2. Malam Mencekam
BAB 2
Malam Mencekam
Sepasang mata menengok ke jendela, mencari-cari awan yang berubah menjadi gelap bersamaan dengan guntur yang menggelengar. Leher sang gadis agak mendongak, ia mendapati rintik mulai turun dan membentuk riak di kaca yang menghalangi antara dirinya dan dunia luar mobil. Kendaraan itu terhenti sejenak karena lampu lalu lintas berubah menjadi merah, ia mengumpulkan uap napas, mengembusnya dan membuat embun putih menempel di kaca jendela. Menggerakkan jari, menuliskan nama dirinya dan juga sang pria yang berada di samping, tengah diam sembari memejamkan mata.
"Tau, gak? Aku ngerasa kayak embun putih di kaca, yang waktu ditiup dia ada, terus hilang gitu aja."
"Aku gak mikir begitu, daripada embun, kamu cerah seperti mentari." Kala mengutarakan apa yang ia pikirkan, kelopak matanya terbuka saat ia menolehkan kepala, sehingga mendapati sang gadis yang tengah memandangi dirinya juga.
"Tapi tetep terganti sama malam juga, kan? Terus, emang di dunia ini gak ada yang abadi." Ia mengembuskan napas panjang, lunglai dan menyandarkan diri dengan tak bertanaga di jok mobil.
"Kudengar, penyihir mendapatkan keabadian." Kala berkata dengan raut yang serius, sehingga mengundang tawa kecil dari bibir Dwita, dia lantas menggelengkan kepala dan menatap Kala dengan senyuman terpantri di wajah.
"Kayaknya kita jadi ngelantur karena lapar, ya?"
Pria itu tidak menjawab, sebelah tangannya bergerak dan merapikan anak rambut Dwita ke belakang telinga. Diperlakukan demikian rupa, wajah sang gadis lantas memerah seperti dipancari cahaya senja.
Bagi Dwita, Kala itu seperti sosok yang nyaris sempurna. Dia sangat dewasa dan pengertian, melindungi dan selalu mengutamakan dirinya. Mungkin inilah yang dinamakan jatuh cinta berjuta rasa, mabuk kepayang sampai seperti berada di surga dunia. Menyandarkan kepala ke bahu lebar sang pria, ia meraih telapak Kala dan menggenggam tangannya.
"Coba ceritain, gimana waktu pertama kali kita jumpa, Kala?" tanya Dwita, ia selalu berusaha menggali ingatan, walau hasilnya seperti yang ia perkirakan karena gagal total.
"Kita berdua bertemu, saat itu malam bulan purnama, dan kamu lagi sedih, juga marah."
Pertama kali mendengar kalimat ini, Dwita kembali penasaran. Beberapa waktu lalu, Kala hanya menjelaskan tengah terjadi sesuatu, membuat mereka menjadi dekat hingga akhirnya memutuskan menjalin ikatan dalam pertunangan. Ia menyandarkan dagu ke pundak pria itu, matanya menatap serius, kemudian kembali bertanya lanjutan dari kisah yang sama sekali tidak bisa ia ingat.
"Kenapa? Kenapa aku marah dan sedih? Apa gegara kejadian yang kamu bilang itu?"
Anggukan terlihat, tetapi sepertinya Kala memilih untuk merapatkan bibir dan tidak memberikan lagi informasi tentang masa lalu mereka. Bibir Dwita mengerucut kecut, ia mengerutkan alis dan bertampang merajuk.
"Nyebelin, gak pernah mau ngomong dengan jelas!"
Sentilan pelan di dahi dihadiahkan Kala, pria itu melakukan tanpa ekpresi di wajah, sehingga membuat Dwita semakin kesal karenanya.
"Cobalah untuk menggali ingatanmu, semakin penasaran, semakin memancing masa lalu yang kamu lupakan."
Wajah cemberut Dwita tidak berubah, ia menggebungkan sebelah pipi dengan alis semakin berkerut dalam, menyadari bahwa ia tengah digodai sang pria.
"Dasar, kamu nih makin nyebelin dari hari ke hari, ya," omelnya, kemudian mencubit lengan atas sang pria. Sayangnya, Kala tidak merubah ekspresi, menyebabkan Dwita semakin sebal saja.
