1. Not an ordinary dinner

---

--

-

-

--

---

Sebagai anak bungsu perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara, Aneta Winarsih menjadi pemegang kasta tertinggi di keluarganya. Setidaknya sebelum posisi itu digeser oleh satu tuyul berwajah lucu. Neta tidak lagi jadi pusat perhatian sejak cucu pertama di-print dua tahun lalu. Buktinya bisa dilihat saat acara kumpul keluarga seperti sekarang. Rio yang nagis kejer karena ditinggal pawangnya ke toilet, sibuk pindah sana-sini.

"Kamu dengerin Mama ngomong, nggak, sih?"

Entah sejak kapan, semua mata kini sudah tertuju pada Neta. Ia mengerjab. "Mama ngomong sama aku?"

"Sama tetangga, Net," cetus Edwin, sang kakak sulung yang kini sibuk menyuapi Rio.

Neta bahkan tidak sadar kapan tuyul itu berhenti menangis. Saat semua orang sibuk menenangkannya, Neta sibuk mengisi perut. Tinggal terpisah dari orang tua sejak usia kepala dua, membuatnya akrab dengan makanan warteg. Malam ini waktunya Neta say good bye dengan warteg, bukan untuk say hi dengan keponakan laknatnya. Wajar saja Neta tidak sadar jika sang ibu mengajaknya bicara.

"Kamu harus bawa pasangan ke pernikahannya Agam," ulang Gayatri. Jika dulunya Neta pemegang kasta tertinggi, maka status Gayatri lebih tinggi lagi. Di rumah ini titah paduka ratu bahkan lebih solid dari Adnan, suaminya.

"Oh ... kirain apa."

Neta melanjutkan acara makannya yang tertunda. Tanpa disuruh juga dia sudah khatam. Sendirian saat pernikahan kakak keduanya sama saja seperti menebar gula, semut di sana-sini alias gali kubur mandiri.

"Harus calon suami, loh," tambah Gayatri.

"Gampang itu-hah?!" Neta seketika membeo.

"Calon suami, Neta," ulang Adnan.

"APA?!" Neta makin histeris. Sendok garpu yang dipegangnya terlempar entah ke mana. Tubuhnya bahkan sudah bangkit dari kursi.

"Calon suami, Net," Edwin ikut-ikutan. Mungkin telinga adiknya tersumbat daging rendang. Siapa suruh setengah piring dihabiskan sendiri.

"HAH! APA?!"

"CALON-"

"GUE NGGAK BUDEG, BANG!"

"Terus ngapain lo teriak-teriak, Net. Mau nyaingin tangisannya Rio?" balas Agam tak mau kalah. Mereka boleh saling menyayangi, tapi urusan adu mulut jangan ditanya.

"Diem lo, Bang!" Neta menatap Agam dengan garang. Meski belum mengerti situasi, masalah ini berkaitan dengan Agam.

Tepat ketika Agam hendak bersuara, Adnan menengahi dan membuat suasana kembali kondusif. Dengan sedikit pelototan, ia berhasil membuat Neta kembali duduk di kursinya. Dari sorot mata, Adnan tahu jika putrinya itu bertanya-tanya. Yah, alih-alih menjelaskan pelan-pelan, istrinya memang selalu to the point.

Adnan melirik istrinya sebelum kembali fokus kepada Neta yang tampak gelisah. "Jangan potong ucapan Papa," peringatnya lebih dulu. "Selama ini kami enggak pernah membahas soal hubungan percintaan kamu, tapi sejak Agam mempersiapkan pernikahan, kami memikirkan kamu dalam beberapa kesempatan."

Siapa yang minta dipikirkan? Tentu saja Neta tidak bisa meneriakkan hal itu. Dari awal sudah ada rambu-rambu dilarang menyela. Kalau dilanggar tilangnya tidak main-main. Tapi, ayolah, diusianya yang orang-orang anggap sudah harus menikah, Neta merasa masih muda dan masih ingin bekerja dengan bebas

"Ini bukan masalah usia atau karir kamu yang sebenarnya bisa dibicarakan bahkan setelah menikah. Kalau begitu kami pasti sudah suruh kamu nikah sejak beberapa tahun lalu."

Neta merinding. Penasaran sejak kapan ayahnya itu mempelajari ilmu telepati.

