Tale 10 - Separuh Nyawa yang Hilang
.
.
.
Dengan langkah lebar, aku melintasi halaman kampus menuju gedung B, yang berada di belakang gedung A---tempat biasa aku kuliah. Gedung dengan tiga lantai ini, lebih sering digunakan untuk kegiatan organisasi mahasiswa, karena sekre-sekre (sekretariat) UKM---unit kegiatan mahasiswa---tingkat fakultas berada di sini. Termasuk sekre BEM, sekre himpunan mahasiswa, perpustakaan, laboratorium bahasa, ruang seminar sampai ruang teater. Aku tidak pernah kemari, kecuali untuk ke perpustakaan. Namun, kali ini tujuanku berbeda. Apalagi waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore, para petugas perpustakaan pasti sudah bersiap pulang.
Meninggalkan Nashwa dan Desi, karena aku tak ingin dihujani pertanyaan-pertanyaan dari mereka, aku menaiki tangga ke lantai dua, tempat ruang teater di mana anak-anak teater berlatih. Yap, aku ingin mengintip latihan mereka, dan melihat sosok Paris Pramahardika. Untungnya ada banyak orang yang memang sedang duduk-duduk di lantai, membentuk lingkaran, menonton anak teater berlatih.
Ada yang menari, berlarian, sambil berteriak-teriak, membuatku terpukau. Tanpa kostum, make up, musik, dan lighting, penampilan mereka terlihat luar biasa. Berbekal foto yang kulihat di akun Instagram Dallas, aku bisa mengenali seperti apa rupa Paris Pramahardika. Dia terlihat manis dengan rambut pendek yang agak berantakan, kacamata berbingkai hitam bertengger di hidungnya, dan lesung pipit di pipi kiri membuat lelaki itu menawan berkali-kali lipat.
Jantungku berdegup sedikit lebih cepat saat sosok yang kutunggu tiba-tiba berjalan ke tengah, dan menendang kursi. Ia lalu dengan suara berat, serak, bercampur helaan napas keras, berpuisi.
"Daun tak pernah membenci angin yang membawanya terbang. Langit tak pernah menyalahkan mentari yang hilang ditelan kegelapan. Dan aku, tak akan menyalahkan rengkuhan peluk yang kau lepaskan."
Tanpa sadar, aku jadi orang pertama yang bertepuk tangan membuatku meringis malu dan buru-buru pergi. Oh, keadaan hatiku bercampur aduk. Setengah hati merasa gembira karena sepertinya aku menemukan cinta pertamaku, tapi separuh hati masih tidak yakin apa ia orang yang aku cari.
***
Kecipak air terdengar saat alas sepatuku beradu dengan genangan air di trotoar halaman kampus. Memasuki akhir tahun, hujan mulai datang bergiliran tanpa peringatan. Hari ini, mata kuliah Miss Anita kosong dan dipindahkan besok. Untuk mengisi waktu luang, aku berniat pergi ke perpustakaan universitas, karena kemarin dapat bocoran, jika perpustakaan tersebut memiliki banyak fasilitas menggiurkan. Di antaranya, ada ruang teater dan kedai kopi di sana.
Sayangnya, Nashwa dan Desi tidak mau menemaniku. Mereka pilih pulang ke indekos karena harus menunaikan kewajiban---mencuci baju, karena lemari mulai kosong. Aku lalu menaiki motor matic-ku yang sudah waras---thanks to Mas Yudhis yang hampir tiap hari mengomel memaksaku membawanya ke bengkel---ke perpustakaan universitas yang terletak di jalan belakang Fakultas Sastra.
Aku langsung menuju ke lantai tiga, di mana layanan referensi berada. Tips jika ingin mendapatkan ketenangan sesungguhnya di perpustakaan, jangan masuk ke ruang layanan sirkulasi---layanan peminjaman dan pengembalian bahan pustaka atau buku---karena dapat dipastikan ruang baca di sana penuh pengunjung. Pada layanan sirkulasi, seluruh koleksi yang ada bisa dipinjam untuk dibawa pulang. Koleksi populer seperti novel romansa dan buku olahan masakan ada di sana. Untungnya sih, ruang diskusi dan ruang baca dipisah menggunakan dinding kaca, sehingga tak terlalu berisik.
Sedangkan di ruangan layanan referensi biasanya akan lebih sepi, karena koleksi di ruangan tersebut tidak bisa dibawa pulang. Koleksi-koleksi referensi terdiri antara lain skripsi, majalah dan jurnal. Ruang inilah yang aku tuju. Terhitung, hanya ada sepuluh orang di sini. Itu pun dengan kursi yang saling berpencar.
