Tale 04 - Kegilaan Semesta

.
.
.

Kepalaku rasanya mau meledak, memikirkan mengapa aku bisa melihat hantu. Apa aku mendadak punya indera keenam? Selama delapan belas tahun hidup, aku sama sekali tidak pernah mengalami kejadian mistis, apalagi bertemu hantu. Otakku mencoba berpikir dengan logika, kalau semalam memang bukan Mas Yudhis yang kuajak mengobrol, tapi kenapa orang itu tahu soal motorku yang tidak mau menyala? Mengapa, Tuhan?

Aku menarik rambutku kesal, frustrasi, dan takut. Ya, siapa sih, yang tidak takut setelah mengobrol dengan arwah gentayangan?

"Tapi, Mas Yudhis belum meninggal, masa arwahnya bisa gentayangan?" Aku membenturkan kepala ke buku yang berada di meja dengan pelan. "Pasti cuma halusinasi gara-gara seharian denger nama Mas Yudhis di mana-nana."

Aku mencoba kembali fokus ke bacaanku yang sempat terlupa, dan membetulkan letak kacamata bulat yang melorot karena aksiku tadi. Untungnya, perpustakaan tidak terlalu ramai. Jadi, kemungkinan besar tak ada yang mendengar gerutuanku barusan.

"Kenapa gue sial banget, ya? Di antara banyaknya orang, yang bisa lihat gue, lo."

Aku terlonjak dari kursi ketika suara yang tidak asing itu terdengar dari belakang. Aku menahan napas, takut menoleh dan mendapati pemandangan yang mengerikan. Aku menutup mata lalu merapalkan ayat kursi dalam hati.

"Kenapa diem aja?"

"Astaghfirullah! Kenapa nggak pergi-pergi, sih?" gumamku sambil menggigit bibir. Aku menutupi wajah dengan telapak tangan.

"Lebay amat!" Sekarang sumber suara berpindah ke hadapanku. "Kemarin aja berani ngobrol sama gue. Masa sekarang nggak?"

Aku membuka mata, mengintip dari sela-sela jari. Untungnya, Mas Yudhis muncul dengan kondisi utuh tanpa luka, seperti kemarin. Kelegaan langsung membanjiriku. Saat tahu Mas Yudhis koma karena kecelakaan, aku takut melihat kondisinya yang berdarah-darah.

"K-kok bisa lo di sini? Lo kan habis kecelakaan." Meskipun ketakutanku sudah memudar, suaraku masih terdengar bergetar.

Lelaki itu mencebik. "Ini arwah gue, bego."

"Y-ya, maaf. Ini pertama kalinya gue lihat hantu."

Mas Yudhis menghela napas. "Gue bukan hantu. Gue belum mati."

"Kita punya hubungan apa, sampai gue harus ketiban sial bisa lihat lo," protesku frustrasi sambil memijit pelipis.

Mas Yudhis mengulurkan tangan ke arahku, sepertinya hendak menjitak kepalaku, tapi menariknya kembali. "Sayangnya sekarang gue nggak bisa mukul lo."

Aku mencebik. Bisa-bisanya orang sejudes ini banyak yang suka. Seharusnya Nashwa sama Desi lihat gimana nyebelinnya Mas Yudhis, dumalku dalam hati.

"Kalau ada yang mau lo omongin ke gue, langsung bilang ke orangnya." Mas Yudhis mendengkus.

Aku menyipit, menatap lelaki itu dengan curiga. Bagaimana dia tahu?

"Ya, tahu, lah. Gue kan hantu."

Aku tergagap. "L-lo bisa tahu apa yang gue pikirin?"

Dia cuma mengedikkan bahu dan memukul-mukul meja dengan jemarinya. Tunggu, aku menyadari suatu keanehan di sini .... "Mas, lo kok bisa pukul meja, tapi nggak bisa nyentuh gue?"

"Pengin banget gue sentuh?" Lelaki itu mendengkus. "Jangan harap."

Aku mendecakkan lidah. Bukan begitu maksudnya. Dasar cowok kegatelan.

"Kok gue yang kegatelan? Lo kan yang minta disentuh," protesnya.

"Siapa bilang gue minta disentuh? Enak aja!" Aku reflek mengulurkan tangan untuk memukul Mas Yudhis, tapi tanganku menembus tubuhnya. Bulu kudukku langsung merinding, karena merasakan ujung-ujung jariku kedinginan.

