4. Novel Ksatria

"HUA!"

Terbelalak kaget, cepat-cepat Dwitara ingin keluar dari kamar, tetapi baru saja pintu akan dibuka, seseorang menahannya dari belakang dengan telapak tangan.

"Kupikir kamu tidak akan ke mana-mana, setelah apa yang kamu lakukan, hm?" tanya Kala, pria itu persis di belakang Dwita, dan berbisik di telingannya.

Dalam batin ia kembali berteriak, memejamkan mata sejenak karena jarak antara mereka berdua terlalu dekat, Dwitara pun mengembuskan napas dan membalikkan badan, ia seperti menantang sang pria. Namun, kepala mereka berhadap-hadapan, dengan hidung yang nyaris bersentuhan. Dwitira terkaku, matanya melotot dengan wajah lantas semerah tomat, kemudian ia berteriak sangat keras di dalam kepalanya sendiri.

Kalah telak! Sekarang Dwita mengaku bahwa ia tak bisa melawan sang pria yang tengah menundukkan sedikit tubuhnya agar tinggi mereka sama.

"Gimana? Hm?" tanya Kala sekali lagi.

"Ma-maaf," cicitnya, takut bergerak dan mengakibatkan sesuatu yang tidak diinginkan bersentuhan antara mereka berdua. Bahkan Dwitara bisa merasakan embusan napas pria itu sekarang.

Pria itu menegakkan tubuh, membawa Dwitara dengan mengangkat dirinya, sehingga ia kembali terbelalak dengan mulut mengaga.

Memangnya sekarang adalah pentas seni antara putri dan pangeran yang akan menikah, kenapa pula Kala menggedong ia seperti pengantin wanita. Namun, kekesalan Dwitara terbayarkan, ia diletakkan dengan perlahan ke atas ranjang dan diselimuti. Menatap pria itu yang duduk di samping ranjang dan memandangi dirinya pula, membuat Dwitara merasa bersalah karena kabur beberapa saat lalu.

"Bagaimana kondisimu, Dwita?" tanya Kala, salah satu tangan mengusap dahi sang gadis sekaligus merapikan anak rambutnya.

"Gak apa, kok. Jangan khawatir." Ia tersenyum, tetapi hal itu tampaknya tak membuat Kala lega, baik raut wajah ataupun sorot mata terlihat tak berubah, hanya ada kekhawatiran yang tergambar di sana.

Jari-jari Kala yang ada di dahi lantas turun secara perlahan, ke pipi, kemudian leher yang meninggalkan sedikit bekas cengkeramannya beberapa hari lalu. Napas yang berat dibuang, pria itu terlihat lebih suram dan membuat Dwitara bersedih hati. Ia menggerakkan tangan, kemudian menggenggam jemari Kala agar pria itu tahu bahwa ia sudah memaafkannya.

"Aku pun jadi sedih kalau kamu gini, Kala." Ia menggenggam jemari itu lebih erat, menatap Kala serius dengan pandangan dalam. "Kamu kan gak sadar waktu itu, jadi jangan terus-terusan murung."

Mereka saling mengunci tatapan, tidak ada lagi yang berucap, tetapi jemari satu sama lain saling berkaitan semakin erat. Kala seperti kalah dengan pertahanannya, ia menundukkan diri dan merengkuh Dwitara, menyembunyikan wajah di ceruk leher dan bergumam sesuatu yang tak terlalu jelas untuk didengar sang gadis.

Anggukan kepala terasa, Dwitara yang memahami pun mengembuskan napas lega. Ia mengelus lembut rambut hitam pria itu, kemudian merasa lebih lepas karena Kala mau sedikit membuka diri kepadanya.

Membiarkan Dwitara berisitirahat, pria itu keluar dari kamar dan akan kembali bekerja. Memejamkan mata sejenak, mungkin karena cukup melelahkan pergi bersama Kirana, ditambah lagi adrenalin yang terus berpacu membuat energinya habis dengan cepat, ia pun berakhir dengan tertidur lelap hingga nyaris pukul lima sore. Beruntung, pelayan mengetuk pintu sehingga ia tersentak bangun.