Dengan earphone terpasang di telinga, dan suara merdu Baek Yerin menyanyikan lagu Antifreeze, aku membaca kembali "Sepenggal Kisah yang Belum Usai oleh Cacha dan Pram". Sesuai judulnya, cerita ini belum selesai. Aku tidak pernah sanggup menulis ending-nya. Pada saat itu, alasan mengapa aku terus mengulur waktu merampungkan kisah ini adalah, aku tak mau cepat berpisah dengan Pram. Aku tidak rela kehilangan momen yang terbangun karena kisah ini. Tapi sekarang, sepertinya alasan itu berganti. Aku tak akan sanggup menyelesaikannya karena, aku kehilangan tempat berbagi cerita.
Untuk itu, pada kesempatan ini, aku ingin menulis surat terakhir pada Pram. Meskipun tidak tahu bagaimana caranya agar surat itu sampai pada sosok yang kumau.
Dear Pram,
It's been one year since you left me. Guess what, I did it. Aku bisa sekampus sama kamu. Dan sepertinya juga satu fakultas. Aku nemuin gantungan kunci yang pernah aku bikin buat kamu. Kalau kamu masih bawa-bawa benda itu ke kampus, itu artinya kamu masih menghargai aku kan? Entah sebagai orang istimewa atau teman. Tapi, kenapa kamu malah ngilang sih? Alamatmu ganti. Nomor hapemu ganti. Harus ke mana coba aku cari kamu?
But, I am not going give up. I am not going anywhere. I'll find you, and when we meet, you will give an answer I need, Pram.
Dari,
Cacha---still your purple rose.
PS: Don't you want to know the ending of our story?
P.S.S: We will write the ending scene together, Pram. We must. This is our story, not just mine.
Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam membaca cerita yang kutulis sendiri dari awal, aku pun beranjak dari kursi. Aku lalu menuju deretan majalah yang berada di rak. Pandanganku terkunci pada National Geographic. Aku mengambil dua majalah lalu membawanya ke meja. Aku terkekeh kecil saat menyadari betapa berantakannya mejaku. Aku membuka satu per satu halaman mengamati potret keindahan bawah laut. Halaman selanjutnya menampilkan pembahasan mengenai bagian terdalam di dunia. Palung Mariana.
"Palung Mariana, berbentuk bulan sabit. Penyelam bisa mencapai titik terdalam bumi dengan memakai kapal selam Limiting Factor, yang disebut Challenger Deep," Aku membaca dengan pelan baris demi beris jajaran huruf di sana. "Cahaya semakin menghilang saat kapal semakin tu---"
Getaran ponsel di meja mengagetkanku. Nama Desi terpampang di sana.
"Iya, apa Des?" kataku sambil menempelkan benda pipih persegi itu ke telinga.
"Lo di mana, Nin?"
"Di perpustakaan."
"Gue tadi cari lo ke perpustakaan nggak ada ya."
"Perpustakaan universitas, Des. Kenapa, sih?"
"Buruan deh, ke kampus. Miss Elda udah dateng, nih."
"Lah? Lah? Jam berapa ini?"
"Kurang lima belas menit emang soalnya Miss Elda mau pamit cepet. Buruan, deh! Lo nggak buka hape, ya, pasti? Di grup udah ramai padahal."
"Oke, oke. Gue ke sana!" Aku berdiri dari kursi dan mengambil tas yang berada di meja, setelah memastikan tidak ada barangku yang tertinggal di meja.
"Buruan!" pungkas Desi sebelum menutup panggilan.
Aku langsung berlari kecil keluar ruangan. Tidak ingin telat di kelas dosen cantik itu. Miss Elda, salah satu dosen yang ditakuti banyak mahasiswa. Tidak hanya galak, tapi juga sinis abis. Jika tak ingin jadi bahan gunjingan terbuka di kelas, jangan membuat masalah dengannya.
***
"Untung lo nggak dinyinyirin," kata Nashwa begitu Miss Elda keluar kelas.
"Karena gue nggak telat. Kelasnya kan emang masih entaran," jawabku sambil melipat kacamata, lalu memasukkannya ke kotak dan menyimpan ke dalam tas.
"Lo aslinya lebih cantik pakai kacamata, Nin," celetuk Desi tiba-tiba membuatku menoleh pada gadis yang duduk persis di sebelahku.
"Jadi kelihatan lebih pinter?" timpalku tersenyum kecil.
"Itu juga, sih." Desi manggut-manggut. "Lo itu kalau pakai kacamata, terus pas lagi serius kelihatan serem. Seksi abis. Padahal kalau lagi ketawa kayak anak kecil."
"Betul. Mana suaranya kecil banget. Lo kalau ngomong pakai tenaga nggak, sih?" Nashwa menyahut.
"Ya, pakailah. Gunanya gue makan nasi padang, apa?" Aku memutar mata. "Kunci motor gue ke mana, sih?" Tanganku sibuk merogoh tas, mencari kunci motor.