"Minta disentuh?" Nashwa tiba-tiba datang dari belakang. "Lo ngomong sama siapa?"

"Suara lo lumayan kenceng lho, Nin," imbuh Desi yang kemudian menarik kursi di sebelahku.

Aku melirik ke arah Mas Yudhis sambil mencebik kesal. Sedangkan lelaki itu tergelak di kursinya. Nashwa---sambil membawa beberapa buku---memilih menarik kursi di hadapanku, alias kursi yang diduduki Mas Yudhis.

"Eh!" Aku memekik tanpa sengaja, lalu terbahak saat melihat tubuh Mas Yudhis tenggelam di balik Nashwa. "Rasain lo!"

"Apaan sih, Nin?" Nashwa mengerutkan kening sambil menatapku.

"Eh, nggak, nggak ... " Aku menahan tawa waktu Mas Yudhis berpindah tempat duduk ke sebelah perempuan itu. Aduh, kalau temanku itu tahu, dia baru saja dipangku arwah si idola, pasti kejang-kejang, kegirangan. "Dingin nggak di situ?"

"Biasa aja, tuh," sahut gadis itu sebelum fokus dengan bukunya.

"Lo aneh hari ini, Nin," celetuk Desi lalu sibuk memainkan ponselnya.

Nashwa menimpali. "Kayaknya di perpustakaan ada penunggunya, deh ... lo jangan keseringan main ke sini."

"Emang ada kok, tuh duduk di sebelah lo." Aku menunjuk Mas Yudhis dengan daguku.

"Nggak lucu, ah!" Perempuan itu mendengkus sambil mengedarkan pandangan ke sudut ruangan.

"Hati-hati, nanti dilihatin penunggu asli perpustakaan, kejang-kejang," kata Mas Yudhis. "Penunggunya serem, lho ... mbak-mbak rambut panjang pakai baju putih, ada bercak merah-merahnya."

Badanku langsung merinding. Aku dengan panik menoleh ke belakang, melihat ke atas rak-rak buku. Takut, jika ada sosok yang disebut Mas Yudhis. Daripada semakin tidak waras, lebih baik aku mengusir cowok, eh bukan, arwah menyebalkan itu dari sini.

"Pergi lo sana .... " Aku mencondongkan badan, kemudian berbisik. Mumpung Nashwa dan Desi sedang dalam dunia mereka masing-masing.

"Ogah!" Mas Yudhis menjulurkan lidah.

"Nganggur banget sih lo, nungguin gue di sini. Emang ada gunanya?"

"Loh! Gue kan juga mau ngerjain tugas, Nin!" protes Nashwa sambil menunjuk buku-buku yang terbuka di depannya, sambil mengerucutkan bibir.

"Sukurin!" Lelaki itu, dengan tanpa dosa terbahak kencang, sebelum akhirnya menghilang begitu saja.

"Bukan lo yang gue maksud." Aku menggeleng cepat, sambil menyengir tak enak. Mataku mencuri pandang ke arah tempat duduk Mas Yudhis tadi, memastikan lelaki itu benar-benar lenyap.

***

Sebagai seseorang yang memiliki kepribadian introvert, aku cukup sulit membuka diri dan beradaptasi di lingkungan baru. Untuk itu, kuliah di kota orang, jauh dari keluarga, sebuah tantangan besar untukku. Jumlah temanku pun, bisa dihitung dengan jari. Nashwa dan Desi mau berteman denganku saja, aku sudah sangat bersyukur. Itulah mengapa, aku cukup aktif di sosial media. Aku mengikuti banyak akun base menfess* di Twitter, biar gampang untuk menanyakan sesuatu, dengan identitas anonim, dan tanpa harus bertemu banyak orang.

kepomenfess @kepomenfess
/kp/ gue bukan indigo, tp 2 hari ini gue bisa liat setan, gue diikuti terus sama setannya. Tandanya apa y? Trs, cara ngusir setannya gimana? Thx

💭🔁❤

namaku @sayurlodeh
Membalas @kepomenfess Lo mau disantet kali. Itu jin, yang dikirim buat bunuh lo.

aku siapa @anakilangkali
Membalas @kepomenfess Maap gue juga bukan anak indigo, tp anak indihom.

sebut saja mawar @merahberduri
Membalas @kepomenfess Gue juga bukan anak indigo, tapi india, jadi ga ngerti. Punten🙏

aku anak sehat @tubuhkukuat
Membalas @kepomenfess Lo kenal setannya nggak? Sapa tau itu orang yang pernah lo jahatin dulu.

abcdefgh @iloveyou
Membalas @kepomenfess Mending lo ke ustadz deh... minta dirukiyah. Serem amat diikutin setan mending kalo gebetan.

bukan boneka @kekeyiya
Membalas @kepomenfess Kok lo ngerti kalo itu setan? Emang bentuknya kayak apa?