Mendudukkan diri, mata rubi Dwitara melotot melihat jam di meja nakas. Ia menguap dan mengucek mata, kemudian melangkah dan membuka pintu. Sang pelayan memberikan sebuah bungkusan, dan karena hal itu ia melotot dan kegirangan.

"Novelku udah tiba! AAA!"

"Nona, pita suara Anda."

"Ah, maaf." Ia tertawa dengan rasa bersalah, mengucapkan terima kasih kepada pelayan wanitanya, kemudian menutup pintu untuk membuka paket di tangan.

Tidak sabar untuk membaca adalah kalimat yang tergiang di kepala Dwitara, dengan sebuah pisau kecil berbentuk telapak kucing lucu dan merah muda, ia membuka pembungkus dan menemukan novel yang sedang dielu-elukan sepenjuru jurusan.

"Akhirnya novelnya Yayangku, Ksatria!"

Malangnya, baru membaca beberapa lembar, pelayan datang mengingatkan, berkata agar membersihkan diri dan makan malam bersama mereka, kemudian lekas meminum obatnya dan beristirahat. Dwitara bertanya di mana Kala, tetapi pelayan menjelaskan bahwa pria itu telah kembali ke kantor. Mengembuskan napas sebal, ia pun melakukan apa yang dikatakan pelayannya untuk membersihkan diri dan lekas makan malam agar segera meminum obat.

Esok paginya, ia bersiap untuk pergi ke kampus, baru saja selesai mandi dan hanya memakai handuk, seseorang membuka pintu lebar dan masuk. Dwitara berteriak, melotot setelah sadar bahwa itu adalah Kala, tetapi ia yang awalnya telah tenang, kemudian menyadari bahwa handuknya lepas dan ia berteriak lebih keras lagi.

Beberapa saat berlalu, mereka duduk di sofa dengan Kala yang memijat pangkah hidungnya dan mengembuskan napas frustrasi, sementara itu Dwitara tengah mengubur wajah di lutut karena kaki yang menekuk dan naik ke sofa. Wajah Dwitara semerah tomat, tubuhnya sekarang telah dilapisi hoodie beruang yang juga membungkus kepala.

"Apa pita suaramu bisa sembuh?" tanya Kala sarkas, menatap dengan alis berkerut kepada Dwitara yang sekarang merengut sembari mengintip dari balik lutut.

"Awas aja ya, kalau kamu panggil dokter. Aku dah gak apa-apa dan mau ke kampus."

"Jangan melakukan yang aneh-aneh, Dwita. Kamu masih perlu istirahat."

Dwitara yang mendengar hal itu lantas menjatuhkan tubuhnya ke sandaran kursi, ia merengek ingin pergi ke kampus dan bertemu teman-temannya. Melihat Kala tidak mengatakan apa pun, ia pun mencoba mediasi, berkata bahwa apakah boleh teman-temannya datang ke sini. Menyatukan kedua tangan, ia memohon dengan tatapan mirip anak anjing.

"Kumohon, Kala."

"Gak."

"Kucium kakimu sambil sujud deh, kalau temenku boleh datang."

"Hah?"

"Kala, please banget. Ya! Ya! Ya!"

Kala hanya bisa mengembuskan napas, ia pun mengalah karena gadis itu akan tetap besikap sama dan terus-terusan merengek lebih keras lagi. Mengambil ponsel, Kala menghubungi sekertarisnya dan memberikan kabar kalau hari ini ia tidak akan datang ke kantor. Mendengar hal itu, Dwitara mengerutkan alis karena yang ia inginkan adalah teman-temannya datang.

"Kok malah kamu yang libur?" tanya Dwitara curiga.

"Kenapa memangnya?"

