Tale 13 - Jejak Demi Jejak

.
.
.

Sepenggal Kisah yang Belum Usai dari Cacha dan Pram

Sepulang sekolah, Cacha langsung meletakkan surat balasan untuk Pram di lokernya. Ia berharap esok pagi akan menemukan surat balasan dari Pram, karena sungguh ia sangat ingin bertemu dengan lelaki itu. Dan, ia yakin jika Pram adalah sosok lelaki yang baik. Kapan lagi, pada zaman sekarang, ada seorang yang masih suka menulis surat?

Halo, Tuan Puisi

Aku lega sekali akhirnya kamu muncul. Aku sangat menantikan suratmu. Dan ya, aku yakin ingin bertemu denganmu. Aku rasa kamu bisa jadi teman yang menyenangkan. Dan maaf, aku tidak bisa membalas puisimu karena aku sangat payah.

Salam,
Cacha, pemilik loker nomor 9.

***

Celoteh Senja, tidak ada jejak yang bisa aku temukan dari akunnya di Happy Read. Ia seperti menutup rapat-rapat identitas aslinya. Pun saat aku mengunjungi akun Instagram perempuan itu. Hanya berisi foto tempat-tempat indah, makanan-makanan lucu, kumpulan quotes dari bukunya. Satu-satunya informasi yang kupunya adalah dia seorang perempuan berusia 20 tahun, yang itu berarti dia satu angkatan dengan Mas Pram. Andai saja aku tahu jurusan apa yang ia ambil, akan lebih mudah untukku mencari sosoknya.

Terlalu sibuk menyelidiki Celoteh Senja membuatku lupa akan Mbak Rista. Sudah cukup lama aku tidak mengunjungi indekosnya. Dan, oh, sudah lima hari ternyata sejak Mas Yudhis terakhir mampir. Pantas saja, akhir-akhir ini aku merasa sepi. Tidak ada partner berdebat yang membuatku naik pitam.

Mas Yudhis ke mana, ya? Apa udah bangun kali? Yah, padahal aku pengin minta bantuan dia buat cariin Celoteh Senja. Batinku seraya mengetik tugas dari Miss Anita yang harus dikumpulkan besok.

"Kok lo malah nggak seneng kalau gue bangun?" seloroh Mas Yudhis yang kini sudah berbaring miring di kasur, dengan tangan menopang kepala. "Jangan-jangan gue nggak sadar juga karena lo nggak rela gue tinggalin, ya?"

Aku sudah terbiasa dengan kemunculan sosoknya yang tiba-tiba. Aku meliriknya sekilas lalu kembali fokus ke layar laptop. Sudah pukul setengah sepuluh, aku harus menyelesaikan tugas ini sesegera mungkin.

"Halu mulu digedein," tukasku sengit.

Mas Yudhis mendecakkan lidah. "Bikin mie goreng dong, Nin. Gue ngidam nih, kayaknya."

Aku memicingkan mata ke arah lelaki itu. "Gue udah makan ya, Mas."

"Please ... gue kangen banget sama baunya itu. Udah tiga bulan gue nggak makan mie," mohon Mas Yudhis. "Nanti gue bantuin, deh, cari Celoteh Senja buat lo."

Aku menggumam sambil mengetuk-ngetukkan telunjuk pada dagu. Menarik juga tawarannya. "Beneran loh?"

"Beneran. Kapan sih, gue bohongin lo?" jawabnya cepat. "Buruan bikin Indomie goreng. Permintaan gue nggak aneh-aneh kok, nggak minta kurma dari Arab langsung."

Aku terkekeh kecil. Kenapa jadi nyambung ke sana, sih? Heran. "Bentar, gue selesaiin ini dulu, terus gue bikinin mie buat lo. Pakai telur nggak?"

Mas Yudhis mengangguk dengan senyum semringah. "Telur ceplok ya, Nin."

Sekitar lima belas menit kemudian, laptop pun kututup. Aku lalu mengambil satu bungkus Indomie goreng dari rak tempatku menyimpan makanan dan menuju dapur untuk memasaknya dengan Mas Yudhis yang setia membuntuti.

"Telurnya nggak usah kasih garam, Nin. Biar original," tuturnya saat aku mengambil sebutir telur dari lemari es yang berada di dekat kompor.