Tengkuk leherku merinding setelah membaca balasan pertanyaan yang kukirim ke base Twitter Kepo Menfess itu. Ya, walaupun ada yang malah membalas dengan candaan nggak jelas. Aduh ... aku jadi ingat, kalau jin bisa berubah bentuk menyerupai manusia. Jangan-jangan, arwah yang tadi aku lihat, bukan Mas Yudhis, tapi jin yang lagi nge-prank.

Apa aku cerita sama ibu aja, ya? Tapi, kayaknya ibu nggak bakal percaya, deh.

Aku sendiri aja masih tidak percaya tiba-tiba bisa lihat hantu. Untungnya sih, tampang Mas Yudhis cakep, jadi nggak serem-serem amat. Ya, aku tidak menampik, penampilan Mas Yudhis memang di atas rata-rata. Dia punya alis tebal, bulu mata lentik---uh, aku iri banget sama bulu matanya---, hidung mancung, bibir merah muda---yang membuatku bingung, kok bisa, perokok punya bibir sesehat itu---dan rahang yang tegas.

Selain punya wajah yang lumayan, tinggi badannya juga membuatku minder jika berdiri bersebelahan dengannya. Aku, yang punya tinggi 155 sentimeter, pasti terlihat seperti kurcaci di samping lelaki yang memiliki tinggi hampir 180 itu. Untung saja, penampilannya cukup urakan untuk seleraku, ditambah omongannya yang setajam silet, membuat sosok drummer Panorama itu tidak terlihat menarik di mataku.

"Lain kali, kalau mau muji gue, di depan orangnya langsung aja. Nggak usah ngumpet di kamar begini."

Aku yang masih enak-enakkan tengkurap di tempat tidur, langsung berbalik, menarik selimut untuk menutupi kaki---karena aku cuma pakai celana pendek selutut, seragam wajib tidurku---. Mataku membelalak lebar, menatap sosok yang harusnya tak kasat mata itu, duduk di kursi belajar.

"Lo---" Aku tiba-tiba tergagap, karena terlalu kaget mendapati arwah itu di sini, hingga membuatku tidak bisa memuntahkan sumpah serapah untuknya.

"Gue ganteng? Punya alis tebel? Apa lagi tadi, ya?" Mas Yudhis mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk.

"Kenapa lo bisa tahu di mana kos gue?" Aku bangun dari posisi tidur, duduk dengan kaki menggantung ke lantai. Selimut tebal warna putih bergambar mawar ungu itu masih menutup pahaku dengan sempurna.

"Gue tadi tanya sama Mbak Beti, yang tinggal di pohon mangga ujung jalan. 'Mbak, tahu cewek kecil, pendek, sukanya manyun-manyun kayak anak SD, kosannya di mana nggak', gitu."

"Gue tahu, lo sekarang jadi hantu. Tapi, seenggaknya dulu lo pernah jadi manusia, kan? Lo harusnya paham, cowok masuk ke kamar cewek itu, izin dulu!" protesku sambil mendengkus.

Lelaki itu manggut-manggut, tapi sangat kentara tidak mendengarkan dengan seksama, karena fokusnya sekarang ke bingkai foto yang berada di atas meja belajar. Fotoku bersama keluarga saat liburan ke Dieng waktu aku kelas enam SD. Dia menatapku lekat-lekat, lalu kembali menatap foto yang sekarang ada di tangannya.

"Lo kayaknya nggak tumbuh, ya?" gumamnya tanpa dosa. "Siapa nama lo? Temen-temen lo panggil lo, Nin, ya? Nindy? Anin? Nintendo?"

"Bodo amat!" Aku melemparkan bantal ke arah Mas Yudhis, yang hasilnya tentu sia-sia, karena benda persegi empuk itu menembus badannya dan menabrak tembok di belakang lelaki itu. "Lo bisa pegang bingkai foto, di perpustakaan juga bisa pukul-pukul meja. Tapi, kenapa kalau dilempar bantal, tembus gitu aja, sih?"

"Loh, hantu kan fiturnya canggih, bisa diatur."

