Tale 09 - Tengah Malam dan Nyanyian Alam

.
.
.


"Goyangnya kurang asoy itu!"

Aku berusaha menulikan telinga, tapi seruan tidak bermutu itu terus mengganggu tanpa henti. Lirikan tajam yang kulayangkan beberapa menit lalu tidak mempan, dan malah membuat si empunya mesem-mesem tidak jelas.

"Lemes banget! Kelompok lo nggak akan juara kalau gitu!"

Bodo amat! Aku menjulurkan lidah ke arah lelaki yang malah sedang tertawa di duduk manis di hammock, yang tergantung di bawah pohon rambutan sekarang. Lo diem aja, deh. Gue mau hafalin yel-yel dulu.

Yap, betul! Satu-satunya arwah gentayangan yang kutahu, sepertinya benar-benar tidak punya kerjaan sampai mengikutiku makrab ke Bandungan. Mas Yudhis kurang asem!

"Coba ulangi lagi pakai gerakan, yok!" ajak Raya.

Aku dan rombongan sampai di villa tempat makrab diadakan pukul tiga sore. Setelahnya kami menata barang-barang bawaan di kamar yang disediakan. Pukul empat sore, panitia meminta kami ke halaman villa untuk berlatih yel-yel dan penampilan untuk pentas seni malam nanti. Jadi, para mahasiswa Sastra Inggris 21, menyebar ke seluruh halaman untuk berlatih. Suara nyanyian, petikan gitar dan tabuhan drum, terdengar bersahutan.

"Satu, dua, tiga!" Feby memberi aba-aba, sebelum kami menyanyikan yel-yel.

Satu-satu Shakespeare juara satu
Dua-dua sedih senang bersama
Tiga-tiga idola semua
Satu dua tiga Shakespeare juaranya!

Shakespeare, Shakespeare, Shakespeare! Luar biasa!

"Eh, eh ... pas dua-dua kita gandengan terus kakinya maju-maju gitu, loh. Gimana?" usulku sambil memberi contoh dengan menggandeng Raya dan menggerakkan kakiku.

"Bisa, bisa! Lucu juga, ya." Feby mengangguk-angguk lalu ikut menggandeng Raya dan mengikuti gerakanku.

"Tunggu, terus posisi gue di mana, nih? Pinggir aja, ya?" tanya Dallas.

"Lo tengah aja," tukas Raya. "Biar kayak senangnya dalam hati, kalau beristri dua." Kami berempat pun tergelak.

"Eh, nama kelompok kita nggak ada yang nyamain kan, ya?" tanyaku khawatir.

"Nggak kok. Kelompok Marina jadinya pakai nama Marlowe," jawab Dallas.

Karena ketentuan harus menggunakan nama sastrawan dunia terkenal, kelompok kami memutuskan nama Shakespeare karena kebetulan, ada Raya, penggemar berat penulis yang lahir pada abad 16 itu.

"Oke, ulangi sekali lagi, ya?" Aku menatap teman satu kelompokku satu per satu. "Berarti gue sebelahan sama Dallas, ya? Gue pinggir, kan, posisinya?"

"Ho'oh, gue sebelahan sama lo di kiri, terus kanan gue, Raya," sahut Dallas cepat.

Idih modus banget lo, deketin cowok begitu.

Cibiran menyebalkan langsung terdengar mengusik telinga. Aku mendongak melirik Mas Yudhis sebentar yang duduk manis di salah satu dahan pohon rambutan, tak jauh dari kelompokku berlatih, malas menanggapi. Syirik aja tuh setan.

***

"Suara gue fals, Nin," rengek Nashwa setelah selesai tampil bersama kelompoknya membawakan lagu Rossa "Hati yang Tersakiti". Kebetulan sekali, kelompok Nashwa adalah penampilan penutup pentas seni malam ini.

Perempuan itu berlari kecil dari panggung ke arahku dan Desi, lalu langsung memeluk lenganku dan menyembunyikan wajahnya di pundakku.

