Tale 06 - Permintaan Mendesak
.
.
.
Sepenggal Kisah yang Belum Usai dari Cacha dan Pram
"Lo dapet surat dari penggemar rahasia lagi?"
Cacha mengangguk sembari mengambil surat misterius terbarunya dari loker. "Lo ada ide nggak, siapa kira-kira pelakunya, Al?"
Perempuan dengan rambut ikat kuda yang bersandar di loker sebelah Cacha mengedikkan bahu. "I have no idea. Apalagi kalau dilihat isinya yang so puitis itu. Kayaknya nggak ada anak sini yang suka nulis puisi."
"Udah hampir dua bulan, Al. Dan, gue nggak tahu sama sekali siapa orangnya," tutur Cacha diiringi helaan napas lelah.
"Terus?" Alya, sang sahabat, menatap Cacha dengan kening berkerut, dan alis bertaut. "Lo ada rencana?"
Cacha menggigit bibirnya sambil bergumam tak jelas. Badannya bergoyang ke kanan-kiri, sebelum perempuan itu akhirnya membuka suara. "Lo mau nemenin gue di sini nggak? Sampai jam bus terakhir datang?"
Alya mendengkus. "Nggak bakal muncul."
"Tapi kita belum tahu kalau nggak nyoba."
Sampai cahaya oranye berkumpul di ujung barat langit, Cacha tidak menemukan seorang pun yang tampak mencurigakan. Bahkan, hampir tak ada ada orang yang melintas di depan mereka. Ia kecewa karena lagi-lagi harus melewati hari dengan rasa penasaran. Perempuan itu pun menoleh ke arah Alya yang terduduk di lantai sembari bermain ponsel.
"Pulang yuk, Al."
Alya menghela napas panjang. "Akhirnya," tutur perempuan itu ketika beranjak berdiri sambil memukul-mukul rok bagian belakangnya, membersihkan debu.
"Sorry, sorry." Cacha meringis, penuh rasa bersalah. "Gue bayarin ongkos bus lo hari ini."
"Thanks, Cacha." Alya tersenyum lebar. "Besok gue bantu pikirin deh, gimana caranya cari tahu pengagum rahasia lo."
Cacha manggut-manggut sembari melangkah menuju gerbang sekolah. Sesekali ia menoleh ke belakang, berharap sosok misterius itu muncul. Namun, sayangnya itu hanyalah angan-angan belaka.
***
Kesibukan sebagai mahasiswa baru ternyata melelahkan juga. Tidak cuma tugas dari dosen, tapi juga tugas dari kegiatan ospek yang tiada habisnya. Memang ospek fakultas hanya berjalan seminggu, tapi ospek jurusan baru akan berakhir di akhir semester. Untungnya, Sastra Inggris bukan jurusan yang menerapkan ospek ala militer. Harus pakai sepatu hitam, pakai acara dibentak-bentak senior. Tidak kok. Aku bersyukur sudah bisa pakai baju bebas, nggak kayak teman kamar sebelah yang masih harus pakai hitam putih setiap hari. Cuma ya, tetap membuatku pusing.
"Nashwa ... " Aku merengek sambil meremas kertas HVS berisi kumpulan kalimat tak berarti penuh coretan. "Gue bingung."
"Bukan lo doang yang bingung, Nin," Dia mendengkus keras, lalu menelungkupkan wajahnya ke bantal.
Ya, sekarang aku, Nashwa, dan Desi sedang berkumpul di indekos Nashwa. Dia tengkurap di tempat tidur, sedangkan aku dan Desi berbaring di karpet.
"Gimana caranya anak sekelas bikin satu puisi? Pakai Bahasa Inggris pula!" keluhku. Yap! Itu adalah tugas ospek yang harus dikumpulkan minggu ini.
"Nggak nyambung blas!" Desi tidur tengkurap sambil membuka puisi yang sudah jadi sepertiga. Sekarang, ini jatah kami bertiga---karena aku, Nashwa, dan Desi sering bersama, jadi Barry sebagai komting memberi kami giliran menulis puisi bersama. "Coba lo ada ide nggak?"
Aku menggeleng. "Kalau Bahasa Indonesia masih bisa mikir kalau Bahasa Inggris, nggak nyampai otak gue."
Harus kuakui, meski kini menyandang status mahasiswi Sastra Inggris, kemampuan berbahasa Inggrisku pas-pasan. Aku menguap lalu berguling tidur terlentang. Aku seketika terbatuk---lebih tepatnya tersedak liur sendiri---karena wajah Mas Yudhis adalah hal pertama yang kulihat. Tenang, dia tidak melayang di langit-langit kamar Nashwa, tapi berdiri di sampingku sambil membungkuk, dengan wajah ke arahku.
"Astaga!" Aku langsung beranjak duduk sembari memegangi dada. Jantungku rasanya mau copot. "Ngapain lo di situ?" Aku berteriak, lupa jika penampakan di depanku tak kasat mata.
"Kenapa lo, Nin?" Nashwa yang awalnya berbaring di tempat tidur, ikut terduduk. Kernyitan memenuhi keningnya.
