Tale 03 - Keganjilan Menakutkan
.
.
.
Yudhistira, nama lelaki itu jadi buah bibir di sepanjang koridor menuju kelas. Mereka terus membicarakan soal perkelahian di halaman parkir belakang, termasuk teman-temanku. Kelas lebih riuh daripada biasanya. Gie, Hanna, dan Desi langsung menghambur ke mejaku begitu aku mendaratkan pantat di kursi. Ketiga gadis itu mencecarku dengan berbagai pertanyaan bak wartawan.
"Eh, Kak Yudhis beneran hamilin Kak Rista dari Sastra Jepang?"
"Nin, lo lihat pas mereka berantem?"
"Mas Yudhis ngomong apa aja, Nin?"
Aku mengangkat kedua tangan membuat mereka mengatupkan bibir. "Satu-satu tanyanya. Bingung gue."
Desi menyengir. "Lo beneran lihat kejadiannya kemarin? Dari awal nggak?"
Aku menggeleng. "Gue sama Nashwa sampai sana udah ramai. Udah babak belur juga wajah Mas Yudhis."
Ketiga temanku itu seketika meringis. "Kasihan banget ... gue denger, dia dipanggil ketua jurusan hari ini," Hanna menimpali.
"Mas Yudhis ngaku yang hamilin Mbak Rista nggak, sih?"
Aku mengedikkan bahu. "Dia nggak ngomong iya, sih. Cuma ya, Mas Yudhis yang malah gandeng cewek itu pergi. Bukan cowok satunya."
"Lo udah lihat ruang musik belum? Udah penuh tempelan di pintunya," celetuk Gie. "Bingung ya, dia beneran ngelakuin apa nggak. Soalnya denger-denger dia nggak bales Leo sama sekali waktu dipukulin."
Aku mengangguk. "Ya, mending kita nggak usah ngegosip, deh. Kalau jadi fitnah malah susah. Gue malah penasaran gimana kabar si mbaknya. Pasti malu banget nggak, sih?"
"Eh, ada Miss Anita!" Desi memekik ketika pintu kelas terbuka dan menampakkan dosen pengampu mata kuliah "Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Inggris". Seperti laron, Desi, Gie, dan Hanna segera berlari menuju kursi masing-masing.
"Morning, Class!"
"Morning, Mam!"
Miss Anita duduk manis di kursinya lalu menyetel materi di Power Point lewat komputer yang berada di meja dosen. Sambil tersenyum, beliau kembali menatap kami. "Masih ingat materi minggu kemarin?" Miss Anita adalah salah satu dosen termudaku. Usianya masih 26 tahun.
Tidak ada jawaban. Seperti biasa, aku dan teman-teman satu kelas masih saja enggan menjawab pertanyaan dosen.
"Armand, what is linguistics?" Aku mengelus dada lega karena bukan namaku yang disebut Miss Anita. Aku diam-diam menoleh ke belakang, menatap Armand, sang kormat---koordinator mata kuliah.
"The scientific study of language and its structure, including the study of morphology, syntax, phonetics, and semantics," jawab Armand setelah beberapa saat terdiam.
"Menurut siapa itu Armand?"
"Oxford Dictionary."
"Good answer, thanks Armand." Miss Anita menyorot judul materi yang terpampang di layar proyektor menggunakan laser pointer. "The field of Linguistics is comprised of several sub-fields."
Aku langsung fokus menerjemahkan setiap kalimat yang diucapkan Miss Anita. Kelas 2 SKS itu pun akhirnya rampung satu setengah jam kemudian. Perut yang keroncongan membuatku agak tak sabar untuk segera keluar kelas dan menuju kantin. Aku bersama Nashwa dan Desi, serta beberapa teman lainnya, berbondong-bondong menuju kantin yang berada di dekat ruang musik. Kali ini kami tidak memilih pulang karena waktu yang tersisa menuju kelas berikutnya kurang dari satu jam.
Saat menyusuri lorong menuju tangga, tidak sengaja kami berpapasan dengan Mas Yudhis, dan dua orang lelaki yang berdiri di sampingnya. Ia terlihat baru saja menuruni tangga dari lantai tiga---tempat kantor dosen berada.
"Mas Yudhis itu," bisik Desi sambil menyenggol lenganku.
Kami berjalan berlawanan. Dari sudut mata, kubisa melihat wajahnya yang muram. Kemeja flanel kembali melengkapi penampilan lelaki itu. Kali ini perpaduan warna kuning kunyit dan biru. Kemeja itu tidak dikancing sehingga memperlihatkan kaus biru dongker yang jadi dalaman. Lengannya yang panjang digulung sampai ke siku. Tas punggungnya tersampir di satu pundak.
