Tale 11 - Kisah Kasih yang Belum Usai

.
.
.

Sepenggal Kisah yang Belum Usai dari Cacha dan Pram

Berhari-hari sudah Cacha tak mendapat surat balasan dari Pram. Dia merasa kehilangan. Perempuan itu terus menebak-nebak ke mana perginya sang Tuan Puisi. Ia jadi khawatir karena takut penggemar rahasianya sedang sakit atau mengalami hal buruk. Tapi, sejauh ini, Cacha tidak mendengar berita ada siswa yang tertimpa musibah, seperti kecelakaan atau meninggal dunia.

"Al, gue hampir seminggu nggak dapat surat lagi," adunya pada Alya sang sahabat, saat keduanya sedang menunggu bakso untuk makan siang di kantin.

"Oh, ya? Emang isi surat terakhirnya apa?" tanya Alya sambil menumpukan kedua tangan di meja. "Lo nggak perlu kasih tahu gue kalau emang nggak mau. Tapi maksud gue, lo ngerasa ada yang aneh nggak sama isi suratnya?"

Cacha mengetuk-ngetukkan jemarinya ke meja kayu. "Sebenarnya Al, ada sesuatu yang belum gue kasih tahu." Ia menyengir, merasa bersalah, karena tidak bercerita sepenuhnya pada sang sahabat, padahal Alya sudah banyak membantunya.

"Apaan? Jangan bikin gue takut, deh."

"Gue beberapa kali pernah kirim surat balasan ke dia dan dibales. Gue minta ketemu dia, karena gue suka sama puisi-puisi yang dia buat," bebernya.

"Oh, wow! Terus, dia mau?"

Cacha menggeleng. "Dia nanyain gue, yakin apa nggak mau ketemu. Terus dia kasih nama."

"Siapa?" Mata Alya berbinar, seiring dengan suaranya yang meninggi.

"Pram. Lo kenal ada anak namanya Pram di sekolah ini?"

Kerutan seketika muncul di kening Alya. "Gue nggak tahu, Cha. Kayak nggak pernah denger."

"Udah, selesai. Dia nggak balas surat dari gue lagi. Apa jangan-jangan dia ilfeel ya sama gue? Karena ngebet minta ketemu. Padahal, gue cuma minta diajarin bikin puisi."

"Ya, nggaklah! Gila kali, ilfeel! Lo yang harusnya ilfeel sama dia!" Alya mendecakkan lidah. "Ya udah, diemin aja. Nggak usah diurusin."

"Tapi gue penasaran, Al .... " Cacha menghela napas.

Alya memutar mata. "Kirim surat lagi aja. Taruh loker lo, kan?"

"Iya kali, ya? Gue harus nulis surat lagi buat Pram?"

"Gue nggak tanggung jawab lo, kalau ternyata pengagum rahasia lo jelek, orang aneh." Cacha terbahak lalu menggeleng. "Terus, kalau mau ketemuan, jangan berdua! Bahaya!"

***

Entah sudah berapa lembar tisu yang aku habiskan untuk mengusap ingus dan air mata. Sarung bantalku pun sudah basah kuyup karena aku tidak bisa berhenti menangis. Tak ada yang pernah membaca cerita itu kecuali Pram. Dan sekarang, membayangkan ada orang asing yang memiliki buku itu, mungkin kini sedang membacanya atau lebih parah mengejeknya, aku tak rela.

Percayalah, aku sudah mengelilingi gedung lima lantai itu, memasuki ruangan demi ruangan berharap menemukan buku yang kucari. Bahkan, aku menebalkan muka beberapa kali, menanyai para pengunjung apakah mereka melihat bukuku---sambil kutunjukkan sampulnya dari foto di hapeku. Namun, semua usahaku nihil.

Maafin Cacha, Pram ... maafin Cacha udah ngilangin buku itu. Harusnya Cacha jaga baik-baik, biar nanti Pram bisa baca lagi. Biar nanti kita bisa nulis bareng nyelesain cerita kita. Pokoknya aku janji, bakal nemuin buku itu, apa pun yang terja---

"Astaga, jelek banget anak orang! Ngalahin Mbak Beti," celetukan menyebalkan itu tiba-tiba terdengar dibarengi dengan munculnya sosok Mas Yudhis yang berdiri di sisi tempat tidur.