"Lo jangan aneh-aneh deh, Nin. Gue merinding, tahu!" Desi bergidik ngeri sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar Nashwa, lalu menatapku.
Aku meringis dan menggeleng. "Nggak, nggak. Refleks aja." Setelahnya aku kembali mendesis ke arah Mas Yudhis yang belum bergeser sejengkal pun.
Ngapain lo di sini, Mas? Tanyaku dalam hati, karena tak ingin Nashwa dan Desi menganggapku gila.
Tolongin gue, please.
Rasa jengkelku memudar. Kenapa?
Lo harus ke kosan Rista. Bantu dia. Udah dua harian ini dia nggak makan. Gue nggak mau di kenapa-napa.
Wajah Mas Yudhis, terlihat lelah, frustrasi, dan penuh harap.
Gila lo! Gimana caranya? Mbak Rista aja nggak kenal gue! Aku mendelik ke arahnya.
Ya, paling nggak lo bisa ngomong kan ke ibu kosnya? Nyuruh nganterin makanan atau gimana. Mas Yudhis mengacak rambutnya. Please, Nin ....
Aku menghela napas panjang, tidak tega melihat wajah Mas Yudhis yang sayu. Padahal dia bukan manusia, tapi sorot matanya, lekuk bibirnya, masih menampakkan emosi yang begitu jelas. Aku juga teringat dengan kondisi Mbak Rista yang tengah berbadan dua. Oke, nggak boleh egois, Nin. Jangan males.
Aku pun akhirnya mengangguk. Ayo, kasih tahu di mana kosannya. Senyum tipis tersembul di bibir lelaki itu.
"Wa, Des, gue cabut duluan, ya." Aku beranjak, mengambil jaket yang tersampir di kursi belajar dan tas yang tergeletak di meja.
"Mau ke mana, Nin?" tanya Nashwa yang terus memperhatikan gerak-gerikku.
"Belum selesai ini! Jangan kabur dulu!" protes Desi.
"Sebentar doang. Nanti ke sini lagi. Kalau nggak sempet, gue kirim WA." Aku tersenyum dan melangkah ke arah pintu. "Bye!"
***
Sebungkus nasi hangat dan sup ayam kutenteng di tangan. Aku menarik napas panjang---sedikit gugup---lalu melangkah menapaki indekos lantai dua berwarna biru muda itu. Pintu gerbang yang ada pun, tidak dikunci sehingga aku bisa bebas masuk. Aku lalu mengetuk utama yang kemudian dibuka perempuan yang sepertinya seumuran denganku.
"Cari siapa?"
"Ehm ... cari Mbak Rista."
"Oh, Rista Sasjep, ya? Di lantai dua," Perempuan itu menunjuk ke arah tangga.
Aku melirik ke arah Mas Yudhis yang setia di sisiku sejenak. "Boleh dianterin ke atas nggak, Mbak? Gue ini adiknya temennya Mbak Rista. Jadi nggak terlalu kenal Mbak Rista."
"Oh, gitu ... terus ke sini mau---"
"Mau nganterin makanan. Mbak Rista udah seminggu lebih nggak masuk kuliah. Jadi temen-temennya pada khawatir gitu," kelasku yang mendapat acungan jempol dari Mas Yudhis.
Mata perempuan itu sedikit melebar. "Oh, dia sakit? Kok gue nggak tahu, ya? Oke, oke ... gue anter ke kamarnya."
Aku membuntuti perempuan itu menaiki tangga, lalu menoleh ke belakang untung berbicara pada Mas Yudhis. Untung dia nggak tahu kalau Mbak Rista hamil, ya.
Mas Yudhis mengangguk. Tapi cepat atau lambat bakal kesebar rumornya.
Kami pun berhenti di depan kamar dengan papan bertuliskan nomor 08 tergantung di pintu cokelat. Perempuan itu lalu mengetuk pintu beberapa kali sampai suara lemah menyahut dari dalam. Tak lama kemudian pintu pun terbuka menampakkan Mbak Rista dengan penampilan menyedihkan. Rambutnya awut-awutan, wajahnya pucat, dan bibirnya pecah-pecah.
"Eh, Ris, ini ada adiknya temen lo mau ketemu," tutur si perempuan seraya melirik ke arahku.
Kerutan langsung timbul di kening Mbak Rista. Matanya terlihat menyipit, mengamatiku dari ujung kepala hingga kaki. "M-maaf, lo adiknya siapa?"
Mati aku. Aku mendesis seraya melirik Mas Yudhis. Lelaki itu malah mengedikkan bahu. Aku tidak mengenal satu pun teman Mbak Rista.
Gimana nih, Mas? Aku melayangkan tatapan tajam ke arahnya sambil mendengkus.
Ya, ya ... lo improvisasi kek.
Enak aja improvisasi. Ketahuan bohongnya baru tahu rasa.
"Gue nggak kenal lo," tukas Mbak Rista lagi.
"G-gue ... gue adiknya Mas Yudhis."
"Bego!" Suara protes Mas Yudhis langsung terdengar. Lelaki itu memelototiku sembari menjejakkan kaki ke lantai.
