Tale 14 - Perang Dimulai
.
.
.
"Hai," Mas Pram menghampiriku yang berdiri membaur dengan kerumunan menonton grup teater berlatih. "Gue kira nggak jadi nonton."
"Jadi, dong, Mas ... gue beneran penasaran sama teater soalnya," kataku jujur. Meskipun awal mula aku menonton latihan teater ini untuk Mas Pram, tapi tidak bisa memungkiri ternyata aku tertarik dengan kegiatan seni tersebut.
"Mau langsung balik atau mau nunggu latihan sesi kedua?" tanya lelaki yang mengenakan polo shirt hitam dan celana jeans.
"Oh, ada latihan sesi duanya?"
"Ada, habis maghrib. Tapi biasanya kita emang balik dulu."
"Ehm ... "
Cie ... lagi pedekate, nih?
Aku menoleh perlahan ke sumber suara menyebalkan yang tiba-tiba menelusup di telingaku. Aku menipiskan bibir, berusaha tetap tenang karena tak ingin disebut orang gila, karena mengamuk tanpa sebab. Ya, paling tidak itu yang akan orang-orang ini pikir.
Lo bisa pergi nggak? Ganggu aja! Tanyaku dalam hati.
Nggak baik loh, berduaan. Nanti orang ketiganya setan.... Mas Yudhis cekikikan.
Kapan Mas Yudhis tidak menyebalkan, sih? Lo setannya! Mas, please ... gue tuh masih ada perlu sama Mas Pram.
Gue bukan setan, ya ... gue arwah baik. Mas Yudhis melayangkan tatapan tajam padaku.
Apa, sih, masalah lo?
Mas Yudhis menggeleng dan menyengir tanpa dosa. Nggak ada, sih. Cuma pengin gangguin lo doang. Kemudian lelaki itu terbahak-bahak. Kalau begini, sudah pantas jadi sepupu Mbak Beti.
Ngaco lo.
"Nin, Shanin .... " Mas Pram mengayun-ayunkan tangannya di depan wajahku.
"Eh, iya, Mas?"
"Pulang aja, yuk? Kok gue merinding ya, tiba-tiba? Lo dari tadi juga diajak ngobrol nggak nyahut," tukasnya dengan raut khawatir. "Gue takut lo kenapa-napa."
"Eh, oke, Mas."
Aku masih dengar suara tawa Mas Yudhis yang sepertinya meledekku. Kasihan banget si Paris, dapat pacar kayak lo. Dia tuh lurus banget anaknya, mahasiswa berprestasi. Jangan lo ganggu.
Emangnya gue kenapa?
Nyusahin kayak bocil. Mas Yudhis melambaikan tangan padaku dengan tubuhnya yang perlahan melayang di udara. Dadah, jangan lupa beli Indomie ya, ayam geprek sama mie Aceh.
Ini lagi, gimana bisa ada setan doyan Indomie? Bikin pusing, deh. "Mas, gue nanti malam nggak bisa datang kayaknya. Tugasnya banyak," tukasku dengan senyum tipis.
Mas Pram mengangguk. "Nggak apa-apa. Gue udah seneng kok lo nonton latihan sore ini. Ditunggu ya, jangan lupa ikutan oprec."
"Siap, Mas."
Kami berdua berjalan bersisihan menuju tempat parkir. Aku mengeluarkan ponsel saat merasakan getaran di saku jaket. Nashwa mengirim tangkapan layar bagian terbaru cerita 'Tuan Puisi' milik Celoteh Senja yang menjiplak ceritaku. Aku mendengkus karena tak bisa menekan rasa kesalku. Fokusku sekarang tidak boleh terbagi. Aku harus bisa menemukan sosok Celoteh Senja sebelum liburan semester datang.
"Celoteh Senja, lo jahat banget asli," gumamku seraya menatap layar ponsel.
"C-Celoteh Senja?"
Aku baru sadar, masih ada Mas Pram di sebelahku. "Eh, nggak apa-apa, Mas."
"Tadi lo nyebut nama Celoteh Senja?"