"Oke." Sambil menunggu air mendidih, aku mengaduk bumbu di piring sampai tercampur rata. "Lo suka mienya gimana? Mateng, setengah mateng, apa lembek?"

"Normal aja. Lagian yang makan mienya nanti lo," balasnya sambil berkacak pinggang. "Tuh, udah mendidih, buruan masukkin mienya."

"Jadi lo cuma hirupin baunya aja?" tanyaku sembari memasukkan mie ke dalam air mendidih.

Mas Yudhis mengangguk. "Kalau gue bisa makan, gue mending nongkrong di burjo, Nin. Nggak bayar tapi kenyang terus."

"Kalau berat badan gue naik, tanggung jawab loh, Mas."

Mas Yudhis memandangku dengan kernyitan di kening. Kedua alis tebalnya menyatu di tengah. "Minta ditanggung jawabin gimana, sih?"

Aku jadi bingung dengan pertanyaan lelaki itu. "Ya, gimana ... terserah lo, deh."

"Kalau lo nggak dapat pacar karena berat badan naik, gue pacarin, deh," tukasnya tertawa kecil. "Tapi tunggu gue bangun dulu. Siapa tahu, nanti gue lupa ingatan terus lupa gimana nyebelinnya lo."

Aku mendengkus dan memelotot sebal. "Tapi gue kan nggak lupa gimana nyebelinnya lo. Gue yang ogah," cebikku sambil menjulurkan lidah padanya.

Selagi menunggu mie matang, aku memasukkan telur ke wajan. Sepuluh menit kemudian, sepiring mie goreng dan telur mata sapi siap. Aku membawanya ke kamar dan membiarkan Mas Yudhis menghirup aroma lezatnya. Aku terkikik melihat tingkah menggelikan lelaki itu.

"Enak banget astaga, Nin... kok gue laper ya, jadinya?" gerutu Mas Yudhis duduk bersila di lantai dengan mie goreng di hadapannya.

"Ya udah, dimakan," jawabku setengah meledek.

Dia menggeleng lemah. "Dengan berat hati, gue menyerahkan mie goreng ini buat lo. Sana makan, Nin ... jangan sampai dingin. Sayang banget."

Aku tergelak puas melihat wajah layu Mas Yudhis. "Enak tahu, Mas," godaku mendekatkan mie yang tergulung di garpu ke hidung Mas Yudhis lalu memasukkan ke mulutku.

Lelaki itu cuma mencebik. "Eh, Celoteh Senja itu siapa?"

"Dia plagiat cerita gue," jawabku di sela-sela kegiatan mengunyah.

"Kok bisa?" Sepasang alis tebalnya bertemu.

"Lo inget kan, kemarin gue cerita buku gue hilang di perpustakaan. Terus, kemarin baru ketahuan, ada penulis besar di akun Happy Read, publish cerita baru persis kayak cerita gue. Dan, masalahnya gue nggak tahu dia siapa. Akun Instagramnya nggak ada petunjuk apa pun," jelasku.

Mas Yudhis mendengkus. "Anjir lah, cupu banget, plagiat."

"Bantuin ya, Mas ... gue harus ambil buku itu, Mas. Buku itu berharga banget buat gue, karena isinya gue tulis bareng cowok yang gue suka."

"Sama cowok yang nggak pernah lo temuin itu?" Aku mengangguk. "Gue usahain bantu, ya ... tapi masalahnya nih, gue hantu newbie nggak punya fitur buat nerawang."

Aku berdecih, ingin sekali memukul kepala Mas Yudhis. "Kalau lo nggak tembus pandang, gue pengin nabok lo, deh. Sumpah."

"Iya, iya ... gue bantuin. Gue nggak akan ingkar janji." Dia mengangkat dia jarinya, membentuk huruf v.

***

"Gue yakin foto ini dari kafe Kata Kita," tutur Nashwa menunjuk salah satu unggahan di akun Instagram Celoteh Senja.

"Buku-bukunya pun yang terbit pakai nama pena, nggak pakai nama asli," imbuh Desi.

Aku menoleh ke arah sudut kafe tempat yang sama yang diabadikan lewat foto oleh Celoteh Senja di Instagramnya. Aku, Desi dan Nashwa sengaja mengunjungi kafe ini untuk membuktikan dugaan salah satu tempat nongkrong Celoteh Senja adalah ini. Dilihat dari banyaknya unggahan Instagram Story yang diunggah, kami menyimpulkan jika perempuan itu sering menghabiskan waktu di sini untuk menulis ceritanya.

