Tale 02 - Pram dan Kisah Kami
.
.
.
Sesampainya di indekos, aku langsung membuka lemari, mengambil kotak anyaman rotan dengan ukuran sedang dan menumpahkan seluruh isinya. Sebuah pouch kain warna ungu, setumpuk amplop dan satu buku catatan dengan tulisan "Sepenggal Kisah yang Belum Usai dari Cacha dan Pram" memenuhi ruang kosong di hadapanku.
Dengan tangan bergetar dan jantung yang bergemuruh kencang, aku meraih pouch kusam itu dan menarik resletingnya hingga terbuka. Sebuah gantungan kunci serupa seperti yang kutemukan tadi teronggok di dalam sana. Pandanganku mengabur, napasku berubah pendek-pendek saat menjejerkan kedua gantungan kunci itu di telapak tangan.
"Pram, Cacha kangen .... " bisikku dalam kesunyian seraya menitikkan air mata.
Tidak ada satu pun orang yang tahu tentang Pram dan Cacha. Kami sengaja menutup rapat-rapat kisah yang telah terukir indah selama lima tahun ini. Kali pertama aku menemukan Pram adalah saat aku mengirim gelang persahabatan dan surat untuk teman SD-ku yang pindah keluar kota. Akhirnya, setelah duduk di bangku SMP, ibu mengizinkan aku mengirimi Siska hadiah. Sepuluh hari kemudian, surat balasan pun datang, tapi kekecewaan dan keheranan segera memenuhi hatiku saat membaca isinya.
Halo, Cacha
Gelangmu bagus, tapi sayangnya nggak bisa kupakai karena kekecilan. Maaf banget, kayaknya temenmu udah pindah dari rumah ini, karena ini rumahku sekarang. Ini, aku kembalikan lagi gelangnya, biar bisa kamu kirim ke alamat baru Siska.
Salam,
Pram.
Dari balasan singkat itu, hubungan kami berlanjut, sampai akhirnya menunggu surat dari Pram menjadi kegiatan favoritku. Dia terus memanggilku Cacha---panggilan masa kecilku---dan aku terus memanggilnya Pram. Sampai setahun kemudian aku baru tahu dia berusia dua tahun lebih tua dariku. Kami bertukar banyak hal, mulai dari puisi, cerita pendek, hal-hal menyebalkan di sekolah, sampai film favorit. Tapi, satu hal yang tidak pernah aku dan Pram beritahukan adalah nama lengkap kami.
Aku tidak merasa keberatan sama sekali, karena bagiku memanggilnya Pram sudah lebih dari cukup. Fakta dia tetap membalas suratku meskipun kegiatan ini sangat kuno dan bisa saja sangat memalukan untuk kalangan lelaki, membuatku sangat bahagia dan berterima kasih.
Aku tersenyum simpul saat membaca ulang surat-surat dari Pram. Sudah lama aku tak melakukan ini, karena hanya membuatku semakin merindukan sosoknya. Namun, menemukan gantungan kunci ini---Purple Rose and Her Lady Bug, begitulah Pram menamainya---membuatku yakin akan secercah harapan, Pram belum menghilang dari hidupku.
Dia masih di sini.
Dia masih mengingatku.
Dia belum melupakanku.
Dia masih membawa bagian dariku di setiap langkahnya.
Dia masih menghargai kenangan indah kami.
Dan mungkin, dia masih memiliki perasaan yang sama seperti setahun lalu sebelum menghilang.
Pram, kita bakal ketemu, kan?
***
Pram,
Kamu tahu bunga mawar ungu nggak? Pernah lihat aslinya nggak? Aku lagi suka banget sama mawar ungu. Dan kemarin sengaja ke toko bunga buat beli dua tangkai mawar ungu. Mahal ternyata, makanya nggak bisa beli banyak. Btw, kalo namaku ganti jadi Violet, cocok nggak?
Dari,
Cacha---si mawar ungu.
Surat ini kutulis bukan tanpa alasan. Surat ini adalah caraku menyatakan perasaan pada Pram. Pada sosok yang tak pernah gagal melukiskan senyum di bibirku. Lelaki itu, meski tangannya belum pernah kugapai, dia memberi kenyamanan di tengah kacaunya hidup yang kujalani. Mawar ungu, melambangkan cinta pertama. Agak konyol memang, cinta pertamaku berlabuh pada orang yang tak pernah kutemui.
Dua hari setelah surat tentang mawar ungu itu sampai, pukul delapan malam Pram menghubungiku. Ya, setelah tiga tahun menjadi sahabat pena, kami memutuskan untuk berbagi nomor ponsel. Namun, kegiatan surat menyurat kami tidak pernah terhenti sampai sekarang. Sebenarnya sudah lama aku tidak mengirim surat tanpa puisi ataupun cerpen untuknya, karena sekarang untuk menanyakan kabar kini aku menggunakan chat.
Namun, sesuai perjanjian, tidak ada yang boleh dengan sengaja mengirim foto kami. Agak aneh memang peraturan ini. Tapi, aku tidak ingin mencintainya karena rupa. Padahal aku sangat penasaran bagaimana penampilan lelaki itu.
"Kalo aku tetap panggil kamu Cacha, apa kamu marah?" Suara berat lelaki itu langsung menyapa telinga begitu panggilan suaranya kuterima.
Aku terkekeh kecil sambil berbaring di tempat tidur dan earphone terpasang di telinga. "Kamu nggak suka nama Violet?"
