3. Kabur
Jangan lupa vote dan komen.
.
.
.
Berada di ranjangnya, tiga hari berlalu tanpa melakukan apa-apa. Dwitara memegang ponsel dan mendengkus karena merindukan teman-teman. Sayang, walaupun sempat merajuk, ia tidak diizinkan untuk datang ke kampus sebelum sembuh total. Dan yang lebih mengesalkan lagi, sahabatnya pun tak boleh datang menjenguk.
Mendecak keras, Dwitara paham kalau Kala sangat khawatir. Apalagi, bisa dibilang penyebab dari sakitnya ini adalah pria itu sendiri. Mungkin sekarang pun Kala masih merasa teramat bersalah, menjadi lebih diam dari biasa dan tatapannya kosong mencekam. Ia tentu terus mencari cara, tetapi tahu bahwa kepribadian Kala bukanlah tipe yang mudah dipujuk.
"Kalau gini, bukannya aku juga jadi cemas sama dia." Tarikan napas panjang dilakukan, Dwita menatap ponsel dan kotak chat dengan sang tunangan. Di sana, foto mereka terpampang dengan ekspresi cerahnya dan sang pria yang berwajah dingin seperti biasa.
"Kala wajahnya jadi gak nyebelin lagi, tapi sedih lihat dia ekspresi gitu."
Jari Dwita mengetik bait kata, I love you dikirim ke kotak chat sang pria. Menunggu beberapa saat, tidak ada jawaban dari Kala, bahkan pesannya pun tidak dibaca.
Kalau mengingat kejadian beberapa waktu lalu, Kala berlutut begitu lama, bahkan semalaman setelah tragedi itu terjadi. Menyalahkan diri, dan takut ditinggalkan lagi oleh Dwitara. Apakah pria itu begitu mencintainya, tetapi rasa takut yang menguar dari sorot mata dan gerak tubuh, membuat Dwita berpikir bahwa ia lebih berarti daripada yang ia kira.
Kala, pria itu misterius dan tidak bisa ia tebak.
"Padahal, udah tinggal bareng dari lama, tapi tetep aja gak bisa tahu isi hati Kala."
Merasakan perasaan asing untuk pertama kali, ia mulai berpikir kalau hubungan mereka menjadi hampa karena ia tak tahu Kala seperti apa. Apalagi, ia tidak bisa mengingat masa lalunya. Dari penjelasan singkat sang pria, bisa disimpulkan kalau hubungan mereka dahulu tak baik-baik saja. Terjadi sesuatu, membuat ia sedih dan marah disaat bersamaan, kemudian mereka menjadi dekat dan bertunangan.
"Apa gegara itu jadi kecelakaan, mungkin aja ketabrak waktu di mobil, dan jadi amnesia?"
Dwitara menjerit tertahan, menggigit selimut karena kesal bukan main. Ia tak ingat apa pun, dan sangat ingin tahu apa yang terjadi dahulu. Sial, satu-satunya orang yang tahu adalah Kala Abinawa.
"Kadang-kadang, Kala kayak orang lain? Apa dia ada kepribadian ganda?" tanya Dwitara kepada dirinya sendiri. "Ini sih bener-bener nyeremin."
Ia mengambil ponsel dan secepat kilat mencari tahu sesuatu yang berkaitan dengan gangguan itu di internet. Matanya melotot, menggigit bibir, ia yakin ada yang tidak beres dengan pria itu sekarang.
"Gak! Gak boleh diagnosis sendiri! Fatal, Dwitara bodoh!"
Tiduran dengan sangat bosan, Dwitara mendecak kesal, apalagi ia melewatkan akhir pekan begitu saja tanpa melakukan apa-apa. Senin pagi pukul sepuluh seperti ini, ia masih berada di atas tempat tidur dan tidak dibiarkan untuk datang ke kampus. Dengkusan napas dikeluarkan dengan kasar, bosan dan lelah karena seperti terus menerus bermalas-malasan, kemudian ia mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.
Mengobrol selama beberapa waktu, ia lantas mendudukkan diri di ranjang, kemudian berdiri dan melangkah untuk keluar dari kamar. Seorang wanita yang adalah pelayan lantas menyapa Dwita, menanyakan apakah ia membutuhkan sesuatu.
"Hari ini Kala bakal dateng, jadi tolong siapkan popcorn, juga susu kocok ya, karena kami mau nonton film." Salah satu dari dua pelayan wanita menganggukkan kepala, kemudian menyiapkan apa yang ia inginkan.