"Sebelumnya kami tenang karena dua kakak kamu yang masih bisa mengawasi kamu waktu tinggal di luar. Tapi sekarang beda, Net. Edwin sudah sibuk dengan keluarganya, dan Agam juga sebentar lagi akan menikah. Mereka tidak akan bisa mengawasi kamu seinstens dulu."

Tatapan maut Neta menghunus Agam yang sedang bermain ponsel. Semakin jelas jika kakak keduanya yang jadi akar masalah hari ini, tetapi dia malah asik sendiri, senyam-senyum di depan benda persegi. Biar Neta tebak, Agam pasti sedang sayang-sayangan dengan calon istrinya.

"Kamu sudah besar dan bisa membuat keputusan sendiri. Kamu terlalu mandiri sampai memberi kabar ke orang tua pun jarang sekali-"

"Nge-chat kalau ada butuhnya doang," sela Gayatri.

Di tempatnya Neta meringis pelan. Semua alasan pembelaan diri sudah dikupas tuntas oleh ayahnya. Ia kehabisan kata-kata untuk mengelak.

"Yang ...," panggil Adnan lembut. Ia sengaja mengambil alih agar tidak ada adu mulut dan informasi putus-putus.

"Kamu kelamaan, Mas," jawabnya acuh sebelum beralih menatap Neta. Dia bukan penyabar seperti suaminya. "Intinya kamu harus bawa calon suami ke pernikahan Agam."

"Pacar aja-"

"Mama punya kandidat buat calon kamu," sela Gayatri cepat. Kalau untuk urusan salip-menyalip, tidak ada yang bisa mengalahkan ibu-ibu.

Neta terbungkam. Orang tuanya tidak akan punya rencana tanpa strategi. Mereka tahu dirinya single dan sudah mempersiapkan kandidat segala. Sungguh perencanaan yang matang. Neta hanya perlu duduk dan menyantapnya, tetapi dia tidak bisa menerimanya semudah itu.

"Aku enggak mau dijodoh-jodohin."

Senyum di bibir Gayatri surut. Meski sudah bisa menebak reaksi anaknya, ia tetap saja berharap. Lagi pula sejak kapan Neta jadi anak penurut yang hanya manggut-manggut.

"Kalau gitu kamu cari sendiri."

"Ma ...."

Neta frustasi level tinggi. Cari calon suami sendiri perihal lain, masalah utamanya itu tenggat yang diberikan. Acara pernikahan Agam kurang dari empat bulan lagi.

"Selama ini kita enggak pernah minta apa-apa sama kamu."

"Masa satu permintaan aja enggak bisa kamu turuti, sih?"

Double attack dari orang tuanya. Untuk rasanya jangan ditanya. Jleb sekali tepat di ulu hati. Memiliki orang tua yang tidak berpikiran kolot merupakan privilese tersendiri bagi Neta. Perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu bisa bebas menjalani hidup sesuai keinginannya. Dia tidak pernah mendapatkan pertanyaan kapan lulus, kapan kerja, kapan nikah apalagi kapan punya anak dari orang tuanya.

Neta tidak mau seperti Malin Kundang yang berubah jadi batu karena durhaka. Masalahnya, embel-embel satu permintaan itu terlalu sulit diwujudkan. Sekalinya punya permintaan mereka tidak main-main, benar-benar totalitas. Kenapa tidak sekalian saja minta dibuatkan seribu candi dalam satu malam.

Neta meradang. Ampun, Ma, Pa! Coret saja dirinya dari kartu keluarga. Calon suami dadakan tidak ada di keranjang kuning!

Malam itu Neta pulang dengan kepala penuh. Celotehan Agam yang mengantarnya pulang tidak ditanggapi. Dia tampak berusaha menghibur Neta yang bahkan tidak menghabiskan sisa makanannya. Walau bagaimana pun, Agam punya setitik rasa bersalah kepada adiknya.

"Net, Neta!" panggil Agam ketika Neta keluar dari mobilnya tanpa berpamitan.

Mematikan mesin, Agam cepat-cepat turun menyusul Neta. Panggilannya sama sekali tidak di respon sang adik. Agam dengan cepat menghadang Neta yang akan masuk ke studio sekaligus rumahnya.

"Lo marah sama gue?" tanyanya kemudian.

Neta menghela napas. "Enggak, tapi gue butuh pelampiasan, Bang."

