10. Remembering The Past

———

——





——

———

"Kasih spoiler-nya, Mbak. Dikiitt ... aja"

"Lo pikir mau nonton film."

Sejak tahu kalau Neta pernah ditolak Suta, Rani terus merengek seperti anak ayam yang ditinggal induknya tiap ada kesempatan. Kalau tidak ada, Rani akan mencari kesempatan seperti sekarang. Secara khusus Rani menelepon hanya untuk minta diberi cuplikan kronologinya.

"Ayolah, Mbak. Gue udah penasaran banget sampe nggak bisa tidur semaleman."

"Bodo amat. Biar lo jadi arah penasaran sekalian," balas Neta acuh. Penolakan suta saja sudah cukup memalukan. Lalu bagaimana bisa dia mengumbar aibnya seolah-olah itu bukan masalah besar.

"Mbaaakkk ...."

Tanpa kalimat penutup Neta mematikan sambungan telepon begitu saja. Tangannya kini fokus menggulung dan mencepol rambut sepinggangnya. Waktu satu jam yang tersisa membuatnya tidak sempat untuk mencatok rambutnya yang panjang dan tebal. Selesai dengan rambut, Neta memastikan penampilannya sekali lagi di cermin. Merasa sudah siap, Neta mengambil tasnya dan keluar dari kamar. Hari ini dia punya janji bertemu klien di kafe.

"Mau pergi lo?"

Pertanyaan itu menyambut Neta begitu tiba di lantai satu. Ia mendengus begitu melihat Kinan berbaring di sofa. Sebagai fotografer perempuan satu-satunya yang pernah dan kadang masih bekerja dengannya, Kinan benar-benar menganggap studio ini sebagai rumahnya. Lihat saja sekarang, bahkan saat mereka sedang tidak punya job bersama, Kinan datang dan numpang leha-leha.

"Nggak mandi berapa hari lo?" tanya Neta begitu melihat penampilan Kinan lebih jelas. Rambut acak-acakan dan baju yang kusut. Alih-alih fotografer, Kinan lebih cocok disebut gembel.

"Kayaknya dua hari, deh," jawab Kinan tak yakin.

"Gue yakin lebih dari dua hari," ucap Neta skeptis. Sebagai informasi, Kinan ini orang terjorok yang pernah Neta kenal. Entah mengapa dia bisa tahan berteman dan bekerja dengan Kinan.

"Eh, Nan. Nyampe kapan lo?"

Suara itu menarik atensi dua perempuan yang sedang beramah-tamah. Neta melipir ke dekat pintu begitu melihat Suta muncul dari ruang edit. Satu informasi tambahan, Suta dan Kinan pernah berpacaran dua tahun lalu. Rupanya kedua orang ini resmi berpacaran tepat dihari ulang tahunnya.

Rani kampret.

Gara-gara Rani Neta harus teringat kejadian yang selalu ingin dihapusnya itu. Padahal sudah enam ratus hari lebih, tapi Neta masih nelangsa kalau mengingatnya. Tidak, Neta sama sekali tidak kecewa karena laki-laki yang dia sukai berpacaran dengan temannya. Neta hanya marah pada dirinya sendiri karena salah mengartikan sikap Suta. Ia bahkan memberikan ucapan selamat dan berharap hubungan keduanya langgeng.

Satu studio terkejut saat pertama kali mendengar kabar Suta dan Kinan berpacaran. Tanpa sepengetahuan keduanya, mereka memberikan ucapan semangat kepada Neta yang justru tampak baik-baik saja. Tentu saja Neta menangis dan bersedih saat tidak ada orang. Namun, ia benar-benar tidak punya perasaan iri dengki atau semacamnya kepada Kinan. Yang ada Neta merasa bersalah jika mengingat malam itu.

"Belum lama, Bang." Kinan merubah posisinya menjadi duduk lalu melakukan sedikit peregangan.

Suta ikut duduk di sofa. Sudut matanya tidak lepas mengawasi Neta yang sedang memainkan ponsel. Entah apa yang sedang perempuan itu lakukan. Kurang lebih dua menit, Neta baru pergi tanpa mengatakan apa-apa.

"Lo beneran nggak mau maju, Bang?" tanya Kinan begitu Neta keluar. Setelah putus, Kinan baru tahu kalau Neta menyukai laki-laki yang pernah jadi pacarnya ini begitu juga sebaliknya. Sayangnya, Suta anteng-anteng saja.

"Kalau maju terus nantinya nabrak, Nan," gumam Suta dengan tatapan menerawang.

"Mending nabrak daripada stuck ditempat," komentar Kinan seraya menyadarkan punggungnya. "Lo nggak bosen apa di belakang mulu? Nggak keberatan juga kalau ada yang nyalip?"

"Kita lagi ngomongin jalan, kan?" kelit Suta dengan wajah innocent. Benar-benar terlihat menyebalkan.

Kinan mendesis tapi tak ayal mengangguk juga. Toh, tanpa perjelas Suta pasti paham maksudnya. "Mudah-mudahan mobil lo mogok di jalan, deh, Bang," harap Kinan sungguh-sungguh.

Bersamaan dengan kekehan Suta yang merasa puas membuat Kinan kesal, bel di pintu berbunyi dan Neta muncul tidak lama kemudian. Dia terdiam sejenak saat Suta masih tertawa.

"Ada yang ketinggalan?"

Pertanyaan Kinan membuat Neta teringat tujuannya masuk kembali ke studio. "Pinjem mobil lo, Nan. Gue lupa kalau mobil gue di bengkel."

"Tapi lima belas menitan lagi gue mau jalan ke Tanggerang. Atau lo mau bareng?"

"Tujuan kita nggak searah."

Kinan melirik Suta yang hanya diam. Dalam hati merutuki ketidakpekaan Suta yang terjun bebas. "Kenapa nggak minta Ba–"

"Eh, Ka!" panggil Neta saat melihat Reka muncul dari belakang. Tidak ada maksudnya untuk memotong ucapan Kinan. "Bisa anterin gue nggak?"

"Gue aja yang anter lo," putus Suta sebelum Reka sempat menjawab. Ia bangkit dari sofa.

"Bukannya lo mau keluar, Bang?"

Lirikan tajam Suta menghujani Reka. Membiarkan Neta yang saat ini memakai terusan selutut dibonceng pembalap abal-abal bukan opsi bijak.

"Kalau lo mau pergi, gue sama Reka aja." Neta buka suara. Lagipula mood-nya sedang tidak bagus untuk bersama Suta.

"Lo mau terbang?" hardik Suta. Matanya terang-terangan memindai Neta dari kepala sampai kaki. Bukan hanya baju, tubuh Neta sendiri yang kurus itu mungkin bisa terbang dengan mudah seperti kapas jika dibonceng Reka. "Gue aja yang anter lo. Nggak usah pake tapi," tambahnya saat melihat Neta keberatan.

Mau tidak mau, akhirnya Neta menyusul Suta yang sudah lebih dulu keluar, meninggalkan Kinan dan Reka yang saling tatap. Tanpa saling bersuara, kedua orang itu paham dengan arti tatapan masing-masing. Konon, yang menonton bisa lebih lelah daripada yang menjalani.

"Mau kemana?" tanya Suta begitu Neta sudah duduk di sebelahnya.

"Kafe biasa," jawab Neta tanpa melihat Suta. Dia memilih menyibukan diri dengan ponsel.

Menginjak pedal gas, Suta mulai melajukan mobil di jalan raya. Matanya berbagi fokus antara jalan dan perempuan di sampingnya. Sikap Neta hari ini sedikit aneh dan Suta tidak tahu karena apa. Walau ada tragedi saat makan malam keluarga di rumah orang tua Neta, tapi sepulangnya dari sana mereka baik-baik saja. Bahkan, selama perjalan pulang mereka masih bercanda dan membahas hal-hal tidak penting.

"Gue ada salah ya?" Suta kembali bersuara setelah lima menit berlalu dalam keheningan. Kafe yang menjadi tujuan Neta memakan waktu sekitar setengah jam.

"Banyak," sahut Neta seadanya. Ponselnya tidak lagi menarik. Kini Neta memilih melihat pemandangan dari kaca mobil yang sebenarnya sama tidak menariknya. Dia berusaha pura-pura sibuk.

"Contohnya."

"Ngajak gue ngomong."

"Terus gue harus gimana?"

"Diem."

Jawaban yang sudah bisa ditebak. Suta mendesah. Kakinya menginjak pedal rem saat lampu lalu lintas berwarna merah. Ada waktu enam puluh detik untuk fokus sepenuhnya kepada Neta. "Aneta ...," panggilnya penuh penekanan.

Mata Neta terpejam sebentar. Bibirnya berdecak tapi tak urung menolehkan kepala. Ditatapnya Suta dengan sorot bosan seakan mengatakan, "Bisa nggak jangan panggil nama depan gue?"

"Ini soal apa?"

Neta hanya memberikan gestur tubuh sebagai jawaban. Kedua tangan dan bahunya terangkat, membiarkan Suta menebak sendiri. Tidak mungkin Neta menceritakan kalau dirinya teringat masa lalu.

"Gue bukan manusia super yang bisa baca pikiran lo. Ngomong apa susahnya, sih?" Suta ingin berpesan kepada semua wanita di luar sana, jangan sebut kaum Adam tidak peka dalam keadaan seperti ini. Kami mana paham isi pikiran perempuan terlebih mood-nya yang sering berubah-ubah. "Ini soal apa?"

"Lo. Buat gue hari ini lo salah dalam segala hal. Ekpresi, suara, bahkan napas lo salah di mata gue. Puas?" jelasnya beruntun. Neta melirik spion saat mendengar suara klakson lalu melirik ke depan, lampu sudah hijau. "Jalan."

Namun, Suta hanya bergeming hingga suara klakson yang memekakkan telinga kembali terdengar. Kali ini tidak hanya satu. Pengemudi yang yang lajurnya dibelakang mereka terus menekan klakson.

Neta memelototi Suta. Ia mgguncang lengan lelaki itu. "Lo ngapain, sih? Buruan jalan."

"Sekarang gue boleh ngomong?" tanya Suta tanpa peduli pelototan Neta atau suasana sekitar. Setelah membuat suasana jalan gaduh dia masih bisa bicara dengan santai. "Lo bilang kalau semua yang gue lakuin salah. Ya udah gue diem aja."

Rasanya Neta ingin membenturkan kepala Suta pada kemudi mobil. Namun, mereka akan lebih dulu diamuk pengguna jalan jika ia melakukannya. Tangannya yang tadi mengguncang lengan Suta, kini memcubitnya dengan kekuatan penuh.

"Kalau nggak jalan gue pecat lo sekarang juga," ancam Neta dengan mata yang nyaris keluar. Masa bodoh dengan ringisan Suta yang sangat kesakitan. Bahkan sampai mobil kembali melaju cubitannya tidak juga terlepas.

"Udah dong, Net," pintar Suta dengan wajah memelas. Lengan kanannya benar-benar sakit dan perih. "Kita udah jalan dari tadi lo."

"Biar tau rasa lo." Sebagai penutupan Neta memukul lengan Suta tepat dibekas cubitannya. Ia menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi sambil terus memberikan lirikan maut.

Di tempatnya Suta masih meringis kesakitan, tapi dalam hati merasa lega. Melihat Neta mode bar-bar seratus kali lebih baik daripada anteng seperti beberapa saat lalu. Suta tidak tahu saja alasan dibalik sikap Neta hari ini. Kalau tahu, dia pasti tidak bisa berbuat apa-apa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top