"Di bagian depan, kali," tutur Desi menunjuk kantong tas di bagian depan. Dan ternyata, benar. Aku menemukan kunci motorku di sana. "Tuh ... "
"Eh, tapi ... " Jantungku berdetak kencang saat menyadari sesuatu.
Nashwa yang sudah bangkit menghela napas. "Apa lagi, Nin?"
"Buku gue ... " Aku mengaduk-aduk isi tas dan tak mendapati buku bersampul ungu itu. Buku yang berisi seluruh hatiku. Kepanikan melandaku. Aku menumpahkan seluruh isi tas ke meja dan mimpi burukku jadi nyata. "Buku gue nggak ada."
"Buku apa, Nin?" tanya Desi menatapku dengan alis bertaut.
Pandanganku kabur, telapak tanganku basah dan dingin. Aku tidak bisa kehilangan satu-satunya hal kenangan tentang Pram. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba berpikir jernih, mengingat-ingat di mana buku itu berada.
"Perpustakaan ... bukunya ketinggalan di perpustakaan," gumamku, "Gue harus ke perpustakaan sekarang."
Dengan terburu-buru, aku memasukkan kembali barang-barangku ke tas. Lalu mengambil langkah seribu menuju tempat parkir. Aku kembali berlari memasuki gedung lima lantai yang berdiri kokoh itu. Pegal sama sekali tak kurasakan saat menapaki satu per satu anak tangga, karena tak sabar menunggu lift yang penuh.
Dengan tergesa-gesa aku langsung menghambur ke ruangan referensi, membuat pintu terbuka dengan keras. Aku meringis ketika pustakawan yang berjaga langsung melayangkan tatapan menghujam padaku. Lututku langsung lemas begitu melihat meja yang kutempati sudah bersih. Majalah-majalah yang tadi kubaca pun sepertinya sudah dibereskan petugaa.
Aku lalu memutar tumit, menuju meja petugas. "Permisi, Bu... Ibu lihat buku saya nggak? Tadi saya duduk di situ, terus bukunya ketinggalan." Aku sedikit memiringkan badan untuk menunjuk meja kosong yang kutempati tadi.
Wanita berhijab ungu dengan kacamata bertengger di hidungnya mengernyitkan kening, kemudian menggeleng. "Nggak ada barang yang ketinggalan hari ini, Mbak. Saya cuma beresin majalah NatGeo. Bener, kan? Tadi Mbak yang baca majalah NatGeo?"
Kabut kembali memenuhi pandangan. Aku menggigit pipi bagian dalam mencegah air mata yang siap tumpah. "A-apa ada CCTV, Bu?"
"Aduh, sayang sekali. Udah hampir sebulan CCTV-nya rusak, Mbak," jawab pustakawan tersebut. "Maaf ya, Mbak. Coba ditanyain temennya, siapa tahu nggak ketinggalan di perpustakaan."
Aku menyeret kaki keluar dari ruangan referensi sambil menelan kekecewaan. Aku yakin, petugas tadi tidak berbohong. Tidak ada gunanya juga ia menyimpan buku itu. Tapi masalahnya, siapa yang mencurinya? Dan, kenapa? Apa yang dia inginkan dari buku itu? Tak terasa air mataku meleleh begitu saja. Hatiku hancur seakan separuh nyawaku melayang.
***
Sepenggal Kisah yang Belum Usai dari Cacha dan Pram
Jadi Pram nama penggemar misteriusnya? Tapi, sepertinya Cacha tidak pernah mendengar ada siswa bernama Pram di sekolah ini. Dan, bagaimana tuan puisi tahu, Cacha adalah namanya?
Bodoh sekali kamu, Cha. Dia mengirim puisi padamu hampir tiap hari, tak mungkin dia tidak mengenal namamu, kan? Gumam gadis itu dalam hati.
Dengan semangat, dan antusias yang membara, Cacha menulis balasan untuk tuan puisi. Ternyata menulis surat menyenangkan juga, ya? Pantas saja ibunya selalu menggebu-gebu jika bercerita tentang bagaimana ibu dan ayahnya saling bertukar surat lewat kantor pos.
Halo, Tuan Puisi,
Jadi, namamu Pram? Kalau boleh tahu kelas berapa? Aku janji deh, tidak akan memberi tahu orang lain tentang puisi-puisi yang kamu tulis. Ehm, aku sungguh ingin bertemu dan belajar bagaimana merangkai puisi indah sepertimu. Boleh?
Salam,
Cacha---yang siap jadi muridmu.
.
.
.
Terprediksi nggak konfliknya mengarah ke sini? Hehe...
Ada yang tau kira-kira mau dibawa ke mana nih, setelah buku Shanin Sepenggal Kisah yang Belum Usai hilang? 🥺
Aku takut banget cerita ini ngebosenin 🙏🙏🙏
Semoga kalian betah nunggu dan menantikan kejutan-kejutan dari Our Magical Tale💜💜💜💜💫✨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top