"Kok lo kaget, sih, Wa? Kan emang sehari-harinya lo fals," sahut Desi yang duduk di sebelahku sambil menjitak kepala Nashwa yang tertutup beanie.

Aku tergelak lalu menarik lenganku karena terdengar suara tarikan ingus. Dan saat kulihat, betul saja ada jejak basah di sana. Sialan ini, Nashwa mengelap ingus di lengan jaketku "Lo jorok banget sih, Wa! Baju gue diingusin!" Aku langsung menyomot tisu yang dari sling bag-ku dan mengelap bekas ingus Nashwa.

Nashwa terkekeh dan mengelap hidungnya dengan tisu. "Nggak sengaja."

Hawa dingin Bandungan di malam hari membuat sebagian besar peserta makrab jadi meler dan kedinginan. Api unggun yang berada di depan panggung persis, tidak cukup membuatku dan mahasiswa lain yang duduk mengelilinginya, merasa hangat. Terbukti, banyak dari mereka yang berebut kopi dan terus mengusap-usapkan telapak tangan satu sama lain.

"Jangan dipikirin, lo malu pun, nggak bikin suara lo jadi bagus." Aku menepuk-nepuk pundak Nashwa membuat gadis itu semakin cemberut.

"Oke, kita udah menyaksikan penampilan setiap kelompok, yang keren-keren banget. Dan nggak nyangka banget, ternyata temen-temen Sastra Inggris 21 itu punya banyak sekali bakat terpendam, yang emang baiknya dipendam aja," kata Kak Jena---sang pembawa acara, Sastra Inggris 20.

"Eh, nggak boleh gitu Kak Jena ... " timpal Kak Hasyim---pembaca acara kedua, yang juga satu angkatan dengan Kak Jena, "Kalau penampilan temen-temen angkatan 2021 tadi itu baru pemanasan sebenernya, karena habis ini ada yang bikin panas beneran. Penasaran siapa?"

"Penasaran!" Sahutan yang terdengar sedikit lemas menggema.

"Mereka ini idaman cewek-cewek, like everyone know them," sambung Kak Jena, "Kita sambut, band kebanggaan kita semua, Panorama!"

Sorakan riuh dan tepuk tangan langsung menggema di malam yang dingin ini. Aku menutup kedua telinga dengan telapak tangan, untuk menjaga keselamatan gendang telinga karena teriakan Nashwa dan Desi yang bersahut-sahutan dari kanan kiri. Setelah hampir tiga bulan berkuliah di sini, akhirnya aku bisa menyaksikan band yang dielu-elukan teman satu kelasku.

Lima orang lelaki berjalan dari arah villa panitia ke panggung. Mereka lalu memberi salam pada kami, sebelum melakukan pengenalan. Seorang lelaki dengan potongan rambut under cut, ber-hoodie hitam dengan celana jeans warna senada, menyapa lebih dulu.

"Halo adik-adik, di malam yang dingin ini gue sama temen-temen gue bakal bawain beberapa lagu, untuk menghangatkan suasana. Tapi sebelumnya, kita kenalan dulu, ya," tuturnya, "Perkenalkan gue Riza, gue gitaris sekaligus vokalis di Panorama. Sastra Inggris angkatan 19. Di sini gue leader-nya bisa dibilang."

Perkenalan pun berlanjut ke lelaki yang berdiri tepat di sebelah Kak Riza. Dia pakai kacamata ala Harry Potter dengan potongan rambut ala batok, tapi terlihat stylist. "Gue Evan Gautama, gitaris, angkatan 19," ucapnya sembari memamerkan lesung pipit waktu tersenyum.

"Gue Agra, Sastra Inggris angkatan 19, keyboardist sebenernya, tapi karena malam ini kita bakal akustikan, gue pegang kecrekan," ujar lelaki dengan rambut cokelat sepanjang telinga seraya terkekeh pelan. Dia memakai jaket kemeja kotak-kotak tidak dikancing, dengan kaus putih sebagai dalaman, dan celana jeans biru pudar sebagai bawahan.

