3. Jangan Bersikap Seolah Ada Aku

Apa bisa aku berbohong di depan Bunda? Aku sering berbohong di belakang Bunda, tapi tidak pernah saat berhadapan seperti ini.

Aku meremas selimutku. "Mirip dengan ketukan pintu." Ketukan sekali saat aku berbicara, tiga kali jika Bunda ingin memberi sesuatu dan masuk ke kamar. "Tapi di luar kamar. "

"Sebentar."

Aku mengangguk saja. Bunda keluar dari kamar sebentar, lalu kembali. Sepertinya meletakkan cangkir tadi. Bunda duduk di kursi yang biasanya kutempati saat kami mengobrol.  Bedanya, sekarang aku di atas ranjang.

"Alva tahu kan, kita sebentar lagi berangkat. Kita tidak sempat berdebat."

Suara Bunda seolah menuntutku jujur. Sepertinya cara pura-pura tersenyum tanpa beban tidak cukup. Apalagi, tentang ketukan itu pun Bunda tidak kuberitahu alasan sebenarnya. Dulu kami berdebat panjang sebelum membuat kesepakatan ketukan itu.

"Bunda akan mewujudkan kebahagiaan Alva."

Aku tersentak. Sayangnya, hal yang berhak kurasakan adalah rasa syukur karena masih dan ingin bernapas seperti manusia, tidak menjadi gila, dan tidak membahayakan Bunda.

"Bunda akan melakukan apa pun yang Alva minta. Karena Bunda sayang Alva."

Kalau Bunda tidak melihatku, apa Bunda bisa mengucapkan itu? Aku merasa bersalah, karena memikirkan hal seperti ini pada saat Bunda tulus.

"Kalau begitu berjanjilah, Bunda. Di depan orang lain nanti," Aku meneguk salivaku, "jangan bersikap seolah ada aku di sekitar Bunda."

Kalau Bunda mencaciku sebagai anak durhaka, aku akan menerimanya. Itu lebih baik daripada membayangkan Bunda dinilai sebagai orang gila atau orang yang memelihara hantu sebagai anak.

"Teman-temanmu di sekolah lama juga janji  begitu?"

"Iya."

Bunda tidak perlu tahu. Nyatanya, mereka bahkan tidak bisa membuat janji denganku.

"Kalau Bunda gagal bagaimana? Coba bayangkan, Bunda bilang, Alva nanti pura-pura tidak lihat Bunda meski sedang mereog. Bisa?"

Bunda ... mereog? Aku menekan bibir kuat-kuat. Kalau ini, betulan lucu. Bunda yang tenang lalu mereog. Aduh, kenapa kalau bicara dengan Bunda, selalu jadi begini. 

"Kalau susah, coba bayangkan Bunda sekarang mengobrol, menatap Alva seperti ini, tapi Alva tidak fokus atau menanggapi Bunda. Memang Alva bisa? Apa Alva kuat?"

Bunda bilang tidak mau berdebat, tapi lebih dulu memancing. Aku tidak bisa membantah. Kalau Bunda yang sangat berharga dan baik padaku meminta seperti itu, aku bahkan akan gagal di percobaan pertama. Aku ... paling tahu rasanya berada di posisi "contoh" itu. 

"Susah, Alva. Soalnya Bunda sayang Alva." Aku terdiam. Sudah kuduga, tidak usah berangkat saja. "Gantinya melakukan itu, Bunda akan sering-sering mengirim pesan, telepon, dan menggunakan GPS. Oke?"

Aku terperangah tak percaya. Bunda lagi-lagi menerima permintaan anehku. Aku mengangguk dengan semangat.  Tidak akan aneh kalau Bunda mengajakku bicara lewat telepon. Aku juga tidak akan keluar dari area sekolah, jadi GPS tidak jadi masalah.

"Nah." Bunda berdiri. "Sekarang Bunda mau siap-siap. Lihat jam berapa sekarang? Sepertinya di luar sudah terang. Jadi, Alva harus cepat ya."