Aku mendengkus kesal, lalu membalik badan dan membenamkan wajah ke bantal. Malas sekali berurusan dengan makhluk astral ini.

"Lo bisa pergi dulu nggak, malam ini? Gue lagi males ketemu setan," pintaku dengan suara teredam, karena aku sadar betul wajahku sekarang pasti sangat tak enak dilihat.

"Kenapa, sih? Lo nangis, ya?" Aku bisa merasakan hawa dingin di punggungku. "Mending bikin Indomie aja. Gue kangen banget sama wanginya."

Pram ... menurut kamu, minta bantuan arwah gentayangan buat cari buku kita, boleh nggak, ya?

"Eh, ditanyain kok diem aja!"

"Ya, terse---" Aku menutup mulut saat tersadar Mas Yudhis tak bisa membaca apa yang kupikirkan. Aku lalu berbalik, mengusap sisa air mata dan ingus dengan selimut, lalu beranjak duduk. "Lo nggak tahu yang gue pikirin barusan?"

Mas Yudhis malah memutar mata. "Kagaklah!" Ia lalu menarik kursi plastik yang berada di depan meja belajarku, tanpa menyentuhnya, dan mendaratkan pantat di sana. Sepertinya kemampuan Mas Yudhis sudah di-upgrade.

"Tapi kan, lo bisa tahu apa yang gue pikirin biasanya." Aku mengerucutkan bibir sambil mengetuk-ngetuk dagu dengan telunjuk.

"Gue emang bisa denger apa yang lo pikirin, kalau lo mikirin tentang gue. Atau lo sengaja panggil gue, jadi kayak telepati. Tapi kalau nggak ada hubungannya sama gue, nope, I have no clue at all," terang Mas Yudhis.

Mendengar penjelasan Mas Yudhis, aku menghela napas lega. "Seenggaknya gue masih punya privasi ternyata."

Lelaki itu memicingkan mata ke arahku. "Anak kecil kayak lo emang suka mikir apa? Jorok, ya? Apa jangan-jangan lo suka nonton film yang ada 'Are you lost baby girl?' itu, ya?"

"Film apaan, sih?" Aku jadi penasaran, dan kemudian mengambil ponsel yang tertutup selimut, berniat untuk mencari tahu film yang Mas Yudhis maksud, tapi tiba-tiba ponsel itu terlempar dari genggaman. "Ih! Lo, kan?" Aku melayangkan tatapan sebal ke arahnya.

"Udah, jangan dicari! Gue nggak mau nanti pikiran lo bocor." Mas Yudhis bergidik ngeri, dengan hidung mengernyit.

Aku berdecih pelan. Dasar nggak jelas!

"Lo nangis kenapa, sih?"

"Bukan urusan lo!" Malas sekali bercerita soal Pram pada lelaki urakan seperti itu. Bukannya iba, dia pasti akan meledekku.

"Gue tahu kita belum jadi sohib, ya ... tapi kalau lo pengin cerita sesuatu bisa ke gue. I promise gue nggak akan bocorin ke orang lain."

"Ya, karena lo nggak bisa bocorin ke orang!" Aku mencebik.

"You got my point. So, your secret is safe with me," tukas Mas Yudhis menyeringai. "Karena gue pernah cerita ke lo dan gue rasa itu sangat membantu, lo juga bisa kok cerita ke gue. Ya, walaupun gue nggak janji bisa selesaiin masalah lo."

Aku mengerutkan kening, menatap tubuh Mas Yudhis yang agak tembus pandang itu. Aneh. Apa jangan-jangan Mas Yudhis udah mau meninggal, ya? Makanya jadi bijak begini.

"Kurang ajar lo kalau ngomong! Gue belum mau mati!" omel Mas Yudhis bersungut-sungut.

Aku meringis, "Sorry, sorry. Nggak biasa dibaikin sama lo, jadi bingung."

"Mau cerita apa nggak?"

Aku terdiam sambil duduk bersila, lalu mengembuskan napas. Aku tidak pernah bercerita tentang sosok Pram pada orang lain, jadi ini membuatku gugup. Tapi, tidak ada salahnya, bercerita ini pada Mas Yudhis, kan?

"Tapi, janji jangan ketawa." Aku mengulurkan jari kelingking ke hadapan Mas Yudhis.

