masih ada."
Rasa syukurnya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Perasaan lega memenuhi dirinya saat mendapati mobil Suta masih terparkir di depan studio. Ancaman untuk memberikan Suta job tambahan—padahal jobnya untuk bulan ini sudah penuh—rupanya berhasil. Rupanya stastusnya sebagai bos cukup menguntungkan dalam beberapa hal.
Tergesa Neta turun dari mobil tanpa membawa barang-barangnya. Hal sepele itu bisa dia lakukan esok hari. Masuk ke dalam studio yang gelap gulita, hal pertama yang dilakukannya adalah menyalakan lampu. Rasa antusias dan lega yang dirasakannya beberapa saat lalu menyusut drastis. Tidak ada Suta yang menunggunya di sofa, ruang edit atau ruang penyimpanan.
Masih ada kemungkinan Suta di lantai dua, meski kecil sekali. Namun, Neta sudah kadung pesimis. Terlebih saat matanya melihat penunjuk waktu yang menempel di dinding, pukul tiga dini hari. Yah, siapa juga yang mau menunggu semalam suntuk.
"Terus mobilnya? Ah, paling dia naik Grab."
Bertanya sendiri menjawab juga sendiri. Dengan lesu Neta berjalan ke arah tangga. Kalau tahu aksi balapannya sia-sia, ia akan memilih mendekam di hotel dan pulang esok hari. Tak apa meski dirinya harus merayakan malam ulang tahunnya sendiri. Karena memang tidak ada perayaan khusus untuk hari lahirnya itu.
Selebrasi ulang tahunnya biasa saja. Hanya makan-makan bersama staf studio di siang hari, lalu malamnya bersama keluarga. Sesimpel itu. Jika tidak disiapkan orang lain, Neta bahkan tidak membeli kue ulang tahunnya sendiri. Mubazir mengingat kiriman kue di hari sekali setiap tahun itu selalu membludak. Entah dari penggemar, agensi, atau dari brand yang bekerja sama dengannya. Kecuali kado Neta akan menerimanya dengan senang hati. Matanya selalu berbinar saat membuka bungkusan hadiah apa pun isinya.
"Lo nggak mau tiup dulu?"
Langkah Neta terhenti di anak tangga paling atas. Ia berbalik perlahan dan terpaku untuk sesaat. Suta berdiri di dekat tangga dengan sebuah kue ditangannya. Lilin angka 26 sebagai penunjuk usianya tahun ini sudah dinyalakan. Semangatnya yang sudah kepalang pupus perlahan kembali. Ia berlari menuruni anak tangga seakan lupa panjang gaunnya hampir semata kaki dan tinggi hak sepatunya tujuh senti.
"Jangan lari, Net!"
Peringatan Suta tentu bukan masalah besar. Selama tidak jatuh, maka semuanya aman. Sayangnya Neta nyaris terjatuh di dua anak tangga terakhir. Yah, nyaris kalau saja Suta tidak bergerak cepat. Untungnya kue ulang tahun ditangannya tidak terlalu besar jadi bisa pegang oleh satu tangan. Sementara tangan kirinya menangkap pinggang Neta.
"Ngapai lari, sih? Nggak ada yang bakal rebutan kue sama lo," omelnya dengan nada khawatir. Jatuh dari tangga bisa menyebakan masalah serius.
"He he ...."
Suta tidak tahu saja apa yang dilaluinya malam ini. Dua kali menerobos lampu merah, menyalip puluhan mobil, dan entah berapa kali membunyikan klakson di tengah kemacetan. Semua rintangan itu dia lalui bukan untuk sebuah kue belaka. Kalau hanya jatuh paling tubuhnya lecet. Neta lebih takut ada orang atau hal lain yang merebut kesempatannya kali ini.
"Masih bisa ketawa lo." Suta jengkel sendiri, tak habis pikir. Ia membantu Neta berdiri dengan benar. Bisa dipastikan kalau Neta akan meringis bahkan menjerit kesakitan kalau benar-benar mencium lantai. "Nih, tiup dulu."