Kemudian dua anggota terakhir pun ikut berkenalan. Sang bassist yang memakai jaket jeans, celana training dengan topi Converse hitam bernama Ikaris dan drummer pengganti Mas Yudhis, lelaki berbadan bongsor, dengan rambut sama-sama gondrong memakai sweater abu-abu dan celana hitam, bernama Joan. Angkatan mereka berdua, lebih muda satu tahu dibandingkan tiga anggota Panorama yang lain.

"Ikaris sama Joan itu additional member, selagi Yudhis sama Kale nggak bisa gabung kita," jelas Kak Riza. "Temen-temen pastinya tahu, anggota kita, sahabat kita, Yudhis mengalami kecelakaan sekitar tiga bulan lalu dan sampai sekarang belum sadar. Mohon doanya ya, biar Yudhis segera bangun dan bisa sehat lagi. Sedangkan bassist kita, Kale, mulai dari tahun ini cuti karena ada keperluan yang harus diurus. Doakan aja, mereka berdua cepet balik ke Panorama biar Joan sama Ikaris juga bisa balik ke band-nya lagi."

"Jadi gue juga punya band sendiri, karena kebanyakan anak musik pasti punya grup masing-masing, tapi kalau emang nggak ada schedule, gue bisa menclok ke mana aja. Nasi kotak nggak boleh ditolak, buat memperpanjang hidup soalnya," kelakar Ikaris lalu bertos ria dengan Joan.

"Kangen nge-band gue ternyata."

Deg! Aku langsung menoleh ke belakang dan mendapati Mas Yudhis berdiri di sana berdampingan dengan beberapa panitia. Pandangan kami untuk sesaat bertemu. Aku lalu beringsut mundur, keluar dari barisan, tapi tidak terlalu jauh. Mas Yudhis kemudian menghampiriku dan duduk di sebelahku.

Tak ada sepatah kata dari kami berdua sampai Panorama menyelesaikan lagu keduanya Beautiful Pain. Suara Kak Riza benar-benar memabukkan. Dedaunan yang tertiup angin pun seperti ikut menari mengikuti alunan.

"Lagunya bagus juga," celetukku melirik ke arah Mas Yudhis sekilas.

Mas Yudhis yang duduk sambil memeluk lutut, mendengkus. "Siapa dulu yang ciptain?"

"Siapa?"

"Riza."

Aku tertawa. "Gue kira lo, Mas."

Mas Yudhis menggeleng. "Ada, tapi bukan ini."

"Eh, lo ketawa kenapa deh, Nin?" Nashwa menoleh ke belakang.

Aku tergagap, "Nggak, nguping obrolan panitia di belakang," bisikku sembari menunjuk gerombolan panitia di belakang.

Nashwa manggut-manggut dan kembali fokus ke depan.

Mas! Tak ingin menarik perhatian, aku memanggilnya dalam hati. Ceritain dong, gimana lo gabung Panorama?

Gue diajak Riza. I owe him alot. Panorama itu safe place gue sejak kuliah. Mas Yudhis melirikku sekilas, lalu mengganti posisi duduknya, menyelonjorkan kakinya ke depan, dengan kedua bertumpu di tanah di kanan kiri.

Kok bisa?

Tatapan Mas Yudhis menuju ke kumpulan bintang yang menghiasi langit. "Gue ada alasan buat nggak pulang ke rumah. Mau gabung ke BEM? Males, gue nggak suka politik. Gabung pecinta alam? Males juga harus naik gunung pas hujan, nyeberang sungai. Buat apa? Ya udah, gue masuk UKM---Unit Kegiatan Mahasiswa---musik. Gue awalnya ngisi drum buat grup senior. Sampai akhirnya Riza bilang, dia pengin bikin band sendiri, karena males kalau disuruh nyanyi lagu orang lain terus. So, I join that band, and became Panorama."