"Kita tunggu aja di sini, nanti kalau lihat ada cewek buka laptop di sini, patut dicurigai," tukas Desi.

"Des, banyak cewek buka laptop di sini." Aku melirik ke tiga perempuan yang terlihat tampak sibuk dengan laptopnya di meja-meja berbeda. "Masa kita mau intipin laptop mereka satu per satu?"

"Kita pantengin akunnya si senja itu. Lihat nanti fotonya di mana," usul Nashwa menjentikkan jari.

Aku mengangguk, setuju dengan usul Nashwa yang cukup rasional. Milkshake stroberi yang kupesan sudah habis setengah tapi tanda-tanda kehadiran pencuri bukuku belum terlihat. Kentang goreng, pisang krispi yang dipesan ramai-ramai pun tinggal remahan. Padahal, kami sudah menandaskan rice bowl menu pertama yang dipesan untuk makan malam.

"Mau pesan lagi? Gue yang traktir," kataku.

Desi menggeleng. "Udah kenyang, Nin. Nggak usah."

"Nggak apa-apa, gue yang traktir," kataku tak enak karena aku, mereka jadi menghabiskan waktu di kafe tanpa tujuan jelas.

"Ya elah, kayak nggak pernah nongkrong aja di kafe," cibir Nashwa. "Nongkrong di kafe demi wifi gratis."

Ketika lonceng di pintu kafe berdenting, aku otomatis menoleh. Tanpa sadar aku tersenyum saat melihat sosok yang masuk. Dallas dan Mas Pram, maksudku Paris. Mungkin karena terlalu lama menatap mereka, Dallas menyadari kehadiranku dan melambaikan tangan padaku dengan senyum tertempel di bibirnya. Aku membalasnya dengan senyum canggung dan buru-buru mengalihkan pandangan dari dua lelaki itu.

"Cem-cemannya Shanin pas makrab kemarin," cicit Desi sambil melirik ke arah Dallas dan Mas Pram yang masih mengambil buku menu di meja kasir.

"Dallas ganteng, sih. Udah, gebet aja," celetuk Nashwa.

"Gue nggak naksir sama Dallas, ya ... jangan fitnah lo pada," dengkusku.

"Eh, Nin, lo beneran sesuka itu sama cowok lo? Siapa namanya?" tanya Desi sambil memainkan sedotan di minumannya.

"Ih, bukan cowoknya," tegur Nashwa, "Tapi cinta pertamanya."

"Namanya---"

"Eh, mereka ke sini tuh," bisik Desi.

Belum sempat aku mencerna maksud dari perkataan Desi, kemunculan Dallas dan Mas Pram, di sisi meja, membuatku terlonjak.

"Nin ... " sapa Dallas, "Bertiga aja?"

"Kalau ramai-ramai nanti dikira nonton bola." Bukan aku pastinya tapi Desi dengan tampang menyebalkan. Bibirnya menyengir lebar membuatku malu sendiri.

"Lo sama kakak lo biasa ke sini?" tanyaku gantian, melirik ke arah Mas Pram.

"Lumayan. Eh, lo beneran mau ikut teater?" Dallas menjawil lengan kakaknya, "Pram, dia pengin ikut teater, nih. Baik-baikin deh, biar dapat member baru."

Senyum di wajah Mas Pram langsung mengembang. "Oh, ya? Oprec-nya baru nanti Januari. Nonton latihannya dulu aja," katanya dengan suara lembut dan tatapan hangat ke arahku. Ia tanpa canggung menatap kedua mataku.

Aku mengangguk, merasa malu tiba-tiba. "Kemarin udah kok, Mas."

"Oh, ya? Kok gue nggak lihat? Kapan-kapan kalau mau lihat, nyamperin gue aja."

"M-Mas Pram, baca puisinya bagus."

Dia tertawa kecil. "Biasa aja. Ditunggu ya, di latihan besok. Eh namanya siapa?" Mas Pram mengulurkan tangannya padaku.

"Shanin, Mas."

"Sampai ketemu besok ya, Shanin," katanya sambil menjabat tanganku.