Dwitara melotot karena pria itu membalas pertanyaannya dengan pertanyaan pula, benar-benar kesal, ia pun memukulkan telapak tangannya ke lengan atas Kala. Namun, tentu pria itu tidak berekspresi dan malah ia yang merasakan sakit karena seperti menampar balok kayu. Bertanya lagi, bahwa teman-temannya boleh datang menjenguknya, atau tidak? Tentu ia hanya ingin mengonfirmasi sebelum menghubungi mereka, dan anggukan kepala Kala menjadi jawaban yang lantas membuat Dwitara girang.

Rasa senang Dwitara tiba-tiba menguar, ia terdiam sebentar dan berpikir.

"Kala, kalau kamu di sini, nanti kami jadi gak bebas dong." Ia mengerutkan dahi dan mengerucutkan bibir.

"Memangnya kalian mau ngapain?" tanya Kala curiga.

"Ck, bukan gitu. Temen-temenku nanti sungkan kalau ada kamu, Kala." Dwitara mencoba menjelaskan agar pria itu tidak semakin curiga dan berpikir aneh-aneh.

Kala mendengkus, kemudian berdiri dan berkata kepada gadis itu, untuk itulah ia berada di sini hari ini. Mendengar hal demikian, kembali Dwitara merasa amat kesal dan hanya bisa menatap pria itu dengan sinis.

Tidak sampai tengah hari sepulang dari kampus, teman-teman Dwitara datang. Ada Kirana, Dea, dan juga Chandra yang memberanikan diri untuk ke rumah gebetan yang tidak memiliki kesempatan untuk digebet. Chandra yang menyetir mobil lantas berkali-kali mendesah, entah kenapa ia berkeringat dingin karena untuk pertama kali ke kediaman Dwitara, atau yang lebih tepatnya lagi adalah ke apartemen tunangan sang gadis.

Kirana yang duduk di belakang bersama Dea berulang kali mengerutkan alis, melihat pria itu mengelap wajah berulang kali menghampus keringat padahal kendaraan ini menyalakan pendingin.

"Lo kenapa sih daritadi?" tanya Kirana akhirnya karena kesal bukan main.

Dea yang duduk di sebelah gadis itu menolehkan kepala, memperhatikan dua orang yang tengah adu bacot dan akhirnya berusaha tidak peduli. Sepuluh menit kemudian, mereka sampai di apartemen tempat sahabat mereka tinggal. Di depan pintu dan menekan bel, wajah ceria mereka bertiga lantas sirna ketika mendapati yang membukakan pintu adalah Kala.

Dengan raut kaku, Kirana menyapa pria itu dengan suara tersendat. Kirana menyenggol rusuk Dea dengan sikunya, bingung harus berkata apa, apalagi pria itu sedari tadi hanya diam saja dan menatap tajam Chandra yang berada di belakang para gadis.

"Masuklah, Dwita menunggu di dalam." Hanya itu yang dikatakan Kala, kemudian ia memberikan ruang kepada mereka untuk masuk.

Suasana lantas berubah lebih cerah ketika Dwitara menyambut mereka, para gadis lantas saling memeluk dan melepaskan rasa kangen satu sama lain, sementara itu Chandra hanya menatap mereka sembari tersenyum. Namun, tiba-tiba rasa dingin menyengat lehernya, seperti ada tatapan tajam yang menatap dirinya dan itu adalah Kala.

Dalam batin Chandra mengeluh, kenapa pria itu harus di sini dan bertemu denganya lagi. Chandra sepertinya lupa bahwa pemilik apartemen ini adalah Kala.

Mereka berbincang, membicarakan banyak hal dan salah satunya adalah novel terbaru dari Author Ksatria. Namun, Dea menjelaskan jangan ada yang menebar spoiler karena ia benar-benar ingin membaca dengan pelan dan tenang. Kirana dan Dwitara yang mendengar hal itu pun berusaha mengerti, tetapi dengan wajah julid.