"Iya. Kenapa, Mas?"
"Maksudnya Celoteh Senja yang penulis itu bukan?" Mas Pram menatapku.
Aku mengangguk. "Mas Pram tahu?"
"Tahu. Anak Sastra Korea."
Badanku membeku seketika. Kakiku seperti terpaku ke tanah. Aku tidak salah dengar, kan? "F-fakultas kita?"
"Iya. Yang suka nulis online itu, kan?" Mas Pram memastikan.
Aku lalu buru-buru membuka akun Celoteh Senja di Happy Read dan menunjukkannya pada Mas Pram. "Ini, bukan?"
"Iya, gue kenal orangnya. Kania nama aslinya," jawab Mas Pram tenang, tapi keningnya terlihat mengernyit. "Lo ada apa, sih, sama Kania?"
"Mas Pram kenal Kania dari mana?"
"Dulu daftar teater bareng, tapi mundur. Pernah deket sebentar. Ya, gue tahu karena dia cerita," bebernya.
Aku tanpa sadar langsung memeluk lengan lelaki itu, saking senangnya. Bahkan, mataku berkaca-kaca karena terharu. Mas Pram meringis sambil menepuk-nepuk pundakku membuatku melepaskan tangannya. "M-maaf, Mas ... maaf. Gue seneng banget soalnya. Jadi, Celoteh Senja ini ambil cerita gue. Dan gue pengin dia berhenti publish cerita gue. Gue pengin ketemu sama dia." Aku membuka karya Celoteh Senja yang berjudul 'Tuan Puisi' dan menunjukkannya pada lelaki itu.
Mas Pram menunduk, fokus membaca deretan huruf yang terpampang di layar. Hatiku bergemuruh hebat, ingin melihat reaksi wajahnya. Jika dia benar Pramku, lelaki itu pasti akan menyadarinya. Puisi-puisi dalam cerita itu adalah buatannya. Tidak mungkin Pram dapat melupakannya begitu saja.
"Kania jiplak ini dari lo?" tukasnya seraya memicingkan mata padaku.
"Iya, Mas. Buku cerita gue hilang di perpustakaan dan beberapa hari kemudian, Celoteh Senja publish cerita baru, yang isinya sama persis begini," jelasku.
Mas Pram menggeleng-gelengkan kepala. "Gue kenal Kania, gue yakin dia nggak akan ngelakuin hal serendah itu. Apalagi buat karyanya."
"Jadi menurut Mas, gue bohong?"
"Gue kenal Kania dulu daripada lo. Dan selama ini yang gue tahu, dia penulis keren," pungkasnya.
Aku tercenung beberapa saat. Seperti ada bongkahan es yang dijatuhkan ke dadaku. Satu sudut bibirku terangkat naik, tersenyum miring. Satu kalimat dari lelaki itu cukup membuktikan jika dia bukan Pramku. Aku tidak peduli itu, karena aku lebih sakit dengan fakta dia memberiku tatapan penuh menilai, menuduh, seolah aku orang gila di sini. Bahkan, jika dia Pramku, aku bisa berhenti mencintainya dengan mudah.
"Terserah lo, Mas. But, makasih udah kasih tahu gue siapa Celoteh Senja." Aku langsung melangkah pergi menuju ke tempat motorku terparkir meninggalkan Mas Pram tanpa menoleh dua kali.
***
Bersama Nashwa dan Desi, aku menunggu di depan ruang kelas tempat Kania, atau Celoteh Senja berada. Berbekal nama dan jurusan Kania dari Mas Pram, aku bisa menemukan Instagram perempuan itu. Selanjutnya, aku lalu mencari jadwal kelas kuliah Sastra Korea semester 5 di website kampus. Harusnya sih, sepuluh menit lagi pintu itu terbuka. Keringat dingin sudah memenuhi telapak tangan.
"Kalau Kania udah keluar, langsung seret aja ke belakang," kata Desi berapi-api.
"Tanyain baik-baik dulu, ajak ngobrol," timpal Nashwa dengan kerutan di kening. "Jangan bar-bar begitu."
