Tale 15 - Kepingan Puzzle (I)
.
.
.
Dear Pram,
Aku udah pernah ngomong belum, kalau bisa kenal kamu itu benar-benar keajaiban? Aku bersyukur banget pokoknya aku bisa kenal kamu, bisa chat-an sama kamu, bisa denger suara kamu.
Kalau malam-malam, kadang aku kepikiran, kita beneran bisa ketemu nggak, ya? Tuhan beneran takdirin kita buat bareng-bareng terus nggak, ya? Tapi, aku malah takut sendiri, karena kepikiran kemungkinan yang terburuk.
Just want to you know, that I really love you. Nggak peduli kita belum pernah ketemu, nggak peduli yang kita punya cuma sementara, nggak peduli apa yang bakal terjadi di kemudian hari. I just love you so much. Dan aku seneng banget, kita jadi terbuka satu sama lain, berbagi rahasia, rasa sakit dan suka cita.
Salam sayang,
banyak-banyak dari Cacha.
Aku tidak bodoh untuk tak menyadari ada sesuatu yang berubah dari Pram akhir-akhir ini. Dia semakin jarang menelepon, menulis puisi untukku, dan membutuhkan waktu lama untuk menulis surat. Aku tidak tahu apa yang membuatnya berubah. Entah karena ia punya masalah yang harus diselesaikan atau dia punya orang lain untuk diperhatikan. Aku memikirkan semua kemungkinannya.
Meskipun hatiku merasa sakit, tapi aku siap. Hubunganku dengan Pram memang terasa dalam, seperti aku sudah mengenal lelaki itu untuk waktu yang lama. Namun, hubungan kami sebenarnya rapuh. Terlalu semu karena terbangun dari harapan-harapan yang kuingin yakini menjadi nyata. Jadi, sebelum Pram benar-benar menghilang dan hubungan indah ini berakhir, aku ingin menyampaikan perasaanku pada lelaki itu.
***
Lagi-lagi Mas Yudhis datang dan membuat kerusuhan. I just know it, from his face. Dan jujur, ini bukan waktu yang tepat untuknya muncul karena aku sedang tidak dalam mood untuk meladeni tingkah laku ajaibnya. Setelah mengonfrontasi Kak Kania di kampus aku seperti kehilangan tenaga. Selepas kelas yang berakhir pukul setengah tiga, aku bergegas pulang. Untuk menangis dan memendam amarah dan rasa jengkelku di kamar.
"Please, lo bisa pergi aja nggak? Gue beneran lagi badmood," kataku sambil merapatkan selimut bergambar mawar ungu menutupi sekujur tubuh dan berbalik menghadap tembok.
"Maaf banget harus ganggu hari lo," jawabnya, "Tapi gue butuh banget lo dateng ke Rista."
"Mbak Rista kenapa? B-bunuh diri?" Aku langsung berguling menghadap Mas Yudhis.
Lelaki itu menggeleng, wajahnya tampak pias. "Lagi cekcok sama pacarnya."
"Mahasiswa yang kema---"
"Bapak anaknya," potong lelaki itu cepat. "Please, Nin."
Aku langsung beranjak dari kasur, mengambil jaket dari gantungan di belakang pintu, slig bag dan kunci motor. Suara Mas Yudhis terdengar sangat tertekan dan sebagai perempuan aku jadi ikut khawatir akan kondisinya. Di tanah rantau, seorang diri, sedang hamil pula, pasti sangat berat.
"Ayo, Mas!"
"Bawa motornya hati-hati aja ya, Nin," tutur Mas Yudhis tiba-tiba muncul di hadapanku, "Nanti gue kasih tahu jalannya. Mereka cek-cok di rumah si laki-laki."
"Oh, oke .... " Aku mengangguk. "Lo bonceng gue aja, Mas. Jangan terbang. Takut guenya kagok lihat lo terbang di jalan raya."
Lima belas menit sudah aku membelah ramainya jalanan sesuai intruksi Mas Yudhis yang duduk membonceng. Aku menautkan alis saat memasuki gerbang komplek perumahan mewah. Dan setelah berjalan sekitar dua menit dari pintu masuk, Mas Yudhis memintaku berhenti.
Aku menatap bangunan lantai dua berwarna putih yang memiliki pintu gerbang hitam tinggi itu dengan decakan takjub. Untuk beberapa saat, terlupa akan tujuan awal kemari. Karena tak terkunci, aku bisa melenggang masuk dengan mudah dan saat menapaki teras rumah, suara Mbak Rista dan laki-laki asing terdengar nyaring di telinga.
"Don't make me mad, Rista. Berhenti teriak-teriak!"