Mbak Rista menggeleng. "Gue kenal semua saudara Yudhis. Dan gue tahu lo bukan saudaranya. Lo mau apa sebenernya?" Dia mulai tidak sabar.
"Gue tinggal dulu, lagi ngerjain tugas soalnya." Perempuan yang tadi mengantarku pamit begitu saja, bahkan setelah tahu aku bukan orang yang dikenal Mbak Rista.
Aku mengangguk dan kembali memandang Mbak Rista. "Bukan adik kandung."
"Ya, adik tirinya juga bukan," sembur Mbak Rista dengan nada ketus.
"Jadi, gue ... kenalan sama Mas Yudhis karena ngefans sama Panorama. Terus kita deket Jadi kakak-adik, deh," dustaku.
Mbak Rista bersedekap. Raut wajahnya tidak melunak sama sekali. "Terus, tujuan lo ke sini buat apa?"
Aku langsung mengulurkan sekantong sarapan yang kesiangan itu. "Dimakan ya, Mbak ... Mbak Rista belum sarapan, kan?"
Sepasang alisnya bertaut. "Lo ke sini mau kasih gue makan?" Dia menerima kantung berisi nasi dan sup ayam tersebut.
Aku mengangguk. "Sebelum Mas Yudhis kecelakaan hari itu, dia nitipin lo ke gue. Tapi, maaf banget, baru nongol sekarang."
Helaan napas terdengar dari perempuan yang berdiri di hadapanku. "Ngapain juga nitipin gue ke lo ... gue bukan anak kecil."
"Mas Yudhis khawatir banget sama lo," cicitku.
"Lo beneran ke sini bukan karena penasaran sama gosip yang di luaran sana?" Satu alis Mbak Rista terangkat.
"Nggak, Mbak. Gue beneran ke sini karena merasa tanggung jawab, takut Mas Yudhis arwahnya nggak tenang kalau gue nggak lakuin yang dia minta." Mas Yudhis memelototiku sambil berbisik lo kata gue udah mati apa? Tapi, aku mengabaikannya. "Gue juga khawatir sama lo. Denger-denger lo udah nggak berangkat seminggu. Gue takut lo kenapa-napa."
"Kalau gitu, makasih buat makanannya. Besok-besok lo nggak usah dateng ke sini. Lagian Yudhis nggak bisa lihat lo," pungkasnya dengan senyum kaku.
"Lo, bakal masuk kuliah lagi kan, Mbak?"
Mbak Rista menatapku sejenak lalu terkekeh. "Menurut lo gue masih punya muka? Setelah orang-orang tahu kalau gue lagi hamil?"
"Bilang ke Rista, dia harus kasih tahu orang tuanya kalau lagi hamil," pinta Mas Yudhis.
Aku meliriknya sekilas lalu mengerang dalam hati. Pasti Mbak Rista akan mengira aku orang yang suka ikut campur.
"Terus, rencana lo ke depannya apa Mbak?" tanyaku hati-hati. "Orang tua lo udah tahu kalau lo hamil?"
Dia mendengkus. "Gimana caranya gue kasih tahu ke mereka? Ma, Pa, aku hamil. Gitu? Mereka bakal gila! Apalagi nggak ada yang tanggung jawab."
Ya, benar juga, sih. Mas Yudhis juga masih koma, nggak tahu kapan bangunnya, gumamku dalam hati.
"Mas Yudhis pasti bangun kok, Mbak. Orang tua lo pasti bisa nunggu," tandasku. "Mas Yudhis beneran care sama lo. Dia pasti orang yang baik."
Aku menahan diri untuk tidak memuntahkan isi perut, selama memberi pujian pada lelaki yang sekarang sedang cengengesan.
Mbak Rista tersenyum samar. "Ngapain sih, Dhis, lo masih peduliin gue?" Meskipun lirih, aku dapat mendengarnya. "Makasih buat makanannya. Btw, siapa nama lo?"
"Shanin, Mbak."
"Oke, Shanin, makasih udah repot-repot ke sini. Tapi, lo nggak perlu ke sini lagi." Mbak Rista tersenyum, kini terlihat tulus. Tapi malah membuatku merinding. "Gue bisa atasin masalah ini sendiri. Nanti kalau Yudhis bangun, bilang aja, lo udah lakuin semua permintaannya."
Mana bisa? Orang Mas Yudhis ada di samping gue hampir tiap hari!
"Lo kenapa maksain diri buat kelihatan baik-baik aja sih, Ris?" desah Mas Yudhis dengan suara parau.
Hatiku ikut nyeri mendengarnya. Tahu orang terkasihmu sedang berjuang sendirian, tapi tidak bisa membantu dan meringankan rasa sakitnya, pasti sangat menyebalkan. Dari sini aku sadar, jika Mbak Rista tidak punya siapa-siapa.
"Gue bakal ke sini lagi, Mbak. Bukan karena Mas Yudhis, tapi karena gue peduli," ujarku lalu berbalik pergi.
.
.
.
Rista adalah ..... Yudhis.
a. Pacarnya
b. Gebetannya
c. Mantannya
d. Cewek yang disukai
Dipilih-dipilih🤣🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top