2. An agrement


---

--

-

-

--

---
J

auh dari kata romantis. Tanpa perlu dijabarkan pun Neta paham sekali aksi lamarannya sangat absurd dan diluar nalar. Masih untung Suta tidak menggapnya gila. Atau mungkin Suta sudah berpikir seperti itu hanya saja Neta yang tidak tahu.

"Bantuin gue, ya, Bang?"

Kalimat itu sudah diulang Neta sebanyak tujuh kali. Pasca dikira kesambet setan nyasar, pagi ini di ruang kerjanya Neta menceritakan secara singkat kronologi dari aksinya itu.

"Enggak, Net."

Jawaban Suta masih sama. Sebagai fotografer, Suta tahan banting menghadapi sifat klien yang warna-warni. Mulai dari yang banyak omong, banyak tanya, banyak mau, banyak nawar, sampai banyak protes. Namun, Suta angkat tangan dan kaki kalau harus berurusan dengan netizen yang maha benar. Membayangkan wajahnya muncul di televisi karena punya hubungan romansa dengan supermodel terkenal akan mengguncang Indonesia. Ketenaran Neta sebagai supermodel tidak perlu diragukan.

"Ayolah, Bang. Bantuin gue kali ini aja." Neta merengek. Kedua tangannya menyatu, memohon kepada Suta dengan wajah memelas.

Ekpresi itu tidak membuat Suta berubah pikiran. Dia masih sayang nyawa. Dari jumlah pengikut Instagram-nya, seperempatnya itu ibu-ibu yang mengincar Neta sebagai menantu. Kalau sampai mereka tahu Suta jadi calon suaminya--meski hanya pura-pura--habislah dia.

"Ogah, Net. Gue lagi sibuk bulan ini, jangan lu tambahin."

Seakan kekurangan uang, Neta juga menyambi sebagai pemilik vendor fotografi tempat Suta bekerja saat ini, alias bosnya. Kalau sampai ada rumor yang tersebar, Neta pasti yang paling terdampak.

"Jangan mikir jauh-jauh, Bang," ucap Neta dengan mata menyipit. Suta yang dikenalnya selama lima tahun itu adalah overthinker sejati. Otak lelaki itu pasti sudah tersusun skenario soal sebab, akibat dan sebagainya.

"Gue bukan orang yang gegabah kayak lo. Selain lo, enggak ada yang bakal kepikiran cara lamaran kayak gitu." Mengingat kejadian semalam membuat Suta menggeleng dengan tawa kecil.

"Untuk keadaan darurat, kita harus ambil keputusan cepat dan tepat."

Suta mendelik. Teramat sangat jarang sekali Neta berkata bijak sampai kesannya jadi meragukan. Perempuan itu terlalu friendly sampai jatuhnya ceplas-ceplos. Hanya saat ada maunya Neta mengeluarkan kata-kata mutiara seperti sekarang.

"Minta bantuan orang lain sana. Gue enggak mau ngebohongin orang tua anak orang." Dalam hati Suta melanjutkan "Cukup orang tua gue aja yang gue bohongin. Ngakunya mau mudik tapi sampe bertahun-tahun nggak balik."

"Justru itu, Bang. Mereka gampang dibohongin. Jadi bantuin gue, ya?"

"Lo udah cocok jadi batu, sih," komentar Suta seraya menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. "Cari orang lain sana."

"Enggak ada. Bang Jami mau nikah, bisa dislepet calon istrinya gue. Terus Reka, mukanya terlalu brondong. Orang tua gue nggak bakal percaya."

Dua orang yang disebutkan Neta barusan juga dua fotografer sekaligus rekan kerja Suta. Selama ini Neta lebih banyak berinteraksi dengan para fotografer dibandingkan staf lainnya. Kalau memilih orang lain, takutnya mereka malah bersikap kaku dan kebohongannya terbongkar.

"Katanya orang tua lo gampang dibohongin. Lagian kenalan lo enggak sebatas itu."

Dering ponsel menyela Neta untuk menyahut. Suasana hatinya kian buruk saat membaca pesan yang sang ibu menanyakan waktu untuk bertemu calon suaminya padahal baru dibicarakan semalam. Ayolah, ia tidak bisa asal comot di jalan dan membawanya pulang.

"Gue enggak mau bikin sensasi, takutnya jadi panjang." Mengabaikan pesan sang ibu, Neta memberikan fokusnya untuk meyakinkan Suta.

"Emang kalau sama gue nggak bikin sensasi gitu?"

Neta menggeleng. "Lo enggak bakal ember. Jadi cuma lo sama keluarga gue yang akan tau."

Menegakkan punggung, Suta menatap perempuan di sampingnya dengan serius. "Lo percaya banget sama gue? Kalau gue bocorin ke orang-orang gimana?"

Tatapan Suta dibalas tak kalah seriusnya oleh Neta. Namun, pada detik berikutnya ia mengibaskan tangan. "Halah nggak mungkin. Kecuali kalau lo mau dipecat, sih."

Lalu keduanya pun terkekeh bersama. Neta dan ancamannya yang paling ampuh.

"Gini, deh, lo mau apa aja gue turutin. Libur panjang, bonus gede, naik gaji, terserah apapun yang lo mau. Lo cukup jadi calon suami gue selama tiga bulan. Itu juga nggak tiap hari, kalau pas ketemu keluarga gue doang."

Menyerah tentu ada di dalam kamus Neta, tetapi kata itu ada di halaman terakhir. Ribuan tipu muslihat berjejer rapi di otaknya. Paling tidak, ada satu atau dua hal yang bisa membuat Suta berubah pikiran.

"Gue bisa ditangkep KPK karena nerima suap," ucap Suta masih berusaha menolak. Meski ia sendiri tidak yakin ada orang yang akan menangkapnya hanya karena jadi calon suami Neta.

"Ngomong-ngomong gue udah kasih lo konsep pemotretan nanti sore belum?" tanya Neta kemudian. Selain memikirkan cara untuk membujuk Suta, pekerjaan juga tidak bisa ditunda.

"Pemotretan lo?" tanya Suta balik yang langsung dibalas anggukan oleh Neta. "Gue udah liat sebagian, sih."

"Bentar gue cari dulu."

Neta bangkit dari sofa, berjalan ke arah meja kerjanya. Seingatnya proposal konsep pemotretannya disimpan di meja. Selagi sibuk mencari, ponselnya yang diletakan di sofa berdering tanda panggilan masuk. Ia menyuruh Suta mengangkatnya dan mengaktifkan pengeras suara.

"LO NGOMONG APA SAMA ANDIN WOY! DIA NGAMBEK DARI PAGI, NET!"

Ajaib. Padahal Neta belum menjalankan ritual apapun, tetapi Agam dan Andin ribut. Sepertinya Tuhan memang mendengarkan doa dari orang yang teranianya macam Neta. Kalau begini dia ada peluang bebas dari pencarian calon suami.

"Berarti lo beneran pake pelet, ya?"

Api sudah menyala, tugas Neta sekarang menambah bensin supaya kebakaran. Sebagai adik yang baik dia akan membagikan rasa gelisah kepada kakaknya. Jangan biarkan Agam tenang menjelang pernikahan, sementara dirinya kelimpungan.

"NETAAAA!"

"Berisik, Bang."

Neta membuka setiap laci yang ada di meja kerjanya. Pencariannya sejak tadi tidak membuahkan hasil dan Agam terus berteriak.

"Gue frustasi, Net ...."

Balik badan, Neta beralih ke rak besar yang ada di belakang meja kerjanya. Mungkin saja dia memindahkan proposal konsep itu ke rak.

"Lo bikin salah kali sama Mba Andin. Nggak mungkin dia ngambek tanpa sebab." Jauh di lubuk hatinya, Neta tidak benar-benar ingin pernikahan Agam batal. Dia tidak sejahat penyihir kegelapan.

"Enggak, kok. Semalem ...."

Senyum Neta terukir ketika Agam tidak bisa menyelesaikan ucapannya. Kakaknya itu pasti baru dapat hidayah. Padahal sudah sering ribut sejak pacaran lima tahun lalu, tapi masih saja tidak peka. Dasar laki-laki.

"Mending lo siapin permintaan maaf yang panjang, Bang," sarannya kemudian.

Terdengar helaan napas dari Agam. "Terus calon suami lo gimana? Udah dapet?"

Bola mata Neta berputar. Agam ini kadang memang rada-rada. "Lo pikir mi instan, tinggal seduh jadi. Gue jauh lebih frustasi dari lo, Bang."

"Kenapa nggak pilih satu dari kandidat Mama aja biar gampang. Masa enggak ada yang menarik dari lima orang itu?"

"Gue bakal susah lepas kalau pilih mereka, Bang. Secara nggak langsung Mama yang back up."

"Siapa tau lo bakal cocok sama salah satunya, kan? Atau lo mau bawa Haris?"

"He's nuts you know? Masa gue diajak ke hotel pas kencan pertama."

"Serius? Kenapa lo nggak bilang sama gue?"

"Nggak penting juga."

"Kok, nggak penting, sih. Gimana kalau sampai dia ngapa-ngapain lo coba? Lo ...."

Ketemu. Akhirnya benda yang dicarinya ketemu juga. Neta berbalik, membawa konsep pemotretan itu kepada Suta. Namun, Suta bergeming saat ia menyerahkan map berisi konsep itu. Lelaki itu hanya menatapnya tanpa ekspresi.

"Kenapa?" tanya Neta tanpa suara karena Agam masih berceloteh.

Tidak ada jawaban dari Suta. Akhirnya Neta meletakkan map di meja. Lalu, tanpa permisi Neta berbaring di sofa dengan paha Suta sebagai bantal. Begadang semalaman membuat kepalanya sedikit pening.

"Udahlah, Bang. Udah lewat juga."

"Sorry. Gue nggak tau dia sebrengsek itu."

"It's okay. Bukan salah lo juga. Menurut lo diantara kandidat Mama ada yang bisa diajak kerja sama nggak? Kalau enggak nemu juga, gue terpaksa harus pilih satu, sih."

"Kenapa harus repot-repot milih kalau calon suami lo udah ada?"

Kepala Neta mendongak. Tidak menyangka jika Suta yang beberapa saat lalu tampak seperti patung kini bersuara. "Ada di mana? Siapa?"

Sementara itu Suta menunduk. "Di sini, gue," katanya seraya menunjuk diri sendiri.

Spontan Neta melongo. Dia kehabisan kata-kata.

"Kayaknya lo enggak butuh bantuan gue atau Mama, deh. Congrats, ya."

Panggilan itu diakhiri Agam secara sepihak. Neta terlalu sibuk memelototi Suta untuk minta penjelasan karena berapa saat lalu Suta masih keukeuh.

"Kenapa tiba-tiba?" tanya Neta kemudian.

"Setelah dipikir-pikir, ada yang mau gue minta dari lo."

"Apa?"

"Rahasia. Gue kasih tau setelah selesai."

"Nggak boleh berubah pikiran loh, Bang."

"Oke. Tapi gue punya satu syarat. Kalau ada kejadian kayak barusan, lo harus kasih tau gue."

"Oh ... itu, enggak penting ini ngapain juga-AAA! SAKIT, BANG!"

"Biar tau rasa lo."

Berbanding terbalik dengan ucapannya, Suta justru mengusap kening Neta yang beberapa detik lalu ia pukul keras.

"Padahal belum nikah tapi lo udah main KDRT," ucap Neta sembari membenarkan posisi kepalanya agar lebih nyaman. "Pokoknga mulai hari ini lo calon suami gue. Jangan banyak gerak, gue mau tidur bentar," tambahnya dan mulai menutup mata.

"Gue bukan bantal, woy."

Dibalik protesnya, Suta berusaha bergerak seminimal mungkin. Ia terus mengusap kepala Neta sampai napas perempuan itu teratur. Jika sedang terlelap seperti sekarang wajah Neta tampak sangat polos. Dan bisa-bisanya ada orang yang mau berbuat kurang ajar kepada wajah polos ini. Suta menggeram tertahan. Kalau tahu siapa orang itu, Suta tidak akan ragu untuk mendatanginya dan membeli pelajaran.

"Buat lo mungkin nggak penting, tapi buat gue semua yang berhubungan sama lo itu penting."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top