Aku terpatung sejenak, menatap lawan bicara Mbak Rista yang sepertinya berusia jauh di atasku. Lelaki berkaus polo ungu, dengan celana bahan tampak memegangi bahu Mbak Rista yang siap meledak. Rambut hitamnya disisir rapi dengan sapuan gel dan kacamata kotak yang bertengger di hidungnya membuatnya terlihat seperti sosok lelaki dewasa yang bertanggung jawab. Namun nyatanya, penampilan memang bisa menipu.
"Biar aja, biar semua orang tahu, biar tetangga kamu tahu, kalau kamu hamilin aku!" seru Mbak Rista dengan nada tinggi.
"Rista! Jangan bertindak kekanakkan. Kita cari jalan keluarnya bareng-bareng."
"Aku? Kekanakkan? Kamu yang kekanakkan, Mas!" Mbak Rista menepuk dada lelaki itu. "Ke mana aja kamu? Teleponku nggak pernah diangkat, chat-ku nggak dibalas! Kamu mau kabur, kan?"
"Demi Tuhan, Rista ... aku nggak ada niat kabur sama sekali!" tukasnya setengah berdesis. "Aku harus pulang, anakku masuk rumah sakit. Kamu ngerti, dong .... "
"Anakmu yang di sini juga sakit, Mas ... aku sakit!"
Saat aku terpaku menyaksikan dua orang itu adu mulut, seorang pria menyenggol badanku dari belakang tiba-tiba, dan berjalan ke arah mereka. Itu Mister Bowo! Dia tampak mengusap-usap bahu Mbak Rista dan membujuknya duduk. Dia lalu meminta pacar Mbak Rista juga ikut duduk. Kemudian, Mister Bowo menoleh ke arahku dengan tatapan menyelidik.
"Kamu siapa?"
"S-saudaranya Mbak Rista," jawabku.
"Sini, jangan berdiri di depan begitu." Aku berjalan ke sofa yang Mbak Rista duduki tanpa berani menatapnya, karena takut Mbak Rista akan menanyakan kenapa aku bisa ada di sini.
"Mbak Rista ... untuk sementara, tolong pertimbangkan dulu saran dari adik saya. Sementara aja, karena untuk menikah resmi butuh waktu yang panjang. Sedangkan, kehamilan Mbak Rista semakin membesar," ujar Mister Bowo dengan suara berat dan tenang.
"Saya nggak mau nikah siri, Mister. Nggak akan ada jaminan kalau Mas Sadam nggak ninggalin saya."
"Aku nggak akan ninggalin Rista, sama sekali," pungkasnya seraya meraih tangan Mbak Rista, "Tapi aku perlu waktu, buat ngomong sama Bapak Ibu, ngomong sama istri. Aku perlu waktu."
Mbak Rista tiba-tiba terisak, membuatku terlonjak. Dengan ragu-ragu aku memeluk bahu perempuan itu lalu melirik ke arah Mas Yudhis yang berdiri di sebelah Mbak Rista.
Mas ... kok ruwet begini masalahnya?
Gue aja kaget, Nin. Gue nggak nyangka.
"Setelah videoku viral, sampai ada mahasiswa lain yang jadi korban karena dituduh hamilin aku, nggak pernah sekali pun kamu datengin aku ya, Mas," ungkap Mbak Rista dengan pilu. "Paling nggak tanyain gimana kabarku."
"Bukannya aku nggak mau, tapi nggak bisa!" Pak Sadam membela diri. "Kalau ada yang lihat, dan kenal aku gimana? Aku bisa dipindah atau malah dipecat."
"Lihat sendiri kan, Mister ... " ujar Mbak Rista sambil mendengkus, "Mengakui di depan orang banyak saya pacarnya aja dia nggak bisa."
"Aku dosen, Rista. Kita satu fakultas! Itu terlalu beresiko," sanggah Pak Sadam lagi.
Dosen? Wah, ini sangat mengejutkan. Mas Yudhis, Pak Sadam dosen apa?
Dosen Sastra Jepang.
"Kita nikah siri dulu, terus kita urus cuti kamu. Cari rumah yang layak buat kamu. Setelah aku ngobrol sama keluarga, keluargaku, keluargamu, kita bisa tinggal di sini, bareng," papar Pak Sadam.
Mbak Rista cuma diam, sesekali mengusap air matanya. Melihat wajahnya saja, aku sudah bisa membayangkan betapa beratnya beban yang ia tanggung. Aku tahu sih, Mbak Rista juga salah. Berhubungan dengan lelaki beristri, tanpa sepengetahuan pasangannya. Aku juga marah, tapi melihat kondisi perempuan di sebelahku, aku menyadari betul setiap tindakan yang kita lakukan memiliki resiko.
"Mbak ... " bisikku sembari mengusap-usap bahunya, "Mau pulang? Gue anter, yuk."