Aku mengangguk lagi. Begitu Bunda keluar, aku buru-buru melepas selimut yang sudah membungkusku seperti kebab ini, lalu berlari ke kamar mandi. Sekarang, hanya permasalahan bagaimana agar perjalanan kami aman.

Sejak aku tahu kalau ada "bakat" aneh dalam diriku , aku selalu berusaha menebaknya. Dari kejadian sehari-hari dan buku fantasi. Aku pernah ke toko buku, mencari buku yang 'pasti' tentang bakat bisa menghilang atau lainnya, tapi tidak ada. Bundaku tidak seperti itu, ayah ... entahlah.  Ayah sedang di luar kota, tidak bisa dihubungi sering-sering, lalu suatu hari kami terbiasa hidup terpisah tanpa kabar.

Ini bukan gen. Kalau di buku fantasi, semua ada penyebabnya. Aku sudah berusaha mencari tahu, dari gen, tapi bukan dari ayah dan ibuku. Di atas mereka harusnya nenekku ... tapi aku tidak sanggup memastikannya.  Ada juga pemberian alam, kutukan dari musuh, dan terpilih oleh takdir.

Kalau di novel fantasi, kekuatan atau sihir bisa dikendalikan meski pasif sekalipun selama tokohnya konsentrasi pada tujuan.

Aku menyiram air dengan brutal ke tubuhku. Nyatanya, tidak begitu.  Konsentrasi? Sudah berkali-kali aku berpikir "kelihatan-kelihatan" tapi tidak terjadi apa-apa.  Kurasa tidak perlu berpikir "menghilang, menghilang, menghilang" sekuat tenaga, karena tanpa tenaga pun, aku tidak kelihatan.

Tapi Lin bisa untuk beberapa saat.

Terkadang, aku bingung. Satu waktu di masa lalu, bakat ini seolah mempengaruhi orang lain juga. Karena itu, terjadi kecelakaan.  Di sisi lain, itu hanya sekali kejadian, karena hingga sekarang hanya keberadaan diriku yang tidak terlihat.

Aku menyikat gigi dengan lambat, karena masih berpikir. Kalau menekan rasa takutku, ada kemungkinan tidak akan ada yang terjadi meski aku dan Bunda berada dalam satu mobil. Akan tetapi, ketidaktahuan bisa membawa petaka. Aku harus menyingkirkan kemungkinan terburuk.

Odol yang harusnya ada di gigiku merosot ke kerongkongan.  Akibatnya aku terbatuk keras, berusaha mengeluarkannya dari sana.

Berusaha mengeluarkan sesuatu yang bisa masuk  ...?  Aku berkedip. Dapat. Aku tahu caranya agar Bunda aman dariku.

Aku hanya perlu mengeluarkan keberadaanku sekuat tenaga.

"Alva! Nanti terlambat!" teriak Bunda dari luar pintu. Aku juga hampir selesai mandi, sih.

Begitu selesai berpakaian, aku menyisir rambutku yang panjang dengan brutal---aku dikejar waktu---dan memakai jepit rambut berbentuk hantu di poni. Tidak lupa membawa handphone, lalu menarik gagang pintu. Akhirnya, aku keluar kamar. Suasana rumah terlihat baru, mungkin karena aku baru keluar sejak kejadian kehujanan saat itu.

"Maaf, Bunda." 

Bunda tersenyum, makin terlihat cantik. "Tidak apa, masih ada waktu setengah jam. Yuk ke mobil. Alva duluan."

Ajakan itu cukup membuatku merinding dan ingin tidak berangkat. Akan tetapi, aku berhasil menekan itu, melangkah maju, dan menyentuh pintu mobil.

Aku melirik Bunda yang baru saja mengunci pintu rumah lalu mobil di depanku. Mendadak kepalaku pusing sekali. Sepertinya juga tubuhku jadi sedikit dingin. Aku mengerutkan dahi, tidak suka dengan kondisiku ini. Seperti memberi tanda buruk.