"Sumpah, lo bego banget, Dhis," kata lelaki berkacamata bulat yang berada tepat di samping Mas Yudhis.
"Udah diem. Jangan kebanyakan bacot," tukas Mas Yudhis tanpa menoleh ke arahnya.
"Gila aja kalau sampai dikeluarin. Mau ngewe apa nggak, bukan urusan kampus," timpal lelaki yang berjalan di belakang mereka.
Setelah rombonganku dan rombongan Mas Yudhis saling membelakangi, Nashwa berceletuk. "Kayaknya mereka habis dari ruang jurusan, deh."
"Gue penasaran sama nasibnya si Rista-Rista itu," ujar Desi.
Aku memicingkan mata ke arahnya. "Kenapa kayaknya lo sebel banget sama dia?"
"Lah, gara-gara dia Mas Yudhis keliatan nggak ganteng begitu."
Aku memutar mata, malas menanggapi komentar sengitnya. Padahal menurutku yang paling dirugikan pada kasus ini adalah Rista. Entah itu kabar burung atau bukan, nama Rista dan Mas Yudhis sudah tercoreng. Aku tak bisa membayangkan bagaimana beratnya perjuangan mereka meneruskan kuliah di sini.
Langkah kami bertiga seketika melambat saat melintasi teras depan ruang musik. Mulutku ternganga menyaksikan banyaknya kertas yang tertempel di pintu dan jendela bangunan bercat abu-abu muda itu. Penasaran, aku menarik salah satu kertas yang tertempel dan langsung mendengkus keras begitu membaca pesan di dalamnya.
Modal ganteng doang ga cukup buat masuk surga bray.
Gila, ya ... orang-orang gampang sekali menilai orang lain hanya dari satu sisi. Sekelas Mas Yudhis saja, bisa dapat makian haters sebanyak ini. Padahal dia tidak seterkenal Raffi Ahmad atau Ariel Noah. Dunia ini terlalu menakutkan.
"Kayak lo masuk surga aja! Siapa nih, yang nulis?" Nashwa berkacak pinggang sambil misuh-misuh. "Gue slebew baru tahu rasa!"
"Jangan emosi mulu, buruan ke kantin, nanti nggak dapat tempat duduk," kataku sambil meremas kertas tersebut, dan melemparnya ke tempat sampah.
Tiga piring gado-gado dan tiga gelas es teh manis tersaji di meja setelah lima belas menit menunggu. Obrolan di kantin pun tak jauh berbeda dari obrolan kelas. Tanpa sengaja, lagi-lagi aku mendengar informasi baru dari meja sebelah. Anehnya, Nashwa dan Desi yang biasanya selalu ribut, kali ini juga menutup bibirnya rapat-rapat.
"Rista nggak berangkat. Nomornya nggak aktif."
"Kita samperin ke indekosnya aja, gimana?"
"Gue tuh masih bingung sampai sekarang, kenapa harus pakai acara berantem, rame-rame begitu, sih?"
"Leo emang nggak ada otak."
"Tetep nggak nyangka sih, ternyata Rista masih jalan sama Yudhis. Gue kira mereka udahan."
Aku meneguk es teh manis sampai tandas lalu mengelap sudut bibirku dengan tisu. Ada terlalu banyak cerita dari berbagai sudut pandang dan membuatku pusing, padahal aku tidak berurusan dengan mereka. Jangan sampai ayah dan ibu tahu berita ini. Bisa-bisa mereka jadi parno. Karena kejadian ini, aku baru tahu, kehidupan kuliah jauh berbeda seperti di SMA.
"Bosen nggak sih, lo dengernya cerita yang sama terus?" celetukku membuat Nashwa dan Desi menatapku dengan kerutan di dahi. "Gue mau ke mushola ah, biar nggak denger gosip-gosip soal kemarin lagi. Takutnya berita yang diomongin nggak bener lagi."
"Ya, gimana lagi ... umpamanya tuh, Panorama itu Coboy Junior-nya Fakultas Sastra," tutur Desi.
"Coboy Junior banget? Panorama kan band, bukan boyband," protes Nashwa tak terima.
"Lah? Emang anggota Panorama bukan cowok? Cowok, kan? Bahasa Inggrisnya band cowok apa kalau bukan boy band?" sahut Desi tak mau kalah.
Aku beranjak dari kursi, melenggang keluar dari kantin, karena malas menunggui dua orang itu berdebat. Ya, meskipun baru tiga minggu mengenal mereka, aku tahu persis bagaimana jika Nashwa dan Desi mulai adu mulut.