Perempuan itu mengangguk. "Saya pamit pulang dulu." Perhatiannya lalu terfokus pada Pak Sadam. "Hubungi aku kalau kamu sudah siap ngomong sama orang tua aku."
"Rista, please .... "
"Pokoknya Mas, aku mau anak kita punya bapak, tanpa sembunyi-sembunyi. Kalau Mas nggak bisa kasih itu, aku bisa bongkar semuanya ke publik," tandasnya dengan sorot mata tajam.
"Dan itu bisa bersihin nama Mas Yudhis," tukasku tanpa sadar. "Nama Mas Yudhis harus bersih."
Mister Bowo menatapku dengan kerutan di dahi. "Kamu kenal Yudhis?"
Aku mengangguk mantap. "Kalau boleh, selain minta Pak Sadam nggak lari dari tanggung jawab, saya minta nama Mas Yudhis dibersihkan. Paling nggak, pihak fakultas kasih klarifikasi kalau setelah penyelidikan Mas Yudhis nggak terlibat sama Mbak Rista. Dan, Mbak Rista emang punya suami." Pandanganku lalu jatuh pada Pak Sadam. "Jadi, Pak Sadam harus sesegera mungkin untuk menikahi Mbak Rista."
Mungkin, bagi banyak orang, permintaanku ini akan terdengar sangat egois. Tapi, selama beberapa bulan mengenal Mas Yudhis aku tahu dia tulus. Aku tidak mau ketulusan lelaki itu disalah artikan orang lain, dan malah menghancurkan dirinya sendiri.
"Ya, nama Yudhis harus bersih, Mas," imbuh Mbak Rista. "Cepet selesaikan masalah dengan keluargamu, aku tunggu, Mas."
Aku dan Mbak Rista bangkit lalu berjalan keluar rumah. "Mbak, aku bawanya motor, nggak apa-apa, kan?"
Perempuan itu manggut-manggut. "Nggak apa-apa."
Perjalanan menuju indekos Mbak Rista diisi keheningan. Setelah lima belas menit, akhirnya motorku menepi di depan indekos Mbak Rista. Perempuan itu tidak langsung masuk tapi menatapku dulu membuatku salah tingkah.
"Kenapa, Mbak?" Karena tak tahan, aku pun melontarkan pertanyaan.
"Gimana bisa lo tahu gue ada di rumah Pak Sadam?"
Tentu saja, dia akan menanyakan itu. Tapi, aku harus jawab apa? Mas Yudhis juga tidak terlihat. Ke mana dia? Tidak mungkin dia berjalan, kan dari rumah Pak Sadam kemari, kan?
"Nggak ada satu orang pun yang tahu gue punya hubungan sama Pak Sadam."
Aku menggigiti bibir bawah, meringis tak jelas karena belum menemukan jawaban yang tepat.
"Shanin, lo dateng ke sini, tujuannya apa? Kenapa lo seolah jadi ikut campur sama kehidupan gue?" Suara Mbak Rista semakin menuntut diiringi sorot matanya yang semakin gelap.
Aku pun menghela napas, berpikir untuk jujur. "Gue lihat foto lo di ruangnya Mister Bowo."
"Terus, lo tahu aja kalau Mister Bowo itu kakaknya Mas Sadam?"
"Gue tahu dari Mas Yudhis," jawabku jujur.
Lipatan di keningnya semakin banyak. "Yudhis? Yudhis kan masih koma. Jangan ngaco lo!"
"Gue nggak bisa jelasin apa-apa lagi kalau lo nggak percaya." Aku mengedikkan bahu. "Cuma mau kasih tahu aja, Mas Yudhis beneran peduli sama lo. Dan, dia selalu ada di sekitar lo. He was so afraid when he saw you almost cut yourself. So, please jaga diri, dan jangan sungkan buat hubungi gue kalau lo butuh sesuatu. Kalau lo nggak mau dengerin gue, lakuin itu buat Mas Yudhis."
Mata Mbak Rista melebar. Mulutnya membuka. Aku bisa melihat bibirnya sedikit bergetar. Tidak ada orang waras yang akan menelan ucapanku bulat-bulat, aku sadar itu. Aku saja kadang masih tidak percaya mengenal Mas Yudhis lewat arwahnya.
"G-gimana lo t-tahu?" tanya Mbak Rista terbata-bata.
Aku cuma tersenyum lalu menepuk-nepuk pundaknya. "Jaga diri ya, Mbak. Nanti gue chat lo. Nggak usah tanya gimana bisa gue tahu nomor lo." Selepas mengatakan itu aku langsung menarik gas dan melaju pergi.
***
Sepenggal Kisah yang Belum Usai dari Cacha dan Pram
"Lo kenapa akhir-akhir ini sering pulang sore, Cha?" tanya Alya saat Cacha menolak ajakan temannya untuk ke halte bus bersama.
