7. Unfunny Joke
----
--
-
-
--
---
"Saya bercanda."
"Kalian serius banget, sih."
"Lagian gue juga ogah kalau harus barengan. Ribet pas ngitung amplopnya."
Krik ... krik ....
Demi dietnya yang penuh perjuangan, bagi Neta itu sama sekali tidak lucu. Entah candaan terencana atau hanya refleks, yang jelas kedua opsi itu terdengar sama buruknya. Aliran DNA yang sama membuat tiga orang lelaki di keluarganya punya sifat plek ketiplek seperti hasil fotokopian.
"Atau mungkin lo mau nikah cepat-cepat, Net?"
Neta melanjutkan aktivitasnya daripada meladeni Edwin. Sungguh tidak berfaedah. Ia fokus kepada Suta. Matanya memancarkan rasa bersalah. Ultimatum beruntun dengan dalih bercanda barusan membuat Neta menyemburkan isi mulutnya. Alhasil, wajah dan baju putih Suta jadi kebun dadakan.
"Jangan bilang kalau kalian-"
Delikan Neta yang tajam dan menghunus memutus kata-kata Agam. Bibir kakak keduanya itu otomatis bungkam. Salah besar jika Neta mengira situasinya tenang terkendali. Ia terlena sesaat sampai lupa kalau permukaan air yang tenang itu justru yang paling dalam. Seandainya Edwin dan Agam tak bisa berenang, ia dengan senang hati akan menenggelamkan mereka sekaligus.
"Maaf, ya. Gue nggak sengaja."
"Nggak papa, Net."
Tampaknya mau seribu kali minta maaf, jawaban Suta tetap sama. Masalahnya Neta tengsin sendiri. Lima tahun saling kenal memang sudah bukan waktunya jaim lagi. Jorok, bobrok, dan jeleknya Neta sudah Suta hafal begitu pula sebaliknya. Namun, menyemburkan makanan kepada lelaki itu beda kasus. Sebagai pelaku saja Neta merasa jijik, apalagi Suta.
"Kamu perlu ke kamar mandi?" tanya Gayatri setelah pulih dari rasa terkejut. Ini situasi yang tidak lazim. Biasanya dirinya yang sat-set dibanding suami dan kedua putranya.
"Boleh, Tante."
Mendengar jawaban Suta, Neta pun menarik tangannya menjauh. Dengan setengah hati Neta membiarkan ibunya membawa Suta ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tentu saja setelah melemparkan tatapan ancaman tanpa suara.
"Jangan macem-macem, loh, Ma."
Tampaknya Gayatri mengerti. Ibu tiga anak itu membentuk tanda ok dengan jarinya sebelum pergi. Sepeninggal dua orang itu, hawa dingin memenuhi ruang makan. Bela yang ikut merasakan perubahan suhu drastis, berinisiatif membawa Rio pergi. Strategi yang tidak kalah penting adalah melindungi diri. Jadi dia dan Rio yang bahkan tidak ikut-ikutan memilih cari aman.
Neta menarik napas dalam-dalam. Matanya mengabsen sisa orang yang ada di meja makan. Mulai dari Agam, Edwin dan terakhir ayahnya. Bahkan, setelah membuatnya jadi Mbah dukun dadakan, ketiga orang itu masih bisa menampilkan poker face. Tidak ada rasa bersalah sedikit pun di wajah mereka.
"Bukannya ini cuma perkenalan?" tanya Neta memecah keheningan, mengingatkan kesepakatan apa yang akhirnya membuatnya membawa Suta ke rumah ini. Perkenalan, tidak lebih.
"Kita udah kenalan, kok," ucap Edwin setelah saling lirik dengan adik dan ayahnya. Posisinya sebagai anak dan kakak sulung memaksanya untuk menyahut lebih dulu.
"Seenggaknya sekarang kita tahu satu hal. Lo nggak akan susah-susah amat kalau nikah sama dia." Agam ikut menimpali, meski tanpa menatap Neta.
"Kita cuma ngobrol biasa, kok." Adnan memberikan penutup.
Neta mendesis. "Jadi yang barusan itu obrolan atau bercanda?"
Lagi, ketiga orang yang diintrogasi Neta saling lirik. Adnan berdehem sebelum menjawab, "Mungkin keduanya."
"PAA ...."
Teriakan Neta dibarengi dengan gebrakan meja. Untuk Edwin dan Agam, dia bisa maklum. Kedua kakaknya itu memang bukan panutan. Pikiran dan fisiknya boleh dewasa, tapi sikapnya kadang lebih bocah dari dirinya. Masalahnya, kenapa ayahnya juga harus ketularan? Di antara semua orang di rumah, Adnan orang paling netral. Satu-satunya orang yang tidak perlu Neta waspadai.
Tidak ada yang berani menatap Neta apalagi menyahut. Sekarang hanya meja, berikutnya pasti kepala mereka. Tanpa sang ibu, kedudukan Neta yang paling solid. Terlebih, mereka sudah divonis bersalah oleh Neta. Yah, ironisnya mereka benar-benar tidak merasa bersalah barang setitik pun.
"Kalau kalian bercanda lagi ..." Neta meletakkan jari telunjuknya di leher lalu membuat gerakan memotong sampai dari kiri ke kanan.
"Nggak akan," sahut Adnan cepat. Bahunya bergidik ngeri. Matanya lalu menatap Edwin dan Agam. "Papa, kan, udah bilang nggak usah. Selera humor kalian itu payah, nggak lucu sama sekali."
Kakak beradik itu melongo, kehabisan kata-kata. Menjadikan mereka berdua sebagai kambing hitam sudah keluar dari konsep. Siapa yang memulai, siapa juga yang disalahkan.