"Eh, eh! Nin! Shanin! Kok gue ditinggalin?"
"Shanin!"
***
Pukul setengah enam sore, tapi jalanan kampus masih cukup ramai. Berkat penerangan jalan yang baik, dan fasilitas sepeda gratis, banyak mahasiswa---terutama kakak tingkat---tidak membawa kendaraan pribadi. Meskipun lelah setengah mati dan harus berjalan kaki menuju indekos karena tidak ada boncengan yang tersisa, aku sangat menikmati setiap langkahnya.
Sebenarnya kelasku selesai pukul setengah empat tadi. Tapi, karena harus melakukan tugas kelompok, aku pulang lebih sore, sedangkan Nashwa---yang biasa kuboncengi---pulang lebih dulu. Agak seram sih, jujur saja. Apalagi banyaknya pepohonan besar di sisi jalan, membuat bulu kuduk merinding karena tiupan angin.
Aku merogoh saku celanaku, mengambil gantungan kunci berbentuk oval terbuat dari resin, dengan kuncup mawar ungu dan kepik tujuh totol di dalamnya, lalu memandanginya lekat-lekat. Aku bingung, harus mulai dari mana mencari pemilik benda ini. Aku tahu Pram di sini, dekat, tapi kenapa rasanya sangat jauh? Seulas senyum terbentuk di bibir, ketika membayangkan bagaimana sosok Pram di dunia nyata.
Apa dia manis? Apa dia puitis? Apa dia jago merayu? Atau malah dia seorang playboy?
Kalau ingat bagaimana manisnya kalimat-kalimat yang Pram rangkai, bisa jadi, ia juga disukai banyak perempuan. Bukannya aku tidak pernah memikirkan bagaimana jika sosok Pram tidak sesuai yang kuharapkan. Tapi, apa pun itu, bukankah selalu ada bagian dari dirinya yang benar-benar peduli padaku? Maksudku, tidak ada gunanya Pram mengirim surat tiap minggu, meneleponku hampir tiap hari, kalau tidak suka?
Iya, nggak, sih?
Shanin, please ... jangan overthinking. Gimana nanti jadinya, yang penting ketemu orangnya dulu, oke?
Aku mengangguk-angguk, setelah berdiskusi dengan logika sendiri. "Betul, betul. Jangan fokus ke sa---"
"E-eh!" Aku memekik saat merasakan kerah kemeja bagian belakang ditarik dengan kasar. Aku langsung menoleh dan mendapati Mas Yudhis---masih dengan pakaian sama seperti tadi siang---berdiri. "Ng-ngapain?"
Dia mendengkus, tak menjawab pertanyaan dariku dan malah berjalan mendahuluiku. Kedua tangannya tersimpan si saku celananya. Tas ransel hitamnya bergoyang mengikuti irama langkah kakinya.
"Kenapa barusan tarik-tarik baju gue?" Aku langsung menyimpan kembali gantungan kunci itu ke saku, lalu mempercepat langkah, berusaha menyamai langkah panjangnya. "M-Mas Yudhis!"
Dia melirikku sekilas, lalu kembali menatap ke depan. "Nggak nyadar tadi lo mau nabrak tiang listrik?" Lelaki itu berjalan lagi, tapi kali ini tak secepat tadi.
Aku menutup mulut dengan kedua telapak tangan, malu sekaligus terkejut, lalu menggaruk puncak kepala, sambil meringis. "Oh, gitu, ya?"
"Nggak bilang makasih?"
Aku mendecakkan lidah begitu mendengar suara ketusnya. "Iya, makasih."
"Kok kayak nggak ikhlas?"
Aku memicingkan ke arahnya. Kenapa cerewet banget, sih? "Ikhlas, Mas," dumalku jauh dari ikhlas.
"Kenapa nggak bawa motor?"
"Takut nggak bisa nyala."
Kami berjalan bersebelahan, seperti teman. Padahal, saling kenal pun tidak. Aneh, di tengah masalah yang menerpanya, Mas Yudhis masih bisa terlihat santai seperti ini.
"Bawa ke bengkel. Kalau mati total, apa lagi karena olinya kering, harus turun mesin," jelasnya menghentikan langkah di pertigaan membuatku juga ikut berhenti.
"Besok Sabtu gue bawa ke bengkel." Aku menggenggam erat kedua tali tas ransel yang tersampir di pundak, mendongakkan kepala, untuk menatapnya. "Apa lagi, Mas?"