"Alva, sebentar, Bunda belum buka kunci pintu mobil." Bunda terkekeh.  "Tidak sabar naik mobil ya?"

Tidak sabar kabur dari mobil, Bun.  Tentu saja aku tidak bisa menjawab itu. Aku mengambil tiga langkah ke belakang, mengamati roda mobil, batu-batu segi enam yang membentuk jalan di bawahnya, setidaknya tidak akan ada masalah ban rusak. Bagaimana dengan kemungkinan rem rusak?

"Bunda?" Apa suaraku terdengar? Jendela bagian depan mobil terbuka. "Apa remnya baik-baik saja? Tidak dicoba dulu?" Sebelum aku masuk, tambahku dalam hati.

Bunda menjawab singkat kalau akan mencobanya. Aku semakin menjauhkan diri sambil mengamati mobil yang mulai maju perlahan, lalu berhenti. Setelah itu, wajah Bunda keluar dari jendela. "Sudah siap, yuk masuk."

Sejak aku masuk mobil, aku tidak ingat apa pun selain berpikir jangan lengah. Aku tidak bisa menikmati langit yang cerah hari ini dengan santai. Sebelum ke jalsn yang ramai, aku menyalakan stopwatch. Sepanjang perjalanan aku terus melihat ke belakang, lalu melihat keadaan luar dari jendela samping, sesekali melihat ke spion dengan susah payah. Bunda bercanda beberapa kali sembari memintaku untuk berhati-hati dan duduk yang tenang.  Aku tersenyum, aku sedang berhati-hati, makanya aku tidak bisa duduk dengan nyaman. Namun, Bunda tidak perlu tahu itu.

Saat mobil akan berbelok atau berhenti karena lampu lalu lintas itu membuatku sangat tertekan.  Aku terus berharap aku menghilang. Aku merapalkan kalimat "aku menghilang dari mobil sendirian" dengan cepat dan berulang-ulang dalam pikiranku. Di saat yang bersamaan membuka kedua jendela samping. Kalau dari stopwatch, kurang lebih selama 20 menit aku seperti ini.

"Alva."

Aku tersentak, lalu duduk di tengah agar bisa melihat kaca yang memantulkan bayangan Bunda.

"Ya?"

"Sebentar lagi sampai, jangan begitu nanti kamu jatuh."

Apa lebih baik aku jatuh ke luar saja agar Bunda aman? Oh, tidak bisa kan pintunya dikunci. Aku tersenyum kikuk. Lantas menatap spion dengan tatapan memelas.  "Rasanya sudah lama tidak keluar, maaf aku hanya semangat melihat-lihat, Bunda."

Aku mencengkram kursi, takut di saat aku fokus mendapatkan hati Bunda, ada bahaya yang menghampiri. Jika aku menolehkan kepalaku saat Bunda belum menjawab apa pun, apa tidak masalah? Hati dan keselamatan Bunda sama-sama berharga, aku jadi frustasi. Kulihat stopwatch-ku dengan cepat. Sudah lewat sekitar dua menit.

"Alva, lihat ke luar." Kesempatan! Aku segera memanfaatkan itu untuk mengamati sekitar. Jendela bagian kiri, yang sedang kusentuh tadi, terbuka sendiri. "Itu sekolah Alva. SMA Mega Kejora."

Kejora, bintang yang terbit di dini hari, bukan, lebih tepatnya julukan dari planet Venus. Bersamaan dengan angin yang menerpa rambutku, keteganganku memudar. Kecepatan mobil berkurang drastis. Seperti itulah Bunda menekankan padaku untuk menikmati pemandangan di luar sekolah ini. Pilar-pilar yang berbaris memagari sekolah ini memiliki lampu yang sedemikian rupa didesain menyerupai planet itu. Di bawah pilar-pilar ada kolam yang sangat dangkal. Lalu di tengah, gerbangnya seperti gerbang dua pintu biasa, tapi aku saat melewatinya aku sadar kalau di bagian tengah yang biasanya untuk kunci gerbang berbentuk setengah lingkaran di satu gerbang. 