"Gue suruh lo baik-baikin ya, bukan modusin," sindir Dallas sambil melirik sinis ke arah kakaknya.

Mas Pram cuma tertawa kecil. "Gue sama Dallas ke meja dulu, ya .... " pamitnya.

Sepertinya dua lelaki itu, aku dihadiahi tatapan jail dari Nashwa dan Desi. Mereka berdeham beberapa kali, membuatku ingin menyodorkan obat batuk.

"Bukan Dallas ternyata ... tapi Mas Pram," cibir Desi.

"Gue kira lo lugu, ternyata pro juga. Deketin adiknya buat gaet kakaknya. Bisa banget lo," tambah Nashwa.

"Apaan sih, kalian?" Aku langsung menyedot milkshake di hadapanku, malas menanggapi, atau lebih tepatnya malu. Jika dua temanku ini langsung menangkap gelagatku, apakah Mas Pram juga merasakan hal yang sama. Astaga ... kalau begitu, mau ditaruh mana mukaku.

Untungnya, godaan Nashwa dan Desi berhenti karena Celoteh Senja mengunggah Instagram Story baru. Aku, Nashwa dan Desi memang menyetel pengingat notifikasi agar kami dapat notifikasi saat perempuan itu mengunggah foto atau video terbaru di Instagramnya. Aku langsung mendesah kecewa saat melihat foto yang Celoteh Senja unggah. Dalam foto itu nampak tumpukan buku dan kertas di karpet berbulu serta laptop. Celoteh Senja menyebutkan jika sedang tidak mood keluar karena tugasnya terlalu banyak, sehingga ia juga harus menunda mengunggah bab terbaru ceritanya.

"Yah, ditungguin bener-bener ternyata nggak dateng ke sini orangnya," cetus Nashwa mencebikkan bibir.

"Maaf, ya ... gara-gara gue kalian jadi---"

"Apaan, sih, Nin?" potong Nashwa cepat, "Gue cuma nggak sabar buat labrak dia aja."

"Betul. Lo jangan minta maaf mulu, deh," keluh Desi mengerucutkan bibir. "Padahal gue udah ikhlas mau ngelabrak dia."

Aku tersenyum, merasa bersyukur. "Yakin berani labrak? Kita baru semester satu, loh?" tanyaku setengah terkekeh.

"Bisalah. Nanti gue cari pacar kakak tingkat dulu," sahut Nashwa menaik-turunkan alisnya.

***

Dear, Cacha ...

Sepanjang hidupku, aku nggak merasa ada yang harus kubenci sampai dua tahun lalu. Aku benci semuanya. Aku benci semuanya, sampai akhirnya pergi dari rumah. Tapi, aku juga berpikir kalau hal buruk itu tidak terjadi, aku mungkin tidak akan menemukan suratmu. Jadi, aku percaya di setiap hal buruk yang terjadi, akan ada kebaikan yang datang.

Cha, pernah nggak rasa cintamu pada seseorang, rasa sayangmu, kepercayaanmu lenyap begitu saja karena dikhianati? Kalau belum, aku harap kamu tidak akan pernah merasakannya. Rasa sakitnya, tidak akan pernah aku kulupakan sampai sekarang. Marah, kecewa, sakit hati, dan benci.

Jadi, jika kamu tanya apa hal yang kubenci saat ini adalah, kenapa aku harus mengalami hal ini. Jujur saja, karena kejadian itu, menghancurkan segalanya. Dan, di duniaku yang penuh kepalsuan, aku menemukanmu.

Menulis surat untukmu, menulis puisi, berbagi kabar denganmu, membuatku lupa akan kesakitan yang kualami di sini. You are my safe place, Cha. And always will be. Kalau suatu saat kita ketemu, aku nggak akan melepaskanmu.

Yang menyayangimu,
Pram.

.
.
.


Cerita ini insyAllah bakal tamat di part 30 ya... Masih ada separuh jalan, semoga kalian betah.

Btw, kemarin tuh aku betulan lupa hari. Taunya kemarin Rabu, ternyata Kamis ya. Hehe.

Bentar lagi, bentar lagi Shanin tau siapa sosok Pram. Bentar lagi Shanin ketemu sama si sosok Pram ini.

Dan pertemuan mereka bakal heboh banget.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top