Aku mendengkus tak terima. Bisa-bisanya dia dengan bangga mempermainkan aku. Dan, aku mendadak teringat kejadian malam kemarin saat jalan bareng Mas Yudhis. Dia menarikku dan menyelamatkanku dari menabrak tiang listrik. Tapi, kenapa tadi di perpustakaan,dia bilang tidak bisa memukulku?

"Eh, Mas, lo sebenarnya bisa pegang manusia, kan? Lo pernah narik gue, waktu gue mau nabrak tiang."

"Itu terpaksa."

"Terpaksa?"

"Ya, kalau gue nggak tarik, jidat lo bisa benjol."

"Ya, tapi kenapa lo bilang nggak bisa pukul gue di perpustakaan, padahal bisa?"

"Lo belum pernah denger cerita, kalau hantu sama manusia itu beda dimensi? Jadi, kalau hantu mau berinteraksi langsung sama manusia, aliasnya gue harus nyeberang dimensi lain dan itu butuh energi besar, bikin tenaga gue terkuras. Makanya gue bilang, kejadian malem kemarin, itu terpaksa. Gue nggak tega lihat otak lo rusak padahal masih maba, gara-gara nabrak tiang listrik," terang Mas Yudhis panjang lebar.

"Oh gitu ... tapi, harusnya lo juga butuh energi besar buat ngobrol sama gue. Ini kan interaksi langsung."

Mas Yudhis mengedikkan bahu. "Nah, kalau itu gue nggak paham. Anehnya cuma lo yang bisa lihat gue. Kalau gue mau ganggu temen-temen lo tadi, bisa. Tapi, ya itu tadi ... butuh energi besar."

"Oh, lo jadi letoy ya, kalau berhubungan sama manusia?" Aku terkikik geli menertawakan kondisi lelaki itu.

Mas Yudhis mendecakkan lidah, lalu mendengkus.

"Lo beneran arwahnya Mas Yudhis? Bukan jin yang mau nyantet atau nge-prank gue?" cecarku. "Udah, ngaku aja, lo kiriman dukun mana?"

Bukannya terintimidasi, Mas Yudhis malah terpingkal-pingkal. "Please, emangnya lo punya apa, sampai ada orang yang mau nyantet lo?"

Giliran aku yang berdecak sebal. "Kalau lo beneran arwahnya Mas Yudhis, kenapa lo kelihatan santai banget? Emang lo nggak mau balik hidup lagi? Emang lo nggak mau nemenin Mbak Rista?"

"Kata siapa santai? Gue juga lagi cari cara biar bisa ke badan gue lagi." Mas Yudhis menghela napas sambil duduk bersandar di kursi belajarku. Kedua kakinya mengarah ke depan. "Ini gue lagi istirahat, cari temen ngobrol. Gue newbie di kalangan makhluk halus, jadi di-bully."

Ternyata ada senioritas juga di dunia perhantuan. Baru tahu. Aku menggumam, memikirkan beberapa kemungkinan mengapa aku 'terikat' dengan arwah Mas Yudhis. "Kita saling kenal aja nggak ... kenapa harus gue yang ketiban sial jadi tempat transit lo."

"Yang ketiban sial, bukan cuma lo. Gue juga. Enak aja! Lebih enak, kalau yang bisa lihat gue Rista, atau temen sekelas gue," tukasnya sengit.

Ngomong-ngomong soal Mbak Rista, pasti Mas Yudhis khawatir sekali dengan pacarnya. Apalagi, perempuan itu sedang berbadan dua. Berarti bener dong, kalau Mas Yudhis hamilin Mbak Rista? Aku meliriknya penuh rasa penasaran.

"Nggak usah mikirin sesuatu yang bukan tanggung jawab lo," celetuk Mas Yudhis seraya bangkit dari kursi. "Mending lo mikirin gimana caranya bantuin gue jadi manusia."

.
.
.

Sejauh ini, gimana cerita OMT?

Apa sesuai sama perkiraan temen-temen?

Apa menurut temen-temen bakal ada sesuatu lagi?

Misteri apa yang paling bikin temen-temen penasaran di cerita ini?

Dan, apa temen-temen mulai mempertanyakan, cowok bucinnya di sebelah mana? Katanya kan spesialis cowok bucin🤣🤣

Makasih banyak ya bestiee udah mau mampir dan meninggalkan jejak buat Shanin, Yudhis, Pram dan Cacha🥰🥰🥰

PS:
Main ke IG yuk, bestieee❤❤❤
oktyas27

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top