"Eh, Nin, lo udah siap, kan?"
Aku mengangguk. "Harus siap. Gue harus bawa buku itu pulang secepat mungkin."
Pukul setengah 11, pintu terbuka yang kemudian diikuti para mahasiswa berhamburan keluar. Aku memperhatikan wajah mereka satu per satu, tak ingin kecolongan. Punggungku menegak saat menangkap wajah yang familier. Tanpa sempat memberitahu Nashwa dan Desi, aku melangkah cepat menghampiri perempuan yang memakai kemeja lengan panjang hijau lumut yang digulung ke siku dengan celana jeans abu-abu.
"Kak Kania!" panggilku saat jarak kami semakin jauh. Aku tak ingin kehilangan jejaknya.
Perempuan itu untungnya mendengarku dan menoleh. "Iya?" Kak Kania berhenti di tempat dan memberiku tatapan bingung.
"Boleh ngobrol sebentar, Kak?"
"Ehm, ada apa, ya?"
"Kakak penulis Celoteh Senja?"
Kedua sudut bibirnya terangkat perlahan, membentuk senyuman. "Iya. Lo baca cerita gue?"
Aku menoleh ke belakang, dan saat mendapati Nashwa bersama Desi sedang berjalan ke arahku, kuhela napas lega. Ingin sekali aku melepas senyumannya. Bisa-bisanya dia berbangga hati setelah menjiplak karya orang lain? Sangat menjijikkan.
"Kak, cerita lo yang 'Tuan Puisi' bagus banget," sindirku menipiskan bibir.
"Oh, thanks. Itu cerita baru, dan emang gue lagi coba style nulis baru. New experiment," ujarnya tanpa tahu malu.
"Pram sama Cacha?"
Dia mengerutkan kening, pasti merasa heran kenapa bisa aku tahu siapa nama tokoh si tuan puisi, karena dia belum mengunggah part yang memperkenalkan nama si tuan puisi.
"Kenapa, Kak? Kaget gue tahu isi ceritanya?"
"Mau lo apa, sih?" Dia mendesis.
"Itu cerita gue, Kak. Lo plagiat cerita yang gue tulis di buku," tukasku dengan napas tertahan. "Sekarang, gue minta tolong banget, balikin buku gue. Sepenggal Kisah yang Belum Usai dari Cacha dan Pram."
Kak Kania menggeleng. "Gue nggak tahu maksud lo apa." Ia lalu buru-buru memutar tumis untuk pergi.
Namun, aku langsung mencekal tangannya membuat dia memekik. "Maaf Kak, tolong banget ... gue nggak minta apa-apa lagi selain balikin buku gue," pintaku dengan sorot mata tajam.
"Kak Kania, temen gue nggak bakal koar-koar ke orang-orang kalau cerita lo plagiat kok. Dia cuma minta bukunya dibalikin aja," imbuh Nashwa yang entah dari kapan sudah di sampingku.
"Gue nggak tahu maksud lo apa, ya." Dia menarik tangannya dari cekalanku, tapi aku mencengkeramnya erat. "Lepasin, nggak? Kalau nggak, gue bakal teriak."
"Kita tahu lo plagiat, Kak. Lo pasti tahu buku yang kita maksud. Buku sampul ungu yang lo temuin di perpustakaan universitas," pungkas Desi.
"Lepasin!" Kania menarik tangannya dari genggamanku lebih erat membuatku, tapi aku belum juga melepaskan. Aku tak mau. "Lepa---"
"Ini ada apa, sih?" Tanpa kuduga, Mas Pram datang dari belakangku. Ia menatapku dan Kak Kania bergantian.
"Kak Kania harus kembaliin buku gue yang dia curi," kataku menjawab pertanyaan Mas Pram. "Buku yang isinya udah diplagiat sama dia."
"Apaan sih, lo? Ngaco banget!" sangkal Kak Kania. "Lepasin!"
Mas Pram menatapku tajam. "Lepasin Kania dulu, Nin. Kalau mau ngomong baik-baik, jangan ribut di lorong begini." Terpaksa, aku menuruti perkataannya.