"Harus gue, nih, yang jadi pelampiasannya?"

"Masih ada Bang Edwin, sih. Tapi gue nggak mungkin nyuruh dia cerai, kasian anaknya masih kecil."

"Terus gue?" Agam menunjuk dirinya. "Lo nggak kasihan sama gue. Gue mau nikah, lagi banyak pikiran, tapi jadi samsak dadakan buat lo."

Neta menjentikkan jari. "Bagus itu, Bang. Gue harap pikiran lo tambah banyak biar kecapean sampai nggak jadi nikah. Kalau gitu, kan, gue nggak usah bawa calon suami segala."

Ekpresi Agam berubah drastis, ia tersenyum kecut. Setitik rasa bersalah yang dimilikinya hilang tertiup angin malam. Sia-sia saja mengkhawatirkan Neta.

"Minggir, Bang. Gue mau buat ritual biar Mbak Andin terbebas dari pelet lo dan kalian batal nikah."

Agam menarik napas dalam-dalam sebelum bergeser dua langkah ke kiri. Otak adiknya sedang konslet. Jadi dia harus sabar agar rezekinya terus lancar. Ingat, Neta itu jomlo sejati. Permintaan mamanya pasti membuat perempuan itu kehilangan rasa simpati.

"Gue udah liat daftar kandidat Mama-"

"Maksud lo kandidatnya lebih dari satu?" sela Neta dengan mata melebar. Begitu Agam mengangguk, kepalanya tiba-tiba pening.

"Nanti gue kirim profil mereka lewat chat. Lo bisa coba kenalan dulu. Mama sama Papa nggak nyuruh lo langsung nikah."

"Lo nggak punya saran lain apa?"

"Untuk masalah ini enggak. Kebetulan gue sama Bang Edwin udah setuju."

Sebelum mendapatkan pukulan maut, Agam cepat-cepat masuk ke mobil dan pergi dari sana. Meninggalkan Neta yang masuk ke studio dengan perasaan jengkel. Terlebih ketika ponselnya terus berdenting tanda pesan masuk. Ada satu, dua, tiga, empat ... sebenarnya ini kandidat calon suami atau kandidat capres, banyak sekali.

"Loh, Bang, belum balik?"

Perhatian Neta dari ponsel teralih saat menemukan salah seorang pegawainya keluar dari toilet. Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas.

"Ada yang ketinggalan, terus tiba-tiba dapet panggilan alam. Lo baru balik?"

"Iya, nih."

"Oke, gue balik sekarang. Jangan lupa kunci pintu."

Neta mengikuti lelaki yang usianya satu tahun lebih tua itu ke pintu depan. Tadi Neta tidak sadar jika ada satu mobil lain yang terparkir di depan studionya. Matanya mengikuti pergerakan lelaki itu sampai masuk ke dalam mobil. Bersamaan dengan mesin dan lampu yang menyala, lampu tak kasat mata di atas kepala Neta juga ikut menyala terang.

Tergesa, Neta berlari menghampiri mobil Fortuner yang sudah siap melaju. Tangannya mengetuk kaca jendela pengemudi. Tidak butuh waktu lama si pengemudi menurunkan kaca jendela dengan wajah bertanya-tanya.

"Kenapa, Net?"

Neta menunduk, mensejajarkan tingginya dengan si pengemudi. Ia menarik napas panjang lalu mengukir senyum lebar. "Nasuta Ezlain, jadi calon suami gue, ya?"

Lelaki yang akrab dipanggil Suta itu merapatkan bibir. Matanya sibuk mencari sisa-sisa kejahilan di wajah Neta. Nihil, tetapi itu masalahnya. Ini bukan bulan April dan Neta bukan tipe orang yang suka buat prank.

"Neta ...." panggilnya usai membiarkan suara mesin mobil menjadi pengisi latar sekitar tiga menit. Satu tangannya terulur, menyentuh kening Neta untuk memeriksa suhu tubuh. Tampak normal, berarti kemungkinannya Neta mabuk atau, "Lo kesambet di mana?"

Berlatar tempat parkir studio foto, dengan alunan suara mesin mobil dan pencahayaan remang-remang. Lebih dari absurd. Malam Jumat membuat suasana lamaran implusif itu kian horor dan mencekam. Pertanyaan konyol Suta terdengar seperti penolakan di telinganya. Sungguh jump scare yang mencengangkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top