Setelah melewati itu kecepatan mobil meningkat. "Bagus, ya? Mau berhenti dan foto dulu, tidak?"

Baru saja aku menoleh, jantungku seolah berhenti  berdetak. Seorang lelaki sedang berlari cepat ke arah sini. Aku langsung berdiri dan menyentuh pundak Bunda. 

"Bunda! Rem!"

Bunda menoleh padaku lebih dulu. "Kaget! Ada apa? Astaga!"

Gawat. Tidak sempat. Semakin jarak berkurang di antara kami dan lelaki itu, jantungku berdetak lebih keras dan menyakitkan. Kumohon, jika kekuatan itu aktif, hanya keberadaan aku sajalah yang menghilang. Tapi waktu tidak peduli dan lelaki itu sudah di depan mata. Walaupun mulai lambat dan rem akan berhasil, dia pasti terluka jika terkena bagian depan mobil  saat masih berlari. Bunda mencoba membunyikan klakson, tapi lelaki itu abai. Masalahnya di aku, bukan mobil atau pendengarannya tapi aku yang ada di dalam mobil ini!

"Bunda, buka kunci pintunya."

"Alva, mobilnya masih–"

"Bunda!" Aku menjerit frustasi.

Aku tidak tahu apakah aku harus sedih atau lega karena setelah menjerit seperti itu, aku mendengar suara kunci mobil terbuka. Aku langsung membuka pintu, meski hampir jatuh, aku berhasil menyeimbangkan diri dan segera melompat lalu menghindari pintu mobil yang terbuka lebar itu.

Kakiku berlari secepat mungkin ke arahnya. Bertepatan dengan tubuhnya yang hampir menabrak mobil, aku menarik tangannya ke samping, membuatnya terjatuh  ... di atasku. Berat, tapi bagaimana lagi, aku juga tidak bisa menjaga keseimbangan saat tubuhnya menabrakku. Seluruh tubuhku juga ngilu karena mendarat di permukaan aspal yang keras.

"Loh?" Dia bergumam, melihatku atau mungkin aspal di bawahku. "Kok bisa?" Buru-buru dia berdiri, membuatku lega bisa duduk dengan nyaman sambil berusaha mengusir rasa sakit tadi.

Aku melihat ke belakang. Mobil sudah benar-benar berhenti dan Bunda baru saja keluar dari pintu. Kurasa laki-laki di hadapanku juga melihatnya. Dia bergumam, "Sejak kapan ada mobil di sana?"

"Alva!"

Aduh Bunda, jangan memanggilku di depan orang lain. Kurasa itu memang sulit sekali untuk Bunda.

"Ya?"

Huh? Aku bingung. Lelaki di depanku baru saja merespons dengan sangat natural.

"Ibu memanggil saya?" Dia menunjukkan ke dirinya sendiri.

Aku cepat-cepat menyuruh Bunda diam dengan melambaikan tangan kiri dan menempelkan jari telunjuk kanan di bibirku. Bunda berhasil membaca tandaku dan menjawab dengan anggukan.

"Bagaimana Ibu tahu nama saya Alphaeus?"

°°°

7 Juni 2023

 1726 kata
Speeeeeeedrunnn
Harusnya Alphaeus masih debut nanti, tapi gapapa. Pertemuan yang berkesan kan? Meski si Alphaeus belum sadar.  Sepertinya aku akan menamatkannya dengan paksa "sementara" entah bagaimana endingnya, tapi aku janji tidak akan unpublish. Nanti bab yang tamat mungkin aku tulis ulang, masih nanti, anggap saja ini sudah mulai konflik 😭
Depresot dikejar DL dengan HP kentang.

Thank you Clouchi Aishipit anomaliez pinnavy atas dukungan vote, komentar, dan add reading list-nya! /Send love rain/

Salam semanis lolipop,
Yemimaliez

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top