"Lo ambil buku Shanin nggak?"
Kak Kania mengusap-usap pergelangan tangannya yang memerah sambil memutar mata. "Buku apa? Gue nggak ambil buku apa-apa, apalagi sampai plagiat cerita orang." Perempuan itu memelotot padaku sebelum bergegas pergi.
Mas Pram menghela napas. "Gue mau tanya sesuatu, apa lo penulis kayak Kania?"
"Nggak, Mas. Tapi gue emang bikin cerita yang diplagiat Kak Kania! Gue nulis di buku catatan yang hilang itu!"
"Ada bukti?"
Aku mengerutkan kening.
"Ada bukti kalau buku itu emang punya lo? Atau bukti kalau cerita yang ditulis Kania itu cerita lo?" Mas Pram kembali bertanya.
Aku menggigit bibir bawah karena tak punya bukti yang kuat. Aku hanya punya kumpulan puisi yang Pram tulis, tapi tidak punya salinan cerita bersambung itu, karena aku hanya menulisnya dua kali. Satu di dalam surat untuk Pram. Dan satunya lagi di dalam buku yang dicuri Kak Kania.
"Gue punya bukti kalau puisi di cerita Kak Kania, itu punya gue," tegasku.
"Di cerita itu, apa porsi puisinya banyak?"
Aku menggeleng. "Tapi, tetep aja itu bukan dia yang bikin, Mas!" protesku.
"Jangan bertindak gegabah sebelum lo punya bukti, Nin. Kalau lo emang yang nulis cerita itu, paling nggak lo punya file-nya di laptop, kan? Zaman sekarang nggak ada orang yang nggak nulis di laptop, Nin," tutur Mas Pram membuatku naik pitam. "Dan kalau pun itu beneran cerita lo, ikhlasin aja. Toh, lo bukan penulis."
"Eh, lo kalau ngomong yang bener, ya!" Desi berdecih seraya menunjuk wajah Mas Pram dengan jarinya.
Aku menggeleng-gelengkan kepala, tidak percaya akan mendengar kalimat seperti ini dari sosok yang awalnya kukagumi. Persetan dia Pram atau bukan, aku akan membencinya setengah mati. "You know, Mas, screw you," bisikku lalu berbalik pergi.
"Fuck you!" desis Nashwa gantian sebelum aku merasakan dia merangkul pundakku. "Tenang, Nin, kita bakal cari cara lain buat dapetin buku lo."
***
Sepenggal Kisah yang Belum Usai dari Cacha dan Pram
Jika Alya tahu Cacha menemui si Tuan Puisi sendirian, gadis itu pasti akan mengomel. Namun, bagaimana juga, Cacha sudah terlalu penasaran. Bahkan, ia mengabaikan resiko yang mungkin saja muncul, saat perempuan itu menemui orang asing, seorang diri, di halaman sekolah setelah petang. Sepertinya hanya orang gila yang mau melakukan itu.
Setelah dapat balasan dari Pram, ia menyetujui untuk bertemu dengan lelaki itu. Kemudian, akhirnya mereka menentukan hari dan waktu untuk bertemu. Meskipun agak merasa aneh, karena Pram hanya bisa menemui Cacha saat petang, tapi perempuan itu tetap menyetujuinya.
Suasana sekolah setelah petang, cukup sepi, walaupun masih ada beberapa anak yang menetap. Kebanyakan mereka ada anak cheerleader dan dance yang baru selesai latihan. Sesuai janji, Cacha menunggu di taman samping sekolah. Taman yang paling terang, dekat dengan kantor guru, sehingga tak terlalu menyeramkan. Ia duduk di salah satu kursi kayu, sambil mengayun-ayunkan kaki tak sabar menyambut kedatangan sang Tuan Puisi.
Angin malam berembus membuat Cacha menggigil. Biasanya tak sedingin ini, hingga membuat perempuan itu merapatkan jaketnya. Ia mengusap tengkuknya yang terasa merinding. Oh, Tuhan ... jangan buat ia menyesali keputusannya. Masih ada satpam di depan, kan? Jadi kalau ada apa-apa tinggal teri---
"Udah nunggu lama?"
