5. A Pair Of Rings

———

——


——

———

Memasuki salah satu pusat perbelanjaaan terbesar di kawasan Jakarta Barat, Suta mengedarkan pandangan guna mencari seseorang yang sudah tiba sepuluh menit lebih awal. Dari jarak dua puluh meter, orang yang dicarinya melambaikan tangan. Kakinya melangkah ke arah Neta yang yang separuh wajahnya tertutup masker. Dia mengenakan kaus putih dan rok denim diatas lutut. Pakaian yang mereka sepakati untuk berlakon sebagai pasangan hari ini. Ia sendiri mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung sebatas siku dan celana denim panjang.


"Lo dianter siapa?" tanya Suta pertama kali.

"Reka."

Mata Suta kontan melebar saat nama itu disebut. "Pake motor? Dengan penampilan begini?"

"Iy–" Neta merapatkan bibir saat menyadari maksud pertanyaan Suta. "Tenang aja, gue dudukya miring."

"Lo, kan, bisa minta dianter pake mobil. Itu anak kalau ngebut kayak dikejar rentenir, bahaya."

Sebenarnya Neta bisa saja mengemudikan mobilnya sendiri. Namun, berhubung Suta juga bawa mobil, dia memilih nebeng Reka yang kebetulan searah dengan tujuannya. Dengan begitu, nantinya mereka akan pergi dengan mobil Suta. Aneh kalau nanti mereka datang dengan mobil terpisah.

"Nggak usah ribet, deh. Berkat dia gue nyampe duluan dibanding lo." Meski yang dikatakan Suta benar, kemampuan Reka patut diacungi jempol. Menyalip sana-sini seperti pembalap motor professional.

"Padahal gue bisa jemput lo dulu." Pernah diboncengi Reka membuat Suta trauma naik motor bersama juniornya itu.

Neta menggenggam tangan Suta dan menariknya ke arah eskalator. Kalau dilanjutkan perdebatan mereka tidak akan selesai dalam waktu singkat.

"Ini kita mau kemana?" Alih-alih protes, Suta balas menggenggam Neta dengan lebih erat. Sampai hari ini dia tidak punya keberanian untuk lebih dulu menggenggam tangan perempuan itu. Makanya, jika ada kesempatan seperti ini, Suta enggan untuk melepaskan.

"Nanti juga lo tau."

Awalnya Suta kira tujuan mereka ada di lantai dua atau tiga, ternyata lantai ke lima. "Kenapa nggak naik lift aja biar cepet?" tanyanya saat mereka berjalan di depan deretan outlet lantai lima.

"Kalau gitu gue nggak bisa pegang tangan lo lama-lama," bisik Neta di telinga Suta.

"Aneh, lo."

Lain dengan Neta yang tersenyum di balik maskernya, Suta mengalihkan pandangan ke samping untuk menyembunyikan senyum. Ia merasa tidak punya hak untuk merasa senang atas bisikan Neta barusan.

Setelah lima menit berjalan dari eskalator, Neta membawa Suta memasuki salah satu outlet. Keduanya disambut oleh seorang pegawai. Begitu Neta menyebutkan nama, mereka diarahkan ke sebuah ruangan dan disuruh menunggu di sana. Selagi menunggu, mereka disuguhkan minuman dan makanan ringan.

Sepeninggal pegawai itu, Neta baru melepaskan masker yang sejak awal menutupi separuh wajahnya. Meski enggan, ia juga melepaskan genggaman tangannya sebelum duduk bersebelahan dengan Suta.

"Ngapain–"

"Wah, bau-bau gosip panas ini, mah. Kayaknya harus gue sebarin nggak, sih?"

Ucapan Suta disela seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Seorang perempuan berambut sebahu dengan nametag Nadira duduk di seberang keduanya.

"Coba aja kalau bisa," ucap Neta acuh.

Nadira tersenyum kecut sebagai balasan. Tantangan itu bahkan sulit ditembus para wartawan dan netizen, apalagi dirinya yang punya media sosial saja jarang dibuka.