Tanpa menunggu waktu lama Neta meniup lilin dengan gembira. Adrenalinnya terpacu hingga detak jantungnya tidak karuan. Ini kali pertamanya menyatakan perasaan lebih dulu. Rasa antusias dan harap-harap cemas menjadi satu.
"Udah? Nggak pake make a wish?" tanya Suta dengan alis bertaut bingung. Biasanya Neta butuh waktu sampai lilin terbakar separuh untuk meniupnya.
Kepala Neta menggeleng kuat. "Yang gue mau ada udah ada di sini."
Raut wajah Suta kian bingung. Senyuman lebar yang diulang Neta tidak memberinya jawaban. "Kue?"
"Bukan."
"Oh ... kado? Itu ada di mobil–"
"Bukan juga."
"Terus apa?" tanya Suta kehabisan ide. Biasanya hanya dua hal itu yang ditunggu orang yang berulang tahun.
Neta menarik napas panjang. Ini waktunya. Ia menatap tepat ke dalam netra Suta. Jari telunjuknya menyentuh dada lelaki itu. "Lo. Gue mau lo jadi pacar gue. Gue suka sama lo."
Sudah terjadi. Neta langsung menutup kedua wajahnya dengan telapak tangan. Merasakan suhu tubuhnya yang meningkat, Neta yakin wajahnya sudah memerah seperti tomat sekarang ini.
Sekitar dua menit berlalu, Neta tidak mendengar suara apa pun. Ia pun memberanikan diri untuk mengintip dari sela-sela jari. Walau tidak jelas, matanya bisa menangkap tatapan Suta yang biasa saja seolah-olah tidak ada yang terjadi. Senyumnya hilang perlahan, ia pasrah dan menurunkan kedua tangannya. Sekarang ekpresi Suta terlihat jelas, amat datar.
Masa ditolak, sih?
Neta membatin. Asumsinya barusan membuat matanya terasa perih hingga tidak kuat menatap Suta lama-lama. Dia ingin menangis dan berteriak.
"Aneta ...."
Ada maksud tersembunyi tiap Suta memanggil nama depannya. Dan Neta sudah bisa menebak apa itu. Sudah payah matanya kembali menatap Suta. Sorot mata lelaki itu kini berubah sendu. Neta menelan saliva, mempersiapkan jiwa dan raganya agar tabah.
"Maaf ... gue nggak bisa."
Penolakan yang singkat, padat dan jelas. Tidak bisakah Suta berbasa-basi sedikit?
"Kenapa?"
Neta berusaha keras menyembunyikan getaran pada suaranya. Ada alasan egois dan licik kenapa Neta memilih hari ini. Suta tidak mungkin menolaknya di hari ulang tahunnya, itu yang ia yakini. Lelaki itu setidaknya akan merasa iba dan menerima perasaannya. Namun, yang membuatnya percaya diri adalah karena hubungan mereka sangat dekat. Atau mungkin Neta yang terlalu percaya diri?
"Gue bener-bener nggak bisa."
"Ya kenapa?" tanya Neta yang mulai tidak sabar. Dari suaranya yang mulai tidak terkontrol bisa terlihat jika pertahanan dirinya hampir habis. "Lo nggak suka sama gue?"
"Nggak gitu."
"Ya terus–" Neta terpikirkan sesuatu. "Jangan bilang kalau lo punya pacar?"
Dalam hati Neta berharap kalau asumsinya salah. Namun, Suta tidak mengiyakan atau menyanggah. Seketika itu Neta kehabisan kata-kata. Kepalanya menggelang beberapa kali, berusaha keras menyangkal titik terang yang didapatnya beberapa saat lalu.
Rupanya, orang yang Neta harapkan jadi kado istimewanya milik orang lain. Ternyata dia sudah kalah sejak awal. Ada orang lain di sisi Suta. Neta salah mengartikan sikap Suta yang perhatian, ramah, peduli, dan selalu mengkhawatirkannya. Sangat memalukan. Resmi sudah, ini hari ulang tahunnya yang paling mengenaskan.
Ma, Pa, Bang Edwin, Bang Agam, tolongin gue please. Gue mau nyusul Neil Amstrong ke bulan atau Sandy Cheeks ke Bikini Buttom.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top