Tersisa pelayan wanita dan seorang pelayan pria, kedua orang itu lantas seperti melakukan kontak mata untuk mengisyaratkan sesuatu, sehingga sang pria lantas memisahkan diri karena ingin menghubungi seseorang yang diperkirakan Dwitara adalah Kala.
Tersenyum semringah, Dwitara melangkah ke dekat pintu, walau diikuti sang pelayan wanita. Ia berkata bahwa akan mengejutkan sang tunangan yang sebentar lagi akan datang.
"Oh, ya. Tolong hidupkan televisi dong. Pilihkan film yang sedang booming dan cocok untuk ditonton gak terlalu lama. Aku dan Kala cuma punya sedikit waktu sih."
Wanita itu terlihat ragu.
"Cepatlah! Aku yang bakal bukain pintu. Kala udah ada di depan!"
Anggukan terlihat, wanita itu mengikuti arahannya. Dan Dwitara pun membuka pintu, lantas menyambut seseorang yang datang.
"Kala! Aku kangen banget! Kayak ditinggal seribu tahun! Kangen!" sengaja ia membesarkan suara.
Suara pintu tertutup terdengar, lantas tak ada lagi yang masuk ke telinga mereka. Bahkan langkah kaki ataupun celotehan riang sang gadis yang biasa tersaji. Pelayan pria yang bertugas sebagai penjaga di tempat ini juga, lantas terbelalak. Melihat dua rekannya tengah terpisah dan sibuk dengan tugas masing-masing yang diberikan sang nona. Dia lantas mendecak dan berlari kecil, kemudian menemukan koridor menuju pintu, dan menadapati tak ada satupun yang berada di sana, baik Dwitara ataupun Kala. Ia memijat pelipis, telepon sang majikan yang kunjung tak diangkat juga, membuat gadis itu berhasil mengelabui mereka.
Telah berada di elevator bersama dengan sahabatnya, Dwitara tertawa sampai kehabisan napas bersama Kirana. Tidak menyangka mereka berhasil menipu tiga orang yang mengawasinya selama siang dan malam di apartemen.
"Bangke! Udah kayak penculik aja gue!" Kirana masih menarik napas, berpose untuk menjitak kepala Dwitara walau ia tidak melakukan apa-apa.
"Ya maap! Susah banget anjir cuma untuk keluar aja. Parah emang si Kala!"
"Ya udah. Pokoknya kita hari ini seneng-seneng dan belanja!"
"YUHU!"
Kedua gadis itu berlari keparkiran dan menaiki mobil Kirana, kemudian keluar dari apartemen dan menuju mall, mereka akan bersenang-senang. Pergi makan, berbelanja dan memanjakan diri di salon.
Melangkahkan kaki ke tempat yang sudah agak lama tidak bisa mereka datangi bersama-sama karena kesibukan jadwal kuliah, beruntung hari ini Kirana memiliki jam kosong di senin pagi, tetapi malang bagi Dea karena gadis itu masih mengurusi materi dari tugas yang akan dipresentasikan beberapa hari lagi.
Restoran bertema retro mereka datangi, baru memasuki tempat tersebut saja, mata Dwita sudah terpukau dengan interiornya. Beberapa pelayan mendatangi, mempersilakan mereka masuk karena Kirana telah memilih meja.
"Wah! Lebih bagus daripada yang difoto, Ran."
"Bener, kan. Kata gue mah lo ikut aja deh. Semua yang gue rekomenin pasti kece abis." Gadis itu tertawa kecil.
Mendudukkan diri, mereka lantas diberikan daftar menu. Memilih yang terpampang di hadapan mata, Dwita berpikir keras karena semua yang tersaji terlihat menggugah selera. Memanggil pelayan, mereka memesan apa saja mulai dari pembuka, makanan utama sampai pencuci mulut.
Berbelanja adalah salah satu kesenangan keduanya, mereka memilih pakaian, hingga tas dan sepatu. Beberapa bungkus kantung bertengger di tangan, jadwal mereka selanjutnya adalah pergi ke salon dan memanjakan diri sembari bergosip.
"Sayang banget Dea gak bisa ikut," keluh Dwitara. Bagaimana pun juga, sudah beberapa hari ia tidak bertemu dengan teman-temannya.
"Mau gimana lagi, gak bisa kita paksa juga sih. Lagi banyak tugas dan deadlinenya Dea mepet banget, kan."
Memejamkan mata karena rambutnya sedang di creambath, Dwitara mengembuskan napas. Ia yang tengah menikmati layanan salon, seketika lupa dengan perbuatannya bahwa sekarang ketiga pelayan yang ada di rumah tengah ricuh mencari dia.
Sengaja Dwitara tidak membawa ponsel, ia takut mereka melacaknya dan akan menyusul ke tempat ini. Bagaimanapun, ketiga pelayan yang berada di apartemen adalah anak buah dari sang tunangan. Mungkin karena untuk pertama kalinya Dwitara kabur seperti ini, mereka jadi mudah percaya untuk ditipu. Ya, setidaknya selama ini ia tidak pernah membuat ulah.
Pukul tiga petang ketika mereka keluar dari mall, setelah menonton bioskop dan puas dengan film yang direkomendasikan Kirana, ia memutuskan pulang sebelum semuanya tambah kacau.
Cekikikan sembari melangkah, mereka masuk ke mobil dan lantas berkendara untuk kembali ke apartemennya. Namun, Dwitara mengerutkan alis karena ia bingung sekarang di bawa entah ke mana. Mengalihkan kepala dan menatap Kirana, ia pun bertanya kepada gadis bahwa mereka sekarang berada di mana.
"Selow, kita beli kue dulu. Gue pingin banget strawberry cheese cake."
"Gue juga mau deh."
Dwitara membawa sekotak kue untuk dirinya, Kala dan juga ketiga pelayan sebagai permintaan maaf. Ia tersenyum, tetapi mulai agak sungkan karena pasti merepotkan mereka semua. Mengembuskan napas, berpikir bagaimana lagi karena nasi sudah menjadi bubur. Ia harus pulang dan bertanggung jawab karena kericuhan yang ia ciptakan sendiri.
Melambaikan tangan kepada Kirana setelah sampai di apartemennya, sembari berlari kecil, ia lantas naik ke elevator. Begitu sampai di lantai yang ia tuju, pintu pun terbuka dan ia melihat seseorang melangkah mendekat. Ternyata itu adalah sang pelayan wanita yang biasa mengurusnya.
"Ah! Maaf banget karena buat kericuhan. Kala ada di dalam, ya? Dia marah banget, gak?"
"Selama datang, Nona. Silakan masuk."
Menghirup napas dalam, ia menggelengkan kepala untuk mengusir perasaan takut di dada. Gawat, pikirnya. Pasti pria itu marah besar. Ah, tiba-tiba kepalanya pusing. Apa ia pura-pura pingsan saja.
Tak seperti apa yang ia bayangkan, di dalam tak ada Kala yang menunggu dengan wajah mengerikan. Dua orang pelayan lain pun tidak terlihat panik seperti apa yang ia duga-gua.
"Halo! Aku minta maaf banget karena buat keributan tadi, ini aku bawakan kue untuk kalian semua."
Walau ia terlihat merekahkan senyuman, tetapi di jantungnya berdegup kencang. Melihat mereka satu persatu, ketiga orang itu melakukan aktivitas dengan normal. Apakah artinya ia tidak membuat mereka ricuh karena kabur bersama Kirana tanpa penjagaan? Dwitara bertanya-tanya, tetapi situasi ini terlihat terlalu janggal, bukan?
Memotongkan kue dan memberikan mereka satu persatu, setelah ketiga orang itu menerima maka tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, Dwita melangkahkan kaki menuju kamar dan segera mengunci pintu. Mengembuskan napas lega, ia segera mengusap tengah dada.
"Syukur banget mereka gak kenapa-napa. Kirain Kala bakal mecutin mereka gegara aku kabur." Ia mengantuk-antukkan kepala ke pintu.
"Oh! Kamu berpikir gitu, hm, ide yang bagus."
Menolehkan kepala karena suara tak asing di dalam kamarnya, mata Dwitara terbelalak karena mendapati sosok pria yang berada di dalam bayangan tengah duduk di ranjang dengan seluruh kancing kemeja yang terbuka sehingga menampakkan perutnya yang membentuk kotak-kotak.
"HUAAA!" teriakan dramatis terdengar sampai keluar kamar, panik karena berpikir kenapa pria itu tiba-tiba berada di kamarnya.
Dwitara cepat-cepat ingin keluar, tetapi sial sekali karena ia mengunci kamarnya sendiri. Walau berusaha membuka dan telah menarik knop, tiba-tiba saja sebuah tangan menahan pintu, sehingga kembali tertutup.
"Kupikir kamu tidak akan ke mana-mana, setelah apa yang kamu lakukan, hm?" tanya Kala, pria itu persis di belakang Dwita, dan berbisik di telinganya.
.
.
.
.
Bersambung
Ah akhirnya bisa update lagi.
Kala, lu kalau lagi normal gini gemesin banget.
Wkwkwkwkw.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top