Lipatan muncul di kening lelaki itu. Meski terlihat bingung, ia tetap mengaitkan jari kelingkingnya padaku. Aku terkekeh geli saat merasakan hawa dingin menyentuh jemariku.

"Gue naksir sama orang," tuturku kemudian menggeleng. "Bukan, bukan. Tapi jatuh cinta. Iya, gue jatuh cinta sama orang and we never met. So, gue nulis cerita tentang gue dan dia di sebuah buku. Dia tahu kok. Dia juga bantu nulis. Tapi sekarang buku itu hilang."

"Hilang? As in?"

"Ya hilang, Mas. Kemarin gue bawa ke perpustakaan universitas, dan ketinggalan. Waktu gue ke sana lagi buat cari, udah nggak ada. Ada yang ambil buku gue," jelasku.

Mas Yudhis menggaruk-garuk rambutnya. "Buat apa?"

"Ya, kan, Mas .... "

"Mungkin buat lo penting, ya karena itu isinya khayalan lo. Tapi, buat orang lain kan, nggak ada artinya, Nin. Maksud gue, buat apa orang ambil buku diary orang lain? Kecuali lo anak presiden. Siapa tahu bisa jadi gosip." Mas Yudhis mengedikkan bahu.

"Itu juga yang gue pikirin, Mas. Buat apa orang ambil bahan halu orang lain." Kami kini bertukar pandang. "Apa jangan-jangan, orang itu suka ya, sama cerita yang gue tulis?"

Dengkusan terdengar dari lelaki itu. "Please, lo siape? Tere Liye?"

"Tolong, jiwa nyinyirnya dikurangin, bisa nggak? Gue lagi berduka, tahu!" Aku mencebik tak suka.

Mas Yudhis cuma ketawa, sama sekali tidak peduli pada penderitaanku. "Gue mau tanya sesuatu sama lo. Gimana bisa, lo jatuh cinta sama orang yang nggak pernah lo temui?"

Aku menggigiti bibir bawah, tahu hal ini pasti akan jadi bahan ledekan lelaki itu. "Lo beneran tanya, apa mau ngejek?"

Lelaki itu kembali tergelak. Padahal aku bukan badut, kenapa Mas Yudhis tertawa terus, seolah aku baru saja melakukan aksi lucu.

"Penasaran aja. Apa yang bikin lo jatuh cinta."

"Gue selalu nyaman kalau ngobrol sama dia. Dia nggak bosen dengerin curhatan gue yang ngelantur. Even without his presence, I can feel that he cares. I can feel his warmth thru his words," tuturku membayangkan kembali sosok Pram. "Sometimes, we don't need reason to fall in love, Mas. Gue jadi suka bayangin, gimana kalau kita ketemu? Gue pasti bakal jatuh cinta lagi dan lagi."

"Gue setuju. Kadang, kita bisa jatuh cinta tanpa alasan ke seseorang. Dan biasanya, yang begitu, we fall deeper everyday." Untuk pertama kalinya, aku melihat Mas Yudhis tersenyum. Senyum tulus, tanpa seringaian jail. "Tapi, apa lo nggak takut, kalau dia nggak sesempurna yang lo pikir, waktu nanti kalian ketemu langsung?"

Aku mengangguk, sangat memahami pertanyaannya. "Gue juga pernah mikirin itu, Mas. Ya udah, namanya manusia pasti kita punya sisi gelap, yang nggak akan disukai orang. Dan gue tetep bersyukur, sih. Seenggaknya, gue bisa lihat sisi itu dari dia, dan selamanya dia bakal jadi bagian dari hidup gue. Entah nanti ke depannya gimana."

Mas Yudhis manggut-manggut. "Dan, belum tentu juga lo sesuai apa yang dia harapin, kan? Karena itu, yang gue takutin."

Aku tersenyum samar. "Betul juga, sih, Mas. Gue juga takut, gue jauh dari yang dia pikirin. Tapi, kalau kita beneran jatuh cinta dari hati, pasti akan ada sisi dari kita yang bikin saling jatuh cinta lagi kok. Gue percaya itu."

Aku menatap lurus ke kedua bola mata lelaki itu. Dia bergeming tidak mengalihkan pandangannya. Sudut bibirnya perlahan naik, membentuk senyum yang lebih lebar.

"Oke. Gue akan percaya itu," bisik Mas Yudhis masih dengan senyum manis tersemat di bibir, dan yang membuatku semakin terkejut adalah, dia mengusap puncak kepalaku. "Thanks, Shanin."