Cacha tersentak dan menoleh ke belakang. Mulutnya ternganga saat mendapati sosok laki-laki asing berdiri di sana. Rambut hitam legamnya tersisir rapi, aroma wangi langsung menguar menusuk hidung. Seragam putih abu-abu masih masih melekat di tubuhnya.
Lelaki itu lalu tersenyum. Senyum paling manis yang pernah Cacha saksikan. "Aku Pram." Dia mengulurkan tangan pada Cacha lalu terkekeh kecil saat gadis di depannya masih belum merespon.
Dia Pram? Astaga ... sejak kapan ia punya teman sekolah setampan Pram? Tinggi, dengan kulit bersih dan senyum bersinar. Dia tampak seperti pangeran berkuda putih.
"Cha ... " Pram mengayunkan tangannya di depan wajah gadis yang terlihat membeku itu.
"Eh, oh ... " Cacha menyengir malu lalu menerima uluran tangan Pram dan berjabat tangan. "A-aku Cacha."
"Aku tahu. Aku pengagum rahasiamu," tukasnya dengan suara lembut diiringi senyum semanis madu. "Boleh duduk?"
"Boleh, boleh! Maaf, aku agak kaget," cicit Cacha menggigit bibir bawahnya.
"No problem." Pram menggelengkan kepala, "Akhirnya kita bertemu juga. Sesuatu yang tak pernah aku bayangkan."
Cacha mengangguk. "Aku juga." Mereka pun tertawa bersama. "Kalau boleh tahu, kenapa harus bertemu malam-malam?"
Pram menoleh untuk menatap gadis di sebelahnya. "Supaya tidak mengganggu aktivitas sekolah."
"Padahal, jam istirahat juga bisa," tukas Cacha dengan kening berkenyit.
"Kita tidak akan punya kesempatan berbicara dari hati ke hati karena waktumu habis untuk mengantri makanan di kantin," jawabnya masih dengan senyuman.
"Benar juga, sih," Cacha terkekeh kecil. "Kamu kelas berapa? Kenapa aku nggak pernah lihat kamu?"
Pram terdiam sebentar, tampak berpikir. Dahinya tampak seperti kertas yang baru saja diremas. "Mungkin, karena aku memang tak ingin terlihat."
"Kalau boleh tahu, sejak kapan kamu suka aku?"
"Sejak dua tahun yang lalu."
Mata Cacha melebar, terkejut. "Udah lama ternyata," gumamnya pada diri sendiri.
"Memang, tapi aku baru berani menunjukkan kekagumanku lewat puisi akhir-akhir ini," jelasnya, "Karena aku tidak tahu hal apa yang kamu sukai. Dan, aku juga tidak yakin kamu akan menyukai puisi yang kutulis."
"Aku suka banget!" ujar Cacha dengan mata berbinar. "Puisimu beneran bagus!"
"Terima kasih, Cacha." Dia menghela napas. "Rasanya seperti keajaiban, bisa menyebut namamu langsung seperti ini."
Semburat kemerahan muncul di kedua pipi Cacha. "Aku yang harusnya berterima kasih."
"Sepertinya sudah terlalu malam, nanti orang tuamu mencari. Ayo, aku antar pulang." Pram kembali menyodorkan tangannya.
Dengan malu-malu, Cacha menyambut uluran tangan Pram. Seperti ada ledakan kembang api di hatinya saat kulit mereka bersentuhan.
.
.
.
Cacha sama Pram akhirnya ketemu nih. Tapi kok malem-malem? 🧐🤨
Mencurigakan gak siiihhh🤪🤪
Bentar lagi ... Sebelum part 20 Shanin bakal tahu siapa Pram sebenernya...
Dan Cacha juga bakal tau siapa Tuan Puisi sebenernya😚😚
Jangan lupa spam komennn🥰🥰🥰🥰 kasih cinta yang banyak buat Yudhis sama shanin... ❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top