"Tapi Mas, kan Panorama itu band kampus, ya? Kok kayak udah terkenal banget?" Suasana kembali riuh, karena Panorama menyanyikan lagu ketiga. Jadi, aku tak takut akan ada yang mendengar aku bicara sendiri dan menganggapku gila.

"Viral karena minta tolong sama selebgram-selebgram kampus buat hype kita. Dan untungnya sih, mereka nggak minta bayaran, karena bilangnya enjoy sama performance Panorama," jelas Mas Yudhis. "Pacar Ikaris tuh, selebgram. Anak Psikolog."

"Dan kerennya, kok bisa Panorama anggotanya dari Sastra Inggris semua? Sengaja?" Aku mulai menginterogasi.

"Nah, lucunya di situ. Nggak ada niat sama sekali buat bentuk band dari Sastra Inggris. Maunya ya, bebas aja. Tapi ternyata, pas diaudisi, yang klop anak Sasing."

"Mas?" Aku menatap Mas Yudhis lekat-lekat. Bibirku ikut terukir membentuk senyuman saat melihat lelaki itu melukiskan senyum.

Kali ini Mas Yudhis menoleh padaku, menatap mataku. "Lo sadar nggak? Lo dari tadi senyum waktu ngobrolin Panorama."

Satu alisnya terangkat. "Oh, ya?" Dia pun tertawa pelan dengan suara rendahnya, "Probably because Panorama is my happy place. Actually I have two safe place. Before Panorama, I have safe place that I really treasure. Oh, I mean had."

"Had? Jadi udah hilang? Atau udah bukan jadi safe place lo lagi?"

"Gue telanjur pergi dan nggak berani ke sana lagi. But, kalau gue inget that safe place, gue kembali merasakan perasaan yang selama ini gue damba. Gue merasa aman, nyaman, dan hangat."

"Kenapa lo pergi dari sana kalau tempat itu bikin lo nyaman?" Keningku semakin mengernyit karena jawaban Mas Yudhis yang tak bisa kucerna.

Mas Yudhis mengembuskan napas panjang. "Gue terlalu fucked up buat berada di tempat itu, karena terlalu indah. Dan gue nggak punya cukup nyali buat minta maaf karena udah ngecewain dia." Satu sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum kecut yang menyedihkan. Matanya menerawang jauh ke depan, seakan mencari jawaban di kegelapan di ujung sana.

Sekarang aku paham, safe place yang Mas Yudhis maksud adalah seseorang. "Tapi Mas, lo pernah mikir nggak, siapa tahu, lo juga safe place orang itu? Dan di saat lo pergi dari sana, dia juga kehilangan safe place-nya."

"She is amazing person, I know she will survive," pungkasnya sebelum melebur bersama angin dan meninggalkanku.

Akhirnya aku melihat sisi manusia dari sosok Yudhistira. Maksudku, sebenarnya Mas Yudhis tidak selalu menjengkelkan kok, buktinya saat ia membicarakan Panorama, hatiku ikut menghangat. Dan sungguh, aku ingin Mas Yudhis bisa bangun lagi. Untuk ibunya, untuk band-nya dan untuk mimpi-mimpi yang belum ia capai. Mungkin, setelah dia sadar, aku dan Mas Yudhis bisa berteman, karena setelah kupikir-pikir, lelaki itu bukan teman yang buruk.

.
.
.

Gimana? Gimana?

Yudhis sama Shanin akhirnya ngobrol santai nggak pakai otot nih 🤣🤣🤣

Kalo dipikir-pikir kok gada romancenya ya? Semoga kalian belum bosen ya.

Oh jangan lupa, perhatiin juga Sepenggal Kisah yang Belum Usai, cerbung yang ditulis Shanin, soalnya nanti ada petunjuk dan korelasi di sana😎✨

Double update kalo vote bisa 200 dan komen 200 hehe 😈😎😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top