"Mas? Lo barusan nyentuh gue!" Aku memekik tak percaya.

Dia cuma terkekeh. "Nggak apa-apa, kan? Apa lo nggak suka?"

"Ehm ... nggak apa-apa, sih, Mas."

Entah mengapa, ada keteduhan yang kurasakan saat melihat senyumnya. Dan saat kualihkan pandangan kembali ke bola matanya, aku melihat ada percikan api di sana. Meskipun wujud lelaki itu terlihat jauh dari kata hidup, tapi sorot matanya berkata lain.

***

Dear Cacha,

Waktu itu kamu pernah tanya kan, soal tiga hal yang paling aku syukuri di dunia ini. Setelah kupikir-pikir, kayaknya aku akan jawab sekarang. Menurutku, tiga hal yang paling kusyukuri hari ini, yang pertama punya papa yang luar biasa keren. Kedua, bisa masuk kampus yang aku penginin. Ketiga bisa jadi Pram dan ketemu kamu.

Nggak tahu kalau besok berubah, tapi untuk saat ini, itu tiga hal yang paling aku syukuri hari ini. Kalau kamu gimana?

Salam sayang,
Pram.

Seulas senyum tersemat di bibirku setelah membaca surat balasan dari Pram. Semakin lama, aku dan Pram semakin terbuka. Kami saling menanyakan banyak hal, yang rasanya tidak akan kami bagikan pada orang lain. Dari surat-surat Pram pun, aku tahu bagaimana ia mencintai ayahnya. Cepat-cepat aku mengambil selembar kertas dan bolpoin, tak sabar untuk menulis surat balasan.

Meskipun bisa saja aku memberitahunya lewat chat, tapi rasanya tidak semenarik dan sesenang ini.

Dear, Pram

Aku seneng deh, sama game baru kita. Kita jadi lebih kenal satu sama lain. Kalau tiga hal yang paling kusyukuri saat ini adalah punya keluarga yang sayang sama aku, punya teman-teman yang nggak jahat, dan punya Pram yang selalu ada buat aku.

Kalau 3 hal yang paling dibenci di dunia ini, ada nggak?

Salam sayang,
Cacha.

.
.
.


Harus bagaimana aku menjelaskannya 😭🥺😭🥺😭🥺

First, SEPENGGAL KISAH YANG BELUM USAI itu novel yang ditulis Shanin dan Pram.

Shanin bertugas mikir outline dan jalan cerita. Pram bertugas mikir puisi di dalemnya.

Bagian ini, bagian yang awalnya ada tulisan SEPENGGAL KISAH YANG BELUM USAI DARI CACHA DAN PRAM itu isi novel yang ditulis Shanin dan Pram. Untuk bikin simpel, SHANIN sengaja kasih nama tokoh utamanya CACHA DAN PRAM. karena dia bayangin lucu kali ya, kalo Cacha Pram satu sekolah.

Jadi bagian ini, isi dari novel SEPENGGAL KISAH nggak ada hubungannya sama Shanin/Cacha dan Pram di dunia nyata.

Nah sedangkan gambar di bawah ini, itu adegan flashback, saat dulu Shanin sama Pram surat-suratan. Isi surat itu ya nyata yang nulis Pram.


Harus paham ya.

Jadi setiap bagian yang awalnya ada SEPENGGAL KISAH itu otomatis bawahnya adalah isi novel yang ditulis Shanin sama Pram. PRAM di dunia novel, dia jadi pengagum rahasia Cacha dan tahu siapa Cacha.

Toh, lagian di novel SEPENGGAL KISAH nggak ada Shanin. Adanya Cacha. Nama tokohnya Cacha dan Pram. Bukan Shanin.

PRAM di dunia nyata nggak tahu siapa Cacha sebenernya. Dan nggak tahu kalau Shanin itu Cacha.

Kalo kalian inget di part 10 kemarin, Shanin nulis surat ke Pram di perpustakaan yang bilang, "EMANGNYA KAMU NGGAK MAU NYELESEIN CERITA INI? INI KAN CERITA KITA."

Jadi, novel SEPENGGAL KISAH itu belum selesai. Karena Pram keburu ngilang duluan. Shanin nggak mau nulis ending-nya karena nggak ada Pram.

💜💜💜💜💜💜💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top