Karena sudah mengenal Neta sejak SMA, maka Nadira hanya mengulurkan tangan dan berkenalan dengan Suta. Tengah malam Neta menghubunginya dan reservasi untuk pukul lima sore. Selain itu, Neta juga meminta disiapkan barang secara mendadak.

"Lo bener, kayaknya ukurannya nggak beda jauh." Nadira berkomentar setelah melepaskan jabat tangannya dengan Suta.

"Iya, kan?"

Untuk memastikannya, Nadira meminta Suta meletakkan tangan kirinya di atas meja. Tanpa banyak bertanya Suta menurut dan membiarkan Nadira mengukur jarinya dengan beda yang disebut ring finger size.

"Delapan belas, beda dikit tapi masih satu ukuran. Gue ambil barangnya. Timbangan lo nggak naik, kan, Net?"

"Sialan lo."

Disinggung soal berat badan membuat Neta mengumpat. Bukan teman jika hobinya belum membuat stres dadakan.

"Kenapa harus beli cincin?" tanya Suta kemudian. Sejak tahu outlet yang mereka datangi ini memajang perhiasan, Suta kira Neta ingin membeli sesuatu. Ia tidak tahu jika sesuatu itu cincin dan untuk mereka berdua.

Neta menggendikan bahu. "Kita butuh bukti adanya lamaran. Cincin yang paling gampang, kan?"

"Gue nggak nyangka lo seniat ini."

Suta menggelengkan kepala, merasa takjub dengan pemikiran Neta. Pantas saja dia jadi model dan pemilik vendor fotografi yang sukses diusia muda. Dalam waktu singkat perempuan itu sudah menyusun strategi dan bertindak cepat.

"Untung ukurannya nggak salah, coba kalau iya mubazir, Net."

Nadira kembali dengan satu kotak cincin bermodel simpel. Ada dua cincin dengan ukiran nama Neta dan Suta di dalamnya. Cincin Suta hanya berbentuk lingkaran polos dengan garis horizontal di tengah. Milik Neta juga sama, yang membedakan hanya ukurannya yang lebih kecil dan ada satu permata di tengah-tengah.

"Uhhh ... makasih sayangku cintaku." Neta merasa puas dengan hasil kerja temannya yang bisa diandalkan.

"Tapi kenapa mendadak banget?" Nadira menatap Neta dan Suta dengan mata menyipit yang nyaris seperti garis, tampak curiga. "Kalian nggak kebobolan, kan?"

"Lo gila, ya?!"

Neta menyahut keras. Di sampingnya Suta berdehem dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Di depan kedua orang yang salah tingkah, Nadira tertawa puas karena dua hal. Pertama karena berhasil menggoda Neta, dan kedua karena kekhawatirannya hanya angin lalu.

"Aneh aja pas lo minta disiapin cincin mendadak."

Helaan napas Neta terdengar berat. "Harusnya lo tanya langsung sama orang tua gue."

"Maksudnya?" Nadira menegakkan punggung, matanya menatap Neta dengan skeptis lalu mengibaskan tangan. "Eihhh ... kayaknya nggak mungkin Om sama Tante nyuruh lo nikah."

Pertemanan mereka lebih dari dekat hingga saling mengenal keluarga. Saat dirinya dan kebanyakan orang harus memenuhi tuntutan orang tua saat penentuan jurusan kuliah, Neta bisa bebas menentukan sendiri. Bahkan saat hampir tidak lulus SMA karena nilainya yang kurang, orang tua Neta sama sekali tidak marah. Jadi kesannya mustahil kalau praduganya benar.

"Serius? Tiba-tiba banget?" tanya Nadira karena Neta tak kunjung menyahut.

Neta mengangguk. "Gara-gara Bang Agam mau nikah."

"Terus hubungannya sama lo apa?"

"Iya, kan? Dia yang nikah gue yang susah."

Diingatkan tentang itu membuat Neta kembali sewot. Meski ayahnya sudah menjelaskan panjang lebar kali tinggi, Neta masih tidak bisa legowo. Perkara Agam nikah tidak akan memengaruhi hidupnya secara signifikan. Paling mentok, Neta hanya kehilangan sopir dan pengawal gratis. Toh, selama ini begitulah Neta memanfaatkan kakaknya.