Ketika Suta dan Gayatri kembali, makan malam pun berlanjut walau sebenarnya Neta sudah tidak nafsu. Untungnya ayah dan kedua kakaknya bisa diajak kerja sama. Kalau tidak, Neta sempat berpikir untuk mencoret namanya dari kartu keluarga. Lagi pula, apa maksudnya menganggap dirinya sebagai investasi high profit dan low risk?

"Jadi ... ceritanya lo lagi main peran suami istri-an gitu?"
"Baru calon," ralat Neta seraya membenarkan posisinya. Rebahan di atas kasur benar-benar menyenangkan.
Rani jadi orang kehormatan karena dia adalah orang pertama yang tahu soal skenarionya. Saat menceritakan tragedi semalam, manajernya itu tidak bisa berhenti tertawa. Sejenak Rani lupa tujuannya mendatangi kamar Neta.
"Tapi, kok, bisa Bapak lo ikut-ikutan?"
Jangankan Rani, Neta sebagai putri satu-satunya saja tidak paham. Rani tahu tentang ibunya yang paling cerewet. Pun kedua kakaknya yang sering bertingkah absurd. Namun ayahnya yang oleng itu hal baru. Selama ini Neta selalu menggembor-gemborkan betapa pengertiannya sang ayah.
"Keracunan air kolam kali," ucapnya asal.
"Terus kenapa Suta? Lo bisa cari orang lain." Semua orang yang bekerja di bawah Neta bisa dipercaya. Sejauh ini mereka tidak pernah mempublikasikan Neta dalam bentuk foto atau apa pun.
Mendengar itu Neta tersenyum, merasa de javu.
"Cari orang lain sana."
Itu yang dikatakan Suta yang beberapa hari lalu keukeuh menolak. Namun, kali ini Neta memberikan jawaban berbeda dari yang dikatakannya kepada Suta. Matanya menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Ia mendesah pelan. "Gue cuma mau nikmatin kesempatan ini walau cuma sementara."
Menggandeng tangan Suta dengan bebas, berpegangan tangan sampai pegal, berjalan bersisian dan tersenyum bersama layaknya pasangan pada umumnya. Neta ingin menikmati setiap momen itu walau hanya sementara. Mungkin tiga bulan menjelang pernikahan Agam jadi satu-satunya kesempatan yang ia miliki.
"Lo nggak cocok galau-galauan." Rani melempar bantal sofa yang mendarat dengan mulus di wajah Neta. Selain mengatur jadwal dan pekerjaan, ia merangkap sebagai tong sampah yang menampung curhatan dan keluh kesal Neta selama ini.
Menyingkirkan bantal dari wajahnya, Neta beringsut duduk, menyandarkan punggungnya pada headboard. "Gue lagi mendalami perasaan ini, siapa tahu bisa ikut casting film taun depan."
"Kalau film horor pasti lolos, sih. Muka lo pas ngamuk nyeremin soalnya."
"Sialan lo."
Bantal sofa kembali melayang, kali ini tujuannya Rani yang bisa menghindar dengan mudah. Alhasil, bantal kecil itu mengenai meja rias dan membuat peralatan rias Neta berantakan. Rani lalu bangkit dari sofa tunggal yang ada di dekat meja rias. Ia mendekat ke arah Neta dan menatapnya dengan serius. Topik yang akan dibahasnya kali adalah sumber kegemasan satu studio.
"Lo nggak malu sama ibu kita Kartini yang memperjuangkan emansipasi wanita?" tanyanya yang dibalas kernyitan kening oleh Neta. "Ungkapin perasaan lo duluan nggak dosa kali. Greget banget gue liat kalian berdua."
Neta mendengus. "Yang diperjuanginnya beda sama gue. Beliau memperjuangkan hak wanita. Kalau nyatain perasaan, mah, bukan hak tapi kemauan."
Stigma soal kau hawa yang tidak boleh menyatakan cinta lebih dulu sudah ada dari zaman kapan. Entah siapa yang memulai, yang jelas anggapan itu masih berlaku sampai saat ini. Tapi ini abad 21. Memang sudah bukan saatnya menunggu kepastian. Kadang kepastian itu harus dicari daripada ditunggu.
Neta pribadi tidak keberatan kalau harus menyatakan perasaan lebih dulu. Yang jadi pertimbangan itu, apa yang mungkin terjadi setelah itu. Kalau malu setelah ditolak itu wajar. Masalahnya selain malu, Neta juga tidak terima kalau ditolak Suta. Yah, Neta tidak takut ditolak, hanya saja keberatan kalau ditolak. Percayalah, itu dua hal yang berbeda.
"Terus lo nggak mau gitu?"
"Yang bilang nggak mau siapa?"
"Ya, kalau gitu buruan ungkapin dong, Mbak. Masa main ayang-ayangan mulu."
"Udah."
"Udah apanya-" Rani menutup mulutnya dengan telapak tangan. Mata sipitnya yang melotot tetap terlihat sipit. "Terus gimana?"
"Menurut lo?" tanya Neta balik. Ekspresi wajahnya berubah keruh.
"Lo ditolak? Serius?!" untuk kali kedua Rani membekap mulut. Tidak menyangka jika Neta sudah menyatakan perasaan dan ditolak. "Kok, bisa, Mbak? Bukannya kalian udah deket banget, ya?"
Bahkan semua orang tahu soal kedekatan mereka. Jadi bagaimana mungkin Neta tidak percaya diri saat menyatakan perasaannya. Sayang, Suta benar-benar menolaknya dan meruntuhkan kepercayaan dirinya hingga tak tersisa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top