"Ya, ada urusan aja. Soalnya gue mau tunggu bus ke kota, bukan ke rumah. Masih satu jam lagi. Gue mau nunggu di kelas aja," elaknya.
Akan tetapi, perempuan itu tidak percaya. Lipatan di antara kedua alisnya semakin dalam. "Ngapain ke kota? Hampir tiap hari?" Suaranya terdengar menyelidik dan penuh kecurigaan.
"Toko buku. Kalau kemarin ke toko perlengkapan kue, disuruh mama." Cacha dalam hati meminta maaf karena terpaksa berbohong.
Alya menghela napas akhirnya. "Ya udah, deh. Gue pulang dulu." Dia pun bergegas keluar kelas.
Sejujurnya, Cacha sudah kehilangan alasan untuk pulang malam setiap hari hanya untuk menemui Pram. Ibunya selalu bertanya dan untungnya, sang ibu selalu percaya saat ia mengatakan pergi ke rumah Alya untuk mengerjakan tugas. Kini, Cacha memang tidak mengerjakan tugas di rumah lagi, yang membuat ibunya tidak mencurigainya. Ya, karena sambil menunggu hari petang, gadis itu selalu mengerjakan tugas-tugasnya daripada tidak melakukan apa pun. Kadang, ia juga pulang lebih dulu dan akan keluar sore hari dengan alasan ada tugas kelompok yang harus dikerjakan. Namun, Cacha merasa akhir-akhir ini, ibunya mulai tak suka karena ia terlalu sering keluar.
Hampir empat jam Cacha menghabiskan waktu di sekolah untuk menunggu Pram datang. Gadis itu masih tidak tahu lelaki itu berada di kelas mana, sehingga ia tak bisa menemuinya lebih awal. Lelaki itu akhirnya muncul setelah Cacha menunggu di kursi taman seperti biasa. Rasa lelahnya langsung menguap saat matanya bertubrukan dengan mata jernih Pram.
"Maaf ya, kamu harus menunggu lama," kata lelaki itu setelah mendaratkan pantat di sebelah Cacha.
"Nggak apa-apa. Aku selesai ngerjain banyak PR hari ini."
Senyum terbesit di wajah Pram untuk beberapa detik. "Kamu siswa yang rajin."
"Aku cuma mau langsung tidur kalau sampai rumah. Dan emang nggak suka bawa tugas ke rumah aja," balasnya. "Kalau kamu gimana?"
"Aku bukan siswa yang terlalu rajin. Aku lebih senang menghabiskan waktu untuk menulis puisi. Pernah pulang sampai larut malam karena berlatih menulis puisi di sekolah bersama para guru untuk lomba."
"Lomba puisi? Aku kok nggak pernah denger."
Kekehan rendah mengudara dari bibir lelaki itu. "Mungkin, kamu harus mencari tahu."
Satu hal yang membuat Cacha takjub saat mengobrol dengan Pram adalah, lelaki itu selalu menggunakan bahasa baku. Bahkan bahasanya lebih baku daripada kata-kata yang ia tulis di surat. Hal itu membuatnya kadang mengikuti gaya bahasa Pram. Meskipun terdengar sedikit canggung di telinga.
"Cacha," panggilnya, "Sepertinya kita terlalu sering bertemu, ya? Aku tidak ingin pertemuan kita membuatmu terkena masalah."
Perempuan itu tergagap karena Pram tiba-tiba menyinggung topik yang harusnya lelaki itu tidak tahu. "N-nggak, kok! Tidak masalah."
"Aku minta maaf ya, sudah menyita waktumu."
Cacha menggeleng kencang, merasa bersalah. "Tidak, Pram. Aku tidak masalah."
"Bagaimana jika kita bertemu seminggu sekali, jadi kamu tidak perlu berbohong terus menerus pada temanmu?" Pram menatap Cacha dengan sorot mata teduh, penuh ketenangan.
"Atau, kita bisa bertemu sepulang sekolah? Nggak perlu menunggu hari gelap," usul Cacha mencoba peruntungan.
"Sayangnya aku tidak bisa." Satu sudut bibirnya turun ke bawah. "Aku minta maaf, Cacha. Aku terlalu merepotkan, ya?"
Cacha lalu meraih tangan Pram dan meremasnya pelan. "Tolong jangan berpikiran yang nggak-nggak. Kamu nggak merepotkan sama sekali."
.
.
.
Satu per satu misteri di cerita ini terungkap dan menemukan titik terang.
Pertama masalah Rista dulu....
Terus nanti masalah Pram
Masalah Yudhis
Dan masalah Shanin
Rista enggak diperkosa ya gaes... hehe..
Dan kalo kalian baca surat dari Shanin buat Pram, apakah kalian mencium bau-bau mencurigakan? Hehe..
Xoxo,
Ok tyas💓💗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top