"Lo tahu nama gue sekarang, ya?" Ia tersenyum miring. Aku cuma mengangguk, tanpa membuka suara. "Ya udah, sono lo balik, kenapa ikut berhenti di sini?"
Aku menarik napas, mencoba menyimpan rasa kesal yang siap meledak. "Iya, iya ... ini juga mau pulang!" dengkusku, lalu berbelok ke kanan, jalan menuju indekosku.
Aku menyeberang jalan, dan menapaki jalanan trotoar dengan taman kampus di kanan-kiri. Terlihat masih cukup banyak mahasiswa yang duduk-duduk di kursi taman dan rerumputan hijau. Ada lampu-lampu yang tersebar di sepanjang jalan dan taman, ditambah cahaya senja yang mewarnai langit, mataku terasa sangat dimanjakan dengan pemandangan indah menuju petang itu. Aku lalu menoleh ke belakang, ingin mengecek apakah Mas Yudhis masih di sana, dan nihil. Lelaki itu sudah tak tampak.
Setelah keluar dari area taman, aku kembali melihat jalan besar yang ramai. Aku hanya perlu menyeberangi jalan ini lalu berbelok ke gang yang berada di belakang mini market di hadapanku, dan sampailah di indekos!
***
Syukurlah!
Aku mendesah lega karena tak mendapati dosen saat membuka pintu kelas. Aku bangun kesiangan, padahal semalam tidur kurang dari pukul sepuluh. Melihat lima panggilan tak terjawab dari Nashwa membuatku panik setengah mati. Aku langsung memesan ojek online setelah selesai bersiap-siap.
Suasana kelas, ramai seperti biasa. Samar-samar aku mendengar nama Mas Yudhis disebut. Aku menghela napas, mulai bosan dengan topik pembicaraan ini. Sebenarnya aku lebih ke prihatin dan kasihan setiap kali mendengar topik ini terus dibicarakan. Skandal ini, bukan kasus sepele. Ada dua nama mahasiswa yang sudah tercemar, padahal belum terungkap fakta sebenarnya.
"Nin! Lo ke mana aja, sih?" tanya Nashwa begitu aku mendaratkan pantat di kursi sebelahnya. "Mas Yudhis, Nin!"
"Kenapa lagi sama dia?" Seketika aku teringat dengan sikap ketus dan menyebalkannya semalam.
"Mas Yudhis kecelakaan. Sampai sekarang belum sadar."
Aku membulatkan mata, tanpa sengaja meremas lengan Nashwa terlalu keras, membuat gadis itu meringis. "Sorry, sorry. Wait? What?"
"Kita masih lihat Mas Yudhis kan, Nin, kemarin siang di kampus?" Aku mengangguk. "Sorenya Nin, jam tigaan."
Kali ini, jantungku yang merosot sampai ke lantai. Badanku tiba-tiba terasa lemas. "J-jam tiga? M-masa siang-siang begitu kecelakaan?" Aku tahu pertanyaan barusan terdengar bodoh. Tapi, aku masih mengobrol dengannya pukul setengah enam sore kemarin!
"Coba deh, lo buka grup angkatan. Ada pengumumannya," kata Nashwa. "Di perempatan deket Rumah Sakit Dokter Karyadi, ketabrak mobil dari kiri. Mas Yudhis mau jalan ke Tugu Muda. Kayaknya dia emang banyak pikiran, ya .... "
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Tak ingin mempercayai apa yang barusan kudengar. "Gue masih lihat Mas Yudhis kemarin maghrib, Wa!"
"Salah orang kali. Panorama juga udah umumin itu di Instagram mereka."
"Nggak, Wa. Itu beneran dia. Jalan kaki dari kampus sampai ke area taman. Gue belok ke taman dia lurus aja sampai ke perempatan besar," kataku bersikeras.
"Shanin, Mas Yudhis selalu bawa motor. Nggak pernah jalan kaki." Nashwa mengelus pundakku.
Aku memejamkan mata dan merasakan dentuman jantung yang semakin menggila. Bahuku terkulai lemas. Telapak tanganku mulai dipenuhi keringat dingin. Kalau begitu, siapa yang kemarin sore menemaniku jalan kaki? Tidak mungkin, hantu, kan?
.
.
.
Hayo, yang gila siapaa? Shanin apa penulisnya? 🤣🤣🤣
Kira-kira cerita ini bakal jadi genre apa pemirsah?
Ayo, semangatin akikah dong. Kalo kalian jadi Shanin, kalian bakal mikirnya gimana?
Xoxo,
Oktyas💅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top