"Cacha sounds cuter. And I think you are cute person."
Tawaku terurai kembali. "Pram? Kamu nggak penasaran, kenapa aku tiba-tiba suka mawar ungu?"
"Aku mau kamu yang cerita sendiri," jawabnya, "Kamu siap cerita?"
"Kamu tahu arti mawar ungu?" Dia tidak menjawab, jadi aku melanjutkan ucapanku. "Mawar ungu itu lambang cinta pertama."
"So, who's the lucky guy? Kamu nggak pernah cerita naksir cowok selama tiga tahun ini."
"Aku takut dia lari kalau aku ngomong. Aku takut dia nggak merasakan hal yang sama."
"Cacha, satu hal yang harus kamu tahu ... nggak masalah kalau orang yang kamu sukai nggak suka kamu balik. Kamu tetep hebat berani ngomong. Kamu tetep keren. And you are still my favorite Cacha."
"Even after I said I fall in love with someone?"
"Yap. Kenapa nggak?"
Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Now or never, Shanin. Berani! Berani! "Kamu orangnya Pram," cicitku sambil memejamkan mata. Dadaku berdebar hebat. Aku menggigit bibir menanti dengan penuh antisipasi jawaban lelaki itu. "Pram? Please, jangan lari."
Tawa hangatnya terdengar. "Kenapa aku harus lari? Aku cuma lagi kaget."
"Kamu nggak perlu jawab apa-apa, serius. Aku cuma mau bilang aja kok. Anggap, aku nggak pernah bilang begi---"
"I will be your lady bug."
"A-apa?"
"Kalau kamu jadi mawar ungu, aku bakal jadi kepiknya."
Aku mengernyitkan kening, tak paham ke mana arah pembicaraannya. "K-kepik? Kenapa jadi kepik?"
"Loh, katanya kamu mau jadi bunga."
"Hubungannya kepik sama bunga, apa? Biasanya nih, kalau ada cewek ngomong pengin jadi bunga, yang cowok jawabnya mau jadi lebah." Aku semakin tak mengerti.
"Kamu tahu nggak, kepik itu pembawa keberuntungan?" Meski tanpa bertukar pandang, dari bagaimana suaranya terdengar, aku tahu dia sedang tersenyum.
"Keberuntungan?"
"Iya. Jadi di Eropa, kepik muncul setelah petani berdoa minta tanamannya diselamatkan dari serangan hama. Tanaman para petani itu selamat, karena dijaga sama kepik."
"Oh, kepiknya makan kutu, ya?"
"Betul. Sekarang tahu kan, kenapa aku mau jadi kepik, kalau kamu jadi bunga."
"Biar aku nggak dimakan kutu?"
"Ya, kurang lebih begitu." Pram terkikik geli. "Tapi, lebih tepatnya, biar aku bisa jadi keberuntungan dalam hidup kamu."
Mendengar jawaban Pram hatiku menghangat, tapi aku tetap tidak mengerti apa dia juga merasakan hal yang sama padaku. "So, it means?"
"I love you too, Cacha."
Mataku melebar, jantungku berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Aku masih menggigit bibir, kali ini bukan karena rasa takut, tapi karena menahan kedua sudut bibirku tertarik ke atas, tersenyum super lebar. Astaga! Ya Tuhan! Pram juga mencintaiku? Aku tidak mimpi, kan?
"Halo, Cacha ... kamu masih di sana?"
"Sorry! Bentar ... aku atur napas dulu."
Pram tertawa keras. "Itu yang aku rasain tadi. Tapi, kamu malah ngira aku lari."
Aku semakin salah tingkah. "Maaf, tadi aku panik soalnya."
"Aku pengin ketemu kamu langsung, Cha."
***
Sepenggal Kisah yang Belum Usai dari Cacha dan Pram
Lagi. Cacha kembali menemukan sebuah surat di loker sekolahnya. Surat dengan amplop warna cokelat, yang berisi puisi-puisi indah tanpa nama. Berkali-kali perempuan itu menanyakan pada teman dan penjaga sekolah, barangkali mereka melihat sosok yang diam-diam memasukkan surat ke lokernya. Tapi, nihil.
Sejujurnya, Cacha sama sekali tak terganggu dengan surat misterius itu. Ia jatuh cinta dengan sajak-sajak yang tertulis di sana. Dan entah mengapa, membaca serangkaian tinta-tinta yang tercetak di selembar kertas tersebut selalu membuatnya tenang. Tulisan itu terlalu indah, terlalu hidup, dan terlalu menyentuh. Ia ingin mengucapkan terima kasih pada sosok misterius itu.
Kau adalah puisi yang selalu ingin kuuntai
Kau adalah tangan yang selalu ingin kugapai
Kau adalah peluk yang kuinginkan damai
Dan kau adalah kumpulan doa di setiap malam yang selalu kurangkai
Senyum tak terasa hinggap di bibir Cacha, ketika membaca satu bait puisi yang berhasil menggelitik perutnya, bagai kepakan ribuan sayap kupu-kupu berkumpul di dalamnya. Membayangkan ada seseorang yang memujanya begitu indah, sedikit menakutkan. Namun, tidak dipungkiri hatinya tersebut dan tergoda untuk menemui sosok pengagum misteriusnya.
Ia penasaran. Teramat penasaran.
Kamu siapa, sih?
.
.
.
Ipi simikin bikin pinisirin???
Udah kerasa sendu-sendunya belom?
Ikutin terus kisah Shanin dan Yudhis yaa🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top