"Dan bisa-bisanya lo nurut gitu aja?"

"Lo pikir gue begini karena pasrah?"

Usai saling bertanya, kedua perempuan sebaya itu saling menatap dan menghela napas bersamaan. Menilik sifat keras kepala yang melebihi batu, pasti ada alasan mengapa Neta manut.

"Kalau gitu gue tinggal tunggu undangan, kan?" tanya Nadira seraya mengulurkan telapak tangan kanannya.

Neta tertawa hambar. Ia membuka tas hitam yang tersampir di bahunya. Hendak mengeluarkan kartu debit dari dompetnya ketika Suta mendahuluinya. Nadira menerima kartu dari Suta setelah melirik Neta sejenak.

"Ada harga temen, kan, Dir?" Neta menyela ketika Nadira akan menggesek kartu di mesin EDC. Matanya berkedip-kedip sambil tersenyum manis.

Nadira balas tersenyum tak kalah manis. Sayang, ucapannya tidak semanis senyumnya. "Tapi kita nggak temenan, tuh."

Mengabaikan raut Neta yang siap menerkam, Nadira menggesek kartu dan membiarkan Suta menekan sederet angkat pin. Mana ada harga teman. Kalau teman, Neta tidak akan mengganggunya tengah malam. Kalau teman, Neta tidak akan membuat permintaan yang nyaris mustahil.

Normalnya butuh waktu satu sampai dua bulan untuk mengukir nama di dalam cincin mengingat daftar tunggu yang panjang. Namun Neta bisa mendapatkannya dalam waktu satu hari. Itu bukan keajaiban tingkat ibu peri Cinderella atau kekuatan sakti mahluk halus yang membantu Sangkuriang. Manusia biasa bernama Nadira yang  harus turun tangan dan melalui proses rumit nan pelik. Lalu Neta meminta harga teman? Huh, tidak sudi.

"Perlu dibungkus?" Selesai dengan transaksi, kartu debit itu pindah tangan kepada pemiliknya bersama struk dan nota pembelian.

"Nggak usah," balas Neta ketus.

"Kalau begitu terima kasih atas kedatanganya. Nggak perlu dianter keluar, kan?"

"Pelayanan tidak ramah bintang satu. Gue aduin lo sama manajer."

"Gue manajernya kalau lo lupa." Dengan seulas senyum lebar, Nadira bangkit dan meninggalkan kedua orang itu. Tepat diambang pintu, dia berhenti dan memanggil Neta lalu berucap, "Semoga hubungan kalian lancar."

"Kenapa jadi lo yang bayar?"

Usai mengaminkan, Neta menodong Suta dengan pertanyaan begitu Nadira pergi. Ia meraih nota yang ada di samping kotak cincin. Matanya nyaris keluar saat melihat nominal yang tertera, 498 juta sekian untuk dua cincin. Sebenarnya Neta punya barang yang harganya lebih dari itu, tapi tetap saja terkejut. Estimasi yang Nadira katakan sekitar 300 juta untuk dua cincin.

Suta mengangkat bahu acuh, seolah mengeluarkan uang hampir setengah miliar bukan masalah besar. "Lo yang udah ngelamar, seenggaknya gue harus beli cincin."

"Tapi—"

"Anggap aja kado ulang tahun lo."

Suta mengambil cincin Neta dan memasangkannya di jari manis perempuan itu. Ia mengangguk beberapa kali saat cincin sudah terpasang. Tampak pas dan bagus seakan menunjukan cincin itu berada di pemilik yang tepat.

"Ulang tahun gue udah lewat, Bang," ucap Neta seraya mengambil cincin satunya. Giliran dirinya yang memasangkan cincin Suta.

"Kalau gitu anggap aja buat tahun depan. Ayok."

Sore itu, untuk kali kedua setelah lima tahun saling kenal Suta punya keberanian untuk mengulurkan tangan, meminta Neta menggenggamnya. Cincin yang tersemat di jarinya menunjukan dia punya hubungan istimewa dengan Neta. Meski hanya pura-pura, Suta merasa hal itu memberikan keberanian baginya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top