"Aaah! Gue pen baca, tapi masih harus istirahat. Huhu." Dwitara menirukan suara tangisan. Menatap Kala yang duduk di sofa tunggal, sementara ia dan teman-temanya duduk di lantai beralas karpet beludru.

Kirana di sebelah Dea rasanya greget sampai bergetar, sangat bersemangat tetapi tidak bisa memberikan spoiler kepada Dwitara. Di sisi lain, Chandra seperti obat nyamuk bagi mereka, belum lagi ia terus merasakan tatapan Kala mengarah kepadanya. Apalagi saat Chandra menatap Dwitara sembari tersenyum, pria itu langsung pura-pura berdeham.

Temen-teman yang ingin berpamit diri membuat Dwitara terlihat bersedih, Kirana menimpali bahwa secepatnya pasti kondisi gadis itu pulih total dan mereka bisa bertemu lagi di kelas nanti. Dea dan Chandra pun mengangukkan kepala, pria itu berkata kalau Dwitara jangan bersedih dan harus tetap semangat walau merindukannya. Lantas perkataan itu mengundang Kirana untuk menjulid, ia berlagak seperti membuang ludah dan membuat Chandra naik pitam sampai mencubit gemas pipi Kirana.

Dwitara yang melihat kedua orang itu yang nyaris adu jotos awalnya tertawa, kemudian ia berusaha menghentikan. Namun, dengan kehadiran Kala di depan pintu, membuat keduanya terlerai dengan sendirinya dan terlihat salah tingkah karena sungkan.

"Kalian masih di sini?" tanya Kala dengan wajah datarnya, yang lantas memuat Dwitara menyikut pelan rusuk pria itu karena ucapannya tak sopan.

"Baiklah, sampai jumpa. Bye! Bye! Muach!" Dwitara berkata, melambaikan tangan dan seperti memberikan kecupan saat teman-temannya berpamit pulang.

Mereka tinggal berdua di apartemen, dan sekarang Dwitara mendudukkan dirinya di sofa sembari mengembuskan napas. Rasanya saat bersama teman-teman sangat menyenangkan sekali. Ia melihat Kala yang melangkah masuk setelah menutup pintu, kemudian ikut duduk di sebelahnya. Dwitara lantas mengucapkan terima kasih, tetapi pria itu memjawab dengan pertanyaan yang tak pernah ia sangka.

"Laki-laki itu suka kamu, ya?"

Dwitara lantas menganga, berpikir kenapa tiba-tiba Kala menanyakan hal ini pula. Ia lantas tertawa dibuat-buat, kemudian bergelayut manja di lengan sang pria sembari menyenderkan kepala di bahu Kala.

"Ih, apaan, sih! Siapa coba yang gak suka sama aku? Aku kan cantik pake banget!" setelah mengatakan hal yang sangat lebay itu, Dwitara memberikan kecupan-kecupan di pipi sang pria. "Jangan cemburu, ya! Ya!"

"Siapa yang cemburu?"

"Halah, tadi kamu nanya-nanya gitu ke aku, tapi tentu aja dunia tahu kamu yang paling aku cinta. Kyaa!"

Masih dengan Dwitara yang bermanja-manja, hingga Kala mendengkus karena hatinya tergelitik dan berakhir memberikan ciuman dalam, tiba-tiba getaran pada ponsel yang berada di meja mengalihkan atensi Kala. Pria itu lantas melepaskan rengkuhannya, kemudian melihat siapa yang menghubungi, sementara itu Dwitara pun menegakkan duduk dan mengerutkan alis karena melihat kemarahan tercetak jelas di wajah sang tunangan.

"Kenapa?" tanya Dwitara.

"Penganggu-penganggu itu terus saja mengusik."

"Pengganggu?"

"Keluargaku, mereka benar-benar terus berulah dan ingin memisahkan kita." Mendecih, Kala tersenyum sinis. "Tenang saja, aku gak akan biarkan. Jika mereka berani mengusikmu, bayarannya adalah kematian."

.
.
.
.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top