Mereka berpisah setelah Kala mengantar sang gadis ke apartemen mereka. Masuk ke kediamannya, ia lantas melegakan pinggang karena pegal. Tiga orang pelayan menyambutnya, mereka terlihat masih muda, mungkin berusia di bawah tiga puluhan. Satu orang pria dan dua orang wanita. Mereka bertanya bagaimana hari Dwita, dan ia menjelaskan bahwa semuanya berjalan sempurna.
Melangkah ke kamar, Dwita meletakkan tas di kursi, kemudian menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang. Kadang-kadang walau merasa hidupnya berjalan sangat baik, tetapi dengan kondisi demikian, ia merasa sangat banyak kekurangan pada dirinya.
"Ah, gak boleh jadi sedih kayak gini. Harus semangat!"
Berdiri, ia menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Setelah merasa lebih segar, Dwita membuka laptop dan melanjutkan tugas yang sempat tertunda. Ketukan terdengar, hari telah berubah menjadi gelap ketika ia mematikan laptopnya. Membuka pintu kamar, wanita berwajah menawan datang menghampiri, mengatakan bahwa hidangan makan malam telah tersedia.
Keluar kamar, ia yang melangkah ke ruang makan pun dikejutkan oleh Kala yang telah duduk tenang di salah satu kursi. Berlari kecil, ia lantas duduk di samping sang pria dan bertanya kenapa pula tak memberi kabar kalau pulang tepat waktu. Makan malam bersama, sudah lama mereka tidak melakukannya karena kesibukan sang pria, sembari menyuapkan hidangan ke mulut, Dwita bercerita tentang novelist kesukaannya. Ksatria yang sekarang tengah diperbincangkan di mana-mana di Jurusan Sastra.
"Aku udah pesan novelnya, judulnya Setengah Rembulan Telah Dicuri. Gak sabar mau baca bukunya." Menceritkan dengan menggebu, Dwita meletakkan sendok di piring. "Terus ya, Kirana pun penasaran banget sama Ksatria, entah kenapa aku ada feeling kalau nanti dia yang bakal isi seminar. Berani pegang deh omongaku, ayok kita taruhan!"
"Habiskan dulu makanannya," ujar Kala. Ia melanjutkan makan dan menatap Dwita yang tertawa kecil.
"Maaf, keasikan ngobrol, sih."
***
Malam nan sunyi, detik jam menggema di tengah keheningan. Seorang gadis terlelap dalam bunga tidur yang memanjakan, hingga bibir membentuk senyuman. Jam di ruang tengah membunyikan loncengnya ketika jarum pendek dan panjang menunjuk tepat ke angka dua belas. Namun, gadis itu tidak terganggu tidurnya, malahan ia memeluk guling yang menemani di atas ranjang.
Tersentak kaget, Dwitara jatuh dari atas ranjang dan celangak-celinguk, ia mendengar teriakan keras sekali, sehingga langsung sadar bahwa ini bukanlah di alam mimpi. Mengusap mata dan melangkah linglung, ia terkejut saat suara memekkan telinga kembali terdengar, dengan langkah cepat setengah berlari, ia pontang-panting membuka pintu menuju ruangan tengah. Mencari dari mana asal suara, secepat kilat masuk dan tercengang karena melihat siapa yang tengah berteriak begitu memilukan.
"Sadarlah!" suara Dwita terdengar lantang, tetapi pria yang terbaring di atas ranjang masih berteriak memilukan.
Apa yang tengah dia mimpikan sampai demikian? Di dalam batin ia bertanya-tanya.
"KALA, BANGUN! SADARLAH!" teriak Dwita sembari mengguncang-guncang tubuh sang pria.
Mata pria itu menyala di kegelapan malam, mereka sama-sama terengah-engah, mengira bahwa pria itu telah sadar, Dwita mengembus lega. Ia berdiri dan membantu pria itu untuk duduk, berkata kepadanya karena ingin mengambilkan minuman hangat untuk meredakan kerongkongan yang mungkin nyeri karena teriakan. Namun, beberapa langkah, ia terhenti karena tangannya dicengkeram, tubuhnya jatuh begitu saja dengan terlentang di atas karpet beludru nan lembut. Ia terbelalak, terkaku sesaat karena mendapati tubuh Kala di atasnya tengah mengunci, menatap nan tajam dengan bola mata hitam.
"Ka-la," rintih Dwitara, ia masih tak menyangka, tetapi rasa sakit pada urat lehernya membuat ia tahu bahwa semua ini adalah kenyataan.
Kala mencekiknya, pria yang itu seperti hilang akal, menatap bagai hewan buas, memusuhi dan seperti ingin membunuhnya. Tubuh Dwita bergetar, ia mulai meronta, takut, mengerikan, semua bercampur di dalam kepala.
"Hentikan, Ka-la," lirih Dwitara, suaranya nyaris seperti seseorang yang tengah kehabisan napas.
Kedua tangan Dwita meronta, meneteskan air mata, ia mencengkeram lengan Kala yang tengah memakai kaus hitam bertangan pendek. Lantas darah pun mengalir kerana benaman kukunya semakin dalam, dan saat itu pula seperti tersadar, Kala lantas melepaskan diri dan menjauh dari tubuh Dwitara.
Meraup napas sedalam-dalamnya, Dwitara kemudian terbatuk-batuk dan menangis tanpa tenaga, seguknya tidak bisa ditutupi, sementara itu sang pria terkaku menatap tubuh terkulai sang tunangan yang terbarik meringkuk di atas karpet beludru.
Matanya terbelalak, bibirnya kelu, napasnya terengah-engah jatuh dalam keterkejutan sendiri. Apakah ia tidak bisa membedakan lagi antara mimpi dan kenyataan sampai melakukan hal ini? Jika saja tidak melepaskan, Dwitara pasti meregang nyawa, hal yang paling tidak ia inginkan akan terjadi karena perbuatan Kala sendiri.
Aku nyaris membunuhnya! Batinnya berkata, Kala merangkak, mendekati Dwitara dan memangku kepala gadis itu di atas paha dengan wajah teramat panik, ketakukan tergambar jelas di rautnya.
Tidak! Tidak lagi! Jangan lagi! Dwita, jangan mati!
Memeluknya erat, Kala berbisik permohonan maaf kepada sang gadis. Dalam ia membenamkan kepala di ceruk leher Diwita. Berulang kali berucap hal yang sama, menyesal karena perbuatannya.
Dwitara kesulitan berbicara, kemudian ia menganggukkan kepala dan mengusap rambut sang pria. Tubuhnya diangkat dengan lembut, ia ditidurkan perlahan di atas ranjang, sementara itu Kala berlutut dan menatap Dwitara dengan rasa takut yang terpancar jelas, tangannya bergerak dan lantas membelai wajah lemah dengan jemari secara perlahan.
"Maafkan aku," ucap pria itu dengan suara bergetar. "Aku akan memanggil dokter untuk merawatmu."
Anggukan kepala terlihat, beberapa saat setelah dokter datang dan memeriksa, memberikan resep obat pereda nyeri dan berkata bahwa bekas cengkeraman di leher Dwita tidak terlalu berbahaya. Dokter juga menyarankan untuk sementara agar mereka tidak hanya tinggal berdua, untuk itu Kala menghubungi pelayannya dan menyuruh mereka berjaga siang dan malah walau ia dan sang gadis bersama.
Sepeninggalan sang dokter, Kala kembali masuk, menatap Dwita yang telah memejamkan mata. Pukul tiga pagi, ia masih berlutut di hadapan Dwita yang terlelap, memandangi gadis itu dengan sorot mata nanar.
Sinar matahari membuat Dwitara terbangung, ia mengerang rendah dan mengerjabkan bola mata. Silau, itulah yang ada dipikirannya. Menoleh ke samping, melihat jendela yang gordennya tidak menutupi kaca, pantas saja. Mengerutkan alis, ia ingat bahwa gorden itu adalah yang berada di kamar Kala, kemudian sebesit ingatan datang, tentang malam mencekam tadi malam. Bukan karena ada hantu yang menakutinya, tetapi karena sang tunangan yang berbuat sesuatu yang diluar kewajaran.
Ia terkejut bukan main, mendudukkan diri, menatap Kala yang masih menatapnya dengan pose sama seperti malam tadi.
"Kamu? Kamu terus-terusan ada di situ dari malam tadi?"
Bagaimana ia tidak berpikir demikian, yang ada di hadapannya adalah kala yang tengah berlutut, menatapnya dengan mata hitam yang kosong, gelap, di dalam matanya terlalu gelap dan sedikit membuatnya takut. Kala, pria itu misterius dan menyeramkan.
"Aku gak ingin kamu mati," bisik pria itu dengan suaranya yang serak.
.
.
.
Bersambung
Jangan lupa kasih kritik dan saran. Terima kasih.
Duhhh